Share

Chapter 2

"Mbak Nik, saya lihat ruang arsip sepertinya kok jarang sekali dibersihkan ya?" Pandan mulai menebar strategi. Saat ini ia dan Nanik sedang mencuci gelas-gelas kotor. Di jam pagi menjelang siang seperti ini, tugas mereka memang sedikit longgar. Para staff biasanya sudah fokus dengan pekerjaan masing-masing. Sehingga jarang sekali mereka minta diantarkan minuman.

"Karena semua tugas saya sudah selesai, apa boleh saya saja yang membersihkannya?" Pandan menghampiri Mbak Nanik yang terlihat sedang mengelap gelas-gelas yang baru saja mereka cuci.

"Gue heran ngeliat lo OG baru. Lo ini emang mental babu atau cuma belagak rajin karena pengen naik gaji? Yang mana yang bener?" Mbak Nanik meliriknya sekilas dengan tangan yang tetap cekatan mengelap gelas-gelas.

"Ya dua-duanya kali, Mbak. Hehehe. Saya memang suka bersih-bersih orangnya. Tapi kalau hal itu ternyata juga bisa membuat saya naik gaji kan alhamdullilah, Mbak." Pandan nyengir. Pura-pura malu karena niatnya ketahuan.

"Nah kan bener dugaan gue. Gue ini emang paling jago kalo disuruh membaca isi hati orang," imbuh Mbak Nanik dengan jumawa. 

Bingo! Kena juga Mbak Nanik dalam jebakannya. Ia memang sengaja mengangkat-angkat Mbak Nanik agar ia bisa semakin dekat dengannya. Kalau ia bisa meraih kepercayaan OG senior ini, maka misinya akan lebih mudah untuk dijalankan. Sambil menyelam minum Xing Fu Tang. Dingin-dingin seger, ya kan?

"Mbak Nanik kayak Roy Kiyoshi deh? Bisa aja membaca isi hati orang. Coba kalo Mbak diberi kesempatan yang sama kayak si Roy. Pasti Mbak bakalan terkenal juga." Rayu Pandan lagi. 

"Lebay lo ah!" Omel Mbak Nanik seraya memutar bola matanya.

"Ini gelas-gelasnya mau dikeringkan ya? Biar saya bantuin ya Mbak, dari pada saya nganggur?" Pandan ikut meraih sebuah gelas dan mengelapnya hingga kering. Ia mendengar Mbak Nanik menghela napas panjang.

"Lo kalo mau minta naik gaji yang harus lo baik-baikin itu pemilik perusahaan ini. Bukan gue. Karena sebaik dan serajin apa pun lo sama gue, gue nggak bakalan bisa naikin gaji lo. Karena lo dan gue itu sama-sama kacung kampret di sini. Ngerti lo." 

Nah kan, roman-romannya Mbak Nanik mulai sedikit menaruh simpati padanya. 

"Oh, jadi saya harus baik-baikin Pak Arsene ya Mbak biar bisa naik gaji?" Tanya Pandan berlagak pilon. "Kalau begitu nanti saya coba deh baik-baikin Pak Arsene. Demi membayar uang kost yang sudah menunggak tiga bulan, apa pun asal saya lakukan asal halal." Pandan menarik napas berulang kali. Ia juga mencoba berimprovisasi dengan menambahkan ekspresi wajah sememelas mungkin. Aktingnya sebelas dua belaslah dengan sinetron-sinetron menantu yang tertindas di stasiun TV sebelah.

"Lo nunggak bayar uang kost?" Kali ini Mbak Nanik menghentikan kegiatannya. Semua gelas telah ia lap bersih dan disusun rapi dalam lemari. Ia sekarang berdiri berhadap-hadapan dengan Pandan. Pandan mengangguk. Kali ini ekspresinya ia usahakan semirip mungkin dengan anak kost di tanggal tua yang tidak diberi utangan mi instan di warung sebelah. Ngenes, coeg!

"Makanya kalo hidup ngekost itu lo harus hemat dan pinter-pinter mengatur keuangan. Ini bulan masih panjang tapi lo udah mikirin utang aja. Lo beneran lagi bokek?" Pandan mengangguk. "Coba gue liat dompet lo?" Mbak Nanik meminta barang bukti. Sepertinya ia belum yakin kalau Pandan memang semiskin itu. Pandan buru-buru mengeluarkan dompet lusuhnya dan memberikannya pada Mbak Nanik. Saat membuka dompetnya, gantian Mbak Nanik yang menghela napas panjang.

"Dompet lo ini belum merdeka rupanya," tukas Mbak Nanik prihatin.

"Belum merdeka? Maksudnya?" Mbak Nanik menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandan bingung. Belum merdeka bagaimana maksudnya?

"Lah isi dompet cuma gambar Ibu Tjut Meutia doang. Itu kan artinya lo masih dalam masa perjuangan? Kalo isinya gambar Pak Soekarno dan Pak Hatta, itu baru bisa disebut dompet lo udah merdeka. Kalo masih gambar ginian, artinya lo juga kudu ikut berjuang. Jangan boros-boros jadi orang." 

Mbak Nanik mengembalikan dompet lusuh Pandan dengan isi yang juga sama memprihatikannya. Pandan nyengir lagi. Kata-kata Mbak Nanik membuatnya geli. Si Mbak galak ini konyol juga ternyata.

"Gue sekarang mau ngebersihin ruangan arsip. Lo mau ikut kagak? Ruangan arsip itu nggak boleh dimasukin sembarang orang karena sifatnya rahasia. Makanya dibersihinnya cuma seminggu dua kali. Tapi kalo sama gue, lo bisa ikutan. Mau kagak?" 

"Wah hanya Mbak Nanik yang boleh. Berarti Mbak Nanik ini orang kepercayaannya Pak Darwis dong ya? Hebat euy!" puji Pandan dengan air muka yang dibuat setakjub mungkin. Mendengar pujiannya, Pandan nyaris bisa melihat lubang hidung Mbak Nanik kembang kempis karena bangga.

"Ya iyalah. Gue kan udah hampir lima belas tahun kerja di sini. Lo mau ikutan nggak?"

Pucuk di cinta ulam pun tiba. Asa ditonjok congcot, euy. Memang inilah tujuan utamanya menjadi OG di kantor ini. Menyelidiki arsip-arsip perusahaan. 

"Nggak usah deh, Mbak. Ntar kalo ada apa-apa, Mbak Nanik lagi yang disalahin." Sahut Pandan pura-pura enggan. Padahal dalam hati ia kegirangan. Kesempatan udah ada di depan mata, coeg! Tinggal diemplok aja. Tapi ia harus kelihatan enggan-enggan gimana dulu gitu. Biar Mbak Nanik makin percaya akan makaud baiknya. Aktingnya harus lulus sertifikasi dong. Hehehe.

"Udah nggak apa-apa. Asal jangan kena air aja itu arsip-arsip. Pasti akan aman-aman aja. Ntar habis ini gue pinjemin duit gue dulu buat lo bayar kost-an. Tapi setelah itu inget, iket pinggang lo kenceng-kenceng. Hidup hemat." Mbak Nanik ini judes-judes ternyata hatinya baik juga.

"Ah siyap." Pandan menjawab jenaka seraya mengacungkan kedua jempolnya. Aktingnya benar-benar sebelas dua belas dengan Dian Sastro rupanya.

Misi pertama untuk mendekatkan diri dengan Mbak Nanik sudah hampir bisa dikatakan berhasil. Tinggal beberapa misi lagi yang menunggu untuk ia selesaikan. Ia sudah tidak sabar untuk mengungkap siapa sebenarnya penghianat yang menyebabkan perusahaan keluarganya merugi. Oke, just wait and see.

==================================

"Sebenarnya arsip-arsip tua yang di sebelah sini itu udah nggak begitu penting lagi. Tapi ya mungkin karena nilai sejarahnya, makanya Pak Darwis selalu meminta gue untuk membersihkannya. Menyusunnya dengan rapi sesuai dengan tanggalnya. Lo bersihin yang teliti. Inget, jangan sampai kena air ya? Ntar lembab dan jamuran jadinya." 

