Share

Bab III: Pesta Para Serigala Hutan

Tahukah kamu bahwa ketika Iblis jatuh cinta, dia justru akan lebih memilih untuk memberikan hatinya pada Malaikat?

Iblis enggan memilih sesamanya.

Iblis sendiri punya alasan atas rasanya itu.

Iblis lelah dengan prasangka yang terus dia ceritakan pada matahari dan bulan.

Iblis menyerah pada pengkhianatan yang menyamar di balik gelapnya langit malam.

Iblis was-was oleh kekejaman yang bersarang di setiap tanduk semua Iblis.

Iblis merasa kalah karena kejahatan yang dia banggakan adalah kuku panjang nan runcingnya sendiri.

Iblis bersimpuh di depan Malaikat.

Iblis meminta kasih yang menyebar dari ujung kepala hingga ujung kaki Malaikat.

Iblis membutuhkan ketulusan yang selalu Malaikat pamerkan lewat senyumannya pada semesta.

Iblis mempercayakan raga kuatnya untuk diselimuti kedua sayap lembut Malaikat.

Iblis merindukan dekapan Malaikat yang meneduhkan.

Iblis berpikir, kacau pasti dirinya jika Malaikat menolak cintanya.

Hingga pada akhirnya,

Malaikat betul-betul menolak Iblis. Tak ada dalam kamus hari-hari Malaikat, dia mengenal, apalagi berbagi keseharian dengan makhluk bernama Iblis. Matahari saja sampai menyayangkan. Bulan saja tak henti-hentinya menyesali perkenalan mereka.

Dengan berat hati, malaikat menggelengkan kepala.

Iblis berteriak.

Sakit hati.

Tak hanya itu. Iblis harus rela jika pada akhirnya nanti, dia tak akan penah menemui cinta.

***

Napas terakhir Sakurako adalah kata pamitnya pada semesta. Tatapan mata kosongnya mengarah pada gunung yang kemarin baru saja dia daki bersama Hideyoshi. Dia masih ingat sekali bagaimana seharian itu hatinya kelewat bahagia, seolah benar jika ada bunga merekah di relung jiwanya. Dia juga yakin jika Hideyoshi turut merasakan.

Tunggu!

Siapa itu Hideyoshi?

Rasanya, jawaban yang dapat diungkapkan akan penuh dengan paradoks.

Mau bagaimana lagi?

Kenyataannya memang seperti itu.

Sakurako harus menerima dan pasti akan bisa menerima jika Hideyoshi adalah…

Kekasih yang telah mengakhiri hidup Sakurako.

Rerumputan hijau tampaknya harus menerima nasib jika warna mereka kini beringsut merah. Hideyoshi belum tergerak mendekatkan kakinya ke sana. Kedua matanya berperan sebaliknya, hanya memperhatikan cairan merah menjalar ke rerumputan dan tanah.

Tetes-tetes air mata Hideyoshi terjatuh membasahi rerumputan. Meski banyak, tak sampai memudarkan warna merahnya. Bulir-bulir lara itu malah bercampur ke permukaan sana. Mungkin rerumputan menyampaikan pesan pula dari dalam hati, agar cairan merah itu tahu bahwa air mata adalah bentuk pemberontakan atas kenyataan. Setidaknya, hanya itu yang bisa diluapkan.

"Haaaaah, haaaaah, haaaaah," deru napas Hideyoshi sampai ke pendengarannya sendiri. Kedua telinga adalah saksi bisu betapa banyaknya udara yang dihirup dan dihembuskan dalam waktu yang singkat. Begitu pula dengan detakan jantung. Detakannya menggema sampai gendang telinga.

"Sa......kura," mulut Hideyoshi berbisik, melirihkan nama tambatan hatinya yang kini tak lagi dapat ditemuinya. Tanpa dipinta, benak memutar rentetan kisah yang selama ini sudah dilewati. Sepertinya baru kemarin mereka berdua bertaruh tentang siapa yang terlebih dahulu mencapai tinggi badan satu meter. Sepasang anak kecil laki-laki dan perempuan itu tertawa riang sambil berlarian di hutan setelah mengukur tinggi badannya di salah satu batang pohon. Rambut panjang hitam legam sang anak perempuan disapu angin kala berlari. Dedaunan kecil hijau, merah, bahkan kuning seolah penuh suka cita mendarat di helai-helai berkilau itu.

Semakin mengenang, sapaan-sapaan kemarin tampak kian melekat. Kedekatan yang sayangnya harus direlakan menjauh, bahkan menghilang mulai detik ini juga. Keringat dingin seolah membasahi seluruh permukaan kulit Hideyoshi. Kaki dan tangannya sampai gemetaran. Seumur hidup, dia baru pertama kali membunuh orang. Sampai mati pun, dia tak akan pernah lupa jika orang pertama yang dia hilangkan nyawanya adalah orang yang baru dia sadari ternyata paling dia sayangi.

"Sa....kura," Hideyoshi terus-menerus melirihkan nama ini. Bukan maksud memanggil. Dia juga tahu Sakura yang kini tergeletak di bawah kakinya sudah tak dapat menyahutnya.

Sakurako dan Hideyoshi..... Kedekatan mereka berdua bukanlah sekedar potongan kisah yang dapat diceritakan hanya dari lontaran kata. Semesta turut ambil bagian. Gunung sesaat rindu ketika disentuh dengan langkah-langkah kaki Hide dan Sakura. Lalu, sepasang kekasih ini menodainya dengan jejak. Bentuknya mungkin sudah memudar, tetapi bekasnya terus didongengkan oleh tanah.

Sama saja dengan belukar di kaki gunung. Dia tak pernah menyangka akan menjadi tuan rumah dari kepergian Sakurako, gadis yang hanya tersenyum kala Hideyoshi membelai rambut hitam legamnya. Setelah itu, biasanya tiupan angin kembali menggoda jemari Hideyoshi yang tak pernah ingin terlepas dari helai-helai hitam. Ranting pepohonan hampir patah, dihasut angin untuk mengamuk. Alhasil hanya dedaunan yang bergerak histeris. Mereka seolah membawakan tarian kesedihan. Tak akan ada lagi pertunjukkan dua bilah Katana dari dua orang Samurai yang saling mencinta. Terkadang manusia tak sadar bahwa canda tawa adalah nyanyian penghibur semesta, sedangkan gelora dan hasrat selaku penyejuknya.

"Terima kasih," Hideyoshi membungkukkan badan. Sebenarnya, ada tambahan kata lain yang ingin dia lontarkan pada Sakurako. Tepatnya, di hadapan jasad Sakurako. Kata-kata yang pasti akan mengiris-ngiris hati. Tentu tidak ada waktu, pikir Hideyoshi. Jadi, dia lebih memilih untuk meninggalkan hutan.

***

"Aku melihatnya! Aku melihatnya!" Dengan begitu histeris seraya menyalakan obor kecil, Hina menunjuk ke arah hutan. Ada seseorang yang baru keluar dari kegelapan hutan. Dia menenteng sesuatu. Jemarinya menggenggam helai-helai hitam yang diprediksi adalah rambut. Tanpa mengalihkan pandangan kemana-mana, Hina dan lainnya jadi tahu siapakah samurai kelima yang akan ikut dengan mereka ke Batavia. "Sa....ku....ra," bibir Hina kelu beberapa saat. Air mata lagi-lagi menegaskan pemberontakkannya atas kenyataan. Kakak perempuan yang begitu Hina cintai kini tak akan bisa ditemuinya lagi.

Hideyoshi dan Hina saling berhadapan. Lelaki itu memilih untuk menunduk, sedangkan Hina terus memandang kakak laki-laki seperguruannya itu.

"Aku," pada akhirnya, Hideyoshi bernyali untuk melontarkan kata, "sudah mengerjakan, yang seharusnya, kukerjakan,"

"Hide-san," Hina memeluk kakak seperguruannya yang bersimbah darah. Yukata ungu Hina sampai terkena noda dan anyirnya darah. Darah itu adalah darah Sakurako, kakak perempuan seperguruan yang begitu dikagumi olehnya. "Sakuraaaa-san," Hina bersimpuh. Lalu, dipeluknya bagian raga Sakurako yang digenggam Hide. Dia genggam beberapa helai rambut hitam legam Sakurako yang selalu dipuji semua orang di perguruan, termasuk sang guru Shitaro. Memang yang dilihatnya kini sedikit awut-awutan dan tak sepanjang biasa.

"SUDAH SEMUA?” teriakan seseorang memaksa Hina harus mengakhiri tangis. Gadis terbungsu di perguruan pedang milik Shitaro ini buru-buru menyeka air matanya yang baru saja dia seka juga. Dia gemetaran. Dia sendiri tak tahu apakah dia sedang takut, was-was, marah, bingung, atau sedih.

“Hmm…, sudah semua, Shitaro-Sama,” Kazumi membungkukkan sedikit badan.

Jawaban satu orang dari Kazumi dianggap Shitaro mewakilkan semua suara pihak. “AYO! KITA BERANGKAT KE BATAVIA, SEKARANG!" Shitaro tak menambahkan atau mengulang kata-katanya lagi. Tanpa menoleh ke arah murid-muridnya, dia berjalan saja menuju barat, jalan setapak menuju pelabuhan. Jauh di belakangnya, pintu gubug perguruan kecilnya dibiarkan terbuka lebar. Tak sengaja, kedua mata Hina melihat tumpukan kayu bakar yang masih tergeletak begitu saja di dekat pintu. Karena pagi tadi dia mengambilnya di hutan bersama Takuya si kakak sulung seperguruan, mereka berdua belum sempat menaruhnya di halaman belakang rumah. Sungguh tak pernah terduga bahwa fajar tadi adalah terakhir kalinya dia mencari kayu bakar bersama kakak sulung yang begitu disayanginya.

Langkah-langkah kaki Shitaro dan kelima muridnya diterangi oleh sebuah lentera api yang digenggam Shitaro. Dia berjalan terdepan karena dianggap paling mengetahui jalannya. Di belakangnya, turut mengikuti Kazumi, Yuji, Jin, Hina, dan yang belum melangkah sedikit pun adalah Hide.

“Eh? Ada apa Shitaro-sama?” langkah Shitaro yang seketika berhenti membuat Jin yang berjalan tepat di belakang hampir tertabrak gurunya itu.

Perlahan, Shitaro berbalik, “Ada yang belum mengikuti saya?”

Setelah menyempatkan diri untuk menelan ludah, Jin menoleh ke belakang perlahan-lahan. Dia ingin memantau apakah dugaan gurunya ini benar. Ketika dia mendapati Hideyoshi masih mematung. Dia hanya bisa menepuk jidat.

“Hi….de?” Yuji juga turut menyayangkan atas sikap Hideyoshi yang terkesan melawan guru mereka. Dia yang baru saja menghabisi salah satu saudara seperguruannya tak kuasa saja jika harus menghabisi Hideyoshi setelah ini. Pilihannya hanya dua, Yuji yang menghabisi Hideyoshi atau sebaliknya.

Mengetahui lagi-lagi Hideyoshi yang membuat masalah, kini Shitaro berusaha meredam amarahnya dulu. Bagaimana pun juga, Hideyoshi harus mengerjakan misinya di Batavia. Shitaro sudah kehilangan Takuya dan Sakurako yang kalah di pertarungan duel. Jadi, mau tak mau, dia harus mempertahankan Hideyoshi.

Shitaro menarik napasnya, lalu diam sejenak. Dia perhatikan wajah kelima muridnya satu per satu. Sampai akhirnya, dia mulai membuka suara, "KITA HARUS BERANGKAT SEKARANG SUPAYA TAK TERTINGGAL KAPAL!" Suara keras Shitaro menggelegar, menyesakkan dada bagi mereka yang mendengarnya. Padahal, kelima murid yang kini berdiri di sekitarnya adalah para pemenang dari seleksi singkat yang barusan diperintahkan. Akan tetapi, mengapa kini mereka tetap gemetaran mendengar suara sang guru.

"A....yo," di antara kelima murid Shitaro, Jin adalah orang pertama yang selalu mengikuti langkah sang guru. Dia mulai senyum-senyum sendiri karena bersugesti ruh kembarannya telah memasuki raganya, memenuhi setengah jiwanya yang kosong.

"Menangisnya sambil jalan saja, ayo," kemudian, Kazumi si lamban tetapi terkuat merangkul Yuji si terbodoh dan Hina si bungsu yang terus saja menangis. Setelah itu, mereka bertiga melangkah dengan langkah gontai sambil saling merangkul. Hina yang satu-satunya wanita berada di tengah.

Di belakang, Hide memandang guru dan keempat saudara seperguruannya yang semakin lama semakin menjauh. Ternyata, dia belum juga melangkah. Air matanya pun sepertinya sudah lelah untuk keluar. Dia juga merasa bahwa menangis bukanlah pilihan terbaik saat ini.

Setelah menelan ludah, Hide mulai mengayunkan kaki yang terasa berat sekali. Meski fungsi otot lehernya masih baik untuk menoleh ke kiri, kanan, atau ke belakang, tempat gubugnya berada, dia lebih memilih untuk hanya memandang lurus ke depan. 

Bersamaan dengan itu, Hide melepaskan begitu saja apa yang tengah digenggamnya.

Serigala hutan tampaknya akan berpesta dan tidur kekenyangan malam ini.

***

“Shitaro-sama, mengapa kita tak mengubur jasad rekan-rekan kita terlebih dahulu?” fajar menyingsing. Pertanyaan Hideyoshi membuat Shitaro berhenti melangkah menuruni perbukitan. Di belakangnya, kelima muridnya berjalan mengikutinya. Murid yang paling depan adalah Jin, lalu diikuti oleh Kazumi. Di belakang Kazumi, ada Yuji. Posisi keempat adalah Hinagi. Hideyoshi yang tak biasa berjalan lamban berada di paling belakang.

Angin pagi membelai rambut putih Shitaro. Dia sudah menduga jika pertanyaan model begini akan ditanyakan oleh muridnya, khususnya Hideyoshi yang paling tampak tak terima dengan adanya duel sampai mati kemarin malam. “Kita sudah banyak utang budi pada serigala hutan,”

“Mak…sud guru?” potong Yuji.

“Binatang buas di hutan, mungkin juga serigala, sering memberikan kita makanan berupa binatang-binatang jinak yang telah mereka terkam,” jelas Shitaro, “jika mereka mau, mereka bisa menghabiskannya, tetapi ini tidak. Mereka menyisakannya untuk kita sarapan di pagi hari,”

“Ja…di, maksud guru membalas budi itu?” Hideyoshi tak ingin terjebak dengan prasangkanya sendiri. Akan tetapi, sepertinya apa yang dia pikirkan memang suatu hal yang tengah dipikirkan oleh gurunya juga.

“Sudah begitu pun, tampaknya masih lebih banyak apa yang diberikan serigala kepada kita,” Shitaro-sama begitu jelas tak ingin membahas lebih dalam. Dia pun melanjutkan langkahnya.

Ba…. gaimana bisa jasad kelima orang itu dibandingkan dengan jasad-jasad binatang-binatang jinak di hutan yang biasa kami nikmati setiap hari? Batin Hideyoshi. Tangan kanannya mengepal karena memendam pemberontakan jiwa.

“Hide? Kau masih minat mengikuti kami?” tiba-tiba saja, Shitaro kembali menghentikan langkah kakinya.

Keempat murid pun ikut berhenti. Mereka semua segera menoleh ke belakang, ke arah Hide.

Tidak mengangguk dan tak pula menggeleng, Hideyoshi kembali melangkahkan kaki. Dia sudah menghabisi Sakurako untuk tetap mengikuti guru. Karena sudah banyak pengorbanan yang dikeluarkan, Hideyoshi merasa rugi besar jika dia mundur. Dia pun mencoba menguatkan diri dengan cara meyakini jika Sakurako memang telah tiada, tetapi ruh dan semangatnya selalu ada untuk Hideyoshi dan kawan-kawan seperguruan.

Untuk sementara waktu, biarlah Hideyoshi berpikir seperti itu. Toh tak merugikan siapapun.

***

Agar sampai di Batavia, perjalanan yang harus ditempuh tentunya cukup panjang. Untuk keluar dari Jepang saja, pelabuhan terdekat yang dapat dilewati adalah Pelabuhan Osaka. Jarak dari prefektur Nara ke Osaka harus menggunakan transportasi antarkota. Karena kereta agak mahal, tampaknya Shitaro akan memilih bis untuk membawa dirinya dan kelima muridnya menuju Osaka.

“Akhirnya, kita sampai juga di daratan,” deretan penjual sayur-mayur dan daging adalah pembatas antara perbukitan dan dataran rendah yang menyambung pada pedesaan. Pasar tradisional kecil-kecilan ini adalah langganan Shitaro dan kelima muridnya. Terkadang, mereka menjual hasil tani, terkadang mereka membeli bahan makanan lainnya. Melewati tempat ini, tentunya memberi kenangan yang tak sedikit.

“Shitaro-Sama!” seorang pedagang sayur yang sedang merapikan lobak menyapa Shitaro. Nenek tua itu mengira pendekar pedang itu akan membeli dagangannya seperti biasa. Kehadiran kelima muridnya juga tak memunculkan rasa curiga sedikit pun. Bisa saja kelima murid lainnya memang tengah diminta untuk menjaga tempat tinggal mereka di perbukitan. Kesehariannya, Shitaro juga jarang membawa kesepuluh muridnya ke pasar, apalagi pusat kota. Paling banyak, kira-kira lima orang. Itu juga berganti-gantian. Di antara kesepuluh muridnya, Hinagi dan Hideyoshi yang paling sering diajak turun gunung oleh gurunya.

“Oh, hanya lewat?” Sampai Hideyoshi yang melangkahkan kaki paling belakang telah melewatinya, ternyata belum ada tanda-tanda Shitaro dan kelima muridnya ingin membeli bahan makanan apapun. Akhirnya, nenek penjual sayur pun melanjutkan pekerjaannya kembali memotong lobak.

Setelah melewati pasar, Shitaro dan kelima muridnya melewati pemukiman warga desa. Beberapa orang tampak wara-wiri mengangkut karung beras dan hasil bumi lainnya. Rata-rata, pekerjaan para warga di sini memang petani atau peternak. Tidak laki-laki maupun perempuan, semuanya berkecimpung mengelola hasil bumi.

Meski mentari pagi menyorotkan sinarnya yang begitu terik, udara dingin masih menguasai. Jika seseorang berbicara, ada embun yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya, di tempat tinggal Shitaro beserta para muridnya, embun juga keluar dari mulut setiap kali bicara. Akan tetapi, sinar mentarinya tak seterik ini. Mungkin tempat tinggal mereka sering dilindungi awan dan pegunungan.

“Jangan menangis! Diam!” seorang ibu berkimono tebal menampar anaknya yang menangis kencang. Hideyoshi yang tak sengaja melihatnya buru-buru membuang wajah. Dia merasa tak enak saja ikut mengamati cara seorang ibu mendidik anaknya. Salah-salah, si ibu akan merasa didakwa jika terus dipandangi seperti itu.

Meski anak kecil tadi ditampar oleh ibunya, nyatanya bagi Hideyoshi bukan suatu hal yang besar. Begitu dia menoleh ke belakang, dia mendapati ibunya telah menggendong anaknya di punggung seraya membawa beberapa kipas tangan. Entah wanita itu adalah seorang pengrajin kipas atau sekedar berjualan, satu hal yang pasti adalah dia cukup bertanggung jawab kepada anaknya.

Sambil terus melangkah, melawan lelah, Hide kembali melamun. Dia membayangkan apa sebenarnya kasih sayang seorang ibu itu? Sekasar-kasar wanita tadi menampar anaknya, Hide merasa bahwa hal itu adalah salah satu cara untuk mendisiplinkan buah hatinya. Tak ada seorang ibu yang menelantarkan anaknya, kecuali mungkin ibunda Hide. Shitaro pernah bercerita bahwa di antara kesepuluh muridnya, dia hanya tidak kenal orang tua Hide. Yayasan yatim piatu tempat Hide dititipkan pun tak tahu pasti siapa orang tua Hide. Seorang misterius meletakkannya di kandang ternak samping yayasan. Tentu saja tak mungkin jika sapi-sapi itu beranakkan manusia.

“Mochi enak! Mochi enak! Rugi jika tak memakannya! Mochi enak! Mochi enak!” seorang kakek berikat kepala putih berteriak-teriak di tengah jalan. Dia menenteng sebuah papan kayu bertuliskan ‘Mochi, Chagayu, dan Miwa Somen murah di sini!’

“Sepertinya, ada kedai baru di tengah pasar,” Shitaro menghentikan langkah, tak jauh dari tempat kakek pemilik kedai itu berteriak-teriak.

“Ah! Anda ingin makan pagi di kedai kami?!” kakek berjanggut putih itu menghampiri Shitaro. Dilihatnya lima orang lagi berdiri di belakang Shitaro. Dia semakin semangat menawarkan lantaran calon tamu kedainya sampai enam orang. “Jika anda berenam memesan menu-menu andalan kami, kami akan memberikan potongan harga hampir setengah harga!” senyumnya kelewat semringah.

Shitaro menoleh ke belakang. Dilihatnya wajah para muridnya yang pasti sudah menahan lapar sejak semalam. “Bagaimana jika kita makan dahulu?” selama bertahun-tahun menjadi guru, rasanya saat inilah Shitaro mentraktir makanan di sebuah kedai. Biasanya, para muridnya hanya makan hasil buruan atau bahan-bahan yang dibelikan guru di pasar.

“….,” tak ada satu pun murid Shitaro yang mengangguk atau menggeleng. Semuanya tampak memberikan kuasa Shitaro untuk memilih. Karena perjalanan yang akan ditempuh masih jauh, guru pedang ini pun memutuskan untuk mengisi perut di kedai ini. “Untuk enam orang,” ucapnya pada kakek pemilik kedai.

“Ah! Silakan! Silakan!” Kakek itu tersenyum ramah dan mengantarkan keenam tamu barunya ke dalam kedai kecilnya.

Kelima murid Shitaro mengikuti jejak gurunya untuk memasuki kedai kecil itu. Selain si kakek, rupanya ada seorang nenek, pemuda, dan seorang wanita muda. Kelihatannya, mereka berempat adalah keluarga. Bisa jadi kakek dan nenek ini adalah sepasang suami istri yang memiliki dua anak. Atau bisa juga sepasang suami istri kakek dan nenek ini memiliki seorang anak dan menantu. Entahlah, satu hal yang lebih jelas adalah, saat ini Shitaro dan kelima muridnya lapar. Mereka ingin mengisi perut mereka saat ini.

“Silakan duduk, Tuan-tuan dan Nona,” si kakek menunjuk sebuah meja kosong di kedainya. “Anda semua ingin pesan apa?” dia melirik istri dan anaknya di ambang pintu dapur, gestur agar siap-siap menyiapkan makanan untuk tamu pertama mereka di pagi hari ini.

“Kau tadi berteriak-teriak nama tiga makanan?” Shitaro menunjuk si kakek.

“Ya, betul,” si Kakek sedikit membungkukkan badan.

“Apa bisa saya pesan enam untuk setiap tiga menu itu?” sikap Shitaro ini membuat kelima muridnya tertegun. Apa yang dilakukan Shitaro ini tentu saja bukanlah yang biasa dia lakukan.

“Bi…bisa! Bisa! Bisa!” kakek pemilik kedai itu semringah. Baru saja tempat makannya buka dua hari, dia sudah mendapatkan tamu yang mengadakan makan besar di pagi hari. “Cepat siapkan Mochi, Chagayu, dan Miwa Somen enam buah!” dia berbicara kepada para keluarganya yang tak kalah semringah begitu mendapatkan pesanan sebanyak ini. “Ah, minumnya ingin apa?”

“Ocha panas saja,” jawab Shitaro masih begitu tenang seperti biasa.

Saking senangnya dan ingin mempersiapkan menu terbaik kedai milik keluarganya, kakek pemilik kedai pun tak lagi berteriak-teriak di tengah jalan untuk mengajak orang-orang mampir di kedainya. Dia malah masuk dapur dan membantu istri dan anak-anaknya untuk mempersiapkan menu. Terdengar sekali suara-suara mereka saling bekerja sama untuk memasak dan menyiapkan menu pesanan. Selagi si kakek dan keluarganya berada di dapur, Shitaro menyisir pandang ke setiap titik kedai.

“Nanti di Batavia, tugas kalian serupa dengan kakek tadi,” Shitaro menatap muridnya satu per satu, “jangan ada yang tahu bahwa kalian semua adalah pendekar pedang,”

“Lalu, guru? Apakah pedang ini harus tetap kami bawa?” Jin menoleh ke arah pedangnya yang dia bawa dan dibungkus dengan kain.

“Apakah maksud guru, kita akan menjadi mata-mata sambil berjualan makanan?” tambah Kazumi.

“Hmm, kira-kira seperti itu,” respons Shitaro.

“Lalu? Pedang yang kami bawa ini, mau dibawa ke mana, guru?” Yuji jadi berpikir keras.

“Hide!” bukannya menjawab pertanyaan Yuji, Shitaro malah memanggil Hide.

Hide yang kelihatannya masih lelah hanya melirik ke arah gurunya.

“Aku akan menjelaskan gambaran tugas kalian nanti di Batavia,” ucap Shitaro, “beri tahu aku jika kakek pemilik kedai ini keluar dari dapur dan mendekat ke sini,”

Anggukan kecil diberikan Hide kepada Shitaro.

Sebelum menjelaskan tugas utama para muridnya di Batavia, Shitaro menghela napas panjang. Raga yang sudah tak muda lagi mendorongnya untuk istirahat. Dia sendiri sudah tak sabar menanti-nantikan saat ini. Jikalau setiap hari dia harus mengasuh, mendidik, sekaligus melatihan kesepuluh muridnya, perlahan tugas itu tak akan dilakukannya lagi. Dia telah memberikan tugas dan melepaskan para muridnya.

“Aku tak akan bekerja bersama kalian di Batavia,” suara serak Shitaro terdengar kecil sekali. Dia hampir berbisik. Mungkin saking rahasianya topik yang kini dia sampaikan. “Ada dua anak dari rekanku yang akan membantu kalian. Mereka berdua lebih tua sedikit daripada kalian. Dua rekanku sendiri sudah tewas. Jangan tanya mengapa mereka tewas! Aku tak ingin menceritakannya, karena hal ini sangat menyakitkan buatku,”

Kelima murid Shitaro masih menyimak pembicaraan gurunya.

“Dua porsi lagi mochinya!” terdengar suara si kakek dari dapur. Lelaki tua itu kelewat bersemangat.

“Sedangkan pedang kalian, kemungkinan akan dibawa,” lanjut Shitaro.

“Memangnya boleh membawa pedang ketika berpergian?” selak Kazumi. “Kurasa akan ada petugas transportasi yang menegur kita,”

Shitaro menggelengkan kepala, “Tidak ada yang bisa menghalangi kita jika pihak yang meminta adalah pemimpin negeri ini sendiri!”

Di antara kelima murid Shitaro, kelihatannya hanya Hide seorang yang tak terlalu memperhatikan apa yang dibicarakan oleh gurunya itu. Dia sendiri merasa asing dari orang-orang yang kini akan makan pagi dengannya. Dia hanya ingin kembali menjadi dirinya yang dahulu, dirinya yang memiliki sembilan saudara seperguruan dan mencintai seorang gadis bernama Sakurako.

“Ini minuman ocha-nya,” seorang gadis menyuguhi enam gelas teh hangat. Tak berapa lama, giliran si pemuda yang menaruh enam mochi di atas meja. Uap yang menguar di atas mochi sejenak membuat Shitaro dan murid-muridnya sadar jika perut mereka berbunyi. Mereka sebenarnya kelaparan.

“Cepat dimakan!” Shitaro menjadi orang pertama yang meraih makanannya dan mengunyahnya dengan lahap.

  “Chagayu!”

“Miwa Somen!”

Tak berapa lama, makanan-makanan lain dihidangkan di atas meja. Yuji adalah murid yang pertama kali menyantap Chagayu. Bubur yang dibuat dari air rebusan teh hijau ini terasa segar di mulut. Saking gurih sekaligus enaknya, dia hampir menitikkan air mata. Dia begitu bersyukur karena semesta mengizinkannya menikmati makanan seenak ini. Padahal, sebelumnya, dia melakukan suatu perbuatan yang dia sendiri belum seratus persen memaafkan.

“Aroma Miwa Somennya gurih sekali,” Jin meraih sumpit dan siap menjepit mie Somen di dalam mangkuknya. Tak lupa, dia seruput kuahnya yang agak manis karena dicampur sedikit dengan sake. Sama halnya dengan Yuji. Dia juga ingin menangis. Benaknya tak dapat menghindar untuk tak memikirkan kembarannya. Berarti, selama kembarannya hidup, Somen seenak ini belum pernah menyentuh lidahnya. Di satu sisi, Jin bersyukur karena memiliki kesempatan untuk mencicipi makanan khas Nara yang enak ini, tetapi di sisi lain, dia iba pada kembarannya yang mungkin kini jasadnya juga sudah disantap nikmat oleh kumpulan binatang buas di hutan pegunungan dekat kediaman mereka.

Lain halnya dengan Yuji dan Jin, tiga murid Shitaro lainnya, yaitu, Kazumi, Hinagi, dan Hideyoshi masih memandangi makanan-makanan yang ada di atas meja. Shitaro sendiri saat ini mencoba menikmai Chagayu. Porsinya yang lebih sedikit dari Miwa Somen membuatnya lebih tergugah.

“Mengapa kalian tidak makan?” baru satu suapan Chagayu, perhatian Shitaro teralihkan kepada ketiga muridnya yang masih terdiam.

Kazumi melirik Hide. Kemudian, memandangi setiap hidangan yang ada di hadapannya. Karena sebenarnya perutnya lapar sekali, dia mencicipi makanan yang porsinya paling besar. Jin langsung mengacungkan jempol begitu melihat Kazumi menyeruput kuah Miwa Somen melalui bibir mangkuk. “Aaaaah segar sekali!” seru Kazumi yang buru-buru langsung menjepit mie Somen dengan sumpit. “Sampai lupa aku bahwa kita baru saja menghabisi orang,” ucapannya tak terlalu dihiraukan Shitaro.

“Ka…zu….mi?” Berbeda dengan Hinagi. Karena Kazumi kembali membahasnya, dia jadi tak nafsu makan. “Kuharap, kau dapat mengontrol apa yang kau bicarakan,”

“Memangnya apa yang kubicarakan?” Kazumi pura-pura tak mengerti.

“Hina!” Shitaro mencoba menyudahi pertikaian. “Makan!” perintahnya tegas tanpa membentak.

Hina tak pura-pura bersedih. Dia betul-betul sedih. Bagaimana tidak? Dia pernah membuat Mie Somen bersama Sakurako. Walaupun gagal, kenangan ini adalah suatu peristiwa yang tak akan pernah terlepas di ingatan. Hina juga pernah rebutan mochi dengan kakak tertuanya, Takuya. Sedari tadi mochi dihidangkan, dia ingin sekali menangis.

“Selamat makan, Hina,” Yuji yang duduk di samping Hina menepuk pelan punggung adik bungsunya, “tak ada orang yang dapat merubah masa lalu, tetapi masa depan adalah bentuk terbaik diri kita dari masa kini,”

Melihat Hinagi mulai menyantap makanannya, Hide pun mengikutinya. Mereka berdua melakukan hal ini semata-mata menghormati gurunya. Entah di mana rasa lapar itu berada? Suasana hati Hide maupun Hinagi sedang dalam keadaan tak baik-baik saja kala ini.

“Perjalanan kita menuju Batavia sangatlah jauh!” Shitaro melirik Hinagi dan Hide yang walaupun sudah mulai menyantap makanan, mereka berdua masih lama sekali durasi mengunyahnya. “Kalau kalian menyusahkanku di laut, aku tak segan-segan untuk membuang kalian ke laut,”

Sruuuuup!

Karena takut setengah mati dibuang ke laut, Hinagi cepat-cepat mengunyah makanan-makanan enak yang ada di hadapannya. Berbanding terbalik dengan Hide. Dia tak lagi terlihat tak minat dengan makanannya. Lagipula, makanan di kedai ini enak semua.

Selepas dari santap pagi, Shitaro dan kelima muridnya berpamitan dengan kakek pemilik kedai. Karena menyimpan kesan yang baik, si kakek itu pun memberikan lima buah mochi kepada Hinagi. “Sepertinya, kalian akan mengembara jauh. Ini kuberikan mochi untuk kalian semua,”

“Ah, tidak us~,”

“Terima kasih banyak,”

Baru saja Hinagi hendak menolak pemberian cuma-cuma dari kakek itu, Shitaro langsung mengambil keranjang bambu berisi lima buah mochi pemberian si kakek.  

“Sama-sama,” setelah memberikan keranjang bambu itu kepada Shitaro, si kakek kembali membungkukkan badan.

Untuk menghemat waktu, Shitaro berbalik dan meninggalkan si kakek beserta kedainya. Di belakangnya, si nenek dan kedua muda-mudi pemilik kedai ikut membungkukkan badan kepada Shitaro dan kelima muridnya. Hide yang berjalan paling belakang juga mendapatkan penghormatan dari mereka. Baru setelah Shitaro dan kelima muridnya melewati pasar dan pusat pertokoan kota, pemilik kedai itu berhenti membungkuk dan kembali masuk ke kedai. Ketika Hide menoleh ke belakang, kakek pemilik kedai pun juga sudah tak berteriak-teriak mempromosikan kedainya lagi. Mungkin kedatangan keenam tamu di kedainya sudah lebih dari cukup. Atau, mungkin memang keenam tamu itulah yang ditunggu selama ini.

“Ambil kue mochi ini. Cepat! Seorang mendapatkan satu buah!” setelah melewati pusat kota Nara, Shitaro membagi-bagi kue mochi kepada kelima muridnya. Kini mereka kembali melewati jalan kecil yang sepi. Lebih tepatnya adalah perbatasan perfektur Nara bagian barat. Di sini, banyak pepohonan rindang yang mengapit jalan kecil.

“Ta…pi, aku kenyang,” Kazumi sebenarnya tak tertarik lagi dengan makanan. Dia hanya ingin cepat menyelesaikan misi di Batavia.

“Aku hanya bilang ambil, bukan makan,” bisik Shitaro.

Kazumi, Jin, Yuji, Hinagi, dan begitu juga dengan Hideyoshi saling beradu pandang. Dengan keraguan yang begitu besar, kelima murid Shitaro mengambil mochi-mochi yang disuguhi oleh gurunya itu. Setelah itu, Shitaro melempar keranjang bambu itu ke dekat pepohonan. Dia kembali melanjutkan langkah kakinya dan memandang lurus ke depan. Di belakangnya, para muridnya melahap kue mochi pemberian gurunya yang masih hangat.

Sampai akhirnya, “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Jin tersedak kala dia mendapati tinta bertuliskan ‘Ki’ di dalam mochi yang sudah setengah dia gigit. Sepertinya, warna hitamnya itu berasal dari tumbukan wijen.

“A…pa ini?” Yuji juga terkejut ketika mendapati huruf ‘Ta’ di dalam mochi.

“No?” alis Kazumi bertaut.

“Ma?” Hide yang baru saja membaca tulisan di dalam mochi yang baru saja digigitnya segera menoleh ke arah Hinagi.

“A…ku, langsung mela…hapnya,” Hinagi merasa seharusnya dia tak terlalu rakus kala menikmati mochi pemberian gurunya.

“Sekarang, mari kita cari kendaraan menuju teluk Osaka,” Shitaro tampak tak terlalu menghiraukan kecerobohan Hina, “dari teluk Osaka, kita akan naik kapal yang membawa kita ke arah selatan, yaitu Batavia,”

“Ta…pi, naik kapal apa, guru?” Yuji mencoba memastikan. “Di sana pasti banyak kapal. Dari mana kita tahu kapal yang mana yang akan membawa kita ke Batavia?”

Dengan nada bicara yang masih sedikit berbisik, Shitaro berkata, “Ki…ta…no….,” dia memejamkan mata, seolah menerawang nama-nama kapal yang ada di pelabuhan Osaka. Angin sepoi-sepoi membelai rambut putih Shitaro. Kantuk sempat menyapa, tetapi segera ditepis agar tak semakin mengulur waktu. “Ma,” lalu, tiba-tiba dia membuka kedua matanya. Keyakinan merasuk sampai sumsum tulang, “Ru! Kitano Maru!” serunya tegas, tetapi masih dalam bisik.

***

Untuk mencapai kapal Kitano Maru, bukanlah suatu hal yang mudah dan dekat. Dari kota Nara, Shitaro dan kelima muridnya harus menaiki transportasi umum menuju Prefektur Osaka. Kendaraan yang dipilih oleh Shitaro dan kelima muridnya pun bermacam-macam. Terkadang, mereka harus menaiki bis, kereta api, trem, bahkan menumpang di truk barang. Waktu yang harus mereka tempuh kira-kira sehari. Kapal Kitano Maru berangkat dari pelabuhan Osaka keesokan harinya di pagi hari.

“Mengapa semua orang memandangi kita seperti orang gila?” begitu Shitaro dan kelima muridnya sampai di pelabuhan Osaka, Kazumi menyadari jika pandangan beberapa orang di sekitarnya begitu aneh kepada mereka berenam. Mungkin karena cara berpakaiannya yang begitu tradisional bagaikan seorang pendekar. Mereka berenam mengenakan yukata dan sandal jerami alias waraji, sedangkan orang-orang yang berlalu-lalang di pelabuhan rata-rata mengenakan topi, kemeja, dan sepatu. Kalaupun mengenakan kimono atau waraji, penduduk Osaka tampak rapi dan bersih. Sungguh berbeda bagi Shitaro dan kelima muridnya yang begitu dekil, penuh keringat, dan sejak berangkat dari Nara belum juga mandi atau membersihkan badan. Apalagi, Shitaro dan kelima muridnya juga membawa pedang yang begitu mencolok sekaligus menakutkan bagi banyak orang. Wajar jika penampilan Shitaro dan kelima muridnya begitu mencolok.

“Guru, banyak kapal di sini. Kapal mana yang akan kita naiki?” Yuji menyisir pandang. Di sampingnya, Shitaro tak bergeming. Tak ada jawaban sedikit pun yang dia berikan kepada Yuji. Tak masalah. Mungkin Shitaro memang betul-betul tahu perihal kapal yang akan dinaiki.

Di antara kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Osaka, terdapat satu kapal hitam yang paling besar. Di salah satu badan kapal, tulisan “KITANO MARU” jelas-jelas terpampang. Tak salah lagi. Kapal uap itulah yang akan dinaiki oleh Shitaro dan kelima muridnya.

Tak ada pembicaran apa pun yang bergulir antara Shitaro dan kelima muridnya. Begitu gurunya menaiki kapal hitam bernama ‘Kitano Maru’ itu, kelima muridnya pun mengikuti. Orang yang paling terakhir menaiki kapal itu adalah Hideyoshi. Sebelum dia masuk ke bilik kapal, dia sempat memandangi sejenak langit biru pelabuhan Osaka. Dia jadi merenung dan mempertanyakan takdir. Apakah setelah hari ini, akan ada hari-hari lain di mana dirinya akan menginjakkan kaki lagi di negerinya?

“Selamat tinggal,” ucap Hideyoshi dalam bisik. Kedua kakinya sudah begitu jauh melangkah selama dua hari terakhir ini. Dia pun tak memiliki pilihan. Apalagi, mengingat pesan terakhir Sakurako padanya agar tak mengecewakan guru dan gagal melaksanakan tugas di Batavia. Hideyoshi mencoba menyanggupi itu.

Perjalanan Shitaro dan kelima muridnya dengan kapal Kitano Maru kurang lebih memakan waktu enam bulan lebih tiga minggu. Dengan kecepatan sekitar 16.4 Knots atau 29 kilometer per jam, kapal baja ini diperkirakan sampai di Batavia -yang berjarak 5448 Kilometer dari Osaka-  pada akhir Juni tahun 1940. Belum lagi, kapal ini juga berhenti di beberapa pelabuhan sebelum tiba di Batavia.

Ada satu hal menarik dari kapal baja bernama Kitano Maru ini. Penumpang kapal yang berasal dari Osaka, Jepang memang tak banyak. Akan tetapi, ketika kapal ini transit di beberapa pelabuhan Asia Tenggara, beberapa pemuda berpakaian lusuh ikut menaiki kapal besar ini. Belakangan, Hideyoshi menyadari bahwa pemuda-pemuda ini berasal dari Joseon atau Korea.

“Untuk kapal sebesar ini, mengapa penumpangnya hanya sedikit?” bisik Jin seraya memandangi setiap sudut kabin yang tak terlalu ramai.

“Dengan luas seperti ini, seharusnya kapal ini dapat mengangkut sekitar tiga ratusan penumpang,” timpal Kazumi, “mengapa jika kuhitung, tak sampai lima puluh orang?”

“Kapal ini nantinya akan mengangkut orang-orang Jepang yang berada di sekitar kawasan Asia Tenggara,” selak Shitaro, “Maka dari itu, dari Osaka pun, tak banyak orang yang menjadi penumpang kapal ini,”

Bagi kelima murid Shitaro, sebenarnya tak ada suatu hal yang mencurigakan dari kapal ini. Jika Osaka yang menjadi kota keberangkatan kapal ini tak menampung banyak penumpang, bisa saja mungkin karena penumpang kapal ini sendiri berasal dari orang-orang yang ada di kawasan Asia Tenggara. Padahal sesungguhnya, dibalik semua ini, ada suatu maksud tertentu.

Kapal Kitano Maru sebenarnya memang diberangkatkan ke Asia Tenggara, termasuk Batavia untuk membawa pulang para warga Jepang yang berada di sana. Pada saat itu, Jepang tengah memiliki suatu rencana besar terhadap sekutu, sehingga mereka sudah memperkirakan agar warganya mulai meninggalkan kawasan yang dikuasai oleh sekutu. Salah satunya adalah Batavia. Akan tetapi, berbeda pula misinya dengan Shitaro dan kelima muridnya. Justru mereka memang disiapkan untuk berada di Batavia yang merupakan kawasan sekutu. Hal ini dikarenakan, ada rencana lain yang memang telah disusun diam-diam oleh Jepang.

 ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status