Share

LIMA

Author: Kurisinasan
last update Last Updated: 2025-03-26 13:24:59

Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut warna-warna pastel alami yang hangat di ruang tamu kediaman megah Wiyasa Nawasena memancarkan keanggunan yang tenang. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk Zethra dalam pelukannya. Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar.

Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah dengan pasti ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne dari wol lembut dan rok selutut berwarna khaki menyampaikan kesan membumi yang bersahaja, dipasangkan dengan kalung dan sepasang anting mutiara untuk melekatkan kesan keanggunan. Setiap gerakannya dilakukan dengan hati-hati, talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah ia latih berkali-kali dalam pikirannya.

Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan yang santai, kemeja biru langit sederhana dengan lengan yang digulung. “Selamat pagi.” Nada bicaranya terukur saat ia mengulurkan lengan untuk bersalaman. Zora berdiri lalu menyambut uluran jabat tangan itu dengan senyum tulus, sementara dari belakang seorang pelayan datang dengan nampan berisi teh.

Aroma samar Earl Grey tercium di antara mereka saat pelayan meletakkan dua cangkir kosong dan teko keramik dari nampan.

“Terima kasih kau sudah mau datang.” Raynar menuang teh untuk mereka berdua. Tatapannya tertuju pada bayi itu sejenak sebelum kembali ke Zora.

“Tidak setiap hari kita menerima berita yang mengubah hidup.” Bibir Zora melengkung tipis. “Aku takkan melewatkannya. Bagaimanapun ini untuk kepentingan kita bersama.” Ia meraih cangkirnya, menyesapnya perlahan.

Di balik penampilannya yang tenang, jantungnya berdegup kencang. Hasil tes DNA akan segera tiba, dan itu puncak dari rencana besar yang telah dilakoninya dengan cermat.

Raynar bersandar sedikit ke belakang, menatapnya. “Zora, sementara kita menunggu, ada sesuatu yang membuatku penasaran.” Alis Zora sedikit terangkat, mempertahankan ketenangannya. “Tentu saja. Apa itu?”

“Malam itu di Royal Ravelle,” dia mulai, nadanya santai tapi matanya tajam. “Kau bersama siapa?” Pertanyaan itu sontak mengejutkannya.

Jari-jari Zora mengencang tanpa terasa di sekitar pegangan cangkir. “Mengapa kau bertanya itu?” dia membalas dengan ringan, mengulur-ulur waktu.

“Aku ingin merangkai kenangan malam itu menjadi utuh,” kata Raynar lembut, tapi tatapannya tetap tajam. “Detailnya penting.” Zora ragu-ragu untuk menjawab. Dia tidak bisa membiarkan Raynar menghubungkannya dengan siapa pun yang mungkin akan membeberkan kebenaran. Berpura-pura tidak peduli, dia mengangkat cangkirnya dan menyesapnya perlahan.

“Aku sendirian,” katanya akhirnya, suaranya mantap namun dijaga agar tetap lembut. “Kau pasti tahu, terkadang kita perlu satu malam yang tenang tanpa gangguan.”

Ia mengangguk pelan, Raynar sangat mengerti dengan apa yang diucapkan Zora. Sejenak kemudian, ia ingin bertanya lebih jauh tentang detail yang lain, namun suara pintu depan terbuka dan asistennya masuk dengan amplop putih.

“Pak,” kata asistennya, memberikan amplop itu dengan kedua tangannya. “Hasil tes DNA.” Suasana berubah seketika. Zora mengembuskan napas pelan, lega dengan pengalihan perhatian itu. Raynar mengambil amplop itu, gerakannya hati-hati. Ia memegangnya sejenak, ibu jarinya mengusap segelnya, sebelum membukanya.

Pandangan Raynar memindai dokumen itu pada setiap baris. Untuk sesaat, ekspresinya tetap netral, tidak menunjukkan apa-apa. Kemudian, perubahan halus tampak di wajahnya.

“Kamu benar.” Ia menatap Zora yang duduk tegap di hadapannya. “Bayi itu anakku.”

Zora melepaskan senyuman kecil dan menjaga posturnya tetap tenang. “Aku tidak pernah meragukannya,” sambil menatap bayi yang didekapnya. “Aku senang sekarang kamu juga tidak perlu meragukannya.” Tatapan Raynar tertuju pada anak itu, wajahnya melembut. Ia melangkah mendekat, menjulang tinggi di hadapan Zora, yang menatapnya erat. “Bolehkah?” tanyanya, menunjuk ke arah bayi lelakinya.

“Oh, iya… Tentu.” Lengannya terjulur memberikan bayi itu dengan hati-hati. Raynar menggendong bayi itu, gerakannya ragu-ragu pada awalnya. Sudut bibir Zora terangkat, sebuah senyuman yang langka dan sekilas muncul.

“Dia... Sempurna.” Suara Raynar nyaris terdengar seperti bisikan. Untuk sesaat, momen itu membeku dalam waktu. Zora merasakan kelegaan di rongga dadanya, langkah besar pertama telah berhasil. Ia sandarkan punggungnya ke kursi lalu menghela napas panjang yang samar.

Keheningan ruangan pecah oleh dengung ponsel di meja. Keceriaan Raynar terlihat jelas ketika menyadari panggilan telepon itu. Dengan tergesa ia kembalikan bayi lelakinya pada Zora. Jemari mungil bayi itu menarik-narik kalung saat ia menyesuaikan pangkuan, matanya sedikit menyipit oleh antusiasme Raynar yang tiba-tiba.

“Hai, Ma!” Suaranya ringan dan gembira, nada bicara Raynar yang belum pernah didengar Zora sebelumnya. Sudut bibirnya terangkat menjadi senyuman yang menawan.

“Iya, aku sendiri yang akan menjemput Mama di bandara.” Ia mengangguk meski ibunya di seberang sana tak bisa melihatnya. “Iya, Ma, aku akan memintanya menemaniku. Infokan aku jadwal penerbangan Mama.”

Senyum sopan Zora mengembang saat Raynar mengakhiri telepon. “Jadi, dimana Mamamu?”

Mata Raynar berbinar. “Dia akan segera bertolak dari Paris.” Kegembiraan di suaranya terdengar asing bahkan bagi Zora sekalipun. “Dia baru beberapa hari disana dan sekarang akan pulang demi bertemu cucunya, dan…kamu.”

“Oh!” Tawa sopan itu terdengar manis. “Aku yakin dia akan senang bertemu si kecil ini.”

“Mama akan senang sekali bertemu kalian.” Sejenak senyum Raynar merekah membayangkan situasi itu nanti. “Kamu ada acara lain hari ini? Bagaimana kalau kita ke mall setelah ini? Aku ingin kita menyiapkan beberapa hal untuk bayi kita. Mama sangat mementingkan kesan pertama, kau tahu.”

Zora tergelak melihat kepolosan Raynar, kali ini responnya sungguh tulus. Potongan-potongan rencananya mulai jelas terlihat. “Tidak, aku tidak… Maksudku, ya… Tentu saja, kita pastikan semuanya siap hari ini.”

Saat mereka melangkah menuju mobil, pikiran Raynar penuh dengan daftar barang yang harus dibeli: pakaian bayi, penutup kepala, beberapa mainan, bahkan kereta dorong bayi. Sementara itu, dalam benaknya, prioritas Zora sama sekali berbeda. Dia melirik ke arah Raynar, memperhatikan loncatan dalam langkahnya dan sikapnya yang sangat santai. “Bagaimana dengan Papamu?” Nadanya terjaga supaya tidak berkesan terlalu menyelidiki.

Raynar menoleh sebentar ke arah Zora, sebentuk pesona kekanak-kanakan nampak di wajahnya. “Kita bicarakan soal itu nanti.” Zora memiringkan kepalanya lalu mengangguk. “Oke, sepertinya hari ini akan menyenangkan.” Keduanya tertawa bersamaan. Senyum Zora kembali mengembang, kali ini karena alasan yang sepenuhnya benar. Ia selangkah lebih dekat untuk mengukuhkan posisinya dalam keluarga Wiyasa Nawasena, dan Zora Wardhani akan memastikannya tetap seperti itu.

