Share

Bab II: Belukar Merah

Lahir dan Mati dalam keadaan sendirian.

Itulah makhluk hidup.

Salah satunya adalah manusia.

Lantas, jika sudah tahu seperti itu, mengapa kau biarkan diri ini ketakutan?

Apa yang kau takutkan?

Toh ketika hendak dilahirkan, kau juga sudah sendiri dan gelap dalam rahim.

Begitu pula dengan kematian.

Kesendirian dan kegelapan akan menanti lagi.

Tanpa siapapun.

Kelahiran dan Kematian, jangan lupakan apa yang ada di antaranya.

Yaitu… Penerangan dan kebersamaan.

Memang tak kekal, tetapi patut disyukuri kehadirannya.

Lalu, beranggapanlah bahwa semua itu hanyalah pengantar menuju akhir.

Caranya saja yang berbeda-beda.

Kutahu bukan keinginanmu.

Namun,

Tak pernah terduga aku bisa saja berakhir di tanganmu.

Tangan yang justru kugenggam dan kuanggap sebagai penerangan dan kebersamaan.

Belum sempat benak dan hati ini mencerna, rerumputan dan dedaunan itu sudah dilumuri merah.

Begitu pula dengan tanganku.

***

Kreik!

Derit pintu gubuk menyapa pendengaran.

Tentu saja menghasut kedua mata ini untuk melirik ke arahnya, mendorong kepala ini untuk menolah. Shitaro-sama, guru kelima pendekar pedang muncul di balik pintu kayu yang reot itu. Maklum, sudah lebih dari belasan tahun, pintu itu tak pernah diganti-ganti. Gubuk kecil sederhana ini pun Shitaro bangun seorang diri. Dia sudah terbiasa hidup sendirian dan tak memerlukan bantuan orang lain. Dalam perspektif hidupnya, orang-orang lain selain dirinya adalah elemen di luar dirinya. Kebetulan saja, mereka semua sama-sama menjalani kehidupan di dunia. Namun, bukan berarti dapat mencampuri urusan seseorang dengan seorang lainnya.

"MENGAPA BELUM MULAI JUGA?" Dari ambang pintu gubuk, Shitaro berteriak kepada Hideyoshi dan Sakurako yang berdiri puluhan meter darinya. Cahaya yang memperjelas penglihatannya hanya berasal dari senja yang perlahan mulai berpamitan dari langit. Dia jadi mencoba untuk menghitung waktu. Andai saja langit di atas sana benar-benar sudah hitam pekat, dia jadi tergerak untuk menghabisi kedua muridnya itu sekaligus. Keberangkatannya ke Batavia tak boleh terlambat lantaran kedua orang itu.

Batavia adalah kata yang sudah Shitaro dengar sejak lama. Tepatnya, saat dia dan beberapa kawan samurai yang tak lagi dipakai di tatanan kelas sosial baru era restorasi meiji merencanakan sesuatu untuk mengembalikan citra samurai di mata pemerintah. Dia dan beberapa kawannya tahu jika bangsa mereka ingin menjadi pelindung dan pemimpin Asia. Salah satu yang akan ditaklukan adalah Batavia di Asia Tenggara sana. Intuisi Shitaro dan lainnya menunjukkan bahwa ibukota itu akan menjadi batu loncatan untuk menarik perhatian pemerintah. Caranya tentu saja sudah dia dan kawan-kawan pikirkan masak-masak. Jika belum matang, mana mungkin orang seegois Shitaro bersedia direpotkan hidupnya oleh kesepuluh anak muda yatim piatu yang harus dilatih pedang setiap hari. Dalam perjalanan hidupnya, dia tak pernah berpikir ingin membagi ilmu berpedangnya pada orang lain. Jika suatu saat dia mati, ya sudah mati saja. Biar tanah yang mengubur jasad dan ilmu berpedangnya.

Kesepuluh murid Shitaro memang belum mengetahui jika hari ini akan diadakan pertarungan sampai mati yang akan mengantarkan langkah kaki mereka ke Batavia. Mendengar nama kota ini sebenarnya sudah dari dulu, apalagi Shitaro sering mengulang-ulang cerita bahwa dedikasinya mengajarkan ilmu berpedang kepada sepuluh muridnya ini adalah demi membantu bangsa dan negara Nippon yang akan melakukan ekspansi ke berbagai tempat. Salah satunya adalah kota Batavia.

Apa yang dilakukan Shitaro ini sebenarnya adalah rencananya selama lebih dari dua puluh tahun bersama kedua rekannya yang merupakan prajurit pedang kekaisaran selama restorasi Meiji sejak tahun 1886. Shitaro dan kedua rekannya ini tadinya adalah seorang Samurai. Sejak modernisasi Jepang, lebih tepatnya restorasi Meiji terwujud, tatanan kelas sosial berubah dan para Samurai terpaksa dihilangkan dari status kelas atas. Akhirnya, para Samurai ini harus beradaptasi pada modernitas yang ada. Beberapa di antaranya adalah kedua kawan Shitaro yang untungnya dapat diangkat menjadi kaki tangan kaisar. Sungguh berbeda dengan Shitaro. Dia yang tak suka mengenakan seragam dan terikat sumpah pekerjaan lebih memilih menyepi di kaki gunung dan mengajarkan para calon pendekar pedang terhebat selanjutnya setelah generasinya. Akhirnya, dapatlah sepuluh anak yatim piatu di berbagai yayasan sosial. Latar belakang mereka kebetulan sama, yaitu sebagai anak-anak haram di luar pernikahan dari seorang geisha.

Waaak Waaaak Waaaaak,

Suara burung gagak yang menggema di ruang semesta membuat lamunan Shitaro tentang masa lalunya melayang. Laki-laki paruh baya ini tak menganggapnya hanya berupa bunyi-bunyian yang dikeluarkan tenggorokan binatang bersayap itu. Gagak dianggap olehnya sebagai pengiring kematian. Dia bertambah yakin ketika beberapa di antara binatang itu mulai menghinggapi raga tak bernyawa para muridnya yang sudah tewas. Ada empat raga.

Di antara empat raga muridnya yang telah berpisah dengan ruh itu, Shitaro hanya menerima tiga kematian. Kedua matanya tak terlepas dari raga Takuya, murid tertuanya yang diprediksikan akan ikut dengan dirinya ke Batavia. Lantaran berkorban untuk adik terbungsunya, murid tertuanya itu rela menyudahi hidupnya. Shitaro paling benci dengan tindakan-tindakan yang menurut kebanyakan orang adalah pengorbanan. Padahal, di mata Shitaro dan dia sendiri yakini begitu pula di mata semesta, pengorbanan itu terkadang egois dan sia-sia. Seseorang yang melakukan pengorbanan belum tentu dihitung pengorbanan untuk seorang lainnya. Semua itu hanya untuk melegakan dirinya sendiri. Inilah yang dilakukan Takuya. Shitaro kesal karena si bungsu Hinagi dapat dikatakan bukan seorang yang dapat diandalkan. Tunggu saja kematian menjemput Shitaro. Akan dia cari muridnya yang bernama Takuya di neraka. Kalau perlu, dia ingin mengajak murid sulungnya itu untuk berduel.

Mata kecil Shitaro Watanabe memandang sinis. Dia berpikir bahwa Hideyoshi dan Sakurako bisa saja melakukan hal sebodoh Takuya. Atau, bisa saja malah berbalik menghadapi dirinya, guru mereka sendiri. Jika hal itu terjadi, Shitaro sudah mempersiapkan segala macam kemungkinan. Salah satunya dengan membunuh mereka berdua.

Rasa cinta di antara Hideyoshi dan Sakurako bukanlah suatu hal yang disesali kedatangannya soleh Shitaro. Dia sendiri pernah muda dan merasakan cinta. Gairah, rasa senang, dan kasih bercampur jadi satu. Saking besarnya, terkadang hati sulit membendungnya. Maka dari itu, dia memerlukan bantuan nalar alias otak dan jiwa si seseorang yang sedang jatuh cinta itu. Bagaimana pun juga, bagi Hide dan seorang samurai, pusat dari kehidupan kita adalah jiwa. Dia yang mengendalikan hati dan pikiran. Jadilah seorang insan yang memiliki keduanya, apalagi ketika cinta sedang menguasai. Jika hati lebih menguasai maka jati diri akan hilang, sebaliknya, jika pikiran yang berkuasa, maka kau sendiri tak dapat menikmati makna cinta itu sendiri.

Harapan Shitaro sendiri, Hideyoshi dan Sakurako dapat melewati duel sampai mati ini. Mengenai siapakah pemenangnya nanti, Shitaro berusaha mengalahkan hatinya agar tak memihak salah satu. Meski hatinya meronta dan agak condong untuk berpihak ke salah satu murid, Shitaro lebih berusaha untuk tetap memusatkan kehidupan di jiwanya.

Untuk seorang sekaliber Shitaro, pengendalian macam begini awalnya susah, tetapi lama-lama akan semakin…

Susah.

“BAGAIMANA INI?!” karena kesepuluh muridnya masih diam, Shitaro mengulang pertanyaannya lagi kepada Hideyoshi dan Sakurako.

Dua murid andalannya itu tetap tak menggubris teriakan Shitaro sama sekali. Tak mau mengulur banyak waktu, dia jadi berpikir untuk memerintahkan sesuatu hal yang berbeda kepada dua muridnya itu. Tentu saja bukan pembatalan untuk bertarung sampai mati.

Lantas apakah ide barunya itu? Bukan sesuatu yang buruk, tetapi tak berani pula Shitaro mengatakannya sebagai suatu ide yang baik.

"Sakura! Hideyoshi!" Kali ini nama kedua murid dilontarkan oleh Shitaro. Lagi-lagi, mereka berdua tidak menoleh. Pandangan mereka saling beradu. Tak memancarkan energi apapun, tetapi masing-masing saling tahu bahwa ada yang tersimpan jauh di dalam sana. Kemudian, berlanjutlah Shitaro berkata-kata, melayangkan perintah. "Bertarunglah sampai mati!"

Ternyata perintah tersebut hanya pengulangan. Hideyoshi dan Sakurako sudah tahu sejak awal bahwa mereka memang harus bertarung sampai mati.

"Lalu," rupanya, ada kelanjutan perintah. Bola mata Hideyoshi sempat bergerak sedikit kala mendengar gurunya menambahkan perintah.

Perintah yang ternyata benar-benar luar biasa sulit.

"Bawa kepala salah satu di antara kalian sebagai petanda bahwa kalian sudah memenangkan pertarungan!" telunjuk Shitaro mengarah pada kepala Hideyoshi, kemudian Sakurako. "Mengenai rasa yang sudah terlanjur mengakar di hati," lanjut Shitaro, "anggap saja sebagai hunusan pedang yang melukai. Harus dicabut!"

"Sungguh gila," bisik Yuji Si Terbodoh. Dia tahu betul bagaimana Hideyoshi dan Sakurako saling mencintai dan menyayangi. Dia pernah tak sengaja memergoki kedua insan itu sedang bertukar cerita dan saling mendekap di tengah hutan. Lantaran hanya karena malu dilihat Yuji, makanya mereka berdua langsung kembali melanjutkan latihan berpedang mereka di hutan.

Dua murid Shitaro lainnya, yaitu Jin si kembar cerdik dan Kazumi si lamban tetapi kuat masih diam mematung. Mereka berdua belum dapat mencerna tentang semua yang baru saja bergulir. Jika tahu bahwa suatu hari akan menghilangkan nyawa saudaranya sendiri, lebih baik Jin maupun Kazumi tak usah merajut hubungan baik dan emosional kepada para saudara seperguruan lainnya.

"AAAAAH!" dari arah hutan, tiba-tiba saja, terdengar teriakan seseorang. Teriakan yang begitu kencang, tetapi terasa jauh sekali dari pendengaran. Angin sepertinya berhasil melaksanakan tugas sebagai pembawa berita. Berkatnyalah, semua orang tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi dari dalam sana.

"Itu suara Hina!" seru Yuji. "Ada apa dengan dia di dalam hutan?"

"Yuji!" Teriak Shitaro. "Sebaiknya kau jangan banyak bicara dan bergerak!"

Yuji tertunduk malu bercampur ketakutan. Dia tak mau saja sesuatu terjadi pada adik bungsu seperguruannya. Selain memang menjadi saudara seperguruan yang paling khawatir dengan kondisi semua orang, dia juga tak ingin kematian Takuya menjadi sia-sia. Kakak tertua seperguruannya itu sudah merelakan nyawanya untuk Hinagi.

“Aku akan bersikap tegas jika senja sudah tak tampak lagi di atas sana,” Shitaro mulai mendekati Hideyoshi dan Sakurako lagi. Rambut panjang penuh ubannya berayun-ayun dibelai angin. Dia sudah tak punya banyak waktu lagi.  

Semua mata tertuju kembali kepada Sakurako dan Hideyoshi. Teriakan Hina di dalam hutan pun lenyap. Pada akhirnya, pikiran Sakurako dan Hideyoshi mengarah ke suatu hal yang sama.

Hide memandang Sakura.

Sakura memandang Hide.

“Sa….kura, ki….ta, bisa berpikir ulang,” Hideyoshi masih bisa bernegosiasi, “Kita biasa bicarakan kepada Shitaro-Sama.

Daripada membuang omongan kosong, Sakurako lebih memilih diam. Bukannya dia pasrah, tetapi dia harus sportif menghadapi permainan hidup. Jangankan ilmu pedang yang dia ketahui selama ini, nyawanya pun milik Shitaro. Jika gurunya itu tidak ada, bagaimana dia tahu caranya hidup di hutan? Bagaimana pula dia tahu dan mengenal seorang laki-laki bernama Hideyoshi? Di luar dari apa yang Sakurako ketahui, nyatanya Shitaro memang banyak kebaikannya dalam kehidupannya dan kesembilan murid lainnya.

Sakurako menggeser kaki kanan, kemudian disusul oleh Hideyoshi. Keduanya memasang kuda-kuda, siap mengeluarkan katana dan masing-masing berhitung dalam hati.

TAK!

DZING!

Katana Sakurako dan Hideyoshi bersinggungan. Tatap kembali menjadi jeda dari irama pertarungan. Tak sampai tiga detik, Hide dan Sakura kembali mengambil langkah.

Para saudara seperguruannya yang memenangkan pertarungan dan tengah berdiri mematung sedikit demi sedikit memandangi pertarungan Hideyoshi dan Sakurako. Berbeda dengan pertarungan sekali tebas yang mereka lalui, duel sepasang kekasih ini hampir seri. Setiap Hide hendak mengenai raga Sakurako, gadis itu cepat sekali menangkisnya. Sebaliknya, jika Sakurako hendak menusukkan pedang ke Hideyoshi, pemuda itu memanfaatkan kecepatan kakinya untuk menghindari.

WUSS!

Dua bilah Katana membelah angin. Gerakan Hide dan Sakurako gesit luar biasa. Bukan suatu hal baru. Cara mereka bertarung memang sudah seperti itu. Ditambah mereka berdua adalah sepasang kekasih, pertarungan mereka dianggap seru karena gerakannya sering mereka padukan dengan romantisme. Tak jarang, mereka berdua saling mendengkap dan menggenggam.

GREP! Genggaman tangan Sakurako yang melingkari leher Hideyoshi membuatnya hampir sulit bernapas.

Refleks, Hideyoshi segera meraih rambut panjang hitam Sakurako. Bukannya membelai selayaknya sepasang kekasih, tetapi menjambak. Dalam hitungan detik, Sakurako pun tak ragu memangkas rambutnya dengan gerakan Katana-nya dari belakang. Rambutnya kini jadi sepanjang bahu.

Sisa rambut panjang Sakurako tergenggam di tangan Hide. Lelaki itu tak lantas membuangnya. Dimasukkannya helai-helai lembut itu ke dalam saku celanannya. Sakurako sempat melihanya. Jujur dia tersentuh, tetapi cepat-cepat dia hilangkan perasaan itu agar tak berkembang dan berbuah menjadi suatu rasa simpati yang besar.

"TANG!" Katana Hide dan Sakurako kembali bersinggungan. Kedua kaki mereka mulai mendekati hutan, lokasi Hina berteriak.

"Mereka masuk ke hutan?" Yuji jadi merasa sedih. Kedua kawannya ini pada akhirnya kembali memasuki rumah awalnya, hutan berantara. Di sanalah biasanya Hide dan Sakura berbagi kisah dengan pepohonan dan binatang-binatang. Tentunya disertai dengan rasa cinta.

Bahkan, serigala-serigala hutan pun dapat bercerita panjang lebar. Bukan sekali atau dua kali, Sakurako dan Hideyoshi saling melindungi dari binatang-binatang buas hutan ini. Jikalau mereka berdua bertarung pun, serigala-serigala ini bagikan menyimpan kekaguman sebelum pada akhirnya nyawanya melayang. Hunusan pedang Hideyoshi dan Sakurako bagaikan tarian yang membuat semesta terhibur. Tentu saja termasuk para serigala yang waktu itu menjadi korban dari tajamnya pedang mereka berdua.

Seandainya saja hutan belantara ini bisa bicara, dia akan bercerita banyak tentang kehidupan panjang dan kisah kasih antara Hideyoshi dan Sakurako selama ini. Dimulai dari pertemuan pertama mereka di usia enam tahun sebagai sesama anak yatim piatu yang kemudian diangkat anak oleh Guru Shitaro, seorang samurai bertangan dingin. Berlanjut terus hubungan itu sampai kini sudah dewasa. Sayangnya, harus berakhir hari ini karena maut.

"Heaaaaa!" Sakura melompat dari atas salah satu pohon dan berniat untuk menghabisi Hideyoshi. Sayangnya, ujung pedangnya hanya membelah semak. Refleks yang dimiliki Hideyoshi memang patut diacungkan jempol. "Di mana kau Hideyoshi?" gema suaranya pecah di udara. Salah satu kelebihan sang kekasihnya itu memang dalam soal kecepatan, sedangkan kelebihan Sakurako sendiri adalah keakuratannya dalam menebas apapun dengan pedangnya. Dia tak pernah salah, kalaupun salah, dirinya berarti sedang dirudung masalah. Seperti saat ini, dia merasa gagal menebas raga Hideyoshi dengan pedangnya.

"Di sini!" sampai akhirnya, Sakurako merasa ada seseorang berdiri di belakangnya. Dia yakin sekali bahwa sosok itu adalah Hideyoshi. Gadis itu pun segera berbalik dan,

"ZLEP!" cairan merah tersiram di rerumputan dan semak belukar. Warna hijau tertutup merah.

Semesta berduka cita hari ini.

Satu nyawa berharga melayang begitu saja malam ini. Kepalanya siap-siap dilepaskan dari leher.

Pandangan Sakurako mulai rabun. Dia berusaha menerima kematiannya yang akan datang sebentar lagi. Dia sendiri tak pernah menyangka akan kalah di tangan Hideyoshi. Di waktu yang bersamaan, dia juga tak menyangka jika dirinya akan menang melawan Hideyoshi. Entah apa yang ada di pikiran Sakurako. Satu hal yang perlu diingat dan dimengerti adalah, dia sendiri berpikir tak pantas dirinya, bersama Hideyoshi, bahkan saudara seperguruan lainnya mengadakan kudeta untuk berbalik melawan guru mereka. Sudah terlalu banyak jasa yang diberikan Shitaro kepada kesepuluh pendekar pedang ini.

“AAAAAAKGH!” Tangis Hideyoshi, sang kekasih pun meledak. Dirinya berhasil menghabisi orang terkasihnya.

Lebih tepatnya lagi, selama sang kekasih pendekar pedang itu hidup, baru kali ini dia mengotori katanannya dengan darah manusia.

Darah itu pun berasal dari orang terkasihnya.

Ya! Orang terkasihnya….

Kata-kata itu bersemayam dalam kalbu, tetapi berusaha dia tolak kemunculannya.

Alasannya, karena dia tahu bahwa di dunia ini mana mungkin ada orang yang menghabisi orang yang dia sayangi dan cintai.

Tentunya, tak hanya hidup sang kekasih yang diakhiri oleh Hideyoshi, tetapi juga perasaannya itu sendiri. Dia sendiri tak mengerti mengapa perasaan setulus ini bisa tumbuh begitu saja di hatinya. Selama dia melanjutkan hidup mulai hari ini, sepertinya perasaan semurni itu tak akan bersarang lagi di hatinya. Sakurako adalah seorang gadis yang tak hanya mengajarkannya tentang kasih dan cinta, tetapi juga harapan bahwa masa lalunya tak akan sepilu masa depannya. Nyatanya apa? Masa depan bersamanya tak akan pernah ada.

Dengan tangan yang gemetaran dan tentu saja detak jantung yang semakin tak menentu, sang kekasih mendekatkan kepalanya dengan kepala yang digenggamnya.

Air mata meleleh, lalu melewati bercak merah yang kecipratan di wajah sang kekasih. Dia tak percaya apa yang ada di hadapannya, apa yang dia lihat, apa yang dia genggam.

“A…..ku men….cin…tai…mu,” dengan suara yang terbata-bata dan serak, sang kekasih mengecup bibir seseorang yang baru saja dibunuhnya.

Siapa?

Orang terkasihnya.

Atau bisa juga…

Satu-satunya yang dikasihinya.

Ciuman Sakurako adalah ciuman pertama bagi dirinya, begitu juga Hideyoshi. Ternyata beginilah rasanya ciuman pertama. Kulit bibir yang saling bertemu adalah sengatan kasih yang melambungkan suatu energi besar ke seluruh raga. Sakurako jadi ingin menyunggingkan senyum lebar. Dia merasa bibir Hideyoshi dapat memompa kembali jantungnya yang kelihatan sudah putus asa untuk berdetak. Sakurako seolah-olah tak membutuhkan darah pengganti yang telah terkuras keluar dari raganya. Cukup kecupan Hideyoshi seorang yang memberikannya kebahagiaan.

“Ja….ngan menangis,” Sakurako melepas sedikit ciumannya pada Hideyoshi untuk kembali berbicara, “a…ku takkan men..dendam. Tak ak…an ku….cari kau di ne….ra…ka,”

“Sa….kurako,” apa yang dikatakan Sakurako, justru tambah menjatuhkan air mata Hideyoshi. Dia berpikir, Sakurako memang tak akan mendendam dan mencarinya kelak di neraka. Dia sendiri meyakini bahwa surga akan menjadi tempat Sakurako di atas sana. Lalu, kemudian dirinya sendirilah yang akan masuk neraka. Bukan persoalan karena Hideyoshi berdosa telah membunuh seseorang, melainkan karena orang yang dibunuhnya adalah Sakurako, seorang gadis yang memiliki perasaan tulus kepadanya.

“Berjanjilah pada…ku,” Sakurako menyentuh pipi Hideyoshi, “wa…kilkan aku di Batavia. Kerjakan tugas sebaik mung…kin. Jangan kece…wakan guru,” meski sudah berlumuran darah dan keringat, wajah Sakurako masih saja cantik di mata Hideyoshi. Dia mengumpulkan keberanian untuk menerima kenyataan jika wajah ini tak akan pernah dia pandang lagi di hari-hari depannya.

Gemericik air sungai yang terdengar di pendengaran bagaikan putaran rekaman gambaran-gambaran masa silam. Di kala malam hari seperti ini, Hideyoshi sering kesulitan tidur dan berjalan sendirian ke dalam hutan. Jika tak menemukan hewan buas untuk ditebas, dia membiarkan ketenangan menguasai dirinya. Meditasi di pinggir sungai sungguh mendamaikan hati. Ketika Hideyoshi memejamkan mata, dia juga tak takut apapun. Jikalau hewan-hewan buas itu menyerang, dia merasa semesta akan melindunginya.

Kratak!

“AUUUU!”

Pernah seekor serigala tiba-tiba saja menyerang Hideyoshi yang sedang bermeditasi di pinggir sungai. Serigala itu menerjang dari belakang. Untungnya, di langkah terakhirnya sebelum menggapai punggung Hideyoshi, serigala itu menginjak potongan dahan pohon. Hideyoshi refleks berguling ke samping dan meraih pedangnya. Serigala itu tergores satu kali dan memutuskan untuk pergi karena lukanya cukup dalam.

Itulah maksud Hideyoshi bahwa semesta akan menjaganya selama meditasi. Sebenarnya, tak hanya dirinya yang diberikan anugerah seperti ini. Semesta sebenarnya sudah terlampau sering menyampaikan bahaya kepada makhluk hidup, khususnya manusia yang paling berakal. Sayangnya, apa yang disampaikan sering tak dipikirkan.

Bunyi semak-semak belukar di sekitar Hideyoshi pada waktu malam itu dianggapnya sebagai sinyal dari semesta lagi. Tak ada angin malam yang berhembus di sekitarnya. Berarti, bukan salah angin jika semak-belukar itu bergerak-gerak sendiri.

“Hmm….,” Hideyoshi refleks memasang kuda-kuda. Kakinya menggesek tanah. Mata tajamnya menelisik berbagai pergerakan. Nan jauh di sana, pada akhirnya, dia merasakan pergerakan itu.

“AUUUUU!” Dari berbagai sudut, serigala-serigala hutan itu bermunculan. Hideyoshi memutuskan untuk mengecoh beberapa di antaranya dengan cara berlari ke sana-ke mari. Rupanya, perginya seekor serigala setelah diserang Hideyoshi tadi adalah suatu sinyal untuk memanggil kawan-kawannya yang lain. Seandainya saja Hideyoshi bisa melakukan itu, dia bisa saja membangungkan saudara-saudara seperguruannya untuk menghadapi serigala-serigala ini.

“Hmm… satu, dua, tiga….dua belas?” jumlah serigala yang ada di hadapan Hideyoshi rupanya tak dapat dikatakan sedikit. Dia menelan ludah, bukan tanda dirinya ketakutan. Dia hanya terkejut karena semak-semak di sekelilingnya masih bergerak-gerak. Sepertinya, jumlahnya akan terus bertambah.

“AUUUU!” beberapa serigala mulai menyerang Hideyoshi. Dengan kecepatannya, dia mencoba untuk menghindar dan menebas dari belakang selagi ada kesempatan. Sepertinya, lebih dari lima kali pedangnya menggores tubuh-tubuh serigala itu.

Hingga pada akhirnya, doa Hideyoshi terkabul.

ZLEP!

Hideyoshi mendengar bunyi pedang menggores daging. Dia yakin bahwa beberapa detik belakangan ini, dia hanya berlari saja. Begitu dia berbalik, bukan main terkejutnya. Dia mendapati Sakurako dan kedelapan saudara seperguruannya sudah berada di sekitar sungai.

“Kalau tak bisa tidur, lebih baik hitung rusa saja! Daripada serigala begini?” mimik Sakurako begitu kencang. Tentu saja dia marah.

“Untuk apa diam-diam masuk hutan begini? Aku masih mengantuk, tetapi tak bisa tidur karena takut kau dimakan hewan buas!” sambil menghajar kumpulan serigala, Takuya si sulung terus mengoceh. Dia adalah orang pertama yang tadi dibangunkan Sakurako ketika gadis itu menyadari jika kebiasaan buruk Hideyoshi kembali datang malam ini. Sebenarnya, bukan pertama kali mereka bersembilan harus bersingungan dengan serigala karena Hideyoshi tak bisa tidur dan malah bermeditasi di tengah hutan.

“Serigala-serigala ini, sebenarnya menggemaskan, tetapi mereka sedang lapar,” Hinagi sengaja tak membuka sarung pedangnya. Dia tak ingin serigala-serigala di depannya sampai berdarah akibat pukulannya.

“Ah? Hina?” melihat Hinagi menggunakan sarung pedangnya untuk memukul-mukul kawanan serigala, Takuya terhasut untuk melakukannya. Adik bungsunya itu selalu membuatnya berpikir ulang atas segala tindakannya. Bagi Takuya, Hinagi adalah jiwa semesta yang tersesat dalam raga manusia.

Zlep!

Zlep!

Zlep!

Serangan demi serangan juga terlampau kompat di tangan Jin dan saudara kembarnya. Mereka berdua seolah berkomunikasi dalam telepati ketika bertarung bersama. Jika orang umum memiliki dua mata, mungkin tidak bagi Jin dan saudara kembarnya. Mereka berdua masing-masing memiliki empat mata. Dua mata adalah mata mereka yang sungguhan, sedangkan dua mata lainnya adalah mata saudara kembarnya yang membantunya dalam telepati. Shitaro pernah berkata kepada keduanya. Jika suatu saat salah satu di antara keduanya tewas, maka sebenarnya tidak ada yang tewas. Salah satu di antara mereka masih dapat melanjutkan hidup saudara kembarnya yang sudah tewas. Hal ini dikarenakan, ruh seseorang yang telah berpulang itu sebenarnya ada di raga saudara kembar lainnya yang masih hidup. Jin dan saudara kembarnya meyakini kebenaran itu. Jauh sebelum Jin membunuh saudaranya sendiri.

“Hey Kazumi! Apa yang kau lakukan?!” Tsubaru si tercepat terkejut karena rivalnya si lamban Kazumi mendorong seekor serigala ke arahnya. Untung saja, Tsubaru yang mempunyai gerakan secepat angin mampu mengatasinya. Hanya sekali tebas, serigala itu tak hanya terhunus pedang, tetapi juga terlempar. Shitaro mengatakan bahwa gerakan Tsubaru tak hanya secepat angin, tetapi angin turut bersamanya menggerakan pedang dan menghantam musuh-musuh di hadapannya.

“Aku hanya ingin tahu bagaimana cara kau menghabisi serigala-serigala itu,” Kazumi yang terkenal agak lamban dan senang berdsing dengan Tsubaru sebenarnya tak bermaksud untuk memberikan malapetaka kepada saudara seperguruannya. Dia hanya tak tahu saja harus berbuat apa kepada serigala-serigala itu. Gerakannya tak hanya lamban, tetapi dia juga ragu menghabisi makhluk hidup yang tak diperintahkan oleh gurunya. Jadi, menurut pemikirannya, biarlah Tsubaru yang mengeksekusi.

“Heeey Yuji! Apa yang kau lakukan di atas pohon sana?!” si terpintar dan ceria Naoki sempat-sempatnya memantau si terbodoh Yuji. “Dasar pengecut!”

“Aku bukannya pengecut!” teriak Yuji yang jangan-jangan memang pengecut. “Tapi coba kalian semua perhatikan! Sebagian di antara serigala ini ada yang masih kecil. Kemungkinan mereka mati buta dan tuli. Sangat tidak adil melawan makhluk yang panca inderanya bahkan tak selengkap kita,”

“Oh, ya? Apa benar?” Naoki mulai memandangi bentuk badan serigala di hadapannya satu per satu. “Hai semuanyaaa!” dia jadi tergerak untuk memperingati semua saudara seperguruannya. “Habisi yang besar-besar lebih dulu! Yang kecil-kecil, biar nanti kita hadapi dengan mata dan telinga tertutup!”

“Oh, iya, benar juga,” Hinagi menyadari keragaman ukuran tubuh para serigala ini.

Seulas senyum muncul di bibir si Terbodoh Yuji. Dia senang karena ilmunya dipakai oleh Naoki yang paling pintar di antara semuanya. Padahal, apa yang dia sampaikan barusan sebenarnya adalah apa yang pernah dia dengar dari Naoki.

“Kalau begitu, dari atas sana, kau beri tahu kami mana serigala yang besar!” perintah Naoki seraya menunjuk Yuji dengan pedangnya yang sudah berlumuran darah serigala.

“Ba…baik, Naoki! Ba…ik!” Yuji memukul-mukul dahan pohon. Dia kelewat senang karena begitu dipercaya oleh Naoki. Otaknya yang pas-pasan selama hidup membuatnya mengagumi kepintaran Naoki dalam setiap pertarungan. Apalagi bila orang terpintar itu memberikan kepercayaan baginya. Yuji begitu merasa terhormat mendapatkannya.

“Hide….Hide…? Ka…u melamun?” Sakurako menampar kecil pipi Hide. Dia merasa waktu pulangnya sebentar lagi. Dia tak ingin Hide tersesat di lamunannya ketika waktu Sakurako pulang telah tiba.

Kenyataannya, Hideyoshi memang melamun. Dia memikirkan peristiwa saat semua saudara seperguruannya membantunya menghabisi serigala-serigala hutan di suatu malam. Meski pada akhirnya, jumlah serigala itu kelewat banyak dan mereka semua bertarung sampai fajar menyingsing. Shitaro yang ketika bangun pagi tak mendapati murid-muridnya berada di gubuk mereka juga tak terlalu ambil pusing. Dia tahu bahwa semua muridnya tengah berhadapan dengan serigala sampai pagi datang. Telepati salah satu kawan serigala itu barangkali yang mengabarkan kepada Shitaro.

“A…..ku teringat ketika kau menolongku dari serigala-serigala hutan di tengah malam,” jelas Hideyoshi begitu lancar. Dia merasa dirinya harus berpacu dengan waktu. “Bunyi…. Aliran sungai itu yang membuatku mengingatnya,” selagi dia bicara seperti ini, air matanya menetes ke pipi Sakurako. “Kau datang bersama kedelapan saudara kita lainnya,”

Bukannya menanggapi cerita yang dikatakan Hideyoshi, Sakurako malah memikirkan dan melontarkan hal lain kepada Hideyoshi, “A…ku tak akan sen…dirian di sana. Empat sau….dara kita yang lain ada di atas sana,” dia menggapai-gapai udara. Sudah tak lagi mengusap pipi Hideyoshi, “A….ku melihat mereka berempat ke atas bu….lan. Aku ingin mere…ka, tak meninggal…kanku,”

“Sakurakooooo!” merasa apa yang dibicarakan Sakurako sudah kacau, Hideyoshi sadar jika waktu Sakurako hanya beberapa detik lagi. Air mata Hideyoshi berlinang, mengantarkan kepulangan Sakurako pada semesta. Tepatnya, Sakurako yang tak ingin ditinggal oleh keempat saudara seperguruan lainnya ke atas bulan.

 ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status