Share

Bab 2 - Kecemburuan

Bab Dua: Kecemburuan

***

Ting!

Dering notifikasi pesan masuk. Ponsel di meja rias tampak berkedip-kedip. Irena berhenti mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, dan beralih meraih ponsel pintar. Membaca satu nama kontak tertera di layar, Irena melonjak senang. Buru-buru dia membuka pesan masuk dari kontak bernama Zen. 

'Kau sedang apa? Aku merindukanmu!' Begitulah isi pesan dari Zen. Seorang pria yang telah menjadi kekasihnya. Irena dengan cepat mengetikkan balasan. Mengatakan bahwa dia juga merindukannya. Long distance relationship membuat mereka tidak dapat bertemu tatap muka lagi selama dua bulan ini. Sejenak Irena dan Zen saling mengucapkan kata rindu mereka dalam kalimat pesan singkat. 

Sementara itu di dapur, Yohan baru saja selesai mencuci piring sebelum beralih pada oven. Dia memakai sarung tangan tebal saat menarik keluar loyang dari oven untuk dipindahkan ke meja. Beberapa camilan cookies terlihat berbaris rapi di permukaan loyang. Tampak renyah dan menggiurkan. Lalu dia menyiapkan piring. Memindahkan satu per satu cookies buatannya menjadi susunan piramida di atas piring. Kemampuannya dalam hal memasak bukan hal baru bagi Yohan. Dia mahir di dapur, mandiri, dan kelihatan normal... 

Selesai menyusun cookies, dia membawa piring itu ke meja depan televisi. Lalu menarik langkah ke arah pintu kamar Irena yang tertutup rapat. Yohan langsung membukanya tanpa mengetuk. Dari pintu, dia melongok ke dalam. Yang dia lihat rupanya wanita itu sedang senyam-senyum dengan ponselnya di depan cermin rias. Yohan tertarik untuk mengetahui alasan Irena tersenyum, pada siapa? "Irena, aku membuat cookies. Apa kau mau?" tawar Yohan. Secara tak langsung menegur keasikan Irena yang tak menyadari dirinya membuka pintu. 

"Oh ya??" Irena menoleh bersemringah. Yohan selalu tahu bagaimana menarik perhatian wanita itu. Cookies adalah camilan kesukaan Irena. Kontan saja dia bangkit dengan semangat dan berderap keluar kamar. Yohan tidak segera menyusul. Tatapannya tertuju pada ponsel milik Irena yang ditinggalkan di meja rias. Didorong rasa penasaran, Yohan mengambil ponsel itu. Mencari penyebab Irena tersenyum-senyum mencurigakan. Yohan tidak perlu lama menjelajah ponsel, karena begitu layar menyala tiba-tiba, pesan masuk dari Zen muncul seketika. Dan Yohan membaca semua isi pesan itu. Menggulirkan layar ke atas, membaca dengan gerak mata cepat, lalu mengusap layar ke bawah hingga pada pesan terakhir yang baru masuk. Kini, Yohan menemukan jawabannya. 

Di pesan baru itu tertulis: kapan kita bisa bertemu lagi berdua? Aku ingin segera memelukmu. 

Yohan merasa jijik dengan kalimat itu. Ide lain membuat jemarinya bergerak di atas keyboard. Yohan membalas pesan itu! 

'Aku sebetulnya sudah muak denganmu! Jangan pernah mencariku! Peluk saja wanita lain!'

Yohan sadis. Dan Yohan dengan lancang -atas kesadaran penuh- dia mengutuk si pengirim pesan dengan ujaran kebencian. Tentu saja karena nomor ini milik Irena, Zen pasti mengira yang menulis pesan ini adalah Irena. Hal tersebut bisa menjadi awal sebuah peperangan. Begitulah mulanya terjadi adudomba. Yohan menyeringai senang. Membayangkan pria bernama Zen ini akan benar-benar menjauhi Irena. 

Di lain sisi, Irena sedang tertawa menonton acara teve komedi sambil mengemil cookies. Benar-benar nyaman dan damai. Meksipun di luar jendela menunjukkan hujan turun di langit malam dengan intensitas rendah. Tawa Irena berhenti ketika tubuh Yohan berdiri tiba-tiba di depannya. Menghalangi pandangan Irena dari televisi. Irena kesal. Lantas melirik Yohan dengan tajam. "Ih! Minggir!" protes Irena. 

Yohan tetap bergeming. Sementara Irena memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, berusaha tidak ingin melewatkan adegan di televisi. Namun, pemuda itu tidak juga berpindah dari hadapannya. Membuat kejengkelan Irena meningkat. Alisnya sudah naik sebelah saat mendeliki Yohan. "Apa maumu, Yohan?"

"Apa kau dan Zen masih berkomunikasi?" tanya Yohan. Dia tahu tentang Zen walau tidak pernah bertemu secara langsung. Zen adalah teman sekampus Irena dulu bersama Kayla. Hanya Kayla yang pernah bertemu dengannya saat pertama kali main ke rumah, menjemput Irena. 

