Mobil Pak Ryan mulai memasuki area kantor, dan berhenti di depan pintu masuk. Jam setengah delapan, kantor belum terlalu ramai. Tampak Rahmat langsung keluar dari dalam kantor. Pak Ryan membukakan pintu mobilnya, dan membantuku turun.
Rahmat sedikit kaget melihatku turun dari mobil Pak Ryan, apaalagi melihat kondisiku."Di bagasi ada dua kantong besar, sudah aku beri nama di dalamnya. Minta Amir dan Arlan untuk membaginya," ucapku pada Rahmad saat kami berhadapan."Baik, Bu," jawab Rahmat mencuri pandang ke arah luka di tangku."Makasih ya," ucapku sebelum beranjak."Sama-sama, Bu."Beberapa karyawan yang sudah datang tak melepas pandangannya dariku, yang sedang di bantu berjalan oleh Pak Ryan.Susah payah aku naik kelantai dua, tempat ruanganku berada. Pak Ryan membantuku sampai aku duduk di kursi kerjaku."Obatnya nggak lupa kan?" tanyanya setelah membantuku duduk."Ada dalam tas, pada liatin semua tadi.""Kan mereka punya mata, biarin aja liat," jawaAku memandanginya sesaat, kalimat apa lagi yang harus aku gunakan untuk memberi penjelasan agar pria ini mengerti.Sepertinya diri ini telah kehabisan kata-kata."Mas mencintaiku? Sungguh mencintaiku?" tanyaku padanya, kutatap lekat wajah pria itu."Kau meragukanku? aku mencintaimu," jawab Mas Dipta."Mas, ingin Kay bahagia?""Aku berjanji akan membahagiakanmu.""Kalau begitu, lepaskan Kay. Biarkan Kay dengan pilihan hidup Kay sendiri.Mas Dipta hanya menatapku, tak berkata apapun. Pandanganya beralih menatap ke arah pintu, namun kosong."Aku tak bisa," jawab Mas Dipta tanpa melihatku. Aku menghela nafas panjang, aku benar-bebar telah habis akal."Sudahlah, percuma juga bicara," ucapku, kemudian hendak beranjak, Mas Dipta meraih tanganku."Tunggu, Papamu ada sesuatu yang perlu aku ketahui darimu, apa itu?"Perasaanku mulai tak nyaman, apa papa ingin aku bercerita tentang keadaan Prilly pada Mas Dipta. Huft, aku sungguh heran, apa yang ada dalam pikir
"Dari tadi senyum terus?" tanya Pak Pak Ryan yang sedari tadi memperhatikanku."Aku senang, melihat kedekatanmu dengan Prilly," jawabku, kemudian menyandarkan kepalaku di lengannya.Sesaat kami hanya diam."Ada masalah?" tanyanya, jemarinya menelusup di antara sela jemariku, kemudian menggenggamnya."Biasa, masalah yang kemarin. Friska menjauhiku, dia tak mau bicara lagi denganku. Sekarang persoalan bertambah, Papa sudah bertemu Mas Dipta."Pak Ryan terlihat kaget mendengar ceritaku, aku kembali menceritakan semuanya. Termasuk desakan papa agar aku memaafkan Mas Dipta dan kembali rujuk."Sepertinya akan ada kendala, tapi aku percaya kita bisa melewatinya," ucapku kemudian."Aku akan berjuang untukmu, untuk Prilly, aku akan buktikan aku pantas untuk kalian," balas Pak Ryan."Lebih dari pantas, kamu terlalu sempurna," ucapku."Aku tak sebaik itu, tapi aku akan menjadi lebih baik untuk kalian dan untuk keluargamu.""Aku percaya," ucapku."Aku besok pula
"Kami meminta maaf, atas semua yang telah terjadi, semua murni kesalahan Dipta. Beberapa bulan setelah kejadian itu, Dipta baru menyadari kesalahannya, kami berusaha mencari kalian, tapi kami tak pernah menemukan. Kami juga tidak tahu kalau Kay hamil waktu itu, sekali lagi maafkan kami," ucap Ayah Mas Dipta dengan suara serak."Kay, maafkan mas," ucap Mas Dipta di sela isaknya.Entah berapa ratus kali permintaan maaf terlontar dari mas Dipta dan keluarganya. Aku hanya bergeming, mama yang dari tadi terus bicara, papa hanya diam setelah mama beberapa kali mementahkan ucapannya."Paling tidak ijinkan kami menemui cucu kami, bagaimanapun Prilly adalah darah daging Dipta," ucap mama mas Dipta."Prilly, memang darah daging Mas Dipta, tapi dia hadir bukan karena cinta, mas Ingat, setelah kejadian itu, mas memakiku dan menghinaku hanya karena aku tak bisa melawan Mas yang sedang mabuk, mas menyesal karena merasa jijik, bukan menyesal karena telah menyakitiku." Mataku memanas, r
"Siapa dia?" tanya perempuan yang oleh Pak Ryan di panggil Bu Rahma itu."Kayana, calon istri saya," jawab Pak Ryan. Wajah perempuan itu berubah."Operation head?" Bu Rahma mendelik melihatku. Aku mengangguk pelan saat dia menyebut posisiku. Dia mengenalku, entahlah aku baru kali ini melihatnya."Oh, ini yang sering membuat Pak Restu berkunjung ke sini," ucapnya kemudian. Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dibicarakannya.Perasaanku merasa tak enak dengan kehadiran perempuan ini. Dia beranjak pergi saat ada seorang perempuan lain memanggil nya."Siapa dia?" tanyaku."Bu Rahma, atasanku di perusahaan lama," jawab Pak Ryan."Dia sepertinya suka padamu?" "Iya.""Terus?""Apanya yang terus?""Kamu?""Sepertinya aku saja yang harus mencari pekerjaan di perusahaan lain.""Maksudnya,""Aku jelaskan nanti, pesanku apapun yang dia katakan nanti jangan kamu telan mentah-mentah," jelasnya."Aku sedang tak ingin membahas orang
"Maaf, Bu. Saya keberatan, peran Supervisor sangat vital di cabang, Ibu sebaiknya mengambil dari salah satu staff," ucap Pak Ryan yang merasa keberatan."Betul, Bu Rahma. Sebaiknya ambil dari staff saja. Takutnya malah mengganggu stabilitas pekerjaan di cabang," tambah Pak Anshar."Oke, oke, baiklah … kamu saja yang atur," ucap Bu Rahma menoleh ke arah Pak