Pandan mengangguk patuh seraya memperhatikan setiap detail ruang arsip ini dengan seksama. Ruang arsip-arsip lama dan arsip-arsip baru walaupun berada dalam ruangan yang sama, tapi dipisahkan oleh sebuah pintu penghubung. Perbedaan sirkulasi udaranya pun sangat berbeda. Di ruangan arsip lama udaranya lembab dan berdebu karena agak jarang dibersihkan. Sementata ruangan arsip baru udaranya bersih dan segar. Mungkin karena adanya exhausted fan juga di sana. Mbak Nanik membuka pintu penghubung dan membawanya pada sekat arsip-arsip baru.

"Nah, kalau bagian ini semua adalah arsip-arsip baru tahun ini. Pak Darwis melarang keras orang-orang yang tidak berkepentingan untuk menyentuh arsip-arsip ini. Selain gue yang emang petugas kebersihan, hanya Bu Intan, sekretaris Pak Darwis yang mempunyai akses keluar masuk ruangan ini. Gue bersihin yang bagian arsip-arsip baru ini dan lo bersihin arsip-arsip lama. Tapi pintu penghubungnya biarin aja terbuka. Jadi lo nggak sesek napas karena banyak debu-debu di sana." Mbak Nanik menarik tali exhausted fan untuk menyaring sirkulasi udara dalam ruangan.

"Setelah Pak Darwis pensiun, Bu Intan kabarnya juga mau digeser kedudukannya ya, Mbak? Saya taunya sih dari pembicaraan staff-staff sewaktu nganterin minuman tadi. Bukannya saya bermaksud kepo lo." Pandan berusaha mengakrabkan diri dengan Mbak Nanik agar ia bisa lebih mudah untuk mendapatkan info-info terkini di kantor. 

"Kayaknya sih. Ya secara Arsene itu kan playboy abis. Mana betah dia kalo kemana-mana ngajak Bu Intan yang umurnya udah tiga puluhan? Pasti dia bakalan nyari yang lebih muda plus seksi supaya bisa dia pake juga. Yah udah jadi rahasia umum sih kalo rata-rata kaum executive muda pada begitu kelakuannya. Ya walaupun nggak semua juga. Tapi nggak semuanya itu juga dikit bangetlah persentasinya. Namanya juga laki. Kalau nggak buaya ya anjin*." 

Pandan yang sedang mengelap beberapa arsip melirik Mbak Nanik yang kayaknya dendem banget ngomongin soal laki-laki. Ia tahu sampai diusianya yang sepertinya sudah mencapai angka empat puluhan ini Mbak Nanik masih belum juga menikah. Padahal wajahnya manis juga. Khas indonesiawi banget. 

"Mbak kayaknya dendam banget sama laki-laki. Pernah dikecewain ya, Mbak? Eh maaf, jadi kepo saya. Hehehe." Dengan dibukanya pintu penghubung, mereka masih bisa bercakap-cakap walaupun membersihkan bagian yang berbeda.

"Bukannya dendem. Tapi gue udah nggak percaya sama yang namanya laki-laki. Gue udah pernah ditinggalin, dibodohin, dicurangin, dan cuma dianggap kayak tempat sampah untuk buang suntuk. Gue juga pernah diajak balikan kemudian ditinggalin lagi setelah laki-laki yang katanya mencintai gue itu nemu cewek yang lebih muda dan kaya. Jadi gue ilfeel sekarang kalo ngomongin soal laki-laki. Makanya gue milih untuk hidup sendiri aja dari pada sakit hati lagi." 

Dari getirnya suara Mbak Nanik, Pandan bisa merasakan betapa Mbak Nanik sudah kehilangan kepercayaan pada laki-laki. Ia tidak bisa menyalahkan Mbak Nanik. Setiap orang mempunyai kisah dan masa lalu sendiri-sendiri. Kita tidak bisa menghakimi seseorang karena perjalanan hidup yang mereka lalui tentu saja berbeda. 

Dalam diam mereka berdua bekerja dengan cekatan. Pandan berkali-kali melirik kearah arsip-arsip baru dengan rasa penasaran yang begitu besar. Hanya saja, ia tahu bahwa ia harus bersabar. Ia harus bisa berteman dan mendapat kepercayaan terlebih dahulu dari Mbak Nanik baru ia bisa bergerak. Untuk saat ini progressnya dalam mendekati Mbak Nanik dalam seminggu ini sudah lumayan ada kemajuan. Tinggal sedikit lagi mudah-mudahan semua rahasia bisa diungkap.

Setelah pekerjaannya di ruang arsip selesai, Pandan kembali ke pantry untuk membersihkan diri dari debu-debu ruangan arsip sementara Mbak Nanik dipanggil oleh salah seorang staff untuk memphotocopy beberapa berkas. Pandan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku. Memutar keran wastafel dan membasuh kedua lengannya di sana.

Karena cuaca yang cukup panas, Pandan yang kegerahan mengangkat ke atas semua rambut panjangnya. Kemudian menggelungnya menjadi satu bagian dipuncak kepalanya. Barulah ia merasa sedikit sejuk dan lega. Saking asyiknya mencuci tangan, Pandan sampai tidak menyadari kalau ada sesosok tubuh yang mendekat.

"Apa sebenarnya niat kamu menyamar sebagai OG begini? Apa Lautan tau kalau kamu sedang bergerilya di sini, hmmm?" kaget Pandan mematikan keran dan melirik ke sumber suara.

Denver tampak berdiri di ambang pintu pantry sambil bersedekap. Memperhatikannya mencuci tangan. Ini manusia sebiji selalu muncul secara tiba-tiba.

"Saya sedang ada misi penting di sini, Bang Denver. Tolong jangan buka dulu penyamaran saya sebelum misi saya completed. Saya mohon, Bang Denver." Pandan memutuskan untuk sedikit menjilat Denver dengan panggilan masa kanak-kanak mereka. Pandan berharap semoga Denver bersedia menutupi penyamarannya minimal sampai misinya selesai. Mudah-mudahan saja si brengsek ini bersedia untuk tutup mulut.

"Boleh saja. Asal kamu cium dulu saya sekali." Jawab Denver kalem. 

Nah kan, mesumnya manusia ini memang tidak berubah dari dulu.

"Kenapa? Apa pacar-pacar Abang pada demo dan mogok bermesraan dengan Abang, makanya Abang berharap sekecup ciuman dari saya?" tantang Pandan sinis.

"Tidak. Mereka malah berlomba-lomba ingin memuaskan saya dengan berbagai gaya dan cara. Tidak ada relevansi antara pacar-pacar saja dengan permintaan saya pada kamu. So, kamu ingin misi kamu aman, atau...?" Denver dengan sengaja menggantung kalimatnya. Pandan tahu kalau si Denver ini sebenarnya sedang mengancamnya dengan cara yang halus. Pandan sampai kepengen mengunyah baki saking kesalnya. Tetapi tak urung ia memghampiri Denver dan mengecup juga sekilas pipi kanannya. Si mesum akut ini memang tukang cari kesempatan. Apa boleh buat. Demi misi memancing maling keluar dari sarangnya, terpaksalah ia sedikit berkorban. Anggap saja lagi mencium kucing garong. Masalah selesai. Titik.

"Terima kasih. Saya terima DPnya ya? Nanti pelunasannya saya tunggu di hari-hari berikutnya?" Denver mengedipkan sebelah matanya seraya berjalan kembali menuju ke ruangan atasannya. Dalam posisinya yang sekarang memunggungi Pandan, Dexter tersenyum. Akhirnya kesampaian juga ia memodusi anak Om Revan. Menurut ayahnya, Om Revan dulu sangat suka memodusi ibunya sehingga ayahnya sering naik darah dibuatnya. Sekarang gantian. Ia yang akan sering- sering memodusi anak gadis Om Revan ini. Lihat saja nanti tanggal mainnya. Hehehe.

"Dalam mimpi Abang saja." Pandan berdecih seraya kembali berjalan ke pantry. Sepertinya hari-harinya akan semakin suram karena misinya telah di ketahui Denver. Si Brengsek itu telah mengantongi kartu Asnya. Pandan bingung. Mulai hari ini hidupnya pasti akan sengsara di bawah tekanan manusia gila satu ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status