“Jangan mendekat!” seru Claire.
Laki-laki itu malah tertawa. Ia mendekat dengan langkahnya yang terhuyung-huyung karena mabuk.
“Sekarang tidak ada ibumu yang akan mengganggu kita,” ujarnya di sela-sela tawanya.
“No!” seru Claire.
Ia kemudian berusaha berlari, namun sialnya tanah di bawahnya seolah-olah menghisap kakinya. Ia tidak bisa pergi. Claire berteriak panik berusaha melepaskan diri, tapi tanah di bawahnya menghisap kakinya terlalu kuat.
“Lepaskan!!” seru Claire.
Pria bernama Boris itu berjalan terhuyung mendekat sambil tersenyum. Claire bahkan bisa mendengar pria itu bersenandung.
“Pergi!! Pergi!” teriak Claire, tapi sia-sia saja. Claire merasa napasnya tercekat sekarang, ia hampir tidak bisa bernapas. Apa yang selalu ia takutkan adalah, jika Boris berhasil mendekatinya saat tidak ada ibunya.
“Kemarilah gadis kecil,” kata Boris. Ia sudah berada beber
“Ahhh!! Pergi!” seru John ketakutan.“John! Sadarlah itu ilusi! Kamu yang bilang semua itu tidak nyata!” teriak Claire sambil mengguncang tubuhbnya.“C-Claire?” tanyanya akhirnya.Tubuh John penuh dengan keringat, napasnya masih tersengal. Wajahnya sangat pucat. Siapapun bisa menjadi gila jika berada di sini terlalu lama.“John, kamu tidak apa-apa?” tanya Claire.“Kurasa begitu,” jawabnya pelan. Ia terbatuk-batuk setelahnya.“Kita harus cari jalan keluar dari sini, Claire. Semakin lama, kurasa kita tidak akan waras lagi. Aku bahkan sudah meragukan kewarasanku,” ujarnya lagi.“Sudah berapa lama kamu di sini? Apakah kamu sudah mengitari taman?” tanya Claire.“Aku tidak tahu sudah berapa lama. Aku juga tidak tahu apakah aku sudah mengitari taman ini. Semuanya membingungkan!” serunya.“Tenanglah. Coba pikirkan hal terakhir a
“Menurutmu, apakah kita bisa menghancurkan dinding ini dan memaksa untuk pindah ke sebelah sana?” tanya Claire.“Aku sudah mencobanya. Tapi di taman ini, kita tidak punya kekuatan apapun,” jawab John.“Ayo kita coba menyusuri dinding ini hingga ke ujungnya. Taman ini tidak mungkin begitu luas. Kita pasti bisa mencapai ke ujungnya,” usul Claire. Ia tidak memiliki usul yang lebih baik daripada itu.“Baiklah. Ayo kita coba,” jawab John.Mereka berdua berlari-lari kecil mencoba menyusuri dinding tanah yang keras itu. Sesekali, Claire mengetuk-ngetuk dinding itu, berharap siapa tahu menemukan celah atau bagian dinding yang rapuh. Tapi sudah beberapa lama mereka berlari, tetap saja, dinding itu kokoh dan tidak tergoyahkan. Claire dan John sudah berlari cukup lama hingga kelelahan.Claire menjatuhkan diri begitu saja di atas tanah saking lelahnya. John juga melakukan hal yang sama. Rasa sakit pada lengan Cla
“Maksudmu, kita menyentuh sesuatu yang tidak nyata?” tanya John.Claire mengerti maksud John. Jika semua ini ilusi, mengapa semua yang mereka sentuh terasa nyata?“John... Teknologi yang mereka ciptakan membuat kita merasakan semuanya seperti asli. Kamu mungkin tidak merasakannya sebab pertama kali masuk ke dalam game ini kamu masuk ke taman ini. Aku dan Leon sudah melewati beberapa level, dan kami mengalami hal-hal tidak terduga yang terlihat seperti nyata,” jawab Claire.“Seharusnya aku tidak main-main dengan game yang aku tidak tahu,” kata John.“Apa maksudmu, John?” tanya Claire.“Aku menemukan game itu di tempat kerjaku. Aku seorang bartender, Claire. Malam itu, sehabis shiftku, aku membereskan barang-barangku di loker. Lalu aku melihat sesuatu menyala kehijauan di dalam gudang. Aku bisa melihat cahayanya dari celah di bawah pintu gudang. Rasa penasaranku membuatku memeriksa apa yang ada di
Claire berteriak sekeras mungkin sambil berlari sekencang-kencangnya untuk mencegah Leon. Pria itu mengangkat batu itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Jelas sekali ia ingin menghantam kepalanya sendiri dengan batu.“Jangan, Leon! Hentikan!” teriak Claire sekuat tenaga.Leon berteriak sambil melepaskan batu yang sudah ia taruh di atas kepalanya.“Diamlah! Diam!” serunya dengan wajah memerah.“Tidak!!!” seru Claire.Tiba-tiba John muncul dari lorong di sebelah kiri Leon. Dengan cepat ia menarik tubuh Leon ke samping sehingga batu besar itu meleset, hanya mengenai kaki Leon.“Ahh!” seru Leon saat batu itu melukai kakinya.“Leon! Leon!! Ini aku Claire! Sadarlah! Semua ini ilusi!” seru Claire sambil mengguncangkan bahu Leon dengan kencang.John berjongkok di samping Leon sambil memperhatikan.“C-Claire?” tanyanya.“Iya, Leon. Ini aku Claire!
“Sial! Kita seperti tikus yang sengaja akan ditenggelamkan!” seru Claire frustasi.“Tidak mungkin. Tikus percobaan yang sudah berhasil sampai sejauh ini, seharusnya tidak mereka lepaskan begitu saja,” kata Leon.“Mereka mungkin sudah memiliki tikus percobaan lain selain kita,” jawab John.“Tenang dulu. Ayo berpikir,” kata Leon sambil menahan sakit di kakinya. Ia berusaha menggerak-gerakkannya agar tubuhnya tetap mengambang di air, meskipun setiap tendangan di dalam air membuat kakinya terasa sangat sakit.“Leon, kamu baik-baik saja? Berpeganganlah ke pundakku,” kata Claire.“Biar aku saja,” kata John sambil berenang mendekati Leon.Leon membiarkan John membantu menopang tubuhnya.“Terima kasih,” kata Leon sambil memperhatikan John. Ia belum sepenuhnya mempercayai pria itu, tapi saat ini tidak ada bukti. Claire pun sepertinya mempercayai John.
Claire akhirnya berenang membawa tubuh Leon ke dinding. Tidak ada pilihan lain, Claire harus melakukan CPR jika ia tidak ingin kehilangan Leon sekarang. Ia tidak tahu apakah akan berhasil melakukan CPR dengan posisi berdiri seperti ini, bukan telentang seperti biasanya. Namun, ia memutuskan untuk mencobanya. Ia menekan tubuh Leon ke dinding. Dengan sekuat tenaga, ia menekan dada kiri Leon lima kali, lalu kemudian meniup ke dalam bibir Leon. Satu kali, Leon masih tetap tak sadarkan diri. Claire melakukannya lagi dan lagi. Hingga akhirnya, Leon terbatuk-batuk dan memuntahkan banyak air.“Leon! Leon!!” seru Claire.“Syukurlah kamu tidak apa-apa! Leon! Aku pikir aku kehilanganmu!” seru gadis itu lagi sambil memeluk tubuh Leon dengan erat.“Claire... Terima kasih,” katanya.Tiba-tiba, bunyi air terdengar dari tengah ruangan. John muncul ke permukaan dengan wajah sangat bersemangat.“Guys! Aku butuh bantuan kalia
"Dua puluh sembilan ... Dua puluh delapan ... Dua puluh tujuh ..."Hitungan mundur dimulai dengan suara robot wanita yang terdengar dingin. Bunyi bip dan detak jam terdengar membuat mereka semakin panik. Tidak ada lagi waktu untuk berenang mencari napas. Mereka harus membuka kuncinya sekarang.John memutar kunci dengan keras, tetapi masih macet. Tangannya mulai tergores karena berusaha terlalu keras. Dia melepaskan dan menatap Leon dan Claire seolah meminta nasihat. Claire melangkah maju untuk melihat kuncinya, sekilas tidak terlihat ada yang salah."Sepuluh...Sembilan...Delapan..."Akhirnya, Claire menemukan sesuatu. Gembok itu bukan semacam gembok biasa, di bagian bawahnya ada tombol yang harus mereka tekan terlebih dahulu.
“Jika memang begitu, kita tidak punya pilihan lain selain masuk bukan?” tanya John. Ia membaringkan dirinya di atas rumput, lalu menyesal sebab matahari sangat silau menusuk-nusuk bola matanya.“John ada benarnya, Leon,” kata Claire.“Tapi aku yakin begitu masuk ke sana kita akan mendapatkan kesulitan yang sangat besar,” jawab Leon.“Tapi di luar sini kita juga mati, Leon!” seru John sedikit emosi.“Hey! Pelankan nada suaramu!” seru Leon tersinggung.“Siapa yang memilihmu sebagai pemimpin di sini, Leon? Aku bukan bawahanmu yang bisa kamu perintah-perintah!” seru John sambil berdiri.Leon juga berdiri bersiap menantang John.“Hey, chill guys! Jangan seperti ini!” seru Claire berusaha menengahi.“Tidak ada pemimpin di sini, John! Hanya ada orang yang berakal dengan yang tidak!” seru Leon.“Oh, jadi menurutmu aku tidak bera