Alex mematikan saluran televisi yang sedang ku tonton. Padahal aku tengah menyaksikan bagaimana pembawa acara membuat kesimpulan sepihak atas kejadianku dengan Emily. Ulasannya bahkan sama persis dengan koran yang tadi pagi ku baca. Alex melemparkan remote, lalu menarik tanganku untuk keluar dari apartemennya.Kami memasuki lift, seiring Alex terus mendumal. Mulutnya aktif bersumpah-serapah. Sementara aku menghela nafas, sadar sejak pagi ponselku tak berhenti bergetar. Puluhan panggilan masuk dari mulai pihak agensi, Julian sampai ibuku. Notifikasi dari akun sosial mediaku pun selaras. Itu semua membuatku merasa kian terpojokkan."Hubungi Emily. Suruh dia datang ke apartemenmu untuk menjelaskan semuanya."Ketika aku hendak mencari kontak Emily, sahabatku itu terlebih dahulu menghubungi. Aku diam. Alhasil Alex menatapku geram lantaran aku seperti menolak sambungan telepon dari Emily."Angkat, Lily." Perintahnya. "Kau ingin aku yang berbicara dengan si pirang itu?"Abai terhadap saran Al
Tepat setelah kehadiran Julian di tengah-tengahku dan Alex, Julian tanpa banyak babibu langsung membawaku pergi. Aku masih mengingat jelas gurat emosi Alex ketika kekasihku menyuruh dirinya pulang, dan mengatakan bahwa ia tidak cukup becus untuk menjagaku.Julian menginterogasiku secara tidak langsung dengan rentetan pertanyaannya. Bahkan disituasi seperti ini, ia sempat menyinggung mengapa aku dan Alex terlihat lebih 'dekat' dari biasanya."Aku tidak suka kau menginap di tempat Alex! Kau juga kemana saja tidak mengangkat telpon dariku?" Pekik Julian setibanya kami di apartemennya. "Kau tahu aku mendengar ocehan ibumu! Ibumu itu terlalu banyak bicara!"Aku memandanginya jengah. Apa seperti inikah sikap asli Julian? "Jangan sangkutpautkan kekesalanmu pada ibuku. Jangan menghinanya."Julian mengacak-acak rambutnya kesal. "Aku tidak menghina ibumu. Aku hanya tidak mau ibumu menganggapku pria yang tidak pantas untukmu. Aku merasa buruk ketika ia menanyakan apa yang terjadi denganmu, dan ak
Hal yang tidak pernah ku duga sebelumnya adalah, bahwa Matthew masih mengirimkan jadwal terbaruku melalui email. Ku pikir ia hanya akan memberikan rinciannya tanpa mengupdate job yang masuk. Nyatanya Matthew belum sepenuhnya berhenti menjadi managerku."Lily, berhentilah memainkan ponselmu. Kita sedang makan."Belum sempat aku membaca isi email Matthew hari ini, aku pun akhirnya memasukkan ponselku ke dalam tas. Aku kembali melahap makanan yang sudah tersedia di meja kami. Menghela nafas dalam, aku sebenarnya tidak berselera melahap salad sayur. Julian bilang pipi dan tanganku terlihat besar dari biasanya. Jadi dia langsung mengatakan tidak ketika aku mengusulkan fast food."Fast food tidak punya ruang private, sayang. Aku lebih suka kita makan dengan nyaman seperti ini.""Aku juga baru ingat, kalau kita ke sana kemungkinan aku tidak akan makan, melainkan mendapatkan omongan pedas."Tentu, masalah Emily denganku masih hangat diperbincangkan banyak orang. Julian merespon dengan senyuman
Aku mengerang perlahan merasakan gerakan kaki Alex menyusup masuk diantara kakiku. Dia memelukku, menjadikan tubuhku lebih rapat pada dada telanjangnya. Semilir tercium aroma keringat bercampur parfum maskulin, perpaduannya menciptakan kesan seksi yang berhasil membuatku membuka mata secara penuh.Ku melihat sekeliling. Sepertinya Alex menggendongku dari sofa ke kamar. Dan kenapa dia jadi ikut-ikutan tertidur? Alhasil aku terkekeh pelan.Sekarang Alex tengah menganga disertai mendengkur halus. Dia merangkul pinggangku posesif, sementara satu tangan lainnya sengaja untuk ku gunakan sebagai bantalan.Jemariku menyusuri setiap inci wajahnya. Dari mulai hidung mancungnya, rahang tegas, sampai bibir Alex yang kemerahan. Aku seolah sedang dibuat jatuh cinta pada pameran seni yang selalu ku kunjungi di akhir musim panas. Terakhir aku menyentuh tinta permanen yang menghiasi tubuh tegapnya. Tattoo berbentuk sepasang burung di kiri kanan dadanya menyita perhatianku. Oh, aku menyukai semua yang m
Bersalah.Satu perasaan yang menderaku sepanjang aku duduk dipangkuan Julian. Luapan kebimbangan ku lampiaskan pada tautan bibir kami. Sementara Alex, ya dia masih berada di kamarku. Berbanding terbalik dengan kokohnya dinding pembatas ruangan, aku justru telah menghancurkannya untuk kesekian kali."Temanku sudah membohongi kekasihnya." Ucap Julian di tengah ciuman kami.Nafasnya yang tersengal membuat dia sesaat menghirup oksigen sebelum kembali melumatku. Tersirat ada semacam ketakutan. Julian menarik diri seraya mata birunya sibuk mencari-cari objek lain, berusaha mengacuhkan tatapan penasaranku."Siapa? Thomas?" Tanyaku. Aku tidak tahu banyak mengenai teman Julian selain Thomas."Bukan, sayang. Temanku yang lain."Aku mengusap bibirku menggunakan punggung tangan. "Berbohong tentang apa?""Temanku adalah pria baik. Dia mencintai kekasihnya. Tetapi, dia tidak sengaja melakukan kesalahan fatal. Sangat fatal." Menyisir ujung rambutku menggunakan jemarinya, Julian menatapku lekat. "Apak
Ada pepatah mengatakan, jika waktu berjalan cepat maka kau bahagia terhadap apa yang kau lakukan. Hal yang ku rasakan kini justru adalah kebalikannya. Hariku berangsur lambat setelah satu minggu semenjak kepergian Alex.Terlebih saat malam, di mana berakhirnya rutinitas seharianku yang kembali padat. Aku hanya bisa terdiam di sisi ranjang, merenung. Lambat laun berbagai pertanyaan menjejali isi kepalaku. Dan aku akui, ada rasa kehilangan mendalam yang enggan ku jelaskan."Sepulang dari kantor, aku akan meminta resep obat lagi pada Dokter Lukas." Julian bersuara sembari mengeluarkan tas bawaanku dari bagasi. "Ingat, sayang. Jangan terlalu memaksakan diri. Aku tidak mau kau sampai pingsan lagi. Kau paham?"Aku tersenyum tipis, mengangguk. Julian adalah jelmaan malaikat, dan fakta itu membuatku malu. Bahkan setelah dia tahu bahwa aku menyelingkuhinya, sikapnya masih sama seperti Julian yang dulu ku kenal.Aku menangkupkan wajah Julian, bersih tanpa ditumbuhi bulu kasar. Berlainan dengan A
Pemotretan selesai di sore hari. Guyuran gerimis menghentikan sejenak kegiatan diseluruh set. Beberapa dari kami pun sampai harus melakukan take ulang sebelum benar-benar berakhir.Dengan terburu-buru aku memasuki salah satu tenda. Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau Julian sampai kesal lantaran sudah terlalu lama menungguku. Begitu aku selesai berganti pakaian, aku langsung keluar dari area set. Tidak adanya tempat khusus yang disediakan, menjadikan semua kendaraan dibiarkan terparkir secara sembarang.Sesampainya dibarisan terujung, aku masih belum bisa menemukan mobil Julian. Apa dia lupa menjemputku? Selagi aku mempertajam penglihatanku di tengah minimnya pencahayaan, aku pun meraih ponselku dari dalam tas. Dan ternyata Julian mengirimkan aku sebuah pesan;Sayang, mobilku kehabisan bensin. Aku sudah pesankan taksi atas namamu. Is it okay?Namun perhatianku lebih tersita pada 34 panggilan tak terjawab dari Alex. Mau apa lagi dia? Perasaan itu bergejolak lagi. Aku tahu. Aku seharusnya
To: Alex"Are you okay? Bagaimana lukamu?""Kau ingin ku bawakan sesuatu?""Tolong balas, Alex. Aku cemas memikirkanmu..."[Read]Sudah banyak chat aku kirimkan, namun Alex hanya sebatas membacanya saja. Jangan tanya mengenai menghubunginya. Aku sudah mencoba sebanyak jariku mengetikkan kalimat agar dia membalas pesanku. Alex tetap abai.Semalaman aku juga menghubungi berbagai rumah sakit di London. Dua klinik yang dekat dari halte bus pun tak luput dari perhatianku. Mereka mengatakan memang ada pasien yang mengalami luka tembak, tetapi setelah mereka mengkonfirmasi lagi, tak satupun yang bernama Alex. Lalu bagaimana kondisinya sekarang?"Nona Lily. Makan siang anda sudah siap."Seseorang mengetuk pintu kamarku, lalu munculah sosok Nina. Wanita usia 30an yang lengkap mengenakan setelan formal. Dia adalah asisten yang merangkap sebagai manajer baruku yang dipekerjakan Julian mulai dini hari tadi. Aku bungkam perihal detail kejadian kemarin. Sehingga Julian tidak mengetahui bahwa Alex ad