Share

Bab 3

Kulangkahkan kakiku melalui lorong yang menghubungkan banyak kelas. Kulihat dekorasi warna-warni yang menghiasi semua kelas dengan tema yang berbeda-beda. Murid-murid mengenakan pakaian bebas, berlalu-lalang mengunjungi stand bazaar kelas lain.

Kudengar seseorang memanggil namaku dengan suara nyaring. Kulihat sebuah tangan melambai-lambai di depan sana. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena dia tenggelam di antara siswa-siswi yang lebih tinggi daripada dia. Namun, aku tahu siapa yang memanggilku dari suaranya.

Kuhampiri dia dan menyapanya. "Vania~ Selamat pagi~"

"Selamat pagi, Freya!" sahutnya sambil tersenyum lebar.

"Tumben kamu datang lebih cepat dariku," ujarku sambil melihat jam pada layar telepon pintarku yang menunjukkan pukul 07.11.

"Tentu saja aku harus datang cepat! Aku 'kan harus mendandani kamu untuk lomba fashion show mu!" balasnya sambil menyibakkan rambutnya yang bertengger pada bahunya ke belakang.

Tanpa aba-aba, dia menarik tanganku dan menyeretku masuk ke dalam kelas kami. Teman-teman yang lain menyapaku dan memuji gaun merah yang kukenakan.

"Pagi, Freya~ Gaunmu bagus. Beli dimana?"

"Gaun dan orangnya sama-sama cantik banget. Kali ini kelas kita pasti akan memenangkan lomba fashion show!"

Di antara banyaknya pujian yang kuterima, ada satu orang yang merendahkanku. "Kalian berlebihan deh. Menurutku gaunnya biasa saja dan mukanya juga pas-pasan."

Aku menghentikan langkah kakiku secara spontan. Aku menoleh ke arah orang yang merendahkanku. Seorang siswi duduk di atas meja sambil menyilangkan kakinya. Dia adalah Celestine. Dia duduk bersama empat siswi lain yang merupakan anggota gengnya.

"Abaikan saja dia, palingan dia iri sama kamu!" ujar Vania sambil menarik tanganku lagi.

Aku duduk di kursi yang berada di pojok belakang. Vania bersama beberapa siswi lain mendandani wajahku dan menata rambutku. Selagi mereka membantuku mempersiapkan diri untuk lomba fashion show, kulihat Jonathan baru saja memasuki ruangan ini.

Dia melirik ke arahku dan langsung menghampiriku. "Freya, kamu cantik sekali!"

"Hush, pergi sana. Bikin sempit tempat saja," usir Vania yang sedang mengepang rambutku.

Aku tertawa kecil melihat mereka adu mulut. Padahal masih pagi dan kelas sedang sibuk mempersiapkan bazaar ataupun peserta lomba, mereka masih saja bertengkar tanpa mengenal tempat dan waktu.

"Ngomong-ngomong, kamu akan memakai sneaker putih itu untuk fashion show nanti?" tanya Jonathan kepadaku.

"Tidak, nanti aku akan menggantinya sebelum nomorku dipanggil," jawabku santai.

"Hee? Kenapa tidak pakai sekarang saja?" tanya Vania heran.

Aku tertawa gugup dan menjawab. "Aku tidak nyaman kalau memakainya sekarang."

Aku sudah menduga mereka akan menanyakan perihal alas kakiku. Meskipun aku sudah mempersiapkan jawaban untuk menangkal pertanyaan mereka, aku masih saja gugup, takut kalau mereka malah semakin curiga.

Terjadi keheningan yang mencanggungkan. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun lagi. Aku ingin memecahkan keheningan di antara kami, tetapi aku tidak tahu harus mengatakan apa. Suaraku tertahan di tenggorokanku dan tidak mau keluar.

"Oh, ya, ada yang bisa kubantu tidak?" tanya Jonathan emmecahkan keheningan.

"Tidak ada. Memangnya laki-laki tahu berdandan atau menata rambut?" balas Vania dengan sinis sehingga membuatku tertawa kecil.

Jonathan mengangkat tangan kanannya dan menjitak Vania yang berdiri di belakangku. "Dasar, aku sakit hati tahu dengarnya!"

Suasana tidak lagi canggung dan kembali ceria seperti sebelumnya berkat duo extrovert ini. Tidak terasa beberapa menit sudah berlalu, Vania dan siswi lainnya selesai mendadaniku. Aku memegangi cermin kecil di tanganku dan memandang wajahku yang bagaikan orang lain.

"Siapa kamu? Kamu bukan Freya, kan?!" tanya Vania sambil menunjukku dengan jari telunjuknya.

Aku tertawa lepas dan menjawabnya. "Apa maksudmu? Aku Freya Renata yang kamu kenal sejak kelas 7."

Jonathan ikut tertawa dan menimpali perkataanku dan Vania. "Kamu terlalu cantik sampai-sampai Vania mengenalimu lagi."

Aku berusaha menenangkan diriku agar berhenti tertawa. Tidak hanya Vania yang sampai tidak mengenaliku setelah didandani, sekarang aku pun tidak kenal dengan wajahku sendiri. 'Inikah yang disebut-sebut sebagai kekuatan make up?'

Kukeluarkan telepon pintarku dan mengecek jam. Jam menunjukkan pukul 07.41, itu artinya tersisa 19 menit sebelum perlombaan dimulai. Sepertinya aku harus ke tempat lomba sekarang.

"Eh, kamu mau kemana?" tanya Vania saat melihatku tiba-tiba bangkit dari kursi.

"Ke auditorium," jawabku sambil menenteng tas selempangku.

"Hee? Cepatnya! Mending kita jajan dulu!" protes Vania.

Tanpa aba-aba, Jonathan mencubit pinggang Vania sehingga gadis itu memekik kesakitan atau geli. "Dia mana bisa makan sekarang. Nanti lipstiknya luntur!"

"Apa yang dibilang Jonathan ada betulnya. Aku akan jajan nanti setelah tampil," timpalku.

Vania mengerucutkan bibirnya karena tidak jadi jajan sekarang. Dia menyerah dan akhirnya memutuskan untuk mengikutiku ke auditorium. Jonathan dan teman sekelas lainnya ikut ke auditorium untuk menyemangatiku. Daripada menyemangatiku, sebenarnya mereka malah membuatku tambah gugup.

.

.

.

Aku menunggu di balik panggung bersama dengan peserta lain yang masih belum tampil. Rasanya gugup sekali saat melihat peserta yang lain dipanggil untuk tampil. Nomorku sudah semakin dekat. Sebentar lagi aku akan tampil.

Aku membuka resleting tas selempangku. Kudapati sepasang sandal berwarna merah yang berhiaskan manik-manik dengan warna senada. Aku menggigit bibir bawahku. Sebenarnya aku tidak ingin mengenakan sandal ini, tetapi mama menyuruhku untuk memakainya karena katanya sepatu tidak akan cocok dengan gaun ini.

"Semoga mereka tidak menyadarinya ...," gumamku sambil menghembuskan napas frustrasi.

Kudengar nomor urut dan namaku dipanggil untuk tampil. Cepat-cepat kulepaskan sepatuku dan mengenakan sandal merah ini. Kumasukkan sepasang sepatu yang tadi kupakai ke dalam tas selempangku.

"Nomor 22, Freya Renata." Sekali lagi namaku dipanggil. Aku pun bergegas melangkah untuk menampakkan diriku.

Begitu aku keluar dari balik tirai, aku disambut oleh ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan lomba ini beserta juri yang menilai. Kulangkahkan kakiku dengan penuh percaya diri dan elegan. Kuhentikan langkahku tepat di depan juri dan memamerkan pakaianku.

Tiba-tiba seseorang berteriak, "Hei, lihat! Jari kakinya ada 11!"

Seketika itu aku membeku. Aku tidak dapat bergerak dan hanya bisa melihat orang-orang yang berdiri di bawah panggung berusaha mendekat agar dapat melihat jari kakiku dengan lebih jelas. Suara kehebohan mereka menggema di dalam liang telingaku.

Aku menyipitkan mataku saat cahaya yang menyilaukan menerpaku. Para juri mengeluarkan kameranya dan memotretku, lebih tepatnya jari kakiku yang jumlahnya berbeda dari mereka. Suara bisikan mengikuti bunyi jepretan kamera.

"Kok bisa jari kakinya ada 11?"

"Ngeri ah, kayak monster."

Masih banyak lagi kata-kata menyakitkan yang kudengar. Aku mengangkat kedua tanganku yang bergetar untuk menutupi telingaku supaya tidak bisa mendengar perkataan mereka lagi. Namun, usahaku sia-sia karena aku masih bisa mendengar kata-kata menyakitkan mereka dengan sangat jelas.

Kaki kiriku melangkah mundur secara spontan. Jantungku berdebar-debar dengan kencang dan napasku mulai tak beraturan. 'Tidak ... kenapa jadi begini?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status