Wanita itu mendongak. Baginya, tumben sekali Yohan membicarakan tentang Zen. Biasanya dia tidak pernah membahas orang lain. "Zen? Tentu saja kami masih berkomunikasi," jujur Irena. Tanpa tahu maksud tersembunyi Yohan bertanya demikian. "Kenapa?" timpal Irena. 

"Apa ada seseorang yang kau sukai?" Yohan mengajukan tanya lagi. Membuat Irena seakan sedang diinterogasi. Keningnya mengeryit heran. Tetapi dia segera teringat tentang si pengirim pesan tadi, Zen. Ekspresi wajahnya berubah seketika menjadi tampak santai. "Aku tidak tahu apakah aku menyukainya atau hanya sekadar mengagumi," ucap Irena. 

"Jangan menyukainya!" tegas Yohan. Irena tersentak. "Apa maksudmu?" tanyanya polos. "Dia orang yang baik, bagaimana aku tidak menyukainya." 

Seketika raut Yohan berubah mendung. Dia tidak kelihatan tegang seperti tadi lagi. Melainkan nampak sedih dilihat mata Irena. "Kau tidak peduli lagi padaku..." lirih Yohan melemas. Irena paham, ada kesalahpahaman yang tidak dimengerti Yohan. Akhirnya Irena berdiri. Meraih kedua tangan lelaki itu dengan lembut. Irena mengenal adik tirinya ini. Meskipun mereka tidak sedarah, Irena memiliki tanggung jawab pada Yohan sebagai kakak. "Yohan," panggil Irena pelan. Mereka harus bicara dari hati ke hati. "Tatap mataku dan dengarkan aku," pinta Irena dengan suara yang stabil. 

Yohan butuh perhatian darinya. Irena berpikir kalau lelaki ini belum sepenuhnya terlepas dari trauma masa lalu. Maka dengan sabar, Irena meladeni gejolak emosi Yohan. Hanya itu satu-satunya cara agar dia tenang lagi. Hanya dirinya yang bisa meredakan amarah Yohan. Dan lelaki itu selalu menuruti perkataan Irena selama tidak bertentangan dengan hatinya. Yohan menggeser pandangannya dan menatap tepat ke iris hazel milik Irena. 

"Aku tidak suka kau dekat dengan lelaki lain kecuali itu untuk pekerjaan," bisik Yohan melembut. Irena menarik senyuman ringan. "Tentu saja, Yohan. Kami rekan kerja dan teman yang konyol. Jangan marah lagi, ya?" sahut Irena, menggenggam kedua tangan lelaki ini. Memberi kekuatan bahwa dia tidak akan meninggalkan Yohan sendirian. Benar, itulah yang Irena pikirkan jika Yohan takut ditinggalkan. Oleh karena itu Yohan bersikap posesif kepadanya. Inilah yang dapat Irena asumsikan mengenai Yohan, berdasarkan masa lalu itu. 

"Dapatkah kau berjanji kepadaku?" pinta Yohan. Menunjukkan jari kelingkingnya. Irena melihat itu dan tersenyum. "Um! Aku berjanji," katanya sembari mengaitkan kelingkingnya ke jari Yohan. Mengikat janji ala anak kecil yang selalu mereka lakukan sejak anak-anak. 

"Aku ingin tidur bersamamu," ujar Yohan lagi. "Baiklah. Mari kita tidur." Irena tidak bisa menolak. Yohan harus dimanjakan. Karena kejadian ini membuat Irena merelakan melewatkan acara komedi kesukaannya. Mereka segera masuk ke kamar Irena dan berbaring di kasur tipe single itu, dengan selimut menutupi pundak keduanya. Mereka berbaring miring dengan saling berhadapan. Irena belum menutup matanya ketika memperhatikan wajah Yohan dari jarak sedekat ini. "Waktu begitu cepat berlalu," gumam Irena. Sedangkan tatapan Yohan tak sekali pun berpaling dari wajah Irena. "Kau begitu cepat tumbuh. Padahal dulu kau masih bisa kupeluk." Irena terkekeh. 

"Oh... Kau tidak bisa tidur memelukku lagi dengan tubuh kecilmu itu. Sekarang giliran aku yang tidur memelukmu semalaman," balas Yohan sembari memeluk Irena bak guling dengan erat. "Ya... Sekarang giliranmu menggantikanku," bisik Irena di leher lelaki itu. Dia tersenyum kecil. Bahagia. Yohan tidak lagi marah. Dia berhasil meredakan kecemburuan Yohan dengan memanjakannya seperti ini. Yah... Irena pikir yang dilakukannya ini hanya memanjakan. Tapi dia tidak peka terhadap degupan jantung yang berdebar nyaman. Malam ini, Irena tertidur nyenyak di dalam pelukan Yohan. 

***

Authors note: Hai! Terima kasih sudah membaca cerita ini! Kuharap betah ya. Jangan sungkan beri komentar. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status