Cinta, Dusta, dan Harga Sebuah Hasrat. Sebuah Drama tentang pengkhianatan, ketangguhan, dan penebusan di mana ambisi pribadi saling bertabrakan. Rinjani Wardhani muncul sebagai simbol ketegaran dan kreativitas, menantang ekspektasi yang menyesakkan dari keluarganya yang konservatif. Seorang perancang busana berbakat yang dimanipulasi oleh ibu dan saudari tirinya serta ayahnya yang apatis. Raynar Wiyasa Nawasena, seorang pewaris perusahaan besar di usia yang terbilang muda, berjuang dengan kekosongan emosional, yang hidupnya menjadi terkait erat dengan kehidupan Rinjani melalui pertemuan tak terduga. Namun, romansa yang bersemi di antara mereka segera terancam oleh tipu daya Citra dan Zora-ibu dan saudari tiri Rinjani demi mempertahankan kekuasaan dan status. Rinjani terusir dari rumahnya dan sedang berupaya menata kembali kehidupannya di sebuah desa yang tenang bersama mantan pengasuh dan anak kembarnya ketika salah satu bayinya diculik. Pasang surut emosi, pengkhianatan, persaingan profesional, dan dendam pribadi menjadi guratan sketsa kehidupannya. Akankah ambisi Rinjani untuk memperjuangkan apa yang menjadi hak-haknya akan termakan oleh ambisi mereka yang berusaha menghancurkannya?
View MoreKantor pusat Wiyasa Nawasena Group lebih menyerupai griya tawang yang menawarkan panorama kota yang indah, namun Raynar hampir tak bisa menikmatinya. Ia melonggarkan dasinya-sutra Italia, kesukaan ayahnya-dan menuangkan whiskey setinggi tiga jari untuk dirinya sendiri.
“Pak Raynar?” Suara sekretarisnya terdengar melalui interkom. “Ibu Miriam ada di saluran satu.”
Ia memejamkan mata sejenak sebelum menekan tombol. “Katakan saya akan menghubunginya sepuluh menit lagi.”
“Tapi, Pak, Bu Miriam bilang, biar saya kutip saja, 'Katakan pada anak saya jika dia membuat saya menunggu, koleksi mobil antiknya akan saya sumbangkan ke badan amal lingkungan hidup yang dia benci.”
Tak ada yang bisa menahan senyum di bibir Raynar untuk mengembang saat mendengar ucapan itu. Itulah ibunya–selalu tahu tombol mana yang harus ditekan. Raynar berdeham untuk menyesuaikan nada suaranya agar tak terdengar konyol.
“Baik, Vero, sambungkan,” katanya, menguatkan diri.
“Sayang, kamu lembur lagi.” Tak ada sedikit pun sentimentalitas seperti yang tersirat pada suara ibunya. “Petugas kebersihan akan mengira kamu berselingkuh dengan mejamu.”
“Halo, Ma,” Raynar bersandar pada kursi kerjanya. “Kesepakatan Osaka ini–”
“Masih ada besok, Ray,” sahut Miriam, menyelesaikan kalimat. “Tapi keluarga Aryandra tidak. Mereka menunggu kita untuk makan malam besok malam, dan Floretta telah terbang dari Paris khusus untukmu.”
Pengaturan lain. Ibunya semakin terbuka tentang upaya perjodohan yang ia lakukan.
“Tidak ada keharusan dalam menu besok malam, Ma.”
Raynar bisa mendengar ibunya menghela nafas dari ujung saluran.
"Keharusan itu hanya untuk orang yang tidak punya waktu, Ray,” balas Miriam. “Kamu sudah dua puluh delapan tahun, sukses, salah satu bujangan yang paling memenuhi syarat di ibukota–setidaknya menurut majalah bergengsi itu. Tapi lihat, kamu malah menghabiskan akhir pekan dengan lembur."
“Aku hanya tidak tertarik dengan kencan strategis, Ibu."
“Karena caramu sendiri tidak membuahkan hasil." Ada jeda di telepon. Raynar mencubit pangkal hidungnya. “Bukan itu yang kumaksudkan.”
“Jadi apa? Karena dari tempatku berdiri, kau menolak melanjutkan setiap perkenalan yang kubuat, tanpa–ajakan untuk minum kopi misalnya. Papamu tidak seperti ini.”
“Papa berbeda.”
“Ya, tentu saja,” kata Miriam. “Dia bisa membaca neraca keuangan sama hebatnya dengan menilai orang-orang di ruangan. Dan kamu menguasai yang satu tapi menghindari yang lain seakan itu penyakit menular.”
Raynar mengaduk-aduk wiski di gelasnya. “Wanita itu... rumit."
"Oh, begitu? Aku pasti tidak menyadarinya." Sarkasme menetes dari setiap suku kata yang dilontarkan ibunya.
"Ma, kamu tahu apa yang kumaksud. Harapan mereka, emosi mereka, cara mereka–semuanya begitu...” Ia mencari kata yang tepat.
"Sepertiku?” Satu alis Miriam terangkat.
"Tak terduga,” ia mengoreksi. “Dalam bisnis, ada aturan dan pola. Dengan wanita–aku tak pernah paham di mana posisiku.”
Suara ibunya sedikit melunak. "Itulah hidup, Ray. Tidak semua hal bisa gamblang digambarkan dalam infografik atau prediksi laporan triwulanan."
“Aku menyadari itu.”
“Benarkah? Karena sejak Papamu tak ada, kamu hanya berenang di kolam bisnis."
Ada keheningan sejenak sebelum dia melanjutkan, “Papamu ingin kamu menjadi penerusnya–ya, siapa lagi. Tapi dia juga mau kamu memiliki hal-hal yang membuat hidup ini layak kau jalani–keluarga, cinta.”
Raynar melirik potret ayahnya di meja. “Mungkin aku hanya belum siap.”
“Jadi bersiaplah. Keluarga Aryandra. Besok malam, jam tujuh. Kenakan setelan favoritmu– itu akan membuatmu lebih santai.”
“Aku akan datang.” Jemarinya memutar-mutar gelas whiskey.
“Bagus. Sekarang pulanglah. Atau lebih baik lagi, pergilah ke tempat dimana kau bisa berinteraksi dengan orang-orang, bukan kertas dan angka-angka. Oke, Ray?”
Setelah menutup telepon, ia kembali bersandar. Pandangan Raynar kembali tertuju pada foto ayahnya. Tiga tahun lalu, ketika hari kelulusan sudah dekat, kabar buruk tentang serangan jantung ayahnya membuat Raynar remuk. Dalam waktu dua bulan, ia ingat duduk di kursi kerja milik ayahnya ini, dan mulai memegang kendali atas sebuah kerajaan besar.
Raynar mengeluarkan ponselnya dan menelepon.
“Domba yang hilang telah kembali,” jawab Marcus setelah dering kedua. “Biar kutebak, kau mau membatalkan undanganku di Royal Ravelle malam ini. Kau mengabaikannya sejak kukirimkan minggu lalu.”
“Justru aku ingin bertanya apa kau sudah siapkan meja untukku di Royal Ravelle malam ini.”
Jeda. “Serius? Kau akan datang?” Suara Marcus diiringi dentum alunan musik upbeat.
“Ya.” Raynar menenggak habis whiskey di gelas lalu melirik jam tangannya. “Sejam lagi.”
“Oke, satu meja VVIP untuk Tuan Raynar Wiyasa. Ha-ha-ha. Selesai.” Marcus terdengar begitu gembira. Raynar tersenyum tipis mendengarnya.
“Tak perlu bawa undangannya. Katakan saja kodenya di pintu depan. Kau masih ingat, ‘kan?”
“Yep.”
“Aku tunggu, Ray.”
Raynar mengakhiri panggilan dan menutup laptop. Matanya tertuju pada foto keluarga di meja kerja–foto favoritnya saat liburan terakhir mereka bertiga. Lengan ayahnya tersampir di pundak Raynar, dan ibunya tersenyum bangga melirik suami dan anak lelakinya dari samping.
“Kuusahakan yang terbaik, Pa.” Jempol Raynar mengusap foto itu.
Awan mendung yang bergelayut di cakrawala Muliakarta pagi ini nampak kontras dengan keceriaan seorang lelaki muda. Rawindra membetulkan kaca spion tengah mobilnya ketika berhenti di salah satu lampu merah perempatan besar, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Di kursi penumpang terdapat sebuah portofolio kulit yang penuh dengan foto-foto permata - zamrud, safir, rubi - yang dikatalogkan dengan teliti. Setiap batu mewakili potensi untuk bisnis istrinya.“Delapan bulan menikah, dan sudah membangun sesuatu bersama,” gumamnya, membayangkan tanggapan antusias Lila Anindya terhadap sampelnya. Salah satu pemimpin tim rancangan busana ingin melihat kemungkinan untuk bekerjasama, berbicara tentang penyematan permata pada rancangannya, tentu saja itu membuat Rawindra dan istrinya gembira. Sebuah kolaborasi yang dapat menempatkan bisnis permata istrinya di peta strategis, dan yang lebih penting bagi Rawindra adalah kebanggan pribadi sebagai suami atas kontribusi terhada
Beberapa menit yang lalu, Vivian telah memindai kantor pusat WN Group seakan baru pertama kali melihatnya. Matanya berkelana pada staf kantor yang melakukan rutinitas mereka, petugas keamanan berjaga di pos-pos tertentu, termasuk posisi-posisi kamera CCTV di sepanjang rute perjalanannya masuk ke studio.Kini, Vivian bersandar di jendela besar ruang studionya. Hiruk pikuk jalanan ibukota Muliakarta bermandikan warna keemasan lembut matahari pagi, membentang dari bawah lantai dua belas kantor pusat WN Group. Ia merasa berbeda, bukan hanya karena udara terasa lebih segar atau karena kopinya terasa lebih aromatik. Mata Vivian menatap hari ini dengan optimisme, dimana hal-hal akan berjalan sesuai keinginannya.Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk cangkir keramik saat ia memandangi gambar latar layar ponselnya–sebuah tulisan terpampang di sana: “If nothing goes right, goes left.” Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap di benak
Malam di ibukota menyebarkan hawa sejuk seiring lalu lintas yang berangsur-angsur lengang. Rinjani dan Lila melangkah meninggalkan Sweet Spot Cafe. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya temaram kekuningan, sementara angin melagukan gemerisik dedaunan di sepanjang jalan. Mereka melintasi minimarket di sudut jalan."Hei, kau ada waktu?" tanya Rinjani tiba-tiba, menoleh ke arah Lila di sampingnya.Lila mengangkat alis. "Tentu. Kenapa?""Aku teringat membeli cokelat dan es krim untuk Aruna. Seharusnya aku membelinya tadi, tapi telepon itu terlalu mendesak."Rinjani telah menggenggam keranjang belanja saat selesai bicara.Lila tersenyum. "Tak masalah. Aku juga akan melihat-lihat."Keduanya santai menyusuri lorong-lorong. Rinjani memilih beberapa batang cokelat dan satu kotak es krim, sementara Lila mengambil sebungkus permen penyegar mulut untuk dirinya sendiri."Aruna pasti akan senang." Lila berkomentar lirih dari belakang melihat semua yang Rinjani beli di meja kasir.Rinjani terg
Cahaya pagi yang menembus panel kaca di studio desain lantai dua belas kantor pusat WN Group seakan membelah ruang itu dengan siluet-siluet. Ruangan itu nampak rapi, namun sejuknya pendingin ruangan tak bisa meredakan ketegangan mereka yang ada di dalamnya.Vivian duduk seperti ratu di atas singgasana, postur tubuhnya menampilkan ketenangan dominan. Tepi bibirnya mengerucut saat mengamati wajah ketiga rekannya. Ia baru saja mengumumkan bahwa mereka kehilangan dukungan dari Aditya, sang direktur pemasaran, dan membiarkan keheningan meregang sebelum akhirnya berbicara.“Beberapa orang memang pandai, tapi tidak sanggup dengan tekanan. Sangat ironis.” Napas Vivian berhembus lambat.Fayra, yang bertumpu di salah satu sandaran tangan kursi, meregangkan kaki lalu memiringkan kepalanya. Ia mencerna beratnya kata-kata itu.“Mungkin seharusnya begini.” Suaranya lirih, sambil memintal benang yang terl
Dari teras griya tawangnya, Miriam Wiyasa Nawasena menggenggam cangkir porselen di antara jari-jarinya, membiarkan kehangatan teh earl grey meresap ke dalam kulitnya. Udara pagi terasa segar, dan Paris selalu menjadi kota impian Miriam–elegan dalam ekspresi dan sarat ketenangan, mirip dirinya. Miriam menemukan kenyamanan di saat-saat seperti ini, di mana keindahan dan kendali terjalin dengan mulus.Pagi ini situasi sedikit berbeda. Miriam menyesap teh earl grey sementara matanya menatap cakrawala kota, mengembara di sekeliling menara Eiffel dan American Cathedral yang tak jauh dari tempat ia duduk. Semalam, Raynar telah menghubunginya, mengabarkan hal penting yang harus segera ia tindak lanjuti.Lila Anindya. Miriam selalu benar tentang gadis itu. Ambisius, cerdas, dan memiliki kompas moral yang membedakannya dari para lintah di industri mereka. Lila melaporkan sebuah konspirasi yang mengancam untuk menodai kompetisi desain yang tel
Selama berhari-hari, Lila telah melatih momen ini dalam pikirannya-membayangkan setiap hasil yang mungkin terjadi, setiap variasi responsnya. Namun kini, berdiri di hadapannya, dengan beban bertahun-tahun yang menekan dadanya, semua kata-kata yang telah dilatih itu berserakan seperti debu.Raynar menatapnya penuh harap. Lila menelan ludah dengan keras, jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kemudian, hampir tidak terdengar seperti bisikan, dia akhirnya mengatakannya.“Aku selalu menyukaimu, Ray.”Kata-kata itu membuat bibirnya gemetar, terasa berat karena emosi yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Ia mencoba melunakkan pengakuannya, memaksakan sebuah senyuman, tapi kelu. “Sejak aku menumpahkan kopi di jaketmu.”Lila tertawa kecil, berharap Raynar akan tertawa, bahwa ia akan mengingat momen kecil itu dengan penuh cinta seperti dirinya.Tapi Raynar tak tertawa.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments