Alex's POVThey say a few drinks, will help me to forget herBut after one too many, I know that I'll never..."Fuck The Script with all their fucking sad songs!" Aku mengumpat mendengar lirik yang dinyanyikan sebuah band amatiran. Pub sialan. Apa mereka ingin semua pengunjung mati bunuh diri di sini?"One more sloki!" Teriakku."Kau pria paling menyedihkan, dude." Zayn, bajingan yang ku kenal saat aku mulai mengikuti tinju di Daphane mencemooh. Dia menyodorkan gelas kosongnya saat bartender untuk kesekian kalinya menuangkan vodka. "Kau kacau. Apa gara-gara gadis kemarin?"Aku meneguk habis minumanku. "Aku bukan pengecut yang meratapi nasib karena gadis tidak jelas.""Bukan Leah, tapi Lily. Kau sudah menyebutkan namanya ratusan kali. Aku sampai tuli." Ia tergelak, kemudian menyikuku. "Your bitch is coming."Leah mengusir Zayn yang duduk di sampingku, lalu mengambil tempat di pangkuanku. "Aku mencarimu kemana-mana, sweetheart. Mengapa kau tidak datang ke Daphane hari ini? I miss you." J
"Apa kau tak punya malu masih mengganggu calon istriku, keparat?!"Julian datang dan langsung meninju Alex. Sementara Alex terkekeh, membiarkan dirinya menjadi sasaran kemarahan Julian."Hentikan!" Aku yang tak sanggup melihat Alex babak belur, berusaha menghentikan Julian. Gadis ring itu muncul. Sesegera mungkin mendekap tubuh Alex. Entah ia bertujuan untuk melindungi Alex dari tinjuan Julian, atau sekedar menghalauku agar tidak memiliki celah guna mendekat."You asshole! What's your problem?!" Leah membentak Julian, lalu melarikan jarinya ke hidung Alex yang terus mengeluarkan darah. "Sayang, kau tak apa?" Ku tumpahkan kecemburuanku dengan meremas kemeja Julian kuat-kuat. Mengingat betapa kejamnya waktu berputar dan mengambilalih keadaan, ternyata menyakitkan. "Dan kau gadis
Aku terbangun dalam keadaan kacau. Hidungku tersumbat, pusing, dan badanku pegal seluruhnya. Mengerang perlahan, aku terkejut mengetahui Alex tengah memerhatikanku dengan tangan kanan yang ia jadikan sebagai tumpuan kepalanya."Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" Tak ada lagi sikap dingin yang gencar ia tunjukan beberapa waktu lalu. Ia bergeser, melilitkan satu kaki beratnya diantaraku. "Holy shit! Kau panas sekali!""Bukankah itu alasan kau terus-menerus mengejarku?" Candaku sembari menjulurkan lidah.Alex menahan pundakku kemudian menyentuh dahiku. Tak lama ia turun dari ranjang. Pemandangan tegap tubuhnya yang berbalut boxer terpampang. Aku memerah. Walaupun bukan pertama kalinya, tetapi aku masih salah tingkah setiap menyaksikannya setengah telanjang. Dengan tergesa-gesa ia mengenakan pakaian, untuk selanjutnya memberikan sweater oversize dari balik lemarinya."Bersiaplah. Kita akan pergi ke rumah sakit.""Aku hanya butuh tidur lebih lama, se
Keluar dari pintu kedatangan, aku menghirup dalam-dalam udara kota Budapest. Mendungnya langit menyapaku dan Alex setelah 2 jam lebih kami berada di pesawat. Terakhir aku kemari yaitu saat kelulusan Rose di sekolah menengah atasnya, satu tahun yang lalu kira-kira."Kau lambat sekali."Selepas Alex memasukan bawaan kami ke bagasi, Alex menarik tanganku menuju mobil yang telah disewanya. Lihatlah, siapa yang tidak sabaran bertemu ibuku? Kaus putih kumalnya tak berlaku hari ini, ia lebih memilih kemeja hitam dan skinny jeans. Bahkan ia sempatkan juga memangkas rambut gondrongnya menjadi potongan cepak. Ku akui Alex semakin tampan."Di pertigaan depan belok kanan, lalu ikuti jalan sampai menemui bakery Doutzen." Jelasku selagi mematikan GPS yang hilang sinyal. Tempat tinggalku yan
"Bagaimana bisa surat-surat berdatangan dari suaminya yang sudah meninggal? Matikan. Ini film pembodohan."Setelah kegiatan seks panas kami yang ketahuan oleh Rose, kami memilih cuddle ditemani film romansa."Kau harus lihat sampai habis. P.S. I love you adalah movie terbaik menurutku.""Kau yang terbaik, sayang." Alex menerkamku dengan menggelitiki leherku, sontak aku menjerit geli. Kami benar-benar tertawa puas. Dalam posisi menindihku, aku melingkarkan tanganku di lehernya lantas memberikan ciuman bertubi-tubi di bibir penuhnya. Alex melarikan jemarinya di rambutku hingga aku terbuai. "Apa yang membuatmu takut melakukan seks?"Air liurku terganjal. Luka masa lalu menghantam kenangan pahit yang sedari dulu coba aku kubur. M
"Kau pasti masih mengantuk."Aku mengerjapkan mataku dan mengangguk singkat. Ku rebahkan kepalaku di bahu kiri Alex, enggan bersuara. Bagaimana aku tidak mengantuk? Seks kami baru berakhir pukul 11 malam, dan pukul 5 pagi ini kami sudah berada di dalam pesawat untuk pulang ke London. Jika Nina tak memberitahu tentang pekerjaan medesak yang harus aku lakukan, mungkin kami tak akan mengambil flight paling pagi. Dan mungkin juga pertemuan Alex dengan ayahku bisa terjadi di hari ini. Sayangnya, aku harus menahan keinginan itu hingga waktu yang belum bisa ditentukan."Mungkin lain kali." Ujarku dengan mata terpejam."Apanya?""Kau menemui ayahku." Helaan nafasku berselang satu detik dengan aku mendongakan kepala. Wajah Alex memang
"Maaf... maafkan kami."Aku terus terngiang ucapan maaf Alex semalam. 'Kami' siapa yang ia maksud? Apa ia berselingkuh sehingga meminta maaf atas nama 'kami?' Tidak, tidak mungkin Alex berbuat demikian."Bisakah kau maju?'"Ah, tentu." Jawabku.Aku sampai lupa bahwa aku sedang mengantri di sebuah kedai es krim. Sesudahnya, aku langsung kembali ke tempat di mana Alex dan Molly menungguku, namun aku tak menemukan mereka. Mataku cukup lama menyisiri jalanan Oxford ini sebelum akhirnya terhenti di depan toko televisi.Alex serius menonton televisi dari jendela kaca, sementara Molly tengah berguling-guling. Aku tertawa kecil. Astaga, sebenarnya apa yang mereka lakukan?
Gonggongan anjing terdengar nyaring beberapa kali. Hal itu membuatku terbangun, dan sadar bahwa aku berada di apartemen milik Alex. Jika biasanya Molly menyalak setiap kali aku berada di dekat tuannya, kini tidak ia lakukan lagi. Molly justru mengendus kakiku, lalu memilih berbaring di antaraku dan Alex.Tanpa banyak bergerak, aku menggendong Molly agar suara kerasnya tidak membangunkan Alex. Dari kabinet dapur aku mengeluarkan sereal anjing untuk selanjutnya ku taruh di mangkuk. Aku pun mulai menyiapkan pancake dan dua gelas orange juice."Selamat pagi." Suara serak Alex menyapa, secara bersamaan tangan besarnya melingkar sempurna di pinggangku."Jam 11 bukan lagi pagi, sleepyhead."Alex meletakan dagunya di pundakku. Ia lantas mengucek-ucek matanya seraya terkekeh. "Kau pikir aku memperdulikan hal tidak pe