Rani tidak pernah menyangka hidupnya akan serumit ini. Setelah lulus kuliah, ia terpaksa tinggal di rumah kakaknya, Siska, untuk mencari kerja di kota. Di sanalah ia harus berhadapan setiap hari dengan Dimas, suami kakaknya, yang bukan hanya tampan dan dewasa, tetapi juga begitu perhatian padanya. Awalnya Rani berusaha menahan diri. Ia sadar batas mana yang boleh disentuh. Namun, kesepian dan celah-celah kecil dalam rumah tangga kakaknya membuat segalanya berubah. Tatapan Dimas, senyum sabarnya, cara ia memperlakukan Rani dengan hangat — perlahan menumbuhkan benih rasa terlarang yang tidak seharusnya ada. Ketika perasaan dan logika bertarung, Rani pun terjebak dalam dosa yang membawanya ke ambang kehancuran keluarga sendiri. Mampukah ia menepikan perasaan demi memperbaiki segalanya? Atau justru memilih tenggelam dalam godaan cinta yang seharusnya tidak pernah ada?
View MoreSiang itu hujan turun rintik-rintik. Aku berdiri di ambang pintu, menenteng koper yang entah kenapa terasa semakin berat. Begitu pintu terbuka, aku melihatnya—Dimas, kakak iparku, berdiri dengan senyum teduhnya. “Rani, akhirnya sampai juga. Sini, biar aku bantu bawa kopernya.”Tangannya meraih gagang koperku dengan mudah. Aku hanya bisa menunduk, berusaha mengabaikan aroma sabun dari kemeja putih yang menempel di kulitnya. Jantungku berdetak tidak karuan.
Aku pikir ini hanya akan sementara. Tapi entah kenapa, setiap detik bersamanya, membuatku berharap waktu bisa berhenti lebih lama di rumah ini… bersamanya. Setelah menaruh kopernya di kamar tamu, aku duduk di pinggir ranjang. Jantungku masih belum mau tenang. Dari jendela, aku melihat Dimas sedang menyapu halaman yang basah oleh hujan. Lengan kemejanya tergulung sampai siku, memperlihatkan urat di lengannya yang membuatku tanpa sadar menelan ludah. Sial. Ini kakak iparku, suami kakakku sendiri. Aku harus sadar diri. Ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Dimas muncul di ambang pintu dengan senyum yang lagi-lagi membuatku salah tingkah. “Kalau butuh apa-apa, bilang ya. Anggap aja rumah sendiri.” Aku hanya mengangguk, pura-pura sibuk merapikan tas. Dalam hati, aku berjanji—aku harus kuat. Aku tidak boleh terbawa perasaan. Semenjak lulus kuliah beberapa bulan lalu, aku tidak punya pilihan selain menumpang di rumah kakakku di Jakarta. Rencana awalnya hanya sementara, sampai aku mendapatkan pekerjaan dan bisa menyewa kamar kos sendiri. Tapi semakin lama, aku justru semakin nyaman. Terlalu nyaman, malah… Hari pertama aku datang, Siska — kakakku — menyambut dengan hangat. Ia langsung memberiku kamar tamu di lantai atas, persis bersebelahan dengan kamar utamanya. Rumah ini cukup besar, tapi hanya ditinggali oleh mereka berdua: Siska dan suaminya, Dimas. Dimas. Kakak iparku. Usianya sekitar 30-an, wajahnya tampan dengan sorot mata tenang yang membuatku sering kali salah tingkah. Ia pria yang begitu sopan, penuh perhatian, dan… oh, betapa Siska beruntung memilikinya. ⸻ Pagi pertama aku bangun di rumah ini, aku mendengar suara orang bercakap di dapur. Saat menuruni tangga, aroma kopi dan roti bakar langsung menyapa. Pemandangan pertama yang kulihat: Dimas, berdiri di depan kompor, membalik telur dadar sambil sesekali menyesap kopi. “Pagi, Rani. Bangun jam berapa semalam?” Aku terkesiap. Suaranya selalu terdengar menenangkan. Aku merapikan rambutku yang masih acak-acakan, malu sendiri. “Eh… pagi, Mas Dimas. Tadi malam aku tidur cepat kok. Hehe.” Ia hanya tersenyum. Senyum tipisnya itu entah kenapa membuat pipiku panas. Aku duduk di meja makan, berusaha mengalihkan pandangan. “Kak Siska udah berangkat?” “Iya. Tadi subuh dia harus ke kantor lebih pagi. Ada meeting sama klien.” Ada jeda hening. Hanya suara kompor dan detak jantungku sendiri yang terasa berdentum keras. Dimas menyiapkan piring di depanku, meletakkan roti, telur, dan secangkir kopi. “Makan dulu. Nanti kalau mau ke kampus, biar Mas anterin. Oke?” Suaranya lembut, tapi tegas. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Setelah sarapan, aku kembali ke kamar untuk mandi dan bersiap ke kampus. Dari jendela, aku melihat Dimas duduk di teras sambil mengetik di laptopnya. Sinar matahari pagi jatuh di bahunya, membuat sosoknya terlihat semakin hangat, semakin… sempurna. Dalam hati aku berbisik, mencoba menenangkan diri sendiri. “Rani, dia suami kakakmu. Jaga jarak. Jangan sampai hatimu kemana-mana.” Tapi entah kenapa, setiap detik bersamanya, pikiranku semakin berkhianat.Matahari sore meredup, langit berubah jingga pucat di balik kabut tipis yang menggantung. Desa kecil itu kini bagaikan benteng cahaya—parit yang sudah dipenuhi minyak berkilauan, obor besar menyala di tiap sudut, dan api unggun besar berdiri kokoh di tengah lapangan. Namun meski persiapan tampak lengkap, tak seorang pun bisa benar-benar menyingkirkan rasa takut yang menggantung di hati mereka.Di tepi desa, Bima berdiri dengan tombak bambu di tangannya. Luka di tubuhnya sudah dibalut kain, namun masih terasa nyeri setiap kali ia bergerak. Di sampingnya, Arif, Danu, dan Joko sudah siap dengan peralatan seadanya: obor panjang, bambu runcing, serta botol kecil berisi minyak kelapa yang digantungkan di pinggang.Rani berdiri di depan Bima, wajahnya memucat sejak pagi. Ia menggenggam erat selendangnya, berusaha menahan air mata. “Bima… kau tidak harus pergi. Kita sudah bertahan semalam, mungkin kita bisa terus melakukannya.”Bima menggeleng pelan. “Ran, kabut i
Pagi datang dengan cahaya pucat. Matahari yang biasanya bersinar hangat, kini terhalang kabut tipis yang tak kunjung hilang sejak malam. Suara ayam jantan terdengar sayup, namun desa tetap sunyi. Tak ada canda anak-anak, tak ada suara riuh orang-orang berangkat ke sawah. Semua masih tegang, seakan malam panjang itu belum benar-benar berakhir.Di balai desa, orang-orang sudah berkumpul. Obor-obor masih menyala di sekeliling ruangan, seolah api menjadi satu-satunya pelindung dari ketakutan yang masih membayangi. Bima duduk di depan bersama Arif, Danu, Joko, Rani, dan kepala desa. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi matanya tetap tajam, penuh tekad.“Kita semua melihat apa yang terjadi semalam,” kata kepala desa membuka pertemuan. Suaranya parau karena semalaman hampir tidak tidur. “Makhluk itu tumbang, tapi kabutnya tidak pergi. Malah, kita melihat sesuatu yang lebih menakutkan: cahaya merah di dalam pusaran kabut. Apa pun itu, aku yakin itu sumber dari sem
Desa itu dipenuhi sorak-sorai. Orang-orang memeluk satu sama lain, ada yang berteriak lega, ada yang menangis sambil tertawa, dan ada pula yang langsung berlutut bersyukur. Anak-anak kecil yang tadi ketakutan kini berlari ke pelukan orang tua mereka. Obor-obor yang masih menyala tampak seperti bintang-bintang kecil di tengah malam, memantulkan cahaya hangat di wajah para pejuang desa.“Bima! Kau pahlawan kita!” teriak salah seorang pemuda desa sambil mengangkat obornya ke udara. Yang lain ikut bersorak, menyebut nama Bima berulang kali.Namun di tengah kegembiraan itu, Bima hanya duduk terengah di tanah, wajahnya pucat dan tubuhnya penuh luka. Rani bersimpuh di sampingnya, merawat dengan kain yang ia sobek dari selendang. “Jangan banyak bergerak, Bima. Kau kehilangan banyak tenaga.”Bima menatapnya dengan senyum tipis. “Aku baik-baik saja. Lebih penting… bagaimana dengan semua orang? Ada yang terluka parah?”Kepala desa menghampiri, wajahnya tegan
Kabut semakin tebal, menutupi hampir seluruh jalan masuk kampung. Obor-obor yang berderet di sekeliling desa bergetar ditiup angin dingin yang aneh, seakan ada kekuatan tak kasat mata yang mencoba memadamkannya.Bima berdiri paling depan bersama Arif, Danu, dan Joko. Wajah mereka pucat karena dingin, namun mata mereka menyala penuh tekad. Di belakang, warga desa menggenggam obor dan tombak bambu, berusaha menahan rasa takut.“Jangan biarkan cahaya padam!” teriak Bima lantang. “Selama api menyala, mereka tak bisa masuk!”Namun suara itu segera ditelan oleh raungan keras dari dalam kabut. Bayangan besar bergerak, tanah bergetar setiap kali langkahnya menghentak. Perlahan, sosok itu muncul—makhluk hitam setinggi pohon kelapa, matanya merah membara, mulutnya dipenuhi gigi tajam yang berkilat.Orang-orang desa berteriak ketakutan. Beberapa mundur, sebagian hampir menjatuhkan obor mereka.Arif menegakkan tubuhnya. “Bima, ini jauh lebih besar da
Malam itu kampung sedang tenang. Obor-obor padam satu per satu, hanya cahaya bulan yang menerangi jalan setapak. Anak-anak sudah terlelap, suara jangkrik memenuhi udara, dan angin malam bertiup sejuk. Semua terasa damai… hingga tiba-tiba anjing-anjing desa menggonggong keras, menggema ke segala penjuru.Rani yang baru saja hendak memejamkan mata sontak terbangun. Ia duduk tegak, tubuhnya merinding. Dari jendela kecil rumah, ia melihat kabut tipis mulai merayap perlahan di permukaan tanah. Kabut itu berbeda—warnanya keabu-abuan, berputar seperti asap, dan bergerak melawan arah angin.“Tidak…” bisiknya, wajahnya pucat.Tak lama kemudian, terdengar teriakan dari arah sawah. “Kabut itu kembali! Kabut kembali!”Bima yang tidur di ruang sebelah segera terbangun. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia bergegas keluar rumah. Tatapannya langsung menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir: kabut tipis menyebar dari hutan ke arah desa, menutupi
Beberapa hari terakhir, kampung benar-benar terasa damai. Anak-anak kembali berlarian, para petani mulai menanam bibit baru di sawah, dan ibu-ibu menggelar tikar di depan rumah sambil mengupas sayuran, bercengkerama ringan.Bima, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, mulai ikut membantu pekerjaan ringan di ladang. Rani selalu menemaninya, memastikan ia tidak memaksakan diri.“Kau belum sepenuhnya sembuh, Bima,” kata Rani sambil menatapnya khawatir. “Kalau kau terlalu memaksa, lukamu bisa terbuka lagi.”Bima tersenyum menenangkan. “Aku tidak bisa hanya duduk diam sementara orang lain bekerja. Lagi pula, udara segar sawah membuatku lebih cepat sembuh.”Rani mendesah, namun akhirnya hanya mengangguk. Ia tahu keras kepala Bima tak mudah dibantah.Sore itu, setelah pekerjaan selesai, Bima berjalan sendiri menuju tepian hutan kecil di dekat sawah. Angin sore bertiup lembut, namun ada sesuatu di udara yang membuatnya merasa waspada. Suara burun
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments