Diandra sangat mengenal Archand, karena selama mereka menjalin hubungan, pria itu tidak pernah sedikitpun menyakiti tubuhnya. Archand adalah pria yang baik, dia selalu menjaga Diandra dari orang-orang yang ingin mengusiknya. Pria itu benar-benar seperti pahlawan untuknya. Gadis itu sangat bahagia karena pernah menjadi orang penting di dalam hidupnya meksipun akhirnya dia harus rela memutuskan hubungan bersama pria itu.
“Maafkan aku, Diandra.” bisik Archand yang menarik tubuh gadis itu hingga jatuh dalam dekapannya. Gadis itu hanya menangis terisak-isak dan membalas pelukan pria itu dengan erat. Mereka saling larut dalam pemikiran masa lalu, sebenarnya di antara mereka memang masih ada rasa cinta. Namun, mereka tak mampu membuat pilihan dan menentukan siapakah yang akan menjadi pilihan masa depan mereka.
“Aku tahu kamu pasti kecewa denganku, aku ini manusia yang bisa saja berbuat khilaf. Maafkan aku, sungguh aku tidak mengerti dengan perasaanku saat ini.” sambun
Archand segera memeluk Diandra dan mencoba membuatnya tenang agar dapat menjelaskan semuanya. Archand tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja gadis di depannya itu menangis? Apakah ada yang mengusik gadis itu sebelum dia pergi? “Sudahlah, Diandra. Jangan menagis lagi, jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Apakah sebelum aku pergi ada seseorang yang mengusikmu?” tanya pria itu penasaran. Archand menatap tajam wajah gadis yang kini sedang menyeka air matanya. “Oke, kalau kamu tidak bisa jawab sekarang, nanti saja kalau kamu sudah merasa tenang. Aku mengerti kamu sedang patah hati.” sahut Archand yang menjatuhkan tubuhnya di samping gadis itu dan menarik tubuh gadis itu sehingga terjatuh dalam dekapannya. “Sudahlah, jangan menangis lagi. Tenangkan dulu dirimu.” bujuk Archand yang sedang mengisap pelan kepala gadis cantik itu. Archnad membuka tutup botol air mineral yang dia beli tadi, lalu menyuguhkan tepat di depan bibir gadis itu. “Minumlah, agar kamu mer
Cuaca sangat cerah pada hari itu, semilir angin berhembus pelan mengibarkan anak rambut Diandra yang sedang tertidur lelap di pangkuannya. Archand terpesona dengan keanggunan mantan kekasihnya itu. Rasanya seperti sedang menatap boneka Barbie saja, pria itu terus membelai mantan kekasihnya dengan penuh ketulusan. Tiada rasa bosan saat menatap wajah cantiknya itu. Di sisi lain Archand juga bingung dengan perasaannya terhadap Florensia. Apakah dia benar-benar mencintai gadis itu, atau hanya sekedar pelarian saja? “Sebenarnya siapakah yang aku cinta? Kamu atau Florensia?” tanya Archand kepada dirinya sendiri. Pria itu memijat ujung keningnya dan berusaha berpikir dengan baik. Perasaannya bercampur aduk. Antara bahagia dan sedih bercampur menjadi satu. “Siapapun yang akan aku pilih nanti, aku berharap semoga pilihanku tak pernah salah. Aku ingin memilih gadis yang tepat untuk aku jadikan pendamping hidupku.” tukas Archand.***Sementara Revan dan Florensia ma
Jantung Revan berdetak kencang ketika mendengarkan perkataan yang terlontar dari mulut gadis itu. Dia merasa bahwa dia berbuat hal yang sama terhadap Diandra, seringkali dia bersikap kasar dengan gadis cantik yang merupakan sekretaris pribadinya sendiri. Ingatan Revan langsung tertuju pada Diandra. Revan berpikir bagaimana jika adik Diandra melakukan hal yang sama seperti apa yang akan di lakukan Florensia. “Apakah kamu benar-benar marah kepada atasan kakakmu itu?” tanya Revan. “Apakah kakak tidak melihat raut wajahku saat ini? Aku benar-benar serius dengan ucapanku, Kak!” tegas Florensia. “Aku benci pria yang kasar!” ucap Florensia, tak sadar gadis itu menjatuhkan air matanya. Dia kembali teringat akan masa lalunya, saat dia sedang menjalin asmara dengan kakak tingkatnya sendiri. “Oh, Florensia. Mengapa kamu menangis, apakah aku menyakiti hatimu?” Revan terlihat begitu panik saat gadis cantik itu menangis di hadapannya. “Maafkan aku jika tak sengaj
Archand menatap tajam kepada gadis itu, dengan lembut dia menarik tubuh Florensia agar jatuh dalam dekapannya. Archand mengerti rasa sakit yang di rasakan oleh Florensia, saat mengetahui orang yang di sayangi diperlukan kasar oleh orang lain. “Oke, aku mengerti kamu kecewa. Mungkin saja kamu begini karena kamu masih trauma dan kamu gak suka melihat seseorang yang di perlakukan kasar. Tetapi, apakah dengan membenci kak Revan bisa membuat segalanya berubah? Yang ada kak Revan semakin menyakiti Diandra. Coba kamu pikirkan lagi, Flo.” gumam Archand. “Aku tak peduli Archand, aku tetap membenci kak Revan!” tegas Florensia yang mendorong tubuh Archnad sehingga terlempar jauh di sudut lift. Untung saja mereka hanya berdua di lift itu. Jadi tidak ada seorang pun yang memperhatikan mereka. “Ayolah, Flo. Jangan seperti ini!” tegas Archnad yang sedikit meninggikan nada bicaranya. Archnad bangkit dan mendekati gadis yang sudah mematung memperhatikan ke suatu arah. Tangannya menge
Archand menatap gadis itu dengan tatapan gusar, dia merasa sedikit tersinggung dengan ucapan yang di lontarkan oleh Florensia terhadapnya. Archand mengusap wajahnya dengan kasar, rasanya ingin sekali di mencubit gadis yang duduk di sebelahnya itu. Archand berusaha untuk sabar dan tenang menghadapi gadis itu. Apalagi ketika Archand tahu banyak masalah yang sedang menimpa gadis itu, belum lagi urusan pekerjaan. Florensia mengambil alih perusahaan orang tuanya. Meskipun keberatan, tapi Florensia berusaha keras untuk mengelola kembali aset orang tuanya. Diantaranya rumah, perusahaan, butik dan hotel. “Benarkah itu tuan Archand Aldinara Syahdana?” ledek Florensia. “Apa kamu bilang? Jangan memanggilku dengan nama lengkapku!” bentak Archand. “Hanya dia yang boleh memanggilku dengan nama lengkapku?” sambung Archand yang kembali menoleh ke arah gadis itu. Bukannya takut, gadis itu malah menatapnya dengan tatapan tajam dan menggertu dengan bantahan pria di hadapannya itu
Florensia sangat kesal melihat tingkah pria yang duduk di hadapannya itu. Rasanya ingin sekali gadis itu menghajarnya, karena merasa telah di permainkan. Florensia beranjak dari duduknya dan melangkah dengan penuh amarah. Archand tertegun dengan langkahnya itu. Padahal dia berharap Florensia tidak menanggapi ucapannya kala itu. Archand hanya pasrah dan tak meminta gadis itu untuk tetap bersamanya. Begitu juga dengan gadis itu, dia berharap jika Archand kembali menatap langkah kakinya, tapi harapan itu hanya sia-sia saja. Florensia kembali menatap pria itu dengan tatapan yang penuh arti. Dengan rasa gugup Archand segera membuang pandangannya terhadap gadis itu. Saat ingin menghampiri pintu keluar, tiba-tiba mantan kekasih Florensia datang menghampiri. Rian menarik tangan gadis itu dengan kasar. Sehingga membuat Archand marah dan mencoba menarik gadis itu dari genggaman Rian, dengan perasaan marah Rian melayangkan satu tamparan kepada Archand, dengan sigap Florensia segera men
Floresia berusaha mengendalikan perasaannya, agar tak terpesona dengan tingkah Archnad yang terlihat menggemaskan kala itu. Gadis itu takut untuk kembali melabuhkan hatinya kepada pria, termasuk Archand. Florensia takut jika tak bisa berkomitmen dan kembali menyakiti hatinya. Di sisi lain, gadis itu masih tertarik dengan Revan yang tak lain adalah kakak kandung dari pria yang sedang menatapnya dengan penuh kekaguman. “Archnad!” panggil Florensia. “Sudah, Mbak. Mungkin kekasihnya sedang mengagumi kecantikan, Mbak.” Goda pelayan itu yang tersenyum menatap kedua pasangan itu. Mereka terlihat menggemaskan dan juga cocok. Semua mata hanya tertuju pada tingkah mereka kala itu. “Ta–tapi dia bukan kekasih saya, Mbak!” tegas Florensia. “Sudahlah, Mbak. Jangan malu-malu, kalau begitu saya pamit dulu ya, silahkan di nikmati makanan dan minumannya. Selamat berpacaran ya.” ucap pelayan itu yang melangkah kembali menuju dapur. “Kekasih? Kapan pria ten
Gadis itu memukul lengan Archand dengan penuh amarah, sementara Archand hanya tertawa melihat tingkahnya yang lucu. Archand berusaha menggenggam pengelangan tangan gadis itu agar menghentikan pukulannya. Akhirnya, gadis itu pun kelelahan dan menghentikan pukulannya, menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi.“Nah, capek juga kan?” tanya Archand tersenyum.“Diam ah, habisnya kamu sih, nyebelin!” tegas Florensia.“Eh, jangan bilang nyebelin terus dong, nyebelin tapi bikin kangen kan? Ayo ngaku! Pasti kamu selalu kangen sama minta ketemuan terus sama aku.” gumam Archand dengan penuh percaya diri. Pria itu menopang dagunya di atas meja dan sibuk menggoda gadis yang kini tengah menyapa sinis kepadanya. Dia tak bosan-bosan menggoda gadis itu.“Apa? Kangen kamu bilang? Ogah!” tukas Florensia yang memeletkan lidahnya, gadis itu tak hentinya bersikap emosi ketika berada di samping Archand.“Jangan bilang o