Pagi ini langit berwarna biru cerah dan sedikit berawan. Tanaman hijau yang asri menghiasi sekitar jalan setapak yang dilalui banyak orang dengan seragam sama persis. Mereka adalah murid SMP Bibit Kasih, termasuk aku.
Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah tepukan yang tidak begitu keras pada ransel yang menggantung pada punggungku. Aku pun membalikkan badanku ke belakang untuk melihat siapa yang menepuk ranselku.
"Freya! Selamat pagi!" sapa seorang gadis seumuranku yang tingginya 10 cm lebih pendek dariku. Dia memiliki rambut hitam bergelombang dan memiliki kulit yang jauh lebih putih daripada aku. Senyuman lebar terpasang pada bibir merah mudanya.
"Vania~ Tumben hari ini kamu datang cepat," sahutku sambil membalas tepukannya pada ransel merah mudanya. Vania adalah sahabatku. Sudah 2 tahun kami bersahabat, yaitu sejak kelas 7.
"Ya, hari ini aku bangun lebih awal karena salah satu anak perempuannya mamaku mengamuk gara-gara ada yang memakan kuenya. Menyebalkan banget deh tuh anak," kesalnya.
"Bisa-bisanya kamu mengatai kakakmu begitu, padahal dia lebih tua darimu," komentarku sambil tertawa kecil.
Vania mendengus kesal dan membalasku. "Percuma lebih tua dariku kalau sikapnya kekanakan."
Tawaku semakin tak tertahankan saat mendengar perkataannya. 'Dia tidak sadar kalau sikapnya tak jauh kekanakan dari kakaknya.'
Tiba-tiba Vania tersandung sesuatu dan terjatuh ke depan. Sebelum aku menangkapnya, seseorang yang berada di belakang menangkap dia terlebih dahulu sehingga dia tidak jadi terjerembab.
"Selamat pagi, Vania!" sapa orang yang menangkap Vania. Lelaki itu sedikit membungkukkan badannya untuk menyesuaikan tingginya dengan Vania yang pendek.
"Jonathan? Kamu gila, ya?! Siapa yang menyapa orang lain dengan cara seperti itu!" seru Vania setelah menstabilkan pijakannya.
"Selamat pagi juga untukmu, Freya~" Jonathan mengabaikan Vania dan menyapaku.
"Hai~" sahutku singkat. Jonathan juga adalah sahabatku. Vania yang mengenalkannya denganku dan kami bertiga pun bersahabat sampai sekarang. Terkadang energiku terkuras karena bersahabat dengan duo extrovert itu.
"Wow, Kamu mengabaikanku yang hampir mencium jalanan dan malah menyapa Freya?! Dasar pilih kasih! Dimana keadilan untukku?!" protes Vania yang mengundang tawaku dan Jonathan.
Jonathan mencolek-colek pipi tembamnya Vania. "Kenapa? Kamu mau aku bersikap lebih baik denganmu? Oke~ Hamba meminta pengampunan kepada yang mulia Ratu Cebol dan bersumpah akan bersikap lebih baik lagi~"
"Hentikan itu, dasar gila!" Vania menepis jari telunjuknya Jonathan.
Jonathan berhenti mengganggu Vania dan bertanya, "Ngomong-ngomong, kalian sudah mengerjakan PR Matematika?"
"Aku sudah kerjakan dari waktu pak Mulyadi kasih tuh PR." Aku menyombongkan diriku karena bisa menyelesaikan PR itu di hari yang sama pekerjaan rumah itu diberikan.
"Wow, seperti yang diharapkan dari Freya; selalu mengerjakan PR secepat mungkin tanpa menunda-nunda~" puji Jonathan.
"Kalau begitu, nanti ajari aku bagian yang tidak kumengerti. Sebagai gantinya, aku akan membelikan minuman untukmu. Bagaimana menurutmu?" lanjutnya bertanya kepadaku.
"Oke~ Aku akan memilih yang paling mahal, tidak apa-apa, kan?" balasku yang dibalas dengan isyarat tangan 'OK'.
"Apa kamu sudah mengerjakan PR mu, Vania?" tanyaku pada gadis yang berjalan di samping kiriku.
"Jelas sudah dong!" jawabnya dengan bersemangat dan mengangkat tinggi tangan kanannya. Aku sudah menduga jawaban darinya. Dia juga anak rajin sepertiku dan jauh lebih pintar daripada aku dan Jonathan.
Kami berjalan menuju kelas bersama-sama sambil bercanda gurau. Tidak biasanya kami berbarengan saat berjalan menuju kelas karena biasanya aku duluan datang, lalu disusul oleh Jonathan, dan kemudian Vania. Waktu terasa berlalu dengan cepat selagi melangkah sambil mengobrol dengan sahabat.
Di kelas, Vania dan Jonathan menarik kursinya ke mejaku. Aku mengajari bagian yang tidak dipahami oleh Jonathan. Terkadang Vania membantuku menjelaskan materinya kalau Jonathan masih tidak mengerti dengan penjelasanku.
"Apa kamu mengerti?" tanyaku pada Jonathan.
"Uh ... begini, kan?" jawabnya kurang yakin.
Aku mengoreksi jawabannya. "Ya, betul."
"Hore! Akhirnya selesai!" seru Jonathan sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang lucu.
Jonathan menurunkan kedua tangannya dan meletakkan lengannya di meja. "Penjelasanmu lebih mudah dipahami daripada waktu pak Mulyadi menjelaskan. Sepertinya aku harus sering-sering bertanya kepadamu kalau ada yang tidak kumengerti~"
"Boleh, tetapi ingat, seleraku mahal lho," balasku sambil tertawa kecil.
"Kamu ... kamu orangnya suka mengatakan hal mengerikan sambil tersenyum, ya?" tanya Jonathan sambil memeluk dirinya sendiri.
Vania berdeham sehingga perhatianku dan Jonathan tertuju ke arahnya. "Kalian tidak lupa kalau aku masih ada di sini, kan?
"Selain itu, aku juga membantu Freya mengajarimu! Kenapa kamu tidak memujiku juga?!" protes Vania sambil menunjuk-nunjuk Jonathan.
Jonathan tertawa dan mengacak-acak rambut Vania. "Maaf~ Kamu terlalu pendek, makanya aku sampai tidak sadar kalau kamu masih ada di sini."
"Apa hubungannya tinggi badanku dengan keberadaanku?!" protes Vania lagi sambil menepis tangan Jonathan yang mengacak rambutnya.
Aku melerai mereka. "Sudahlah, jangan mengerjai Vania terus~"
"Dengar tuh apa kata Freya!" ucap Vania.
Tanpa aba-aba, Vania memelukku dengan erat. Aku tersentak kaget lalu tertawa kecil dan merapikan rambut Vania yang berantakan. Kulihat Jonathan yang duduk di samping kananku tersenyum miring dan menghembuskan napas kesal.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan persiapan untuk kontes fashion show mu nanti, Freya?" tanya Vania yang kini sudah melepaskan pelukannya dariku.
Aku mengangkat bahuku dan menjawab, "Entahlah, kamu 'kan sudah tahu kalau selera fashion ku itu buruk. Kenapa pula waktu itu kamu menunjukku untuk mewakili kelas kita?"
"Habisnya kamu yang punya bentuk tubuh paling ideal di kelas; tinggi, tidak terlalu kurus dan tidak gemuk juga," jawab Vania. Mata hitamnya bergantian menatapku dan badannya sendiri.
"Plus wajahnya Freya cantik," tambah Jonathan.
"Ya, wajahnya Freya cantik, tetapi wajahku juga tidak kalah cantik!" ujar Vania tidak mau kalah.
"Kata cantik tidak cocok untukmu. Kamu lebih cocok disebut imut," sanggah Jonathan sambil mencengkeram kedua pipi Vania dengan telapak tangannya yang besar.
"Weh, lepashin tanganmuh!" perintah Vania dengan suara yang kurang jelas.
Jonathan melepaskan cengkeramannya dari pipi Vania sambil tertawa lepas. Vania memegangi pipinya sendiri dan menatap tajam lelaki yang duduk di samping kananku. Aku dapat melihat percikan listrik dari mata mereka yang saling bertatapan.
Vania mengalihkan pandangannya ke arahku. "Freya, sore ini kamu tidak sibuk, kan? Ayo ke mall! Kita beli baju buat lomba fashion show mu!"
"Oke~" Aku menganggukkan kepalaku menerima ajakannya.
"Aku ikut!" seru Jonathan sambil mengangkat tinggi tangan kanannya.
"Cowok tidak usah ikut! Tahu apa kamu tentang fashion cewek?" balas Vania sambil menyilangkan tangannya di dada.
Mereka berdua pun adu mulut dengan sengit. Mereka baru berhenti ketika guru SBK memasuki ruangan kelas ini. Akhirnya keadaan kembali tenang dan aku bisa terbebas dari kedua extrovert itu.
Bel pulangan berdering, menggema ke seisi ruangan kelas. Semua murid berdiri dari kursinya dan mengucapkan terima kasih kepada guru yang baru saja mengajari mereka. Kelas yang tadinya hanya diisi dengan suara guru, kini kelas bising dengan suara siswa dan siswi yang kelelahan."Sumpah, tadi pak Mulyadi seram banget pas nunjuk aku buat kerjakan pertanyaannya di papan tulis," gerutu seseorang yang suaranya terdengar sangat dekat denganku.Sontak aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Jonathan berdiri di belakangku. Dia memegangi punggung kursiku dan membungkukkan badannya sehingga wajah kami berdekatan. Aku jadi salah tingkah dan menarik badanku menjauh darinya.Sekilas kulihat dia tersenyum kepadaku sebelum menjauhkan wajahnya dariku dan melanjutkan keluh kesahnya. "Padahal aku duduk hampir di paling belakang, bisa-bisanya dia melihatku dan menunjukku!"Vania menertawai Jonathan dan mengejeknya. "Kamu lagi apes kali. Aku sama Freya aja tidak ditunj
Kulangkahkan kakiku melalui lorong yang menghubungkan banyak kelas. Kulihat dekorasi warna-warni yang menghiasi semua kelas dengan tema yang berbeda-beda. Murid-murid mengenakan pakaian bebas, berlalu-lalang mengunjungi stand bazaar kelas lain.Kudengar seseorang memanggil namaku dengan suara nyaring. Kulihat sebuah tangan melambai-lambai di depan sana. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena dia tenggelam di antara siswa-siswi yang lebih tinggi daripada dia. Namun, aku tahu siapa yang memanggilku dari suaranya.Kuhampiri dia dan menyapanya. "Vania~ Selamat pagi~""Selamat pagi, Freya!" sahutnya sambil tersenyum lebar."Tumben kamu datang lebih cepat dariku," ujarku sambil melihat jam pada layar telepon pintarku yang menunjukkan pukul 07.11."Tentu saja aku harus datang cepat! Aku 'kan harus mendandani kamu untuk lomba fashion show mu!" balasnya sambil menyibakkan rambutnya yang bertengger pada bahunya ke belakang.Tanpa aba-aba, dia menarik
Semua orang berebutan ingin melihat jari kakiku yang 'unik'. Sesudah melihatnya, mereka langsung menatapku dengan jijik atau takut lalu saling berbisik kepada satu dengan yang lainnya.Aku berusaha menggerakkan tubuhku yang mematung saking syoknya. Aku ingin kabur dari sini. Masa bodoh dengan lomba fashion show, lebih baik aku segera menghilang dari hadapan mereka. Kubalikkan badanku dan melangkah menuju balik panggung dengan cepat.Akan tetapi, aku tersandung di permukaan yang datar ini karena sangat panik. Aku ambruk di atas panggung yang dilapisi oleh karpet berwarna biru tua. Suara bisikan orang-orang yang menontonku semakin terdengar jelas di telingaku."Ternyata si Freya cacat, ya.""Ini pertama kalinya aku melihat orang berjari 11."Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Aku ingin keluar dari sini secepatnya. Namun, kedua kaki dan tanganku mengkhianatiku. Mereka sama sekali tidak dapat kugerakkan. Rasanya ada lem yang membuat lengan dan lutut
Rambutku semakin ditarik oleh Celestine. Rasanya rambutku akan tercabut sampai ke akar-akarnya. Aku tak kalah menarik rambut Celestine hingga membuatnya menjerit kesakitan. "Dasar cewek gila!" umpatnya kepadaku. "Guys, jangan nonton saja! Tolong aku melepaskan cewek gila ini!" Dia berteriak meminta tolong kepada anggota gengnya. Empat siswi yang tadi hanya menonton dan merekam aksi jambak-jambakkan kami mulai membantu Celestine. Mereka memisahkan aku dari pemimpin geng mereka. Aku didorong hingga terjungkal ke belakang. Punggungku menabrak kaki meja yang keras di belakangku. Aku merintih dan memegangi punggungku yang sakit. Kulihat di lantai ada bayangan besar bergerak mendekatiku. Aku mengangkat wajahku dan mendapati Celestine beserta kawan-kawannya berdiri di depanku bagaikan tembok yang sulit ditembus. Celestine berjongkok di depanku dan menyisir rambutnya yang berantakan ke belakang dengan jarinya. Celestine mengangkat tangan kanannya dan
Vania dan Jonathan masih tidak meresponsku. Mereka hanya menatapku dengan tatapan yang tidak mengenakan. Tak lama kemudian, Vania membalikkan badannya dan melangkah keluar dari ruangan ini. Melihatnya yang akan pergi meninggalkanku tanpa menolongku membuatku secara tanpa sadar berlari menghampirinya. Kedua kakiku bergerak dengan sendirinya menuju kemana Vania melangkah. Orang-orang yang menghalangi jalan langsung membukakan jalan untukku. "Tunggu, Vania ...!" panggilku dengan putus asa. Begitu aku berhasil mengejarnya, aku meraih tangan kirinya dan menggenggamnya dengan erat. Namun, dia menyibakkan tangannya dengan kasar sehingga genggamanku terlepas darinya. Harapan yang bersinar di depanku langsung lenyap saat dia melepaskan tanganku. Aku berdiri mematung di sampingnya. Tanganku yang disibakkan olehnya membeku di udara. Saat aku melihat tatapan matanya yang menatapku, jantungku terasa seperti berhenti berdetak selama sesaat. "Vania ... aku m
Aku duduk di bangku halte dan berpura-pura tidak mendengar suara bisikan dari orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka pikir aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, padahal sebenarnya aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.Aku memandang dua siswi yang asik saling berbisik satu sama lain, mengomongi jari kakiku. Setelah mereka jauh sehingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi, aku menurunkan pandanganku ke kedua kakiku.Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. 'Memangnya kenapa kalau aku punya 11 jari kaki? Apa itu sangat aneh sampai-sampai semua orang sibuk membahas jari kakiku?'Terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber bunyi. Kudapati sebuah motor berhenti tepat di depanku. Aku langsung tahu siapa orang yang mengendarai motor itu; papa.Aku pun bangkit dari bangku yang kududuki lalu menghampiri papa. Dia memberikan aku sebuah helm berwarna putih dengan c
Sinar matahari pagi menyeruak masuk menembus gorden pink. Sontak aku mengernyitkan mataku secara spontan. Silau sekali. Rasa kantukku langsung menghilang berkat sambutan yang menyilaukan dari Sang Surya.Aku merenggangkan badanku yang kaku dan lesu setelah bangun dari tidur. Terdengar bunyi 'kretek' dari tulang punggungku saat aku melakukan perenggangan badan. Rasa nyaman langsung menyebar ke sekujur tubuhku, punggungku tidak pegal lagi.Kuambil telepon pintarku yang tergeletak di atas nakas dan menyalakannya. Aku mengecek jam yang tampil pada layar benda pipih itu, jam menunjukkan pukul 06.09. Masih ada 1 jam 21 menit sebelum gerbang sekolah ditutup.Kumatikan teleponku dan bergumam, "Aku tidak mau ke sekolah ...."Aku meletakkan telepon pintarku di tempatnya semula; di atas nakas. Kutarik selimutku dan memejamkan kedua mataku, mencoba tidur lagi walaupun kedua mataku sudah sangat segar sekarang."Aku tidak mau ke sekolah ... aku takut dibuli oleh
Aku berpamitan dengan papa sebelum turun dari mobil. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Pada akhirnya aku datang ke tempat yang tak kuinginkan untuk didatangi.Kakak laki-lakiku berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Sosoknya semakin menjauh hingga menghilang di balik gedung SMA yang berhadapan dengan gedung SMP. Padahal biasanya kami berjalan berdampingan, tetapi kali ini dia meninggalkanku sehingga aku berjalan seorang diri.Saat aku menginjakkan kakiku di gedung SMP, kudapati siswa-siswi yang berlalu-lalang saling berbisik sambil melirikku dengan sinis. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bisikkan karena suaranya kecil. Namun, kurang lebih aku tahu apa yang mereka omongkan; pasti tentang jari kakiku.Aku melangkah menuju tangga sambil menurunkan pandanganku. Aku tidak sanggup melihat tatapan sinis dari orang lain. Tatapan mereka yang menatapku dengan merendahkan dan jijik membuat kepercayaan diriku menyusut hingga tak