"Tuan Dokter Fadjar WongsoTjitro, maaf saya mengganggu waktu je lagi,” suara Kang Jang Hyuk menggema di ruang tamu kantor pemerintahan Hindia Belanda. Ruangan ini tentu tak asing bagi Fadjar. Setiap kali dia bertemu dengan mata-mata Hindia Belanda asal Joseon ini, tempatnya selalu di ruang penuh foto para gubernur Jenderal Hindia Belanda ini. Kedua mata Fadjar tertuju pada rokok yang dijepit jemari telunjuk dan jari tengah Jang Hyuk. Bara merah kekuningan itu merontokan puntung rokok. Semakin lama, ukurannya semakin kecil. Tentunya bukan karena dihisap oleh Jang Hyuk, tetapi karena pemuda Joseon itu tengah menantikan sesuatu sejak tadi. Sesuatu yang dapat menyudahi keheningan di antara Jang Hyuk dan Fadjar. Apalagi kalau bukan pernyataan Fadjar yang begitu penting, tak hanya bagi Jang Hyuk, tetapi juga jajaran pemerintah Hindia Belanda. Bisa dikatakan bahwa pada saat ini, banyak pihak yang tergantung pada Fadjar. Mirisnya, bagi Fadjar sendiri, dia tak tahu alasan apa yang membuat sem
"Aku yakin jika aku beserta orang-orang Joseon yang dipaksa menjadi tentara, orang-orang Hindia Belanda di kantor pemerintah ini, je, atau bahkan tentara-tentara Nippon beserta mata-mata yang menjadi pelayan toko itu sebenarnya adalah orang-orang baik. Saking baiknya, kita semua ingin negara masing-masing yang memenangkan perang dunia ini. Karena alasan inilah, pada akhirnya, membuat kita semua saling menghabisi,” Perkataan Kang Jang Hyuk terniang-niang di benak Fadjar. Dalam perjalanan menuju kediamannya dengan menggunakan kendaraan umum, Fadjar memandangi hiruk-pikuk kota Batavia di hadapannya. Di balik jendela angkutan umum, banyak hal yang menarik perhatiannya. Salah satunya adalah toko Banzai yang kini telah menjelma menjadi bangunan kosong. Hinagi….. Hati Fadjar kembali memanggil nama gadis Jepang itu. Apa kabarmu? Di mana kau sekarang? Apakah kau masih berada di Batavia? Atau sudah berada di luar Batavia. “Lima Samurai Batavia adalah pelaku pembunuhan Dokter Barend,” Di
Senja hampir tergerus oleh kegelapan langit malam. Malaikat dan iblis masih berada di sisi manusia, sebagai pembimbing ke arah yang lebih baik, lebih buruk, atau tidak keduanya. Jika tak memilih keduanya, bukan berarti seorang manusia tidak mempunyai sikap. Justru, berarti dia telah menjelma menjadi seorang manusia yang jauh dari rayuan kedua makhluk lain, apalagi julukan munafik.“Hah? Apa ini?” Fadjar menemukan beberapa dokumen di luar rumah sakit CBZ. Tumpukan itu disatukan dalam sebuah map cokelat yang kelihatannya sering dibuka oleh seseorang. Hal ini terbukti dari tak adanya debu pada map ini. Tentunya tak seperti dokumen-dokumen lainnya di berbagai tumpukan map yang Fadjar sendiri yakin tak akan berurusan dengan tumpukan itu. “Hah? Ini?” dia merasa dokumen yang dia temukan ini begitu penting. Judul utama dari mapnya lebih menarik rasa penasaran. Jika Fadjar mencoba menyalakan pemantik sebagai penerangan, tampaklah tiga kata yang terarsir di hala
Bagaimana Hide? Tugasmu di Batavia sudah selesai? Aku…. Aku tak terlalu bangga dengan apa yang sudah kau lakukan. “Hah? Sakurako?” Ketika sedang tidur terduduk di pojokan suatu ruangan, Hideyoshi Sanada terjaga mendadak kala Sakurako berkunjung di bunga tidurnya. Tengah malam yang sunyi menemani lamunannya. Saking tak ada suara apa pun di sekitarnya, Hide berpikir jika dirinya dalam keadaan sendirian. Padahal, tentu saja tidak. Hide menyisir pandang sekitarnya. Di sampingnya, Jin juga tidur terduduk seraya bersandar di dinding. Begitu juga dengan Yuji dan Kazumi. Mereka berdua juga tengah tidur terduduk di dinding ruangan. Barulah di tengah ruangan, Hinagi berbaring pulas di tempat tidur berkelambu. Lalu, di manakah keberadaan Hide dan keempat saudara seperguruannya ini? Jangan dikira, Hide dan keempat saudara seperguruannya tidak tahu soal keberadaan mereka. Sambil menunggu perpindahan tugas di luar kota yang telah ditentukan, mereka berlima tengah menunggu seseorang yang kat