***

Sebuah jet pribadi mendarat dengan mulus di jalur landasan yang sepi. Beberapa saat kemudian, seorang wanita tua anggun yang mengenakan gaun biru tua dengan kombinasi syal sutra putih dan untaian kalung mutiara muncul dari dalam jet.

Miriam Wiyasa Nawasena menuruni tangga dengan aura kemewahan yang khas. Raynar dan Zora, yang berdiri di samping sebuah mobil hitam, telah menunggu di dekat landasan untuk menyambutnya. Tatapan mata Miriam menyiratkan kewaspadaan yang samar, namun senyumnya menebarkan rasa keakraban.

“Akhirnya,” Mata Miriam berbinar dan senyumnya merekah. Ia menatap anak lelakinya seakan telah berpisah lama. “Selamat ya, Nak.” Pelukan Miriam begitu erat pada Raynar, ungkapan kebanggaan dan kegembiraan seorang ibu pada keberhasilan anaknya.

Sejenak kemudian, matanya yang tajam dengan beralih pada bayi lelaki yang digendong Zora. “Dan ini pasti si kecil yang menjadi berita utama dalam keluarga.” Zora memberikan senyuman tulus terbaiknya. “Tante, senang bisa bertemu. Kami sudah menantikan momen ini.”

“Oh, kalian belum memberinya nama? Bagaimana bisa?” Nada wanita itu sedikit meninggi dan mengabaikan basa-basi Zora. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya untuk melihat bayi itu lebih jelas. “Dia bahkan lebih tampan dari yang kukira.”

Raynar mengetahui gelagat ibunya. “Aku menuggu Mama untuk memilih beberapa nama. Kita masih punya cukup waktu untuk itu.” Miriam tertawa kecil. “Kau benar. Kita masih punya waktu.” Lalu, Raynar maju untuk mangajak ibunya masuk ke mobil. “Ayo, Ma, kita lanjutkan berbincang nanti.”

Di mobil, Zora duduk di kursi penumpang depan sedangkan Miriam duduk di belakang Zora. Sikapnya tenang namun penuh perhatian. Tak perlu waktu lama untuk kendaraan mereka keluar dari bandara.

“Raynar sudah menceritakan semuanya,” Miriam memulai.. “Sungguh luar biasa bagaimana takdir membawamu ke dalam kehidupan kami. Tapi menurutku, seharusnya kamu tidak perlu menunggu begitu lama untuk mengungkapkan situasimu.”

Pernyataan itu tampak membuat Zora sedikit tegang. Ia mengingat kembali jawabannya kepada Raynar perihal itu. Setelah melegakan tenggorokanya dengan berbatuk ringan, ia menanggapi dengan hati-hati. “Saya hanya memastikan semuanya sebelum menemui Ray. Sebenarnya, saya tak ingin ada rumor dan kehebohan yang mengusik Raynar.”

Miriam mengangguk perlahan, ekspresinya penuh perhatian. “Begitu diplomatis dan penuh pertimbangan,” katanya lirih, seakan menunjukkan keraguan. Sambil terus mengemudi, Raynar melirik ibunya melalui kaca spion tengah. Tatapan singkat itu tak luput dari perhatian Zora. Miriam tak berkata apa-apa, hanya garis tipis terbentuk di antara kedua alisnya.

“Ray, antar Mama ke pemakaman ya?!,” tukas Miriam. Alis Raynar berkerut, “Sekarang, Ma? Tidakkah sebaiknya kita pulang dulu?” Miriam menggeleng. “Sebaiknya selagi bisa, kita datang mengunjunginya setiap kali kita teringat padanya. Lagipula, Mama tidak ingin lupa kesana karena sibuk dengan persiapan resepsi pernikahanmu. Itu sudah mama pikirkan sejak bertolak dari Paris.”

