"Ayame-sama, para murid Shitaro sudah sampai di ruang makan,” suara Yukiko terdengar lirih di telinga Ayame. Meski dia sedang membuka mata, tetapi apa yang dilihatnya sedari tadi seolah bukanlah apa yang ada di sekelilingnya. Pikirannya sejak tadi mengendap di perjalanan hidupnya ketika pertama kali menginjak tanah Batavia. Bukanlah suatu hal yang selalu menyenangkan jika dikenang. Peristiwa awal yang mengakibatkan dirinya berada di Batavia pun sebenarnya adalah luka yang begitu dalam. Kedua mata Ayame masih tertuju pada cermin yang ada di hadapannya. Dari pantulan cermin, dia bisa melihat tempat tidur berkelambu yang selama ini menemaninya mengarungi malam demi malam di Batavia. Tentu saja, dia tidak bisa tidur. Langit malam Batavia adalah saksi bisu dari air mata, keringat, serta keresahan yang dialami Ayame. Dia bernapas, tetapi terasa tak ada udara yang masuk dan menyegarkan pikiran dan hatinya. Dia baru menyadari bahwa sudah lama sekali dia bernapas dengan cara seperti ini. Bera
Patah hati di musim semi, saat bunga-bunga Sakura merah jambu bermekaran, saat langit berwarna biru cerah dengan goresan pelangi yang ceria. Hanya angin sepoi-sepoi yang membelai lembut rambutku dan mengeringkan air mata, tetapi dia jugalah yang menjatuhkan kelopak sakura ke dalam secangkir teh hijau yang hendak kuseruput. Aku mencoba untuk tak mengutuk siapa pun. Biarlah semua rasa sakit ini kutelan di tengah dunia yang sedang penuh suka cita. Aku tak mencoba menutupi, tetapi mereka memang sedang ingin merayakan kesenangan saja. Dari kejauhan, kulihat seorang gadis mencoba menangkap beberapa sakura dari bawah pohon. Punggung tangan mungilnya katanya kedinginan, maka dari itu ada tangan kekasihnya yang menggenggamnya. Tangan yang lebih besar dan hangat. Tangan yang membuatku teringat akan genggaman erat di musim gugur lalu. Jatuh cinta pada musim gugur, saat daun-daun kering berguguran, saat ranting-ranting pohon tanpa daun mengukuhkan kesepian yang tak kumengerti dan asing rasan
Aku tak sempat bermesraan dengan kesedihan. Dunia terasa berputar jauh lebih cepat selepas kau pergi. Berjalan pun terasa berlari. Aku terengah-engah. Sedangkan berlari? Aku merasa kehilangan dua kaki. Bukan berarti aku tak berduka. Akan tetapi, air mata ini tak punya waktu untuk menetes. Angin sudah mengeringkannya sebelum tanganku menyekanya. Waktu sudah menggerus silam sebelum benak berkompromi pada hati untuk mengenang. Mungkin ini cara semesta untuk membuatku lupa akan semua kekosongan ini. Aku yang dulu sungguh berbeda dengan aku yang sekarang. Aku yang dulu begitu dekat denganmu, sekarang sendirian. Apakah lebih baik jika aku yang dulu dan aku yang sekarang itu sama? Yaitu, sama-sama tak merasakan keberadaanmu. Kalau sudah begitu, air mata pun tak perlu repot-repot menyalahi angin yang mengeringkannya. Namun, jika memang seperti itu, berarti seumur hidup, aku tak tahu bagaimana rasanya dicintai dan mencintai. Lebih baik sempat daripada tidak sama sekali. Aku tak
Kang Jang Hyuk tak pernah ragu dengan penglihatannya. Deretan tentara yang berdiri di bawah sana adalah para tentara Nippon. Mereka nyata ada di tanah Batavia. Mereka berseragam lengkap dan membawa senjata. Mimpi buruk itu akhirnya datang juga. Arak-arakan para tentara Nippon mengepung kantor pemerintah Hindia Belanda. Sudah tak ada lagi harapan jika memang niat mereka adalah menjajah. “A….apa mau mereka datang ke sini?” asisten gubernur jenderal Hindia Belanda menoleh ke arah Jang Hyuk. “Kalau sudah begini, kau baru ketar-ketir mencari bantuanku!” Jang Hyuk hanyalah seorang manusia biasa. Dia akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh kawan seperjuangannya. Akan tetapi, jika dia dikhianati, dia tak segan untuk berbalik memojokkan pihak yang awalnya dia kira rekan. “Mati saja kalian di tangan Nippon!” refleks, Jang Hyuk meraih dokumen-dokumen mengenai Lima Samurai Batavia yang tergeletak di atas meja, yang menurut pemerintah Hindia Belanda tidak ada artinya. Jang Hyuk benar-benar saki
Hideyoshi Sanada dan kawan-kawan…. Dr. Fadjar Wongsotjitro dan kawan-kawan… Kang Jang Hyuk…. Mereka semua memang berdiri di titik-titik yang berbeda, tetapi sebenarnya apa yang mereka perjuangkan itu sama, yaitu…. Suatu hal yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. Sampai saat ini, entah kisah apa yang menyebar mengenai kisah para mata-mata Jepang di tanah Batavia sebelum kedatangan para tentaranya. Eksistensi mereka pun masih dipertanyakan. Satu hal yang pasti, keberadaan toko-toko Jepang di tanah Batavia zaman Hindia Belanda itu benar adanya. Caranya menarik hati pelanggan pun luar biasa hebatnya. Kelima murid Shitaro Watanabe bisa jadi memang mata-mata, bisa jadi memang pendekar pedang, atau bisa jadi memang pelayan toko.
Nara, Jepang 1939 "Berpasanganlah dua-dua di antara kalian bersepuluh! Sehingga ada lima kelompok di antara kalian!" Pertengahan abad ke-20, di bawah kaki gunung pedalaman Nara, Jepang, seorang lelaki tua memerintahkan kesepuluh murid berpedangnya untuk berpasangan dua-dua. Kesepuluh murid yang dapat dikatakan sebagai pendekar pedang, atau beberapa abad silam disebut sebagai Samurai itu segera memahami maksud sang guru. Lelaki berambut panjang penuh uban yang sudah dianggap sebagai ayah mereka bersepuluh ini pasti berteriak begini lantaran menyuruh kesepuluh muridnya untuk berburu di hutan. Seperti biasa, jika senja sudah mewarnai langit, kesepuluh anak muda yatim piatu itu harus berebut bahan pangan bersama binatang-binatang buas di semak belukar. Mereka yang senang bertarung demi merebutkan mangsa dengan para binatang itu memang lebih memilih malam untuk beraksi. Sebaliknya, sekitar pagi atau siang hari, mereka biasanya mencari kegiatan yang tak terlalu memacu adrenalin, seperti be
Angin berhembus ke arah barat, tertarik dengan pesona matahari yang mengarsir langit atas nama senja. Sungguh indah alam sekitar saat ini. Dedaunan kering kekuningan yang berjatuhan dan mendarat ke tanah pun menari-nari dengan sebelumnya dibawa angin. Semuanya bersatu padu mengikuti instruksi alam. Sebagian besar manusia percaya bahwa semua ini ada yang menciptakan. Semua ini ada yang menggerakan. Masalahnya adalah, pergerakannya bisa membawa ke arah baik atau bencana alam sekalian. Sudah lebih dari sepuluh tahun, sang guru berkawan dengan pegunungan, hutan, dan semesta sekitarnya. Dia mengumpulkan sepuluh anak kecil yatim piatu dari berbagai tempat penampungan. Dia latih semuanya agar menjadi pendekar pedang yang hebat. Tak hanya menciptakan hubungan baik antara guru dan murid, hubungan persaudaraan dan kekeluargaan menjadikannya seperti seorang ayah dengan sepuluh anak. Keputusan untuk memilih sepuluh anak kecil itu pun bukanlah perkara acak. Sang guru bisa sampai mengh
Lahir dan Mati dalam keadaan sendirian. Itulah makhluk hidup. Salah satunya adalah manusia. Lantas, jika sudah tahu seperti itu, mengapa kau biarkan diri ini ketakutan? Apa yang kau takutkan? Toh ketika hendak dilahirkan, kau juga sudah sendiri dan gelap dalam rahim. Begitu pula dengan kematian. Kesendirian dan kegelapan akan menanti lagi. Tanpa siapapun. Kelahiran dan Kematian, jangan lupakan apa yang ada di antaranya. Yaitu… Penerangan dan kebersamaan. Memang tak kekal, tetapi patut disyukuri kehadirannya. Lalu, beranggapanlah bahwa semua itu hanyalah pengantar menuju akhir. Caranya saja yang berbeda-beda. Kutahu bukan keinginanmu. Namun, Tak pernah terduga aku bisa saja berakhir di tanganmu. Tangan yang justru kugenggam dan kuanggap sebagai penerangan dan kebersamaan. Belum sempat benak dan hati ini mencerna, rerumputan dan dedaunan itu sudah dilumuri merah. Begitu pula dengan tanganku. *** Kreik! Derit pintu gubuk menyapa pendengaran. Tentu saja menghasut ked