Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Namun kini, jejak kebakaran itu telah lenyap sepenuhnya, berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi. Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggu
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara. Besarnya stasiun ini seakan menelan segalanya, mulai dari langit-langitnya yang menjulang tinggi hingga arus manusia yang tak henti-hentinya bergerak ke segala arah.Rinjani Wardhani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Mengapa di sini begitu bising? Apakah kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita ti
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku mencobanya?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus dari seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting pagkas di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit dikuasai kelamnya awan. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
“Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim pada sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu be
Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, simfoni cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap membalutkan kualitas pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal. Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka.Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur. “Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi.
Kabut tipis menyelimuti sebuah areal pemakaman pagi itu, mengaburkan tepi nisan di bawah langit yang pucat. Seorang wanita dan gadis remaja berpakaian serba hitam berdiri diam di depan makam yang baru saja ditimbun. Kelopak-kelopak mawar hampir memenuhi gundukan tanah yang lembab itu. Hanya mereka yang berdiri di sana sejak para pelayat lainnya meninggalkan makam beberapa menit sebelumnya.Tujuh belas tahun yang lalu, pada usia dua puluh empat tahun, Citra Lukita telah menyerahkan diri seutuhnya demi kehidupan yang ia kira akan mewujudkan semua impian. Dia telah jatuh cinta pada Yan Roles, seorang pria tampan dan karismatik yang berusia dua belas tahun lebih tua darinya. Perbedaan usia itu tidak berarti apa-apa–Yan membawa Citra masuk dalam dunia percintaan penuh warna dan pernikahan impiannya.Dan selama tujuh belas tahun itu, Yan tampak sebagai suami yang ideal, menawan dan penuh perhatian. Kelahiran anak perempuan mereka, Zora, semakin membuat Yan menyayangi keluarganya.Yan mengat
Hujan baru saja reda, meninggalkan jalanan kota dengan bau tanah basah dan kilauan dari pantulan cahaya matahari yang temaram. Citra Lukita menarik mantelnya lebih erat di pundaknya saat ia memasuki sebuah toko swalayan. Ia ke sana bukan untuk berbelanja. Aturan untuk sebuah pertemuan dengan seseorang telah disepakatinya melalui telepon – Citra akan mengenakan setelan hitam dengan syal warna putih dan ia harus membeli sebungkus rokok ‘Black Dom’ dan pemantik berwarna merah.Matanya mengamati lorong-lorong di swalayan itu sebelum menuju kasir untuk membeli rokok dan pemantik yang disepakati. Seorang wanita muda dengan jaket coklat panjang dan sepatu boot kulit yang berdiri di deretan minuman kemasan dekat kasir kemudian menghampiri Citra setelah ia selesai membayar.“Temui aku di kafe sebelah dua menit lagi.” Tanpa menoleh, wanita itu berjalan menuju kasir, membayar sebotol air putih lalu pergi. Citra mengikutinya keluar lalu berdiri tenang di pojok. Ia menyalakan sebatang rokok sambil
Awan mendung yang bergelayut di cakrawala Muliakarta pagi ini nampak kontras dengan keceriaan seorang lelaki muda. Rawindra membetulkan kaca spion tengah mobilnya ketika berhenti di salah satu lampu merah perempatan besar, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Di kursi penumpang terdapat sebuah portofolio kulit yang penuh dengan foto-foto permata - zamrud, safir, rubi - yang dikatalogkan dengan teliti. Setiap batu mewakili potensi untuk bisnis istrinya.“Delapan bulan menikah, dan sudah membangun sesuatu bersama,” gumamnya, membayangkan tanggapan antusias Lila Anindya terhadap sampelnya. Salah satu pemimpin tim rancangan busana ingin melihat kemungkinan untuk bekerjasama, berbicara tentang penyematan permata pada rancangannya, tentu saja itu membuat Rawindra dan istrinya gembira. Sebuah kolaborasi yang dapat menempatkan bisnis permata istrinya di peta strategis, dan yang lebih penting bagi Rawindra adalah kebanggan pribadi sebagai suami atas kontribusi terhada
Beberapa menit yang lalu, Vivian telah memindai kantor pusat WN Group seakan baru pertama kali melihatnya. Matanya berkelana pada staf kantor yang melakukan rutinitas mereka, petugas keamanan berjaga di pos-pos tertentu, termasuk posisi-posisi kamera CCTV di sepanjang rute perjalanannya masuk ke studio.Kini, Vivian bersandar di jendela besar ruang studionya. Hiruk pikuk jalanan ibukota Muliakarta bermandikan warna keemasan lembut matahari pagi, membentang dari bawah lantai dua belas kantor pusat WN Group. Ia merasa berbeda, bukan hanya karena udara terasa lebih segar atau karena kopinya terasa lebih aromatik. Mata Vivian menatap hari ini dengan optimisme, dimana hal-hal akan berjalan sesuai keinginannya.Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk cangkir keramik saat ia memandangi gambar latar layar ponselnya–sebuah tulisan terpampang di sana: “If nothing goes right, goes left.” Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap di benak
Malam di ibukota menyebarkan hawa sejuk seiring lalu lintas yang berangsur-angsur lengang. Rinjani dan Lila melangkah meninggalkan Sweet Spot Cafe. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya temaram kekuningan, sementara angin melagukan gemerisik dedaunan di sepanjang jalan. Mereka melintasi minimarket di sudut jalan."Hei, kau ada waktu?" tanya Rinjani tiba-tiba, menoleh ke arah Lila di sampingnya.Lila mengangkat alis. "Tentu. Kenapa?""Aku teringat membeli cokelat dan es krim untuk Aruna. Seharusnya aku membelinya tadi, tapi telepon itu terlalu mendesak."Rinjani telah menggenggam keranjang belanja saat selesai bicara.Lila tersenyum. "Tak masalah. Aku juga akan melihat-lihat."Keduanya santai menyusuri lorong-lorong. Rinjani memilih beberapa batang cokelat dan satu kotak es krim, sementara Lila mengambil sebungkus permen penyegar mulut untuk dirinya sendiri."Aruna pasti akan senang." Lila berkomentar lirih dari belakang melihat semua yang Rinjani beli di meja kasir.Rinjani terg
Cahaya pagi yang menembus panel kaca di studio desain lantai dua belas kantor pusat WN Group seakan membelah ruang itu dengan siluet-siluet. Ruangan itu nampak rapi, namun sejuknya pendingin ruangan tak bisa meredakan ketegangan mereka yang ada di dalamnya.Vivian duduk seperti ratu di atas singgasana, postur tubuhnya menampilkan ketenangan dominan. Tepi bibirnya mengerucut saat mengamati wajah ketiga rekannya. Ia baru saja mengumumkan bahwa mereka kehilangan dukungan dari Aditya, sang direktur pemasaran, dan membiarkan keheningan meregang sebelum akhirnya berbicara.“Beberapa orang memang pandai, tapi tidak sanggup dengan tekanan. Sangat ironis.” Napas Vivian berhembus lambat.Fayra, yang bertumpu di salah satu sandaran tangan kursi, meregangkan kaki lalu memiringkan kepalanya. Ia mencerna beratnya kata-kata itu.“Mungkin seharusnya begini.” Suaranya lirih, sambil memintal benang yang terl
Dari teras griya tawangnya, Miriam Wiyasa Nawasena menggenggam cangkir porselen di antara jari-jarinya, membiarkan kehangatan teh earl grey meresap ke dalam kulitnya. Udara pagi terasa segar, dan Paris selalu menjadi kota impian Miriam–elegan dalam ekspresi dan sarat ketenangan, mirip dirinya. Miriam menemukan kenyamanan di saat-saat seperti ini, di mana keindahan dan kendali terjalin dengan mulus.Pagi ini situasi sedikit berbeda. Miriam menyesap teh earl grey sementara matanya menatap cakrawala kota, mengembara di sekeliling menara Eiffel dan American Cathedral yang tak jauh dari tempat ia duduk. Semalam, Raynar telah menghubunginya, mengabarkan hal penting yang harus segera ia tindak lanjuti.Lila Anindya. Miriam selalu benar tentang gadis itu. Ambisius, cerdas, dan memiliki kompas moral yang membedakannya dari para lintah di industri mereka. Lila melaporkan sebuah konspirasi yang mengancam untuk menodai kompetisi desain yang tel
Selama berhari-hari, Lila telah melatih momen ini dalam pikirannya-membayangkan setiap hasil yang mungkin terjadi, setiap variasi responsnya. Namun kini, berdiri di hadapannya, dengan beban bertahun-tahun yang menekan dadanya, semua kata-kata yang telah dilatih itu berserakan seperti debu.Raynar menatapnya penuh harap. Lila menelan ludah dengan keras, jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kemudian, hampir tidak terdengar seperti bisikan, dia akhirnya mengatakannya.“Aku selalu menyukaimu, Ray.”Kata-kata itu membuat bibirnya gemetar, terasa berat karena emosi yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Ia mencoba melunakkan pengakuannya, memaksakan sebuah senyuman, tapi kelu. “Sejak aku menumpahkan kopi di jaketmu.”Lila tertawa kecil, berharap Raynar akan tertawa, bahwa ia akan mengingat momen kecil itu dengan penuh cinta seperti dirinya.Tapi Raynar tak tertawa.
Kampus Universitas Pragya Dharma di ibukota Muliakarta pagi itu penuh dengan energi semester baru. Hiruk pikuk para mahasiswa yang saling bertukar cerita tentang pengalaman liburan dan persiapan mereka untuk semester mendatang menjadi pemandangan menarik, terutama bagi Lila Anindya.Di tengah keramaian, ia berjalan menyusuri koridor-koridor kampus, mendekap buku-buku di dada, dan berbincang bersama dua orang temannya, Trista dan Fiona.Sebagai penerima beasiswa, Lila sadar bahwa dibalik keistimewaannya di universitas bergengsi ini, ia memikul tanggung jawab dua kali lebih besar yang menuntut kesempurnaan langkahnya.Lalu, dalam satu momen yang kikuk, sesuatu terjadi.Sebuah tabrakan pada lengan kirinya membuat tubuh Lila terguncang. Benturan itu membuat tutup cangkir kopinya terlepas dan isinya terciprat ke blazer biru tua milik seseorang. Hawa panas yang tajam merembes ke dalam sweternya, dan aroma biji kopi yang dipanggang merebak di udara.Sial! pria di hadapannya yang sangat menco
Purnama jingga menggantung rendah di atas cakrawala ibukota, menawarkan hangat pada kelelahan seisi kota. Di balik jendela ruang tamu apartemennya, Aruna larut dalam kegiatan menggambar, sementara Bibi Sari sibuk merapikan perabotan dapur.“Bagaimana pekerjaanmu, Rin? Apa ada masalah hari ini?”Rinjani menangkap kekhawatiran dari pertanyaan itu saat mengeringkan tubuhnya di kamar mandi.“Baik, Bi. Masalah pasti ada, tapi sejauh ini kami bisa mengatasinya.” Bibi Sari mendengarkan Rinjani dari antara uap air ketika ia menyeduh dua cangkir teh untuk mereka.“Kami berhasil membuat desain untuk kompetisi yang diadakan perusahaan. Kemajuan yang cukup baik sejauh ini.” Beberapa saat kemudian, ia keluar.Setelah selesai, Bibi Sari lalu duduk di dekat jendela. Tangannya meraih sebuah jarum rajut dan benang sambil tersenyum penuh pengertian.“Kamu selalu pandai sejak kecil, Rin. Tap
“Sepertinya kita dalam masalah besar.”Gusti menggigit pelan bibirnya, lalu mencodongkan badan ke meja gambar. Matanya terpaku pada foto-foto konsep desain yang Rhea ambil dari studio Vivian. Paduan warnanya sungguh sesuai dengan siluetnya yang tajam, dan yang paling mencemaskan—desain itu tampak seperti sesuatu yang berpotensi tinggi untuk viral di majalah mode bergengsi.“Kupikir begitu,” komentar Rhea, ekspresi skeptisnya melembut menjadi kekaguman yang enggan. “Ini... trendi, Lila. Mereka tidak main-main.” Rhea menoleh pada pemimpin timnya.Lila bersandar di kursinya, ekspresinya tetap datar—terlalu datar. Seolah-olah jika ia membiarkan pikirannya meresap terlalu dalam, ia akan mulai mengagumi pesaingnya sendiri. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk ujung ponsel dengan ritme pelan. Matanya sekilas menoleh ke arah Rinjani.Di sampingnya, Rinjani masih men