“Iya, Ma.” Tanpa bicara lagi, Raynar menyesuaikan rute perjalanan di layar mobil.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Love, Lies, and The Price of Desire   ENAM

    Selama lima belas menit mobil itu menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya mereka tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Areal luas membentang di hadapan mereka, tenang dan asri. Titik embun menempel di ujung rerumputan, dan aroma samar bunga-bunga segar berbaur dengan aroma tanah yang lembab.Raynar keluar lebih dulu, melangkah dengan hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora, yang biasanya percaya diri, berjalan menggendong bayinya dengan langkah keraguan, wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya seakan tempat itu tak layak baginya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang, eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta e

    Last Updated : 2025-03-26
  • Love, Lies, and The Price of Desire   TUJUH

    Sebuah aula berkilauan seperti permata hidup malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, dengan mudah menyatu dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang memenuhi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora, wanita cantik yang kini menjadi istri sahnya, bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Bagi orang lain yang hadir disana, Zora mungkin tampak

    Last Updated : 2025-03-28
  • Love, Lies, and The Price of Desire   DELAPAN

    Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Namun kini, jejak kebakaran itu telah lenyap sepenuhnya, berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi. Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggu

    Last Updated : 2025-03-28
  • Love, Lies, and The Price of Desire   SEMBILAN

    Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara. Besarnya stasiun ini seakan menelan segalanya, mulai dari langit-langitnya yang menjulang tinggi hingga arus manusia yang tak henti-hentinya bergerak ke segala arah.Rinjani Wardhani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Mengapa di sini begitu bising? Apakah kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita ti

    Last Updated : 2025-03-29
  • Love, Lies, and The Price of Desire   SEPULUH

    Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku mencobanya?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-

    Last Updated : 2025-03-30
  • Love, Lies, and The Price of Desire   SEBELAS

    Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus dari seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting pagkas di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit dikuasai kelamnya awan. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge

    Last Updated : 2025-03-31
  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA BELAS

    “Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim pada sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu be

    Last Updated : 2025-03-31
  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA BELAS

    Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, simfoni cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap membalutkan kualitas pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal. Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka.Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur. “Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi.

    Last Updated : 2025-04-01

Latest chapter

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH

    Awan mendung yang bergelayut di cakrawala Muliakarta pagi ini nampak kontras dengan keceriaan seorang lelaki muda. Rawindra membetulkan kaca spion tengah mobilnya ketika berhenti di salah satu lampu merah perempatan besar, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Di kursi penumpang terdapat sebuah portofolio kulit yang penuh dengan foto-foto permata - zamrud, safir, rubi - yang dikatalogkan dengan teliti. Setiap batu mewakili potensi untuk bisnis istrinya.“Delapan bulan menikah, dan sudah membangun sesuatu bersama,” gumamnya, membayangkan tanggapan antusias Lila Anindya terhadap sampelnya. Salah satu pemimpin tim rancangan busana ingin melihat kemungkinan untuk bekerjasama, berbicara tentang penyematan permata pada rancangannya, tentu saja itu membuat Rawindra dan istrinya gembira. Sebuah kolaborasi yang dapat menempatkan bisnis permata istrinya di peta strategis, dan yang lebih penting bagi Rawindra adalah kebanggan pribadi sebagai suami atas kontribusi terhada

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH SEMBILAN

    Beberapa menit yang lalu, Vivian telah memindai kantor pusat WN Group seakan baru pertama kali melihatnya. Matanya berkelana pada staf kantor yang melakukan rutinitas mereka, petugas keamanan berjaga di pos-pos tertentu, termasuk posisi-posisi kamera CCTV di sepanjang rute perjalanannya masuk ke studio.Kini, Vivian bersandar di jendela besar ruang studionya. Hiruk pikuk jalanan ibukota Muliakarta bermandikan warna keemasan lembut matahari pagi, membentang dari bawah lantai dua belas kantor pusat WN Group. Ia merasa berbeda, bukan hanya karena udara terasa lebih segar atau karena kopinya terasa lebih aromatik. Mata Vivian menatap hari ini dengan optimisme, dimana hal-hal akan berjalan sesuai keinginannya.Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk cangkir keramik saat ia memandangi gambar latar layar ponselnya–sebuah tulisan terpampang di sana: “If nothing goes right, goes left.” Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap di benak

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH DELAPAN

    Malam di ibukota menyebarkan hawa sejuk seiring lalu lintas yang berangsur-angsur lengang. Rinjani dan Lila melangkah meninggalkan Sweet Spot Cafe. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya temaram kekuningan, sementara angin melagukan gemerisik dedaunan di sepanjang jalan. Mereka melintasi minimarket di sudut jalan."Hei, kau ada waktu?" tanya Rinjani tiba-tiba, menoleh ke arah Lila di sampingnya.Lila mengangkat alis. "Tentu. Kenapa?""Aku teringat membeli cokelat dan es krim untuk Aruna. Seharusnya aku membelinya tadi, tapi telepon itu terlalu mendesak."Rinjani telah menggenggam keranjang belanja saat selesai bicara.Lila tersenyum. "Tak masalah. Aku juga akan melihat-lihat."Keduanya santai menyusuri lorong-lorong. Rinjani memilih beberapa batang cokelat dan satu kotak es krim, sementara Lila mengambil sebungkus permen penyegar mulut untuk dirinya sendiri."Aruna pasti akan senang." Lila berkomentar lirih dari belakang melihat semua yang Rinjani beli di meja kasir.Rinjani terg

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH TUJUH

    Cahaya pagi yang menembus panel kaca di studio desain lantai dua belas kantor pusat WN Group seakan membelah ruang itu dengan siluet-siluet. Ruangan itu nampak rapi, namun sejuknya pendingin ruangan tak bisa meredakan ketegangan mereka yang ada di dalamnya.Vivian duduk seperti ratu di atas singgasana, postur tubuhnya menampilkan ketenangan dominan. Tepi bibirnya mengerucut saat mengamati wajah ketiga rekannya. Ia baru saja mengumumkan bahwa mereka kehilangan dukungan dari Aditya, sang direktur pemasaran, dan membiarkan keheningan meregang sebelum akhirnya berbicara.“Beberapa orang memang pandai, tapi tidak sanggup dengan tekanan. Sangat ironis.” Napas Vivian berhembus lambat.Fayra, yang bertumpu di salah satu sandaran tangan kursi, meregangkan kaki lalu memiringkan kepalanya. Ia mencerna beratnya kata-kata itu.“Mungkin seharusnya begini.” Suaranya lirih, sambil memintal benang yang terl

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH ENAM

    Dari teras griya tawangnya, Miriam Wiyasa Nawasena menggenggam cangkir porselen di antara jari-jarinya, membiarkan kehangatan teh earl grey meresap ke dalam kulitnya. Udara pagi terasa segar, dan Paris selalu menjadi kota impian Miriam–elegan dalam ekspresi dan sarat ketenangan, mirip dirinya. Miriam menemukan kenyamanan di saat-saat seperti ini, di mana keindahan dan kendali terjalin dengan mulus.Pagi ini situasi sedikit berbeda. Miriam menyesap teh earl grey sementara matanya menatap cakrawala kota, mengembara di sekeliling menara Eiffel dan American Cathedral yang tak jauh dari tempat ia duduk. Semalam, Raynar telah menghubunginya, mengabarkan hal penting yang harus segera ia tindak lanjuti.Lila Anindya. Miriam selalu benar tentang gadis itu. Ambisius, cerdas, dan memiliki kompas moral yang membedakannya dari para lintah di industri mereka. Lila melaporkan sebuah konspirasi yang mengancam untuk menodai kompetisi desain yang tel

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH LIMA

    Selama berhari-hari, Lila telah melatih momen ini dalam pikirannya-membayangkan setiap hasil yang mungkin terjadi, setiap variasi responsnya. Namun kini, berdiri di hadapannya, dengan beban bertahun-tahun yang menekan dadanya, semua kata-kata yang telah dilatih itu berserakan seperti debu.Raynar menatapnya penuh harap. Lila menelan ludah dengan keras, jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kemudian, hampir tidak terdengar seperti bisikan, dia akhirnya mengatakannya.“Aku selalu menyukaimu, Ray.”Kata-kata itu membuat bibirnya gemetar, terasa berat karena emosi yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Ia mencoba melunakkan pengakuannya, memaksakan sebuah senyuman, tapi kelu. “Sejak aku menumpahkan kopi di jaketmu.”Lila tertawa kecil, berharap Raynar akan tertawa, bahwa ia akan mengingat momen kecil itu dengan penuh cinta seperti dirinya.Tapi Raynar tak tertawa.

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH EMPAT

    Kampus Universitas Pragya Dharma di ibukota Muliakarta pagi itu penuh dengan energi semester baru. Hiruk pikuk para mahasiswa yang saling bertukar cerita tentang pengalaman liburan dan persiapan mereka untuk semester mendatang menjadi pemandangan menarik, terutama bagi Lila Anindya.Di tengah keramaian, ia berjalan menyusuri koridor-koridor kampus, mendekap buku-buku di dada, dan berbincang bersama dua orang temannya, Trista dan Fiona.Sebagai penerima beasiswa, Lila sadar bahwa dibalik keistimewaannya di universitas bergengsi ini, ia memikul tanggung jawab dua kali lebih besar yang menuntut kesempurnaan langkahnya.Lalu, dalam satu momen yang kikuk, sesuatu terjadi.Sebuah tabrakan pada lengan kirinya membuat tubuh Lila terguncang. Benturan itu membuat tutup cangkir kopinya terlepas dan isinya terciprat ke blazer biru tua milik seseorang. Hawa panas yang tajam merembes ke dalam sweternya, dan aroma biji kopi yang dipanggang merebak di udara.Sial! pria di hadapannya yang sangat menco

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH TIGA

    Purnama jingga menggantung rendah di atas cakrawala ibukota, menawarkan hangat pada kelelahan seisi kota. Di balik jendela ruang tamu apartemennya, Aruna larut dalam kegiatan menggambar, sementara Bibi Sari sibuk merapikan perabotan dapur.“Bagaimana pekerjaanmu, Rin? Apa ada masalah hari ini?”Rinjani menangkap kekhawatiran dari pertanyaan itu saat mengeringkan tubuhnya di kamar mandi.“Baik, Bi. Masalah pasti ada, tapi sejauh ini kami bisa mengatasinya.” Bibi Sari mendengarkan Rinjani dari antara uap air ketika ia menyeduh dua cangkir teh untuk mereka.“Kami berhasil membuat desain untuk kompetisi yang diadakan perusahaan. Kemajuan yang cukup baik sejauh ini.” Beberapa saat kemudian, ia keluar.Setelah selesai, Bibi Sari lalu duduk di dekat jendela. Tangannya meraih sebuah jarum rajut dan benang sambil tersenyum penuh pengertian.“Kamu selalu pandai sejak kecil, Rin. Tap

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH DUA

    “Sepertinya kita dalam masalah besar.”Gusti menggigit pelan bibirnya, lalu mencodongkan badan ke meja gambar. Matanya terpaku pada foto-foto konsep desain yang Rhea ambil dari studio Vivian. Paduan warnanya sungguh sesuai dengan siluetnya yang tajam, dan yang paling mencemaskan—desain itu tampak seperti sesuatu yang berpotensi tinggi untuk viral di majalah mode bergengsi.“Kupikir begitu,” komentar Rhea, ekspresi skeptisnya melembut menjadi kekaguman yang enggan. “Ini... trendi, Lila. Mereka tidak main-main.” Rhea menoleh pada pemimpin timnya.Lila bersandar di kursinya, ekspresinya tetap datar—terlalu datar. Seolah-olah jika ia membiarkan pikirannya meresap terlalu dalam, ia akan mulai mengagumi pesaingnya sendiri. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk ujung ponsel dengan ritme pelan. Matanya sekilas menoleh ke arah Rinjani.Di sampingnya, Rinjani masih men

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status