Selama lima belas menit mobil itu menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya mereka tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Areal luas membentang di hadapan mereka, tenang dan asri. Titik embun menempel di ujung rerumputan, dan aroma samar bunga-bunga segar berbaur dengan aroma tanah yang lembab.
Raynar keluar lebih dulu, melangkah dengan hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora, yang biasanya percaya diri, berjalan menggendong bayinya dengan langkah keraguan, wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya seakan tempat itu tak layak baginya.
Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang, eksistensi kehidupan diatas kematian.
Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan garis-garis cahaya matahari yang lolos dari celah pepohonan rimbun. Raynar berdiri di antara ibunya, dan Zora.
“Papamu pasti senang jika bisa bertemu dengan cucunya,” kata Miriam lirih, suaranya membawa kehangatan sekaligus kesedihan. Dia menoleh ke arah Raynar, tatapan matanya melembut.
“Kau tahu,” katanya, sambil mengusap setitik debu di gaunnya, ”Mama sudah berjanji kepada papamu untuk menemani dia di sini suatu hari nanti. Tapi jujur, aku sedang mempertimbangkannya kembali – di sini terlalu sepi, aku tidak siap mati bosan selamanya.”
Raynar tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. “Aku yakin Papa akan senang ditemani, Ma.”
“Mama tahu,” Miriam terkekeh, seakan hendak menipu kesedihan di balik matanya. “Tapi kurasa papamu harus menunggu sedikit lebih lama. Seseorang harus memastikan kamu berjalan lurus.” Tawa lirih Zora sesaat telah memecah khidmat di antara ibu dan anak itu, tetapi fokus Miriam tak berpaling dari Raynar. Ia meletakkan tangan di bahu putranya. “Dia selalu bangga padamu, Ray,” bisiknya lembut. Tangan Raynar ditumpukan pada tangan Miriam yang ada di bahunya, mengakui kata-kata ibunya tanpa perlu mengatakan apa-apa.
Kenangan mulai muncul ke permukaan—suara ayahnya yang dalam; percakapan larut malam di ruang kerja; pelajaran yang dibagikan di taman belakang. Dia mengingat bimbingan ayahnya yang tegas namun penuh kasih, caranya berbicara tentang tugas, pentingnya integritas, dan bahaya pengkhianatan yang selalu ada dalam bisnis. Beliau selalu mempersiapkan Raynar untuk masa depan yang penuh tanggung jawab.
Ia ingat suatu malam di ruang kerja, dikelilingi oleh aroma rokok, buku-buku tua, dan anggur merah. Ayahnya duduk di seberangnya, matanya yang gelap menatap tajam.
“Kekuatan seorang pria diukur dari seberapa besar ia dapat bertahan tanpa patah,” kata ayahnya. “Ingat selalu, Ray, nama yang kamu sandang itu bukan hanya namamu. Itu juga milik keluarga ini, warisan kita. Jangan lupakan itu.”
Pada saat itu, Raynar mengangguk, menerima dengan kepatuhan yang utuh. Namun, saat berdiri di depan makam ayahnya sekarang, kata-kata itu membebani dirinya seperti batu yang dirantai di kaki dan tangannya. Apakah dia telah memenuhi harapan-harapan itu? Apakah dia telah tersandung tanpa menyadarinya?
Zora melangkah maju dengan hati-hati. “Beliau pasti orang yang luar biasa. Raynar berbicara tentang dia dengan penuh hormat.” Pandangan Miriam diam-diam tertuju pada Zora, yang berdiri tenang dengan kepala tertunduk di samping anaknya. Miriam diam, mencerna kata-kata Zora dan mengolah nada bicara dan gerak-geriknya yang terlembut sekalipun.
Raynar, yang larut dalam pikirannya sendiri, juga tak bergeming. Ada beban yang tak terucapkan bergelayut di pundaknya sebagai seorang dan pewaris keluarga. Ia merasa belum pantas disandingkan dengan figur ayahnya dan segala upayanya. Lalu sekilas, Raynar seakan melihat wajah ayahnya tersenyum, ekspresi langka yang meneduhkan sekalipun lahir dari wajah persegi ayahnya yang kaku. Entah bagaimana, senyum itu membuatnya haru sekaligus lega, sehingga Raynar menyudahi keheningannya.
Sebelum berangkat pergi dari pemakaman, Miriam meminta Zora untuk duduk di sampingnya di kursi penumpang belakang. Dan, selama sepuluh menit lebih setelahnya, hanya irama musik piano klasik dari audio mobil yang bersuara di dalam mobil.
Hingga kemudian, "Zora," Miriam memulai, nadanya tegas dan datar. "Kamu belum menceritakan tentang orang tuamu. Apa mereka dalam keadaan baik?"
Bibir Zora membentuk senyuman manis yang terlatih baik. "Ah iya, Tante benar. Mama dalam keadaan sehat, tapi Papa..." Ia berhenti sejenak, ekspresinya berubah menjadi keprihatinan yang dirancang hati-hati. "Papa sakit keras sejak beberapa bulan lalu. Sebenarnya ini masa-masa sulit kami."
Miriam mengangguk, mengerutkan dahi. "Aku ikut sedih mendengarnya. Daryata selalu terkenal sebagai pribadi yang tangguh. Jadi, sekarang kamu yang mengurus bisnis keluarga?"
Senyum Zora mengembang, "Ya, saya mengambil kendali penuh atas operasi peleburan baja kami." Tanpa disadari, suaranya menjadi lebih nyaring dan terdengar bangga. Ia menegakkan posisi duduknya, "Ini sangat menantang bagi saya, tapi saya percaya sudah berhasil memimpin perusahaan kami menuju kesuksesan."
Raynar melirik Zora dari spion tengah begitu mendengar nada bicara yang lebih terasa seperti arogansi daripada kepercayaan diri.
Miriam yang duduk di samping Zora membiarkan senyum tipis di bibirnya.
"Mengesankan," kata Miriam, suaranya halus. Ia berdeham sebelum melanjutkan. "Mamamu pasti merasa tenang karena kamu sanggup memikul tanggung jawab yang begitu besar. Devi Elina selalu ingin keluarganya sukses dan bahagia."
Nama itu mendarat seperti batu besar di dasar sumur yang kering. Zora terdiam, lehernya menegang dan tanpa disadari genggaman pada bayinya mengencang. Raynar menoleh pada ibunya, tergelitik olek rasa ingin tahu. "Devi Elina? Siapa itu, Ma?"
Senyum Miriam tidak goyah, meski matanya berbinar karena geli. "Oh, hanya kenangan masa lalu. Devi Elina Wardhani, istri pertama ayah mertuamu. Wanita yang luar biasa. Sungguh malang, ia meninggal dalam kecelakaan tragis tujuh tahun lalu."
Raynar hanya mengangguk, memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaan berikutnya yang sebenarnya sudah sampai di lidahnya Di sisi lain, Zora merasakan rasa dingin di tubuhnya membuatnya beku. Miriam lalu melanjutkan dengan suara lembut, bermaksud mengusir ketegangan Zora.
“Well, manusia selalu punya cara untuk bergerak maju, bukan begitu? Bahkan seringkali membawa kita ke tempat-tempat yang tidak kita duga.”
Pertanyaan dan pernyataan Miriam tidak hanya asal bicara. Zora yakin calon mertuanya itu sedang memperhatikan, mempelajari, dan menunggu. Miriam merasakan satu hal yang pasti, Zora menyembunyikan sesuatu.
Zora memaksakan tawa kecil, meski suaranya bergetar. “Ya, Tante, selalu ada cara untuk bergerak maju.” Miriam tidak menanggapi, perhatiannya kini beralih pada cucu lelakinya. Ia mengusap lembut pipi cucu lelakinya itu dengan tangannya. “Dia sungguh menggemaskan,” Suara Miriam ringan namun tatapannya bertahan cukup lama untuk membuat Zora gelisah. “Aku harap anak ini tumbuh dengan karakter kakeknya yang sangat dikagumi.”
Miriam menghela napas lalu menggeser badannya sedikit menjauh. “Berbicara soal melangkah maju, apa kalian sudah memutuskan tempat pernikahan?”
Raynar ragu-ragu sebelum menjawab. “Aku sebenarnya juga ingin bertanya soal itu, Ma. Aku tahu Mama pasti punya pertimbangan sendiri, dan aku mau tahu. Di mana menurutmu sebaiknya pesta pernikahan itu dilangsungkan? Dan, juga, apa ada hal khusus yang ingin Mama hadirkan?” Sebelum Miriam sempat menjawab, Raynar kembali menambahkan. “Ray ingin Mama merasa pernikahan ini bukan hanya tentang aku dan Zora, tapi juga perayaan keluarga. Dan, itu termasuk Mama.”
Miriam begitu tersentuh dengan ucapan putranya. Hal ini memaksa Miriam berada dalam posisi yang sulit–jika dia menolak, dia akan terlihat tidak sopan. Jika dia menerima, dia berkomitmen, setidaknya secara lahiriah, pada persatuan.
Miriam berdeham lalu menegakkan posisi duduknya untuk membeli detik-detik berharga baginya berpikir.
“Jika kau bersikeras, menurutku aula utama kita adalah tempat ideal. Papamu sangat suka aula itu. Tempat itu juga menjadi saksi bisu banyak persekutuan besar dengan para petinggi negara dan kolega-kolega penting kita. Tentu saja, meskipun sebagian besar berakhir dengan keberuntungan, ada juga yang berakhir dengan tragedi. Mari kita lihat di kategori mana tempat kalian berada.”
Raynar yang paham dengan gaya bicara ibunya kemudian tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. “Mama selalu bisa membuat sebuah acara terasa... bersejarah, Ma. Pernikahan kami takkan masuk dalam kategori bencana.”
“Well, itu semua tergantung dari siapa yang kau undang, Ray,” jawabnya dengan mata menerawang. Sejenak kemudian, Miriam tersenyum.
“Mama juga akan mengundang beberapa teman baik dari Prancis, lebih baik mereka menikmati sampanye di rumah kita yang nyaman daripada harus menghabiskan waktu berjam-jam terjebak di kemacetan.”
Dalam diamnya, Zora–sebagai pengamat yang lihai– berusaha mengimbangi permainan. Miriam memilih kata-katanya dengan teliti, selalu ada arti lain dari setiap ucapannya. Zora tahu permainan ini dengan baik-dia telah memainkannya dengan anggota dewan, investor, bahkan saingannya. Tapi ini kasus yang berbeda. Ini adalah keluarga. Dan pertarungan keluarga dilakukan dengan senjata yang lebih tenang dan lebih tajam.
“Aku setuju, Tante. Aula utama itu sepertinya tempat yang sempurna. Tempat ini sudah ada selama beberapa generasi. Melalui perdamaian, melalui perang. Melalui masa ketika orang-orang mengira telah mengamankan tempat mereka–hanya untuk menyaksikan bahwa sejarah memiliki rencana lain.” Zora mungkin tersenyum sopan, tapi pesannya jelas: ia mengingatkan bahwa kekuasaan tidak pernah abadi.
Raynar yang menangkap ketegangan yang terjadi, memberi isyarat lembut bagi ibunya untuk meredakan suasana. “Sebaiknya kita bicarakan hal ini nanti. Mama sebaiknya tidak membebani pikiran terlalu banyak.”
Tak ada lagi kata-kata yang terucap dari ketiganya. Hanya alunan musik instrumental dan sesekali rengekan bayi yang mengisi keheningan suasana. Meskipun begitu, arus ketegangan tetap mengalir, seakan ada sebuah pertarungan halus yang membuat Zora tidak seperti biasanya.
Sebuah aula berkilauan seperti permata hidup malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, dengan mudah menyatu dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang memenuhi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora, wanita cantik yang kini menjadi istri sahnya, bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Bagi orang lain yang hadir disana, Zora mungkin tampak
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Namun kini, jejak kebakaran itu telah lenyap sepenuhnya, berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi. Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggu
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara. Besarnya stasiun ini seakan menelan segalanya, mulai dari langit-langitnya yang menjulang tinggi hingga arus manusia yang tak henti-hentinya bergerak ke segala arah.Rinjani Wardhani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Mengapa di sini begitu bising? Apakah kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita ti
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku mencobanya?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus dari seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting pagkas di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit dikuasai kelamnya awan. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
“Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim pada sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu be
Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, simfoni cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap membalutkan kualitas pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal. Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka.Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur. “Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi.
Kabut tipis menyelimuti sebuah areal pemakaman pagi itu, mengaburkan tepi nisan di bawah langit yang pucat. Seorang wanita dan gadis remaja berpakaian serba hitam berdiri diam di depan makam yang baru saja ditimbun. Kelopak-kelopak mawar hampir memenuhi gundukan tanah yang lembab itu. Hanya mereka yang berdiri di sana sejak para pelayat lainnya meninggalkan makam beberapa menit sebelumnya.Tujuh belas tahun yang lalu, pada usia dua puluh empat tahun, Citra Lukita telah menyerahkan diri seutuhnya demi kehidupan yang ia kira akan mewujudkan semua impian. Dia telah jatuh cinta pada Yan Roles, seorang pria tampan dan karismatik yang berusia dua belas tahun lebih tua darinya. Perbedaan usia itu tidak berarti apa-apa–Yan membawa Citra masuk dalam dunia percintaan penuh warna dan pernikahan impiannya.Dan selama tujuh belas tahun itu, Yan tampak sebagai suami yang ideal, menawan dan penuh perhatian. Kelahiran anak perempuan mereka, Zora, semakin membuat Yan menyayangi keluarganya.Yan mengat
Awan mendung yang bergelayut di cakrawala Muliakarta pagi ini nampak kontras dengan keceriaan seorang lelaki muda. Rawindra membetulkan kaca spion tengah mobilnya ketika berhenti di salah satu lampu merah perempatan besar, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Di kursi penumpang terdapat sebuah portofolio kulit yang penuh dengan foto-foto permata - zamrud, safir, rubi - yang dikatalogkan dengan teliti. Setiap batu mewakili potensi untuk bisnis istrinya.“Delapan bulan menikah, dan sudah membangun sesuatu bersama,” gumamnya, membayangkan tanggapan antusias Lila Anindya terhadap sampelnya. Salah satu pemimpin tim rancangan busana ingin melihat kemungkinan untuk bekerjasama, berbicara tentang penyematan permata pada rancangannya, tentu saja itu membuat Rawindra dan istrinya gembira. Sebuah kolaborasi yang dapat menempatkan bisnis permata istrinya di peta strategis, dan yang lebih penting bagi Rawindra adalah kebanggan pribadi sebagai suami atas kontribusi terhada
Beberapa menit yang lalu, Vivian telah memindai kantor pusat WN Group seakan baru pertama kali melihatnya. Matanya berkelana pada staf kantor yang melakukan rutinitas mereka, petugas keamanan berjaga di pos-pos tertentu, termasuk posisi-posisi kamera CCTV di sepanjang rute perjalanannya masuk ke studio.Kini, Vivian bersandar di jendela besar ruang studionya. Hiruk pikuk jalanan ibukota Muliakarta bermandikan warna keemasan lembut matahari pagi, membentang dari bawah lantai dua belas kantor pusat WN Group. Ia merasa berbeda, bukan hanya karena udara terasa lebih segar atau karena kopinya terasa lebih aromatik. Mata Vivian menatap hari ini dengan optimisme, dimana hal-hal akan berjalan sesuai keinginannya.Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk cangkir keramik saat ia memandangi gambar latar layar ponselnya–sebuah tulisan terpampang di sana: “If nothing goes right, goes left.” Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap di benak
Malam di ibukota menyebarkan hawa sejuk seiring lalu lintas yang berangsur-angsur lengang. Rinjani dan Lila melangkah meninggalkan Sweet Spot Cafe. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya temaram kekuningan, sementara angin melagukan gemerisik dedaunan di sepanjang jalan. Mereka melintasi minimarket di sudut jalan."Hei, kau ada waktu?" tanya Rinjani tiba-tiba, menoleh ke arah Lila di sampingnya.Lila mengangkat alis. "Tentu. Kenapa?""Aku teringat membeli cokelat dan es krim untuk Aruna. Seharusnya aku membelinya tadi, tapi telepon itu terlalu mendesak."Rinjani telah menggenggam keranjang belanja saat selesai bicara.Lila tersenyum. "Tak masalah. Aku juga akan melihat-lihat."Keduanya santai menyusuri lorong-lorong. Rinjani memilih beberapa batang cokelat dan satu kotak es krim, sementara Lila mengambil sebungkus permen penyegar mulut untuk dirinya sendiri."Aruna pasti akan senang." Lila berkomentar lirih dari belakang melihat semua yang Rinjani beli di meja kasir.Rinjani terg
Cahaya pagi yang menembus panel kaca di studio desain lantai dua belas kantor pusat WN Group seakan membelah ruang itu dengan siluet-siluet. Ruangan itu nampak rapi, namun sejuknya pendingin ruangan tak bisa meredakan ketegangan mereka yang ada di dalamnya.Vivian duduk seperti ratu di atas singgasana, postur tubuhnya menampilkan ketenangan dominan. Tepi bibirnya mengerucut saat mengamati wajah ketiga rekannya. Ia baru saja mengumumkan bahwa mereka kehilangan dukungan dari Aditya, sang direktur pemasaran, dan membiarkan keheningan meregang sebelum akhirnya berbicara.“Beberapa orang memang pandai, tapi tidak sanggup dengan tekanan. Sangat ironis.” Napas Vivian berhembus lambat.Fayra, yang bertumpu di salah satu sandaran tangan kursi, meregangkan kaki lalu memiringkan kepalanya. Ia mencerna beratnya kata-kata itu.“Mungkin seharusnya begini.” Suaranya lirih, sambil memintal benang yang terl
Dari teras griya tawangnya, Miriam Wiyasa Nawasena menggenggam cangkir porselen di antara jari-jarinya, membiarkan kehangatan teh earl grey meresap ke dalam kulitnya. Udara pagi terasa segar, dan Paris selalu menjadi kota impian Miriam–elegan dalam ekspresi dan sarat ketenangan, mirip dirinya. Miriam menemukan kenyamanan di saat-saat seperti ini, di mana keindahan dan kendali terjalin dengan mulus.Pagi ini situasi sedikit berbeda. Miriam menyesap teh earl grey sementara matanya menatap cakrawala kota, mengembara di sekeliling menara Eiffel dan American Cathedral yang tak jauh dari tempat ia duduk. Semalam, Raynar telah menghubunginya, mengabarkan hal penting yang harus segera ia tindak lanjuti.Lila Anindya. Miriam selalu benar tentang gadis itu. Ambisius, cerdas, dan memiliki kompas moral yang membedakannya dari para lintah di industri mereka. Lila melaporkan sebuah konspirasi yang mengancam untuk menodai kompetisi desain yang tel
Selama berhari-hari, Lila telah melatih momen ini dalam pikirannya-membayangkan setiap hasil yang mungkin terjadi, setiap variasi responsnya. Namun kini, berdiri di hadapannya, dengan beban bertahun-tahun yang menekan dadanya, semua kata-kata yang telah dilatih itu berserakan seperti debu.Raynar menatapnya penuh harap. Lila menelan ludah dengan keras, jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kemudian, hampir tidak terdengar seperti bisikan, dia akhirnya mengatakannya.“Aku selalu menyukaimu, Ray.”Kata-kata itu membuat bibirnya gemetar, terasa berat karena emosi yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Ia mencoba melunakkan pengakuannya, memaksakan sebuah senyuman, tapi kelu. “Sejak aku menumpahkan kopi di jaketmu.”Lila tertawa kecil, berharap Raynar akan tertawa, bahwa ia akan mengingat momen kecil itu dengan penuh cinta seperti dirinya.Tapi Raynar tak tertawa.
Kampus Universitas Pragya Dharma di ibukota Muliakarta pagi itu penuh dengan energi semester baru. Hiruk pikuk para mahasiswa yang saling bertukar cerita tentang pengalaman liburan dan persiapan mereka untuk semester mendatang menjadi pemandangan menarik, terutama bagi Lila Anindya.Di tengah keramaian, ia berjalan menyusuri koridor-koridor kampus, mendekap buku-buku di dada, dan berbincang bersama dua orang temannya, Trista dan Fiona.Sebagai penerima beasiswa, Lila sadar bahwa dibalik keistimewaannya di universitas bergengsi ini, ia memikul tanggung jawab dua kali lebih besar yang menuntut kesempurnaan langkahnya.Lalu, dalam satu momen yang kikuk, sesuatu terjadi.Sebuah tabrakan pada lengan kirinya membuat tubuh Lila terguncang. Benturan itu membuat tutup cangkir kopinya terlepas dan isinya terciprat ke blazer biru tua milik seseorang. Hawa panas yang tajam merembes ke dalam sweternya, dan aroma biji kopi yang dipanggang merebak di udara.Sial! pria di hadapannya yang sangat menco
Purnama jingga menggantung rendah di atas cakrawala ibukota, menawarkan hangat pada kelelahan seisi kota. Di balik jendela ruang tamu apartemennya, Aruna larut dalam kegiatan menggambar, sementara Bibi Sari sibuk merapikan perabotan dapur.“Bagaimana pekerjaanmu, Rin? Apa ada masalah hari ini?”Rinjani menangkap kekhawatiran dari pertanyaan itu saat mengeringkan tubuhnya di kamar mandi.“Baik, Bi. Masalah pasti ada, tapi sejauh ini kami bisa mengatasinya.” Bibi Sari mendengarkan Rinjani dari antara uap air ketika ia menyeduh dua cangkir teh untuk mereka.“Kami berhasil membuat desain untuk kompetisi yang diadakan perusahaan. Kemajuan yang cukup baik sejauh ini.” Beberapa saat kemudian, ia keluar.Setelah selesai, Bibi Sari lalu duduk di dekat jendela. Tangannya meraih sebuah jarum rajut dan benang sambil tersenyum penuh pengertian.“Kamu selalu pandai sejak kecil, Rin. Tap
“Sepertinya kita dalam masalah besar.”Gusti menggigit pelan bibirnya, lalu mencodongkan badan ke meja gambar. Matanya terpaku pada foto-foto konsep desain yang Rhea ambil dari studio Vivian. Paduan warnanya sungguh sesuai dengan siluetnya yang tajam, dan yang paling mencemaskan—desain itu tampak seperti sesuatu yang berpotensi tinggi untuk viral di majalah mode bergengsi.“Kupikir begitu,” komentar Rhea, ekspresi skeptisnya melembut menjadi kekaguman yang enggan. “Ini... trendi, Lila. Mereka tidak main-main.” Rhea menoleh pada pemimpin timnya.Lila bersandar di kursinya, ekspresinya tetap datar—terlalu datar. Seolah-olah jika ia membiarkan pikirannya meresap terlalu dalam, ia akan mulai mengagumi pesaingnya sendiri. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk ujung ponsel dengan ritme pelan. Matanya sekilas menoleh ke arah Rinjani.Di sampingnya, Rinjani masih men