Kulangkahkan kakiku melalui lorong yang menghubungkan banyak kelas. Kulihat dekorasi warna-warni yang menghiasi semua kelas dengan tema yang berbeda-beda. Murid-murid mengenakan pakaian bebas, berlalu-lalang mengunjungi stand bazaar kelas lain.
Kudengar seseorang memanggil namaku dengan suara nyaring. Kulihat sebuah tangan melambai-lambai di depan sana. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena dia tenggelam di antara siswa-siswi yang lebih tinggi daripada dia. Namun, aku tahu siapa yang memanggilku dari suaranya.
Kuhampiri dia dan menyapanya. "Vania~ Selamat pagi~"
"Selamat pagi, Freya!" sahutnya sambil tersenyum lebar.
"Tumben kamu datang lebih cepat dariku," ujarku sambil melihat jam pada layar telepon pintarku yang menunjukkan pukul 07.11.
"Tentu saja aku harus datang cepat! Aku 'kan harus mendandani kamu untuk lomba fashion show mu!" balasnya sambil menyibakkan rambutnya yang bertengger pada bahunya ke belakang.
Tanpa aba-aba, dia menarik tanganku dan menyeretku masuk ke dalam kelas kami. Teman-teman yang lain menyapaku dan memuji gaun merah yang kukenakan.
"Pagi, Freya~ Gaunmu bagus. Beli dimana?"
"Gaun dan orangnya sama-sama cantik banget. Kali ini kelas kita pasti akan memenangkan lomba fashion show!"
Di antara banyaknya pujian yang kuterima, ada satu orang yang merendahkanku. "Kalian berlebihan deh. Menurutku gaunnya biasa saja dan mukanya juga pas-pasan."
Aku menghentikan langkah kakiku secara spontan. Aku menoleh ke arah orang yang merendahkanku. Seorang siswi duduk di atas meja sambil menyilangkan kakinya. Dia adalah Celestine. Dia duduk bersama empat siswi lain yang merupakan anggota gengnya.
"Abaikan saja dia, palingan dia iri sama kamu!" ujar Vania sambil menarik tanganku lagi.
Aku duduk di kursi yang berada di pojok belakang. Vania bersama beberapa siswi lain mendandani wajahku dan menata rambutku. Selagi mereka membantuku mempersiapkan diri untuk lomba fashion show, kulihat Jonathan baru saja memasuki ruangan ini.
Dia melirik ke arahku dan langsung menghampiriku. "Freya, kamu cantik sekali!"
"Hush, pergi sana. Bikin sempit tempat saja," usir Vania yang sedang mengepang rambutku.
Aku tertawa kecil melihat mereka adu mulut. Padahal masih pagi dan kelas sedang sibuk mempersiapkan bazaar ataupun peserta lomba, mereka masih saja bertengkar tanpa mengenal tempat dan waktu.
"Ngomong-ngomong, kamu akan memakai sneaker putih itu untuk fashion show nanti?" tanya Jonathan kepadaku.
"Tidak, nanti aku akan menggantinya sebelum nomorku dipanggil," jawabku santai.
"Hee? Kenapa tidak pakai sekarang saja?" tanya Vania heran.
Aku tertawa gugup dan menjawab. "Aku tidak nyaman kalau memakainya sekarang."
Aku sudah menduga mereka akan menanyakan perihal alas kakiku. Meskipun aku sudah mempersiapkan jawaban untuk menangkal pertanyaan mereka, aku masih saja gugup, takut kalau mereka malah semakin curiga.
Terjadi keheningan yang mencanggungkan. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun lagi. Aku ingin memecahkan keheningan di antara kami, tetapi aku tidak tahu harus mengatakan apa. Suaraku tertahan di tenggorokanku dan tidak mau keluar.
"Oh, ya, ada yang bisa kubantu tidak?" tanya Jonathan emmecahkan keheningan.
"Tidak ada. Memangnya laki-laki tahu berdandan atau menata rambut?" balas Vania dengan sinis sehingga membuatku tertawa kecil.
Jonathan mengangkat tangan kanannya dan menjitak Vania yang berdiri di belakangku. "Dasar, aku sakit hati tahu dengarnya!"
Suasana tidak lagi canggung dan kembali ceria seperti sebelumnya berkat duo extrovert ini. Tidak terasa beberapa menit sudah berlalu, Vania dan siswi lainnya selesai mendadaniku. Aku memegangi cermin kecil di tanganku dan memandang wajahku yang bagaikan orang lain.
"Siapa kamu? Kamu bukan Freya, kan?!" tanya Vania sambil menunjukku dengan jari telunjuknya.
Aku tertawa lepas dan menjawabnya. "Apa maksudmu? Aku Freya Renata yang kamu kenal sejak kelas 7."
Jonathan ikut tertawa dan menimpali perkataanku dan Vania. "Kamu terlalu cantik sampai-sampai Vania mengenalimu lagi."
Aku berusaha menenangkan diriku agar berhenti tertawa. Tidak hanya Vania yang sampai tidak mengenaliku setelah didandani, sekarang aku pun tidak kenal dengan wajahku sendiri. 'Inikah yang disebut-sebut sebagai kekuatan make up?'
Kukeluarkan telepon pintarku dan mengecek jam. Jam menunjukkan pukul 07.41, itu artinya tersisa 19 menit sebelum perlombaan dimulai. Sepertinya aku harus ke tempat lomba sekarang.
"Eh, kamu mau kemana?" tanya Vania saat melihatku tiba-tiba bangkit dari kursi.
"Ke auditorium," jawabku sambil menenteng tas selempangku.
"Hee? Cepatnya! Mending kita jajan dulu!" protes Vania.
Tanpa aba-aba, Jonathan mencubit pinggang Vania sehingga gadis itu memekik kesakitan atau geli. "Dia mana bisa makan sekarang. Nanti lipstiknya luntur!"
"Apa yang dibilang Jonathan ada betulnya. Aku akan jajan nanti setelah tampil," timpalku.
Vania mengerucutkan bibirnya karena tidak jadi jajan sekarang. Dia menyerah dan akhirnya memutuskan untuk mengikutiku ke auditorium. Jonathan dan teman sekelas lainnya ikut ke auditorium untuk menyemangatiku. Daripada menyemangatiku, sebenarnya mereka malah membuatku tambah gugup.
.
.
.
Aku menunggu di balik panggung bersama dengan peserta lain yang masih belum tampil. Rasanya gugup sekali saat melihat peserta yang lain dipanggil untuk tampil. Nomorku sudah semakin dekat. Sebentar lagi aku akan tampil.
Aku membuka resleting tas selempangku. Kudapati sepasang sandal berwarna merah yang berhiaskan manik-manik dengan warna senada. Aku menggigit bibir bawahku. Sebenarnya aku tidak ingin mengenakan sandal ini, tetapi mama menyuruhku untuk memakainya karena katanya sepatu tidak akan cocok dengan gaun ini.
"Semoga mereka tidak menyadarinya ...," gumamku sambil menghembuskan napas frustrasi.
Kudengar nomor urut dan namaku dipanggil untuk tampil. Cepat-cepat kulepaskan sepatuku dan mengenakan sandal merah ini. Kumasukkan sepasang sepatu yang tadi kupakai ke dalam tas selempangku.
"Nomor 22, Freya Renata." Sekali lagi namaku dipanggil. Aku pun bergegas melangkah untuk menampakkan diriku.
Begitu aku keluar dari balik tirai, aku disambut oleh ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan lomba ini beserta juri yang menilai. Kulangkahkan kakiku dengan penuh percaya diri dan elegan. Kuhentikan langkahku tepat di depan juri dan memamerkan pakaianku.
Tiba-tiba seseorang berteriak, "Hei, lihat! Jari kakinya ada 11!"
Seketika itu aku membeku. Aku tidak dapat bergerak dan hanya bisa melihat orang-orang yang berdiri di bawah panggung berusaha mendekat agar dapat melihat jari kakiku dengan lebih jelas. Suara kehebohan mereka menggema di dalam liang telingaku.
Aku menyipitkan mataku saat cahaya yang menyilaukan menerpaku. Para juri mengeluarkan kameranya dan memotretku, lebih tepatnya jari kakiku yang jumlahnya berbeda dari mereka. Suara bisikan mengikuti bunyi jepretan kamera.
"Kok bisa jari kakinya ada 11?"
"Ngeri ah, kayak monster."
Masih banyak lagi kata-kata menyakitkan yang kudengar. Aku mengangkat kedua tanganku yang bergetar untuk menutupi telingaku supaya tidak bisa mendengar perkataan mereka lagi. Namun, usahaku sia-sia karena aku masih bisa mendengar kata-kata menyakitkan mereka dengan sangat jelas.
Kaki kiriku melangkah mundur secara spontan. Jantungku berdebar-debar dengan kencang dan napasku mulai tak beraturan. 'Tidak ... kenapa jadi begini?'
Semua orang berebutan ingin melihat jari kakiku yang 'unik'. Sesudah melihatnya, mereka langsung menatapku dengan jijik atau takut lalu saling berbisik kepada satu dengan yang lainnya.Aku berusaha menggerakkan tubuhku yang mematung saking syoknya. Aku ingin kabur dari sini. Masa bodoh dengan lomba fashion show, lebih baik aku segera menghilang dari hadapan mereka. Kubalikkan badanku dan melangkah menuju balik panggung dengan cepat.Akan tetapi, aku tersandung di permukaan yang datar ini karena sangat panik. Aku ambruk di atas panggung yang dilapisi oleh karpet berwarna biru tua. Suara bisikan orang-orang yang menontonku semakin terdengar jelas di telingaku."Ternyata si Freya cacat, ya.""Ini pertama kalinya aku melihat orang berjari 11."Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Aku ingin keluar dari sini secepatnya. Namun, kedua kaki dan tanganku mengkhianatiku. Mereka sama sekali tidak dapat kugerakkan. Rasanya ada lem yang membuat lengan dan lutut
Rambutku semakin ditarik oleh Celestine. Rasanya rambutku akan tercabut sampai ke akar-akarnya. Aku tak kalah menarik rambut Celestine hingga membuatnya menjerit kesakitan. "Dasar cewek gila!" umpatnya kepadaku. "Guys, jangan nonton saja! Tolong aku melepaskan cewek gila ini!" Dia berteriak meminta tolong kepada anggota gengnya. Empat siswi yang tadi hanya menonton dan merekam aksi jambak-jambakkan kami mulai membantu Celestine. Mereka memisahkan aku dari pemimpin geng mereka. Aku didorong hingga terjungkal ke belakang. Punggungku menabrak kaki meja yang keras di belakangku. Aku merintih dan memegangi punggungku yang sakit. Kulihat di lantai ada bayangan besar bergerak mendekatiku. Aku mengangkat wajahku dan mendapati Celestine beserta kawan-kawannya berdiri di depanku bagaikan tembok yang sulit ditembus. Celestine berjongkok di depanku dan menyisir rambutnya yang berantakan ke belakang dengan jarinya. Celestine mengangkat tangan kanannya dan
Vania dan Jonathan masih tidak meresponsku. Mereka hanya menatapku dengan tatapan yang tidak mengenakan. Tak lama kemudian, Vania membalikkan badannya dan melangkah keluar dari ruangan ini. Melihatnya yang akan pergi meninggalkanku tanpa menolongku membuatku secara tanpa sadar berlari menghampirinya. Kedua kakiku bergerak dengan sendirinya menuju kemana Vania melangkah. Orang-orang yang menghalangi jalan langsung membukakan jalan untukku. "Tunggu, Vania ...!" panggilku dengan putus asa. Begitu aku berhasil mengejarnya, aku meraih tangan kirinya dan menggenggamnya dengan erat. Namun, dia menyibakkan tangannya dengan kasar sehingga genggamanku terlepas darinya. Harapan yang bersinar di depanku langsung lenyap saat dia melepaskan tanganku. Aku berdiri mematung di sampingnya. Tanganku yang disibakkan olehnya membeku di udara. Saat aku melihat tatapan matanya yang menatapku, jantungku terasa seperti berhenti berdetak selama sesaat. "Vania ... aku m
Aku duduk di bangku halte dan berpura-pura tidak mendengar suara bisikan dari orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka pikir aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, padahal sebenarnya aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.Aku memandang dua siswi yang asik saling berbisik satu sama lain, mengomongi jari kakiku. Setelah mereka jauh sehingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi, aku menurunkan pandanganku ke kedua kakiku.Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. 'Memangnya kenapa kalau aku punya 11 jari kaki? Apa itu sangat aneh sampai-sampai semua orang sibuk membahas jari kakiku?'Terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber bunyi. Kudapati sebuah motor berhenti tepat di depanku. Aku langsung tahu siapa orang yang mengendarai motor itu; papa.Aku pun bangkit dari bangku yang kududuki lalu menghampiri papa. Dia memberikan aku sebuah helm berwarna putih dengan c
Sinar matahari pagi menyeruak masuk menembus gorden pink. Sontak aku mengernyitkan mataku secara spontan. Silau sekali. Rasa kantukku langsung menghilang berkat sambutan yang menyilaukan dari Sang Surya.Aku merenggangkan badanku yang kaku dan lesu setelah bangun dari tidur. Terdengar bunyi 'kretek' dari tulang punggungku saat aku melakukan perenggangan badan. Rasa nyaman langsung menyebar ke sekujur tubuhku, punggungku tidak pegal lagi.Kuambil telepon pintarku yang tergeletak di atas nakas dan menyalakannya. Aku mengecek jam yang tampil pada layar benda pipih itu, jam menunjukkan pukul 06.09. Masih ada 1 jam 21 menit sebelum gerbang sekolah ditutup.Kumatikan teleponku dan bergumam, "Aku tidak mau ke sekolah ...."Aku meletakkan telepon pintarku di tempatnya semula; di atas nakas. Kutarik selimutku dan memejamkan kedua mataku, mencoba tidur lagi walaupun kedua mataku sudah sangat segar sekarang."Aku tidak mau ke sekolah ... aku takut dibuli oleh
Aku berpamitan dengan papa sebelum turun dari mobil. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Pada akhirnya aku datang ke tempat yang tak kuinginkan untuk didatangi.Kakak laki-lakiku berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Sosoknya semakin menjauh hingga menghilang di balik gedung SMA yang berhadapan dengan gedung SMP. Padahal biasanya kami berjalan berdampingan, tetapi kali ini dia meninggalkanku sehingga aku berjalan seorang diri.Saat aku menginjakkan kakiku di gedung SMP, kudapati siswa-siswi yang berlalu-lalang saling berbisik sambil melirikku dengan sinis. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bisikkan karena suaranya kecil. Namun, kurang lebih aku tahu apa yang mereka omongkan; pasti tentang jari kakiku.Aku melangkah menuju tangga sambil menurunkan pandanganku. Aku tidak sanggup melihat tatapan sinis dari orang lain. Tatapan mereka yang menatapku dengan merendahkan dan jijik membuat kepercayaan diriku menyusut hingga tak
Bel masukan berbunyi. Semua murid yang berada di luar berbondong-bondong memasuki kelasnya. Kulihat Vania dan Jonathan memasuki ruangan ini bersama-sama dan duduk di kursinya masing-masing.Sebelum Vania duduk di kursinya, dia berdiri di tempat kosong yang berada di sisi kanan mejanya, yang tak lain adalah tempatku duduk sebelumnya. Dia terlihat bengong karena teman sebangkunya menghilang berserta dengan meja kursinya.Saat dia mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan, mata kami saling bertemu. Tampak jelas keterkejutan di dalam mata hitamnya. Sedetik kemudian, pandangan terkejut itu berubah menjadi pandangan kecewa.Kurasakan hatiku seperti ditusuk jarum saat melihat tatapannya yang seperti dikhianati oleh orang terpercayanya. Aku pun bangkit dari kursiku dan hendak menghampirinya untuk menjelaskan kenapa aku pindah ke sini, tetapi rencanaku hanya menjadi wacana."Berdiri," ucap seseorang sehingga semua siswa dan siswi yang tadinya duduk langsung ba
Bel istirahat berbunyi. Semua murid bersorak gembira karena pelajaran telah berakhir dan bisa istirahat selama setengah jam. Para siswa-siswi yang kelaparan beranjak dari kelas dan pergi ke kantin untuk makan, tak terkecuali diriku. Kali ini aku pergi ke kantin sendirian, padahal biasanya aku akan pergi bersama Vania dan Jonathan. Selama aku berjalan, aku mendapatkan tatapan sinis dan bisikan dari orang-orang di sekitar. Tak hanya murid SMP saja yang mengomongiku, murid SMA pun ikut mengomongiku. "Itu 'kan yang jari kakinya 11?" "Iya, kalau tidak salah itu adiknya Alexander." Aku merasa bersalah karena kakak jadi ikut diomongi. Kupercepat langkah kakiku agar cepat sampai di kantin. Begitu aku memasuki gedung kantin, puluhan pasang mata tertuju kepadaku, diikuti dengan bisikan yang tak mengenakan. Aku berusaha mengabaikan mereka dan memesan makananku. Setelah mendapatkan makanan dan minumanku, aku berjalan mencari meja kosong. Saat tengah menge