‘Kamu membunuhku, Leon! Kenapa kamu membunuhku!’
”Tidak! Ibu menghilang saat kita sedang bermain game! Aku tidak membunuhmu!” seru Leon sambil memejamkan kedua matanya, berusaha agar suara-suara yang mengganggunya itu hilang.
Suara-suara yang sudah ia lupakan itu kembali lagi sama seperti lima tahun yang lalu setelah Leon menetap di rumah sakit jiwa. Ia mulai mendengar suara-suara yang menyalahkannya. Leon saat itu mulai meragukan kenyataan yang selama ini ia percaya. Ia mulai meragukan kalau ibunya benar-benar menghilang. Ia mulai sedikit mempercayai cerita kalau dialah yang membunuh ibunya.
Kini segala perasaan itu kembali. Leon tidak bisa menangis, seolah-olah bola matanya sudah kering. Mungkin jika sebutir saja air mata Leon bisa keluar dari salah satu bola matanya, rasa sakit di hatinya bisa tersalurkan sedikit saja. Tapi tidak ada sedikitpun air mata yang mengalir dari bola matanya.
Tiba-tiba dimensi di sekeliling Le
“Claire! Bertahanlah!” seru Leon.“Botol yang tepat akan menyembuhkan Eris,” kata Dolos lagi mengulangi kata-katanya.Leon tidak punya pilihan, ia harus memilih di antara kedua botol yang sekilas tampak sama persis itu. Ia mendekati kedua botol itu dan mengamatinya. Yang kiri atau yang kanan? Leon sama sekali tidak tahu bedanya.“Cepatlah, Leon...” kata Claire lemah.“Aku tidak tahu mana yang harus kupilih. Biarkan aku berpikir,” jawab Leon.Kiri atau kanan? Leon mulai panik. Kedua botol itu terlihat sama saja.“Shit!” Leon mengumpat kesal.‘Botol yang benar akan menyembuhkan Eris’ Kata-kata itu tiba-tiba terlintas di pikiran Leon.“Botol yang benar... Kanan?” tanya Leon pada dirinya sendiri.Leon masih ragu-ragu, tangannya bergerak perlahan. Namun tiba-tiba bunyi beep terdengar dari arah Claire. Claire mulai tak sadarkan
“Kamu sudah terperangkap di dalam game ini selama kurang lebih tiga tahun, Leon. Berarti kejadian hilangnya ibumu kurang lebih sudah delapan tahun yang lalu,” kata Claire.“Ah, betul juga. Aku hampir lupa kalau aku sudah berada di sini selama tiga tahun,” jawab Leon.“Ketika kita keluar dari sini, kita akan temukan ibumu,” ujar Claire lagi.“Kita?” tanya Leon.Claire mengangguk.“Aku akan membantumu, Leon. Yang penting, kita keluar dari sini dulu,” jawab Claire.“Thank you, Claire.”“You’re welcome,” jawab Claire sambil tersenyum. Ia sudah melupakan kekesalannya pada Leon saat ia pergi bersama para Hesperides.“Aku akan mencari cara, Claire. Aku berjanji.”Awan terus naik hingga mereka sampai ke permukaan jurang. Claire membuat awan itu bergerak ke daratan yang aman di tepian jurang lalu mereka turun bersama-sama.
Leon berjalan menuju ke tepian sungai, namun semakin jauh ia berjalan pandangannya mulai kabur.“Leon? Kamu tidak apa-apa?” tanya Claire.“Aku tidak apa-apa,” jawab Leon. Ia berpikir, mungkin saja ia terlalu lelah.Claire segera berlari mendekati Leon dan membantunya naik ke tepian.“Leon! Apa itu?” tanya Claire dengan tatapan ngeri. Leon melihat ke arah pandang Claire, sesuatu berwarna merah panjang dan berlendir menempel di kakinya. Bukan hanya satu tapi banyak.“Shit!” seru Leon. Namun tatapannya kabur sekarang dan tiba-tiba ia kehilangan keseimbangannya.“Leon!!” seru Claire panik sambil menangkap tubuh Leon.“Apa itu?!” seru Claire lagi saat melihat banyaknya binatang-binatang kecil yang panjang berwarna merah cerah dan berlendir. Rasa-rasanya Claire pernah melihat yang seperti itu di film-film monster. Claire membaringkan tubuh Leon di atas rumput lalu menut
“Leon, just make love to me right now,” jawab Claire.“Apa yang terjadi?” tanya Leon.“Ssshhhh!” kata Claire sambil menaruh jari telunjuknya di depan bibir Leon. Ia kemudian melucuti gaunnya dengan cepat hingga jatuh ke tanah. Claire kemudian memagut bibir Leon lagi dengan rakus, mencoba membangkitkan gairah pria itu. Tanpa sadar, gairahnya sendiri pun mulai bangkit. Meskipun ia tahu orang-orang di luar sana menonton mereka, tapi Claire kini tidak peduli. Alasannya untuk melakukannya dengan Leon kini sangat kuat.“C-claire...” panggil Leon lembut. Kini ia tidak tahu harus berkata apa lagi, otaknya seakan buntu. Ia lupa tadi akan bertanya apa pada Claire. Buah dada bulat padat milik Claire menggantung indah tepat di hadapannya, membuatnya tidak bisa tidak untuk menyentuhnya. Tak hanya sekedar menyentuh, Leon kini meremasnya dengan gemas.Mereka kini berbaring di atas rumput, namun Claire menolak untuk berada
Leon memperhatikan api unggun yang ada di hadapannya lekat-lekat. Ia ingin memastikan bahwa apa yang dilihatnya memang benar. Leon menggosok kelopak matanya lalu melihat sekali lagi, dan kini ia sangat yakin bahwa apa yang dilihatnya memang benar. Ada celah yang sangat samar di tengah api itu. Di dalamnya, Leon bisa melihat dengan sangat samar kode-kode komputer berwarna hijau cerah.Seperti dugaannya, pasti ada celah dalam game ini, dan kini ia telah menemukannya. Leon mengambil ranting kering yang ada di dekatnya lalu membakar ujungnya ke api unggun. Setelah ujung ranting tersebut menyala, Leon mengangkatnya dan memperhatikannya lebih dekat. Di titik pusat api, ia bisa melihat celah yang amat kecil dan samar. Namun celah yang ada di ranting terbakar itu terlalu kecil untuk dapat Leon masuki.Pandangan Leon kembali terarah pada api unggun yang ada di hadapannya tersebut. Ini mungkin satu-satunya kesempatan yang bisa Leon ambil, meskipun kemungkinan besar ia harus kehi
“Jadi mereka tidak akan bisa mendengar kita sekarang?” tanya Claire.“Benar dan saat ini mereka pasti sedang berusaha memperbaikinya. Kita tidak punya banyak waktu,” jawab Leon sambil tersenyum.“Baiklah. Apa rencananya?” tanya Claire.“Ikuti aku,” jawab Leon lagi. Mereka kemudian berjalan menuju ke bagian hutan yang ternyata masih rapi. Tanahnya seolah tidak pernah terganggu dengan gempa bumi yang sebelumnya terjadi. Rumputnya masih hijau dan pepohonannya masih rindang. Kontras dengan tanah yang baru saja mereka tinggalkan, meskipun jarak di antaranya tidak terlalu jauh. Inilah salah satu hal yang membuat Claire menyadari bahwa ia tidak berada di dunia nyata.Leon mengajak Claire duduk di bawah salah satu pohon yang rindang. Claire bersandar pada batang kayunya sambil menatap Leon.“Kamu merelakan satu nyawamu untuk mematikan audionya?”Itulah pertanyaan pertama yang keluar dari mu
Setelah memastikan sekali lagi apa yang dilihatnya, Leon bangkit berdiri dan mengangkat pedangnya. Dengan penuh amarah, Leon menghunuskan pedangnya ke arah Claire. Di saat yang sama Claire membuka matanya dan dengan ekspresi kosong ia bangkit berdiri.“Di mana kamu sembunyikan Claire? Katakan!” seru Leon sambil terus menghunuskan pedangnya.“Sejak kapan kamu mengetahuinya?” tanya wanita di hadapannya itu tanpa ekspresi. Wanita itu jelas-jelas menyerupai Claire, tapi Leon bisa merasakan kalau wanita itu bukan dia.“Kamu berbaring tanpa bernapas. Selain itu, Claire tidak pernah berbaring serapi tadi. Ia selalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Aku selalu memperhatikan itu darinya. Siapa kamu? Di mana Claire?” tanya Leon lagi.“Sangat jeli, Leon. Itu sangat jeli. Sayang sekali, kamu tidak menyadarinya lebih awal,” jawabnya lagi.“Kamu... Kamu mendengar semua yang kukatakan tadi?” tanya Leon
“Apa yang terjadi barusan? Apakah kamu berhasil melakukan sesuatu?” tanya Claire lagi.“Tadinya... Ada celah dalam game ini, Claire. Kita punya harapan,” jawab Leon. Jawaban dari seorang pria yang sudah kehilangan nyawa keduanya dengan sia-sia. Semua rencananya dengan Claire pun ia katakan di hadapan George. Namun Leon tidak ingin Claire menjadi khawatir. Ia ingin Claire tetap punya harapan hidup.“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Claire lagi.“Kita istirahat dulu, lalu kita bunuh Medusa,” jawab Leon sambil membelai lembut rambut Claire.“Kita masih punya waktu? Baiklah. Aku sangat lelah, tidur adalah ide yang bagus.”“Tidurlah,” jawab Leon sambil tersenyum.Mereka berbaring di bawah pohon rindang tadi sambil menatap langit cerah penuh bintang. Beberapa menit kemudian, saat Leon menatap Claire, gadis itu sudah memejamkan matanya. Leon tersenyum melihat C