"Sayang, aku tidak akan pergi kemana-mana, tenanglah," ujar Axelle mengingatkan. Dia meraih tubuh mungil tersebut ke dalam pelukan.
Stela menggeleng, "Pergilah Om, saya tidak apa-apa. Anda jangan sungkan, walau baga
Setengah jam kemudian, mobil yang Axelle kendarai masuk ke dalam sebuah pelataran rumah sederhana. Resepsi dilakukan pada malam hari, sedang pagi tadi adalah waktu ijab, begitu yang dituturkan Freya sebelum Axelle turun dari mobil. Lelaki tersebut memutari mobil, ia membukakan pintu untuk sang istri siri. Untuk kemudian melihat sekeliling. Rumah-rumah penduduk tertata rapi berjajar, di dekat pelataran rumah kerabat Freya. Ada sebuah rumah berlantai dua. Rumah tersebut adalah rumah orang tua Freya. Sudah pasti rumah tersebut berdiri berkat Axelle. Lelaki itu tidak pernah merasa kecewa akan uang yang ia keluarkan. Yang membuatnya kecewa adalah penghianatan Freya."Terima kasih," ucap Freya mengulas senyum.Axelle tidak menjawab, dia dengan dinginnya mendongakkan kepala. Freya meraih tangan sang suami dan
Freya menangis di dalam kamar kediaman orang tuanya. Rasa sakit itu teramat dalam untuk ia tanggung sendiri. Beban yang berat terasa. Ketukan pintu membuatnya bangkit berdiri dari ranjang sederhana. Kamar dengan ukuran sempit tersebut membuatnya sedikit begah. Penampilannya terlihat kacau, matanya bengkak, hidungnya memerah. Tisu berserakan dimana-mana bersama bantal yang tidak berada di ranjang lagi.Freya membuka pintu, sang ibu masuk ke dalam rumah dengan pelan. "Ibu," sapa Freya. Dia menyingkir ke samping? membiarkan sang ibu masuk."Nak, Ibu ingin bicara," kata wanita tua tersebut kemudian berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepiannya. Wajah wanita tersebut tidak jauh berbeda dengan Fre
Axelle mengharapkan kebahagiaan sang istri. Namun, Stela terlalu dermawan untuk berbagi kebahagiaan dengan yang lain. Stela masih terdiam membisu tanpa kata. Jika Axelle berpikir tentang kebaikannya. Namun, Stela berpikir lain, keputusan terburu-buru yang sang suami ambil takutnya akan berdampak buruk. Stela hanya berharap Axelle mau mengajaknya berunding untuk memecahkan masalah yang ada. Stela masih saja dianggap anak kecil oleh sang suami. Stela ingin semuanya terbuka tanpa ada yang harus disembunyikan atau ditutupi. Stela masih kekeh pada pendiriannya. Perempuan muda itu bahkan tidak membalas pelukan sang suami. Axelle mendengkus kesal, tidak dapat memahami apa yang ia perbuat adalah demi kebahagiaan yang sama. Dia melepas pelukannya menatap tajam Stela. Akan tetapi, emosinya luluh kala ia mendapati wajah mania di depannya itu menggoda. Terlihat imut men
Terlihat kegusaran di wajah Stela, Axelle yang menangkap gelagatnya, lelaki itu langsung menegakkan tubuh mungil sang istri. Keduanya kini berhadapan, netra keduanya saling menatap. Axelle mengelus poni sang istri penuh kasih sayang. Stela nampak sendu, Axelle membelai pipinya mesra. "Hey, kenapa sayang?" tanya Axelle. Stela menggeleng, Axelle mengecup kening sang istri. "Katakanlah, Sayang," imbuh Axelle. "Mengapa, kau masih merasa bersalah pada Freya atau karena hal lain?" telisik Axelle. "Saya." Stela menjeda ucapannya. "Saya merindukan almarhum kedua orang tua saya Om," jawab Stela. Bening air mata menggenang di pelupuk siap meleleh. Senyum hangat Axelle mengembang, menghangatkan. Stela menghambur ke pelukan sang suami. Dapat ia rasa degupan jantung Axelle yang semakin tidak ber
Marvel masih terlihat sibuk di kantornya yang nampak rapi itu. Beberapa dokumen telah rampung ia tandatangani. Lelaki gagah, dengan set jas warna hitam tersebut beringsut dari duduknya. Netranya beralih ke sebuah foto yang baru ia dapatkan dari Axelle. Foto ketika Mirza masih bayi baru lahir. Hidung mancung, matanya sipit dengan pipi gembul mirip bakpao. Marvel berulang kali mengulas senyum. Kali ini ia menelan saliva dalam-dalam. Tatapan getir itu menunjukkan isi hati yang sesungguhnya. Harta yang ia kejar membuatnya kehilangan segala hal. Cinta dan putranya, wanita yang ia cintai telah berpindah hati. Dering telefon berbunyi membuyarkan semua angan."Iya," jawab Marvel singkat."Ada Pak Axelle dan Tuan Zeroun datang, beliau ingin bertemu." Suara wanita di seberang telefon sedikit bergetar.
Siang itu udara terasa panas, di sebuah restoran berbintang milik pribadi. Marvel mengajak putranya makan bersama. Dirinya tengah was-was menanti jawaban Mirza. Ia berharap pemuda di hadapannya menyetujui niat Marvel mengumumkan ke khalayak publik tentang identitasnya. Marvel sangat berharap itu, selain untuk pengakuan dirinya sebagai ayah kandung. Acara tersebut juga bertujuan mengalihkan perhatian Zayn agar Mirza tidak menjadi sasarannya. Keduanya tengah duduk di kursi yang berada paling ujung. Dimana dari jendela kaca yang luas membuatnya melihat keadaan di luar sana. Suara bising pengunjung terdengar riuh penuh canda tawa. Ada satu grub band indie yang telah di sewa pihak restoran, sebagai pemanis. Saat ini penyanyi lelaki yabg juga memegang gitar tersebut. Dia terlihat berduet dengan penyanyi perempuan, melantunkan lagu 'Cinta Yang Sempurna' yang di populerkan Kangen Band. Suara keduanya terdengar mendayu-dayu.
Sepasang suami istri tersebut masih menduga lelaki asing, yang bak pinang dibelah dua dengan Mirza sang cucu. Seorang wanita paruh baya datang menghampiri, mengalihkan pandang mereka. Wanita tersebut beringsut sedikit jongkok, meletakkan segelas teh yang masih mengepul panas. Ada juga toples kecil yang mereka taruh di dekatnya. Setelah melakukan pekerjaannya, wanita tersebut menunduk menjauh, dan pergi menghilang ke dalam."Mirza masih mencari Mamanya pasti," ujar sang kakek."Iya Pak," jawab Marvel menunduk."Aku tidak pernah melihatmu, tapi dirimu nampak tidak asing, Nak," ucap sang nenek.Marvel menatap kedua orang tua di hadapannya yang terhal
Malam itu baik Stela maupun Axelle sama-sama sibuk di meja kerja mereka. Keduanya sama-sama tenang mengerjakan pekerjaan masing-masing. Meski keduanya kadang melirik satu sama lain. Bukan tidak ingin bercengkrama, dan bersenda gurau. Hanya saja, pekerjaan menumpuk membuat mereka untuk sementara waktu menunda kemesraan. Pintu terbuka membuyarkan kesibukan keduanya. Sepasang suami istri tersebut sontak memandang ke arah pintu. Zeroun menyembul masuk, lelaki tua tersebut mengenakan set piyama lengan panjang, warna biru motif awan putih. Axelle dan Stela sontak meneliti piyama masing-masing yang ternyata sama. Mereka kemudian terbahak, mendapati apa yang mereka kenakan malam ini sama. "Sepertinya aku harus berganti pakaian," seloroh Zeroun berjalan ke arah sofa. "Tidak perlu Ayah," tutur Axel