10Hari ini seharusnya aku bisa bangun siang. Akan tetapi, sepertinya Mama tidak mau membiarkanku menikmati liburan dan berusaha sedapat mungkin untuk membuatku sibuk. Mulai dari menemaninya ke pasar, bantu menyiapkan kotak-kotak berisi pesanan pelanggannya, hingga mengantarkan puluhan kotak itu bersama dengan Kai. Berboncengan dengan hati-hati menuju komplek perumahan yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi karena aku tidak diperkenankan untuk mengebut, jarak pendek yang ditempuh itu seakan-akan sangat jauh. Kompleks yang kami tuju ini merupakan cluster baru yang ternyata belum terlalu banyak penghuninya. Saat kami tiba di alamat tujuan, aku dan Humaira sama-sama melongo, sebelum kemudian tertawa tanpa alasan yang jelas. "Ini rumahmu?" tunjukku pada bangunan dua lantai yang sepertinya baru selesai direnovasi itu. Karena bangunannya sudah sangat berbeda dari rumah di sekitar. "Iya, aku baru pindah seminggu di sini, Ken," jawab gadis berjilbab putih itu seraya mengula
11"Dasar pembohong! Udah ketahuan juga masih ngeles aja!" pekik Aleea sambil menunjuk wajah Rian yang tampak pucat. "Kamu salah paham, Sayang. Denger dulu penjelasan Akang," pinta pria berpakaian rapi sembari memegangi pundak Aleea yang seketika ditepis oleh gadis itu. Adegan berikutnya membuatku tercengang. Tiba-tiba saja tubuh Rian sudah tersungkur dengan posisi tubuh menekuk bak janin dalam kandungan dan tangan memegangi perut. Tanpa sadar mulutku membuka, demikian pula dengan Kai. Setelah berhasil mengatasi rasa keterkejutan, aku bergegas menghampiri kedua orang tersebut dan memegangi Aleea yang sudah bersiap untuk memukul Rian lagi."Lea, stop!" seruku. Aleea memberontak dan hendak berbalik memukul, tetapi kemudian dia tersadar dan menghentikan gerakan tangan yang sudah terangkat ke atas dan membentuk tinjuan. "Kenzo?" tanyanya sambil melebarkan mata. "Iya." Aku menariknya hingga menjauh dari Rian. Sementara Kai membantu pria itu berdiri dan menyandar ke pintu mobil. "Lep
12Hampir tengah malam saat sopir keluarga menjemput Aleea di rumah. Kedua orang tuanya tengah dalam perjalanan pulang dari Bandung, setelah dihubungi oleh Aleea satu setengah jam yang lalu. Aku memandangi kala gadis itu memasuki mobil sedan putih milik sang mama, lalu melambaikan tangan seraya tersenyum tipis, tetapi matanya masih sendu. Beberapa menit berdiri di depan pagar, barulah aku kembali memasuki rumah. Papa memanggilku dan mengajak bicara di ruang tengah. Mama juga ikut duduk sambil sekali-sekali menguap. Sementara Kai dan Khanza telah tidur sejak tadi di kamar masing-masing. "Gimana ceritanya itu tunangan Aleea bisa kebongkar rahasianya?" tanya Papa sembari menatapku lekat-lekat."Abang nggak tau persisnya gimana. Aleea ngamuk di depan mini market, terus mukulin Kang Ryan. Ehm, terus Mbak Sarah datang dan ngungkapin rahasia hubungannya dengan Kang Ryan, yang ternyata udah terjalin tiga tahun," jawabku. "Tadi mama coba ngorek keterangan, tapi susah karena dia nangis mul
13 Hari pun berganti. Masa usia sembilan belas tahun pun terlewati dengan ciuman dan pelukan hangat dari Papa, Mama dan Khanza. Sedangkan Kai hanya menyalamiku tanpa mengucapkan apa pun, lalu melenggang menuju meja makan dan duduk dengan santai, menyantap nasi kuning dengan lauk komplet yang sengaja disiapkan Mama sedari subuh. "Mau dirayakan nggak, Bang?" tanya Papa seraya mengulaskan senyuman yang kurasa agak menggoda. "Iya, Pa. Nanti malam kita makan-makan di restoran yang baru buka itu. Abang juga mau ngajak teman-teman kampus. Kalau teman-teman band, nanti siang Abang mau traktir mereka makan pizza, pada minta ke situ," sahutku. "Aleea diajak kan?" timpal Mama. Sekian detik aku terdiam, kemudian mengangkat bahu tanda bingung. Semenjak pengakuanku tempo hari, Aleea belum memberikan jawaban apakah menolak atau menerima ajakanku untuk menjadikannya pacar. Hingga satu bulan berlalu, nasibku masih digantung bak cucian terlupakan di tiang jemuran. Dari basah, terus kering, sampai
14"Akhirnya nongol juga dia, kirain nggak jadi datang," tukas Mas Steven sambil berdiri dan menyalamiku. "Happy birthday, Adikku yang katanya ganteng, semoga bahagia selalu," imbuhnya sambil menepuk-nepuk pundak. "Makasih, Mas," sahutku seraya mengulaskan senyuman lebar. Selanjutnya Mas Fa, Mbak Yeni dan Bang Ali bergantian menyalami dan mengucapkan selamat hari lahir buatku. Linda yang berdiri paling akhir tampak menyunggingkan senyuman sembari mengulurkan kotak berhiaskan pita merah. "Buatku?" selorohku sembari mengambil benda persegi panjang itu dari tangannya. "Bukan, buat Ijan," jawab Linda sambil mengerucutkan bibir, tetapi kemudian dia tersenyum lagi. "Kita makan dulu, baru nanti dibuka kadonya. Aku sudah lapar," tukas Bang Ali, bertepatan dengan kedatangan tiga pan pizza berukuran besar yang ternyata sudah mereka pesan sejak tadi. Aku hanya bisa mengelus dada, kala mengetahui berapa banyak uang yang harus dikeluarkan. Namun, aku tidak bisa perhitungan dengan mereka, kar
15"Keren!" pekik Linda, sesaat setelah aku selesai menyanyikan lagu berirama cepat berbahasa latin berjudul Mary Jane by Ilkas Seychan."Lagi! Lagi!" teriak para penonton yang terdiri dari berbagai kalangan. Bahkan teman-teman sesama pekerja di kafe juga turut menyemangati dengan bertepuk tangan dan bersorak sorai. Aku tak sanggup menahan diri untuk mengulaskan senyuman lebar, terutama karena saat ini kekasih hati tengah berada di meja depan, bersama dengan mamanya dan dua dayang-dayang, yaitu Nin dan Maia. "C'mon, Honey! One more please!" jerit Aleea yang membuatku meringis, karena pada saat yang sama Kang Ryan tengah turun dari lantai dua dan memandangiku dengan tajam. "Ayo, Ken. Sekali lagi, kita puaskan pengunjung. Sekalian nunjukin kemampuan bernyanyimu yang bagus pada calon mertua," ajak Mas Fa. Aku awalnya ragu-ragu untuk melakukan hal itu, tetapi ketika mendengar petikan gitar Mas Fa yang langsung disambut ketiga anggota kelompok kami dengan alat musik masing-masing, akhi
16 Sesuai janji, hari Minggu pagi ini aku sudah berkunjung ke rumah milik orang tua Aleea. Gadis bermata sipit menyambutku dengan seulas senyuman memikat yang membuatku gemas ingin memeluknya erat.Beberapa menit kami mengobrol dengan santai di ruang tamu yang furniturnya telah diubah letaknya, serta ditambahkan sebuah cermin besar yang digantung di atas meja konsul, yang berada di dinding sebelah kanan, tepat di belakang pintu bercat putih yang kuyakin sangat berat dan pasti benjol kalau tertimpa benda itu. Tiba-tiba Aleea terdiam. Aku mengikuti arah pandangannya yang tertuju pada seorang pria bertubuh sedang yang kini tengah jalan mendekat. Spontan aku berdiri dan mengangguk sopan. Pria itu mengulaskan senyuman dan mengulurkan tangan yang kujabat dengan tegas. "Kenzo, betul?" tanya pria itu sambil memandangiku dengan saksama. "Betul, Om," jawabku sambil berusaha menahan rasa ngeri yang tiba-tiba muncul tanpa sebab. "Silakan duduk, kita ngobrol santai aja," sambung papanya Aleea
17Pulang ke rumah dengan pikiran penuh dan tubuh yang lelah, aku langsung merebahkan diri di kasur dengan posisi telentang. Menatap langit-langit kamar bernuansa biru laut Samudera Hindia. Rasa kalut dalam hati yang masih merajai membuatku gundah dan butuh tempat untuk mencurahkan beban. Tidak mungkin bila aku menceritakan tentang hal ini pada orang tua. Mereka pasti akan kecewa, dan takutnya akan berimbas pada Aleea bila dia berkunjung ke sini. Sesuai pembicaraan kami tadi, mulai sekarang aku tidak akan datang ke rumahnya. Aleea-lah yang akan berkunjung ke sini atau ke kafe bila ingin menemuiku. Selain karena aku takut penolakan dari Om Yoga, rumah Aleea yang sepi mungkin akan memancing kami untuk melakukan hal yang terlarang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk berpacaran di rumahku saja. Selain karena di sini selalu ada adik-adik, Aleea juga tidak mau bila aku kembali ditekan papanya. Namun, ternyata feeling seorang ibu itu kuat banget, ya. Saat makan malam, Mama memandangik