Share

Chapter 3

"Lo pulang kerja bukannya ke rumah dulu, ini malah ke rumah gue. Nggak takut lo ntar diamuk sama Bang Utan?" Vanilla yang baru saja selesai menyusui putrinya, menepuk-nepuk lembut punggung sang bayi. Tidak lama kemudian terdengar suara sendawa dari mulut mungil si bayi yang lucu. Si bayi menggerutu sendiri, sebelum menguap lebar dan memejamkan matanya. Sepertinya bayi Vanilla ini mengantuk karena kekenyangan. 

"Nggak masalah, La. Semua dalam keadaan aman dan terkendali. Gue udah buat laporan khusus ke Bang Utan. Gue bilang kalo lo lagi stress karena terkena sindrom baby blues. Jadi sebagai sahabat yang baik, gue akan selalu ada buat menghibur lo. Gue ini kan selalu main aman setiap mau berbohong. Lo nggak usah khawatir La?" 

Pandan gantian menepuk-nepuk punggung Vanilla dengan gaya menenangkan. Ia meniru dengan sempurna aksi Vanilla saat menepuk-nepuk punggung bayinya. Tindakannya ini dihadiahi dengusan oleh Vanilla. Pandan hanya terkekeh saja. Ia memang sengaja singgah ke rumah Vanilla karena kangen dengan bayinya yang lucu. Setelah seharian ngebabu, dia perlu merefresh diri dengan melihat yang imut-imut dulu. Vanilla melotot jengkel.

"Dasar sahabat lucknut lo ya? Gue baik-baik aja malah lo bilang kena sindrom baby blues. Hati-hati lo. Ketahuan Bang Utan semua kebohongan lo, bisa dijadiin serundeng ntar." Vanilla mencoba mengingatkan. Si Pandan ini telah melakukan kebohongan berkali-kali pada Lautan, kakaknya. Pertama Pandan telah berbohong soal pekerjaannya. Pada Lautan ia mengaku berkerja sebagai designer di salah satu butik terkenal. Padahal ia menjadi OG di perusahaan saingan keluarganya. Kedua, Pandan menciptakan image sebagai seorang anak kost yang kere di dekat kantornya. Padahal ia membayar uang kost hanya untuk menitip mobilnya. Pandannya tetap saja pulang ke rumah. Setiap pagi ia keluar rumah dan mengganti pakaian glamournya dengan kostum OG di kost-annya. Setelah itu baru lah ia bekerja. Sepulang kerja juga begitu. Ia mengganti terlebih dahulu kostum OG-nya dengan pakaiannya semula, baru kembali ke rumah. Dan yang ke tiga, ya ini. Pandan menjual namanya agar bisa main ke rumahnya dengan alasan kalau ia sedang terkena sindrom baby blues. Kreatif sekali berbohongnya bukan? Padahal Putra Lautan ini gualaknya nauzubillah. Kalau semua akal-akalan Pandan ketahuan, bakalan dikuliti hidup-hidup itu si Pandan.

"Ya mau gimana lagi, La. Semua ini 'kan gue lakuin untuk menyelamatkan perusahaan keluarga juga. Masa gue diem-diem bae tender-tender gede perusahaan keluarga gue diembat orang terus. Lama-lama bisa rubuh dong itu perusahaan. Intinya gue begini 'kan demi kelangsungan semua klan Aditama Perkasa juga." Seperti biasa Pandan langsung membela diri.

"Tapi kenapa lo mesti bohong sama Bang Utan? Kenapa nggak lo kasih tau aja tujuan lo yang tulus nan mulia itu?" sindir Vanilla sadis. 

"Waktu gue nyaranin lo jadi OG, gue pikir Bang Utan tau soal misi lo ini. Makanya gue tenang-tenang aja. Tapi rupanya ini Bang Utan kagak tau apa-apa. Kalo sampai Bang Utan tau gue ikut andil dalam misi terselubung lo ini, bisa abis gue, Ndan!" Keluh Vanilla ngeri. Putra Lautan Aditama Perkasa itu memang galak sekali. Aliya dulu pernah mengatakan kalau Lautan bersin saja bisa keluar becak. Apalagi kalau ia marah bukan? Bisa-bisa yang keluar bukan hanya becak saja. Tapi bajaj, angkot bahkan bus antar kota.

"Makanya lo doain supaya misi gue itu completed sebelum gue ketauan sama Bang Utan. Kalo doa lo khusyu dan sungguh-sungguh, insya allah pasti akan dijabah Allah, La." Rayu Pandan manis. Berusaha meniru ceramah paginya Mama Dedeh.

Pandan kini pindah posisi mendekati bayi Vanilla yang sedang tidur seraya memperhatikan ekspresi si bayi yang berubah-ubah. Sebentar ia tertawa, sebentar kemudian menjebi-jebi seperti mau menangis. Dan sekarang ia mengulet-ulet hingga wajahnya memerah sambil menggerutu. Pandan gemas sekali melihatnya. Lucu banget euy. Duh, jadi pengen punya bayi sendiri. Ups!

"Si Boncel ini lucu banget ya, La? Noh coba lo liat coba ekspresinya. Bisa berubah-ubah gitu. Padahal lagi tidur. Anak lo kira-kira lagi mimpi apaan ya sampe mesem-mesem gitu mukanya?" Pandan mengelus pelan pipi si Boncel dengan gemas. 

"Eh ikan dugong! Lo namain apa anak gue tadi? Si Boncel? Gue sama Altan nyari nama-nama bayi yang keren itu sampai berbulan-bulan tahu. Sampai bikin selametan bubur putih bubur merah lagi buat namain si Zeline. Ini lo malah seenaknya aja ngeganti-ganti nama anak orang. Nama anak gue itu Zeline Zakeisha Wijaya Kesuma. Yang artinya anak perempuan penghuni surga yang berwajah cantik seperti emaknya. Bukan si Boncel!" Vanilla ngamuk-ngamuk karena putri cantiknya dipanggil si Boncel oleh Pandan.

"Etdah nama si Bon--eh Zeline ini panjang amir, La? Lo buat namanya bukan pas lagi naik kereta api kan?" Pandan kembali cengengesan saat melihat Vanilla melotot lagi. Pandan merasa Vanilla pasti akan mendebatnya lagi. Semenjak sudah naik pangkat menjadi seorang ibu, jiwa keibuannya mengalir deras bagai tanggul jebol. Tidak bisa dibendung. Belum sempat sahabatnya itu menyela, pintu kamarnya terbuka dan menghadirkan sosok suami tercintanya si Illa yang sepertinya baru pulang kantor. Altan Wijaya Kesuma.

"Sewaktu Tante Embun menamai kamu, si Tante tidak sedang ada di toko grosir beras kan, Ndan?" Sedikit kata-kata, tapi sentilannya ngena banget.

"Kalau tidak salah nama lengkap kamu itu Pandan Wangi Aditama Perkasa, kan? Empat baris kata juga sama seperti Zeline. Tapi kamu lahirnya di rumah sakit 'kan? Bukan di MRT?" 

Astaganaga. Altan ngebales ngenyeknya kagak mau rugi banget. Semua dibalesin satu persatu kayak lagi ngereply chat gebetan. Kagak ada yang terlewat satu kata pun coeg!

"Saya cuma bercanda kali, Bang. Jangan diambil hati ya, Bang? Cukup usus dua belas jari aja yang diambil. Biar gampang keluarnya." Pandan lagi-lagi ngeles dengan cara bercanda. Suami jutek si Illa ini cuma mendengus saja. Ish kok bisa ya si Illa betah banget punya laki judes dan tukang itung-itungan begini? Untung ganteng. Eh kaya juga. Eh cinta banget juga sama si centil Illa. Berarti si Illa beruntung dong ya? 

Mungkin karena mendengar suara ribut-ribut, si bayi jadi terbangun dan mulai mengeluarkan suara tangisan terkencangnya. Aje gile, desibel suara tangisannya sampai membuat telinganya berdenging. Bibit-bibit bakalan bisa jadi penyanyi rock ini ntar gedenya si Zeline ini.

"Wah anak daddy udah bangun ya? Sini daddy gendong dulu. Duh anak daddy kayaknya belum mandi ini. Bau acem soalnya." Pandan cengo melihat Altan yang biasanya ketus-ketus songong kalau ngomong, bisa berbicara dengan bahasa bayi yang begitu menggemaskan dengan putrinya. Duh si Altan ini bapakable banget ternyata ya? 

"Masa bau acem sih, daddy? Orang baru dimandiin juga. Kalau mommynya gimana, Dad? Udah halum atau masih bau acem juga?" Vanilla sekarang ikut-ikutan berbicara dalam bahasa bayi juga. Altan mengikuti permainan Vanilla dengan mengendus-endus gemas leher dan pipinya. Vanilla yang kegelian terkekeh-kekeh kencang diiringi si bayi yang kini juga ikut tertawa terkekeh-kekeh. Ia seolah-olah mengerti kalau ia sedang diajak bermain oleh kedua orang tuanya. 

Ebuset, gue cuma dianggap kayak kain hordeng kamar doang di sini yak? 

Pandan yang merasa bagai remahan kripik pisang di dalam kaleng Khong Gua*, buru-buru berpamitan. Jiwa jomblo ngenesnya meronta-ronta hebat meminta pelepasan Hak Guna Hati demi mendapatkan sertifikat dihalalin. Naseb... naseb...

========================

Pandan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata. Ia lafar pemirsa. Saat ia berkunjung ke rumah Vanilla tadi, ia sudah keburu pulang sebelum ditawari makan malam. Gimana ia tidak minta pulang coba? Itu keluarga kecil tidak menganggap ia sebagai manusia di sana. Mereka berdua terus saja mesra-mesraan dan melupakan seonggok manusia jomblo yang hatinya hancur berkeping-keping, saat melihat pertunjukan live show kasih sayang berbalut cinta. Cih!

Suara orkes melayu mulai terdengar menyayat hati dari perutnya. Sepertinya tingkat laparnya sudah mencapai level maksimal. Pandan menekan kian dalam pedas gasnya. Malangnya ia tidak memperhatikan kala sebuah mobil mewah lainnya yang baru saja keluar dari perempatan jalan, tiba-tiba melintas. 

CKITTTT!!!

Pandan buru-buru menginjak rem dan membanting stir ke kiri. Mobil mewah itu juga terlihat agak oleng karena sepertinya juga direm secara mendadak.

Alhamdullilahhh...

Pandan membenamkan wajah pada stir mobil berbantalkan kedua lengannya. Untung saja ia bisa mengerem tepat waktu dan selamat. Kalau tidak, pasti ia akan menghadap penciptaNYA lebih cepat dari pada waktu yang seharusnya. Sejurus kemudian pintu kaca samping mobilnya diketuk oleh seseorang. Ia tidak segera membukanya. Ia menghela napas panjang beberapa kali dan menenangkan perasaannya dulu. Setelah perasaannya agak sedikit tenang, barulah ia menegakkan tubuh dan membuka kaca mobil. Pasti ini adalah pengemudi mobil yang tadi nyaris bertabrakan dengannya.

"Apakah Anda tahu berapa batas kecepatan selama berkendara di jalan raya?" Suara dalam dan gusar seorang laki-laki memasuki pendengarannya.

"Batas kecepatan di jalan bebas hambatan adalah 100 km/jam. Untuk jalan antarkota, kecepatan paling tinggi adalah 80 km/jam. Kawasan perkotaan 50 km/jam, dan kawasan permukiman 30 km/jam. Sudah jelas? Kalau sudah, silihkan minggir, saya mau meneruskan perjalanan."

Pandan yang sesungguhnya masih shock, menjawab pertanyaan si pengemudi asal saja tanpa berniat untuk melihat wajahnya. Ia kini menurunkan rem tangan, menaikkan persnelling ke posisi D dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Gara-gara insiden ini, rasa laparnya menguap sudah. Yang tersisa sekarang adalah rasa letih. Ia ingin secepatnya membaringkan tubuh di ranjang empuknya. 

"Pandan Wangi Aditama Perkasa? Pantas saja!" Intonasi dalam suara pria ini semakin tidak enak didengar. 

Mendengar nama disebut orang asing ini secara lengkap, sontak membuat Pandan melirik sosok yang berdiri tepat di samping mobilnya. Mahater Depati. Anak Om Rangkayo Depati atau yang biasa disapa Anak Dewa oleh ibunya. Om Anak Dewa ini adalah kakak angkat ibunya sewaktu tinggal di Bukit Dua Belas dulu. Hanya saja hubungan cinta yang bersegi-segi antara Tante Suci, Om Anak Dewa, ayah dan ibunya, membuat hubungan kekeluargaan mereka mendingin. Ayahnya tidak menyukai Om Anak Dewa begitu pun sebaliknya.

"Bang Ather ngapain sih lama-lama di sana? Orangnya masih hidup 'kan? Nggak mati? Ya udah kita jalan lagi. Kebagusan amat ditanya-tanya keadaannya? Kesenangan ntar tuh orang?" Suara nyaring seorang perempuan terdengar dari mobil Mahater yang diparkir sembarang di pinggir jalan. Si Mahater ini sedang bersama pacarnya rupanya. 

Kalo gue mati, yang pertama bakalan gue cekek ya, elo. Batin Pandan kesal. 

Beberapa orang pengguna jalan dan masyarakat sekitar, yang melihat kejadian tadi mulai mendekat dan menghampiri mobilnya. Saat mereka menanyakan keadaannya, Mahater lah yang menjawab semua pertanyaan-pertanyaan mereka. Pasti si Mahater ini sok baik karena takut dikeroyok massa. Ia juga mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja dan mereka berdua juga saling mengenal dengan baik. Saat Mahater mengatakan bahwa mereka berdua saling mengenal dengan baik, Pandan mencibir. Saling mengenal dengan baik katanya? Hah, saling bermusuhan lebih tepatnya.

"Pantas saja apa? Pantas mati gitu maksud lo? Minggir sana, gue mau lewat. Lagian itu piaraan lo di mobil dikasih sesajen dulu dong, biar nggak ngamuk-ngamuk terus." Pandan yang risih karena menjadi perhatian orang banyak segera mengusir Mahater. Mana itu pacarnya teriak-teriak terus lagi di mobil. Nggak haus apa ya itu cewek dari tadi ngomel-ngomel terus?

"Kamu tidak apa-apa? Wajah kamu pucat sekali. Kamu mau minum dulu barangkali? Di mobil saya ada air mineral baru?" Mahater menahan pergelangan tangannya yang ingin menutup kaca mobil.

"Kagak usah, terima kasih. Gue nggak haus. Lagian lo nggak usah sok baik sama gue. Padahal dalam hati pasti lo nyukurin gue banget kan? Lagu lo sok baik sama gue," gerutu Pandan sebel.

"Bejalan hendak menepi. Supayo idak tepijak kanti. Becakap piaro lidah. Supayo kanti idak meludah."

Pandan terdiam. Soalnya ia sama sekali tidak tahu apa arti kata-kata si Mahater ini. Dia yang dari lahir dan besar di ibukota seperti ini, manalah ia mengerti bahasa daerah Jambi. Lain kalau tadi ibunya yang diberi jawaban berpantun seperti ini. Pasti bisa langsung dibales dengan sama merdunya oleh ibunya. Lah dia ini kan tahu pantun cuma dari acaranya almarhum Olga dan Kang Opick doang. Paling pantun yang melekat di kepalanya itu adalah kata-kata; masak aer biar mateng. Dan dijawab audiens dengan kata; cakeppp. Dah itu aja.

"Maap ye. Supaya gue nggak merusak isi pantun yang indah tapi gue kagak tau artinya itu, gue cuma mau bilang kalo gue nggak kenapa-kenapa dan gue mau pulang sekrang. Titik. Lepasin tangan gue." Pandan berusaha menarik pergelangan tangannya yang dicekal oleh Mahater.

"Pantun itu artinya jika hendak melakukan sesuatu haruslah berhati-hati. Seperti juga tuduhan kamu tadi yang mengatakan kalau saya mengharapkan kamu mati. Jaga lisan kamu. Saya sama sekali tidak mempunyai keinginan seperti itu." Desis Mahater kesal. Kedua alisnya bertaut kencang. Marah rupanya si Mahater ini. Ya sudahlah. Emang gue pikirin!

"Oke. Gue minta maaf kalo itu bisa buat gue lebih cepet nyampe rumah. Lepasin tangan gue, gue bilang!" Pandan menarik paksa tangannya dari cengkraman Mahater. Cengkraman itu akhirnya terurai setelah pacar si Mahater berteriak lagi. Alamat bisa terkena kanker telinga ini si Mahater kalo lama-lama pacaran sama cewek model tarzan begini. Setelah Mahater menggeser tubuhnya, Pandan melajukan kendaraannya dan melewati tubuh Mahater begitu saja. Ia tadi bahkan dengan sengaja bersikap seolah-olah ingin menabraknya. Emang enak berurusan dengan keluarga Aditama Perkasa!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status