Cinta…. Ayame Uchida tak pernah merasakannya sepanjang hidup. Bicara soal hidup, memangnya, apa sebenarnya hidup itu? Berkali-kali, dalam beberapa lipatan detik, pertanyaan yang sama memenuhi pikiran. Ayame berusaha mencari jawaban mengenai definisi dari kehidupan itu sendiri. Sampai di suatu titik, dia menyadari bahwa dia memang tak memilikinya. Sangat menyedihkan! Semakin sering Ayame memikirkan filosofi dan definisi dari kehidupan, maka akan semakin sering pula dirinya menyadari bahwa kehidupan yang dijalaninya bukanlah miliknya secara utuh. Ayame hanya mengetahui caranya bernapas, meyakini adanya peredaran darah dalam jengkal raganya, dan merasakan adanya detakan jantung. Sisanya berupa gerak tangan, langkah, senyuman, bahkan suasana hati tak bisa dia tunjukkan secara jujur. Dia tak dapat menunjukkan apa adanya kepada dunia yang luas ini. Mungkin saking luasnya, larangan demi larangan datang silih berganti. “Jika anda tak pernah merasakan cinta dalam kehidupan, apa arti Sak
Buat apa berhasil menjadi fantasi pikiran ribuan lelaki, tetapi memiliki kehidupan sendiri bagaikan fantasi termahal yang kelihatannya selamanya tak akan pernah terjadi. Ayame Uchida hanya bisa memperhatikan refleksi wajahnya di pantulan cermin riasnya. Kulitnya yang putih dipoles dengan bedak cair yang jauh lebih putih. Bibirnya yang ranum memerah juga dipoles dengan lipstik yang jauh lebih merah bergelora. Alis bulan sabitnya semakin ditebalkan dengan arsiran pensil hitam yang semakin gelap. “Halus dan berkilaunya rambut panjang Nona Ayame. Di kota ini, rasanya aku belum pernah menyisir rambut pelangganku seindah ini,” perias membelai lembut rambut panjang Ayame. “Te…rima kasih,” Ayame menganggukan kepala dengan senyum yang meragu. Dia sendiri menangkap keraguan di mimiknya sendiri pada refleksi cermin. Sembari itu, dia perhatikan kuku-kuku lentik perias menyisipkan jepit rambut bunga Sakura. “Sungguh cantik seperti biasa,” Nyonya pemilik penginapan termahal di kota Kyoto datang
"Arigatou….. Arigatou….,” entah sudah berapa kali Ayame melontarkan ucapan terima kasih hari ini. Selama berada di Batavia, terasa kebahagiaan selalu hadir kepadanya, menghinggapi jiwanya, penawar luka di hatinya. Meski apa yang telah negaranya lakukan kepadanya di hari lalu masih berbekas di benak, keberuntungan-keberuntungan yang didapat Ayame selama di Batavia membuatnya tak terlalu memikirkan hal-hal tak enak itu. “Nona Ayame, kenalan saya ada yang ingin diperkenalkan juga dengan upacara minum teh minggu ini. Apakah nona dapat ke rumahnya di Weltevreden juga?” majikan Ayame yang memiliki bar di pinggir Batavia kembali menawarkan pekerjaan bagi Ayame. Pundi-pundi siap menyambut gadis itu. “Arigatou,” Ayame menganggukkan kepala. Ada untungnya juga dia menjadi geisha di masa lalu. Dia jadi turut mempelajari bahasa Belanda. Dia paham segala hal yang dibicarakan oleh majikannya kepadanya. Walaupun, Ayame sendiri baru bisa menjawabnya dengan Bahasa Jepang. Itulah alasan Ayame tak langs
Sudah sejak tahun 1912, pemerintah Hindia Belanda melarang adanya PSK atau Pekerja Seks Komersil. Kebijakan ini sendiri dilakukan semenjak adanya konvensi dunia antiperdagangan perempuan dan anak. Sebenarnya, Jepang juga menjadi salah satu negara yang menandatanganinya. Oleh karena itulah, Ayame tak dapat meneruskan profesinya sebagai Geisha di Hindia Belanda. Berbeda dengan kebudayaan negeri Sakura yang memang mencetak Geisha tak hanya sekedar perempuan penghibur, di luar negeri, salah satunya Hindia Belanda, citra dari Geisha tentu saja memang identik dengan prostitusi. Hidup di Batavia adalah perjuangan bagi seorang Ayame Uchida. Dengan kemampuan menari, mengenakan kimono, menjahit kimono, dan memimpin upacara minum teh yang sebenarnya memang diajarkan oleh semua geisha, wanita ini menjadikan semuanya sebagai modal untuk mencari sesuap nasi. Hasilnya tak dapat dikatakan melimpah, tetapi untungnya saja cukup. “Shi….taro Watanabe?” Ayame tentu saja tak dapat menyembunyikan ekspresi