Share

Bab 3 - Flashback

***

Flashback. 

Irena sudah menunggu kedatangan orang tuanya -yang katanya akan pulang hari ini dari rumah nenek. Ketika dia mendengar pintu rumah dibuka dan membuatnya bergegas keluar kamar, Irena terdiam melihat orang tuanya datang tidak berdua. Melainkan seorang anak laki-laki turut serta bersama mereka. Irena terbengong. Anak siapa yang mereka bawa itu?Anak laki-laki itu kelihatan lesu. Wajahnya yang menunduk, menunjukkan kesedihan. Membuat Irena merasa kasihan. 

"Dia anak sahabat ibu. Ayo kuantar ke kamarmu," kata ibu. Anak itu berjalan melewati Irena. Mengekori sang ibu menuju kamar -yang kebetulan mereka memiliki tiga kamar di mana satunya kosong. Saat itu Irena melempar tanya pada sang ayah. "Ayah, siapa anak itu? Aku tak mengenalnya," ujar Irena. Tidak ada wajah anak itu di dalam memori Irena tentang sanak-saudara dari pihak ibu maupun ayah. Irena mengetahui dan mengenal hampir semua saudara sepupunya. Tapi tidak untuk anak laki-laki itu. 

Sang ayah duduk di sofa ruang keluarga. Dia bersandar dengan nyaman sedangkan Irena masih berdiri menunggu jawaban. "Anak itu baru saja mengalami hal yang menakutkan bagi anak seusianya. Orangtuanya bercerai. Ayahnya menikah lagi dan ibunya bunuh diri. Sebelum meninggal, ibunya berpesan pada kami untuk menitipkan anaknya. Ketika kami sampai di rumahnya, dia sudah meninggal. Dan kami memutuskan mengadopsinya berhubung dia anak sahabat ibumu," jelas ayah. 

"Dan dia mungkin butuh perawatan mental ke psikolog," sambung suara sang ibu dari arah lain. Beliau meninggalkan anak laki-laki itu di kamar saat kembali lagi ke ruang keluarga. Irena berbalik, menatap sang ibu dengan tatapan kaget atas penuturan tadi. 

"Apakah dia...." Irena memggantungkan kalimatnya ragu-ragu. Namun, dibalas gelengan kepala dari wanita baya itu. "Dia tidak akan gila jika dirawat dengan baik." Sejenak beliau menghela napas prihatin. "Padahal umurnya baru sepuluh tahun, tapi sudah harus mengalami hal seperti itu," gumamnya. "Nanti kau ajarkan dia pelajaran di sekolahnya, ya," ujar sang ibu. 

"Baiklah. Ngomong-ngomong, siapa nama anak itu?" tanya Irena. 

"Yohan."

***

Irena melihat ke dalam kamar anak itu. Pintunya terbuka lebar, jadi dia bisa langsung mengetahui apa yang sedang dilakukan anak bernama Yohan di dalam. Anak itu rupanya hanya terdiam, duduk bersimpuh di bawah kasur. Irena berinisiatif mendekatinya. Setidaknya untuk menyapa agar tidak kesepian. "Hai," kata Irena. Tidak dijawab. Apalagi dilirik. Anak itu melamun dengan pandangan kosong. 

Lalu dia duduk di samping Yohan. Menekuk lututnya dan hening sejenak. Keduanya menatap ke luar jendela. Jika Irena sedang berpikir obrolan apa yang harus dibicarakan, maka anak itu tidak memikirkan apa pun. Seperti pandangannya yang hampa. "Namaku Irena. Aku sudah mendengar tentangmu," buka Irena. Walau tahu dia tidak ditanggapi, Irena tetap melanjutkan bicara. "Aku mungkin akan mengalami hal yang sama denganmu jika aku berada di posisimu." Irena berhenti. "Kau tak perlu khawatir, Yohan. Sekarang kami adalah keluargamu yang baru." Dia melempar senyum ke samping. Tapi anak itu tetap memasang ekspresi muram tanpa memalingkan wajahnya. 

Irena merasa tidak boleh membiarkan Yohan hidup terkurung oleh traumanya. Namun untuk hari pertama mereka, Irena ingin memberikan ruang untuk Yohan meratapi kesedihan itu. "Baiklah. Kau harus istirahat hari ini. Kita akan bermain besok," kata Irena kemudian beranjak keluar kamar. Dia berhenti sebentar di pintu, menatap dengan simpati kepada anak itu. Lalu menghampiri orang tuanya di ruang tengah. Sang ibu sedang memasak di dapur. "Ayah, ibu, bagaimana dengan sekolah Yohan?" tanyanya. 

"Dia tetap bersekolah jika dia mau," ujar ayahnya yang tengah menonton televisi. "Sesekali temani dia agar tidak kesepian..." sambung ibunya dari dapur. 

Hari kedua, ketiga sampai seminggu kemudian, Yohan tetap tidak mau bicara kepada siapa pun. Membuat Irena geram saat menghampirinya ke kamar. Irena berlutut di depan Yohan yang duduk menekuk lutut di lantai dengan menghadap jendela. "Yohan, mau sampai kapan kau murung seperti ini? Ayo ikut denganku dan ibu ke dokter," ujar Irena. Menarik pergelangan tangan kecil anak itu. 

"Tidak mau! Aku tidak sakit!" teriak Yohan menolak. "Aku mengerti kau tidak sakit. Tapi---" Irena berhenti sebentar saat menempelkan telapak tangannya ke dada bocah itu. "Di sini sedang sakit. Kau butuh perawatan," lanjutnya dengan lebih pelan. 

"Aku tidak butuh perawatan! Aku hanya diriku, dan kau bukan siapa pun dalam hidupku! Jadi, jangan campuri kehidupanku!" berang Yohan. Matanya membeliak marah. Sementara Irena menggeleng. "Kau tidak sendirian jika kau berpikir begitu. Kami menerimamu di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian, Yohan. Tidak akan. Genggam tanganku, dan percayakan semuanya kepadaku," ucap Irena mantap. 

Yohan tidak segera menyahut. Bocah itu terdiam mencerna ucapan Irena. "Bisakah kau menepati janjimu?" katanya kemudian. Mengacungkan jari kelingking, tidak mungkin Irena mengabaikannya. Sehingga dia juga menautkan jari kelingkingnya ke jemari kurus Yohan, diringi senyum tulus terukir. 

Siang itu Irena berhasil membujuk Yohan untuk pergi bersama ke psikiater di sebuah rumah sakit. Ketika mendapat panggilan untuk masuk ke ruangan, mereka duduk dihadapan seorang dokter psikolog. Irena menunggu di kursi tunggu, menanti cemas ibu dan Yohan keluar dari ruangan itu. Tidak berselang lama, Irena tersentak berdiri ketika melihat mereka keluar bersama. "Bagaimana?" tanya Irena. Ibunya tersenyum. "Dia perlu rutin konsultasi tiap minggu dan meminum obat yang dianjurkan untuk menenangkan pikirannya," jelas wanita baya itu. Lalu Irena melirik Yohan yang sedikit lebih pendek darinya. 

***

Tujuh tahun terlewati dan Yohan tumbuh menjadi remaja berusia tujuh belas tahun yang bersiap mengikuti ujian kelulusan. Dia digempur habis-habisan dengan tumpukan buku tebal di meja belajarnya. Hingga seseorang berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar, Yohan tetap tidak menyadarinya. Gadis itu tersenyum melihat keseriusan Yohan di meja belajar. Lantas dia melangkah masuk sambil membawa nampan berisi segelas susu. "Aku membuatkan susu hangat untukmu," kata Irena. "Aku letakkan di sini ya." Diletakkannya gelas itu di pinggir meja sebelum keluar kamar. 

Namun, suara Yohan membuat langkah Irena terhenti seketika. "Tetaplah di sini dan temani aku belajar," pinta Yohan tanpa mengalihkan pandangannya dari buku-buku itu. Irena menyunggingkan senyuman ringan. "Baiklah," setujunya. Dia memanfaatkan itu untuk mengobrak-abrik ruang kamar Yohan. Melihat-lihat apa pun yang menarik perhatiannya. Entah buku maupun barang yang ada di kamar ini. Hingga Irena menemukan sebuah album foto di laci. Irena mengambilnya. Membawanya ke kasur. Lalu dia mulai membuka lembar demi lembar album foto itu. 

Isinya kebanyakan foto-foto mereka berdua dan beberapa bersama orang tua Irena sewaktu liburan keluarga. Irena merasa terkenang. Rasanya baru kemarin dia bertemu Yohan kecil, tetapi waktu berjalan dengan cepat. Ketika itu Irena menguap. Kantuk mulai menyerang dan membuat dia tidak dapat menahannya lagi. 

Satu jam kemudian Yohan mematikan lampu belajarnya, menyisakan lampu tidur yang sudah menyala. Di merapikan semua buku itu, lalu berdiri berbalik. Seketika dia berhenti. Melihat Irena berbaring tidur di kasurnya merupakan pemandangan yang mengejutkan. Kemudian dia mendekat, menyelimuti Irena bersama dengan dirinya. 

Waktu terus bergerak. Di tengah keheningan ini kelopak mata Irena terbuka. Tepat di depan matanya wajah Yohan terpampang dekat. Irena menahan napas seketika. Sekilas Irena menyadari hal yang tak seharusnya dia alami. Wajah itu telah menyihirnya. Yohan tumbuh semakin menawan. Tapi! Irena menekankan diri bahwa dirinya ini wanita berusia dua puluh satu tahun yang akan lulus kuliah, tidak semestinya mengagumi paras seorang remaja, bukan? 

Selain itu, sebuah lengan Yohan bertengger di perutnya. Irena berniat menyingkirkan lengan itu dari perutnya, akan tetapi Yohan bergerak dan mengeratkan dekapannya tanpa membuka mata. "Tetaplah di sini," bisik suara Yohan. "Aku hanya butuh semalaman bersamamu untuk menghadapi hari esok."

Dan Irena tidak mampu menolaknya. "Baiklah."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status