Share

Life Hates Me
Life Hates Me
Penulis: V I L

Bab 1

Penulis: V I L
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-20 16:04:20

Pagi ini langit berwarna biru cerah dan sedikit berawan. Tanaman hijau yang asri menghiasi sekitar jalan setapak yang dilalui banyak orang dengan seragam sama persis. Mereka adalah murid SMP Bibit Kasih, termasuk aku.

Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah tepukan yang tidak begitu keras pada ransel yang menggantung pada punggungku. Aku pun membalikkan badanku ke belakang untuk melihat siapa yang menepuk ranselku.

"Freya! Selamat pagi!" sapa seorang gadis seumuranku yang tingginya 10 cm lebih pendek dariku. Dia memiliki rambut hitam bergelombang dan memiliki kulit yang jauh lebih putih daripada aku. Senyuman lebar terpasang pada bibir merah mudanya.

"Vania~ Tumben hari ini kamu datang cepat," sahutku sambil membalas tepukannya pada ransel merah mudanya. Vania adalah sahabatku. Sudah 2 tahun kami bersahabat, yaitu sejak kelas 7.

"Ya, hari ini aku bangun lebih awal karena salah satu anak perempuannya mamaku mengamuk gara-gara ada yang memakan kuenya. Menyebalkan banget deh tuh anak," kesalnya.

"Bisa-bisanya kamu mengatai kakakmu begitu, padahal dia lebih tua darimu," komentarku sambil tertawa kecil.

Vania mendengus kesal dan membalasku. "Percuma lebih tua dariku kalau sikapnya kekanakan."

Tawaku semakin tak tertahankan saat mendengar perkataannya. 'Dia tidak sadar kalau sikapnya tak jauh kekanakan dari kakaknya.'

Tiba-tiba Vania tersandung sesuatu dan terjatuh ke depan. Sebelum aku menangkapnya, seseorang yang berada di belakang menangkap dia terlebih dahulu sehingga dia tidak jadi terjerembab.

"Selamat pagi, Vania!" sapa orang yang menangkap Vania. Lelaki itu sedikit membungkukkan badannya untuk menyesuaikan tingginya dengan Vania yang pendek.

"Jonathan? Kamu gila, ya?! Siapa yang menyapa orang lain dengan cara seperti itu!" seru Vania setelah menstabilkan pijakannya.

"Selamat pagi juga untukmu, Freya~" Jonathan mengabaikan Vania dan menyapaku.

"Hai~" sahutku singkat. Jonathan juga adalah sahabatku. Vania yang mengenalkannya denganku dan kami bertiga pun bersahabat sampai sekarang. Terkadang energiku terkuras karena bersahabat dengan duo extrovert itu.

"Wow, Kamu mengabaikanku yang hampir mencium jalanan dan malah menyapa Freya?! Dasar pilih kasih! Dimana keadilan untukku?!" protes Vania yang mengundang tawaku dan Jonathan.

Jonathan mencolek-colek pipi tembamnya Vania. "Kenapa? Kamu mau aku bersikap lebih baik denganmu? Oke~ Hamba meminta pengampunan kepada yang mulia Ratu Cebol dan bersumpah akan bersikap lebih baik lagi~"

"Hentikan itu, dasar gila!" Vania menepis jari telunjuknya Jonathan.

Jonathan berhenti mengganggu Vania dan bertanya, "Ngomong-ngomong, kalian sudah mengerjakan PR Matematika?"

"Aku sudah kerjakan dari waktu pak Mulyadi kasih tuh PR." Aku menyombongkan diriku karena bisa menyelesaikan PR itu di hari yang sama pekerjaan rumah itu diberikan.

"Wow, seperti yang diharapkan dari Freya; selalu mengerjakan PR secepat mungkin tanpa menunda-nunda~" puji Jonathan.

"Kalau begitu, nanti ajari aku bagian yang tidak kumengerti. Sebagai gantinya, aku akan membelikan minuman untukmu. Bagaimana menurutmu?" lanjutnya bertanya kepadaku.

"Oke~ Aku akan memilih yang paling mahal, tidak apa-apa, kan?" balasku yang dibalas dengan isyarat tangan 'OK'.

"Apa kamu sudah mengerjakan PR mu, Vania?" tanyaku pada gadis yang berjalan di samping kiriku.

"Jelas sudah dong!" jawabnya dengan bersemangat dan mengangkat tinggi tangan kanannya. Aku sudah menduga jawaban darinya. Dia juga anak rajin sepertiku dan jauh lebih pintar daripada aku dan Jonathan.

Kami berjalan menuju kelas bersama-sama sambil bercanda gurau. Tidak biasanya kami berbarengan saat berjalan menuju kelas karena biasanya aku duluan datang, lalu disusul oleh Jonathan, dan kemudian Vania. Waktu terasa berlalu dengan cepat selagi melangkah sambil mengobrol dengan sahabat.

Di kelas, Vania dan Jonathan menarik kursinya ke mejaku. Aku mengajari bagian yang tidak dipahami oleh Jonathan. Terkadang Vania membantuku menjelaskan materinya kalau Jonathan masih tidak mengerti dengan penjelasanku.

"Apa kamu mengerti?" tanyaku pada Jonathan.

"Uh ... begini, kan?" jawabnya kurang yakin.

Aku mengoreksi jawabannya. "Ya, betul."

"Hore! Akhirnya selesai!" seru Jonathan sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang lucu.

Jonathan menurunkan kedua tangannya dan meletakkan lengannya di meja. "Penjelasanmu lebih mudah dipahami daripada waktu pak Mulyadi menjelaskan. Sepertinya aku harus sering-sering bertanya kepadamu kalau ada yang tidak kumengerti~"

"Boleh, tetapi ingat, seleraku mahal lho," balasku sambil tertawa kecil.

"Kamu ... kamu orangnya suka mengatakan hal mengerikan sambil tersenyum, ya?" tanya Jonathan sambil memeluk dirinya sendiri.

Vania berdeham sehingga perhatianku dan Jonathan tertuju ke arahnya. "Kalian tidak lupa kalau aku masih ada di sini, kan?

"Selain itu, aku juga membantu Freya mengajarimu! Kenapa kamu tidak memujiku juga?!" protes Vania sambil menunjuk-nunjuk Jonathan.

Jonathan tertawa dan mengacak-acak rambut Vania. "Maaf~ Kamu terlalu pendek, makanya aku sampai tidak sadar kalau kamu masih ada di sini."

"Apa hubungannya tinggi badanku dengan keberadaanku?!" protes Vania lagi sambil menepis tangan Jonathan yang mengacak rambutnya.

Aku melerai mereka. "Sudahlah, jangan mengerjai Vania terus~"

"Dengar tuh apa kata Freya!" ucap Vania.

Tanpa aba-aba, Vania memelukku dengan erat. Aku tersentak kaget lalu tertawa kecil dan merapikan rambut Vania yang berantakan. Kulihat Jonathan yang duduk di samping kananku tersenyum miring dan menghembuskan napas kesal.

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan persiapan untuk kontes fashion show mu nanti, Freya?" tanya Vania yang kini sudah melepaskan pelukannya dariku.

Aku mengangkat bahuku dan menjawab, "Entahlah, kamu 'kan sudah tahu kalau selera fashion ku itu buruk. Kenapa pula waktu itu kamu menunjukku untuk mewakili kelas kita?"

"Habisnya kamu yang punya bentuk tubuh paling ideal di kelas; tinggi, tidak terlalu kurus dan tidak gemuk juga," jawab Vania. Mata hitamnya bergantian menatapku dan badannya sendiri.

"Plus wajahnya Freya cantik," tambah Jonathan.

"Ya, wajahnya Freya cantik, tetapi wajahku juga tidak kalah cantik!" ujar Vania tidak mau kalah.

"Kata cantik tidak cocok untukmu. Kamu lebih cocok disebut imut," sanggah Jonathan sambil mencengkeram kedua pipi Vania dengan telapak tangannya yang besar.

"Weh, lepashin tanganmuh!" perintah Vania dengan suara yang kurang jelas.

Jonathan melepaskan cengkeramannya dari pipi Vania sambil tertawa lepas. Vania memegangi pipinya sendiri dan menatap tajam lelaki yang duduk di samping kananku. Aku dapat melihat percikan listrik dari mata mereka yang saling bertatapan.

Vania mengalihkan pandangannya ke arahku. "Freya, sore ini kamu tidak sibuk, kan? Ayo ke mall! Kita beli baju buat lomba fashion show mu!"

"Oke~" Aku menganggukkan kepalaku menerima ajakannya.

"Aku ikut!" seru Jonathan sambil mengangkat tinggi tangan kanannya.

"Cowok tidak usah ikut! Tahu apa kamu tentang fashion cewek?" balas Vania sambil menyilangkan tangannya di dada.

Mereka berdua pun adu mulut dengan sengit. Mereka baru berhenti ketika guru SBK memasuki ruangan kelas ini. Akhirnya keadaan kembali tenang dan aku bisa terbebas dari kedua extrovert itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Life Hates Me   Bab 119

    'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM

  • Life Hates Me   Bab 118

    “Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti

  • Life Hates Me   Bab 117

    "Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer

  • Life Hates Me   Bab 116

    Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di

  • Life Hates Me   Bab 115

    Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba

  • Life Hates Me   Bab 114

    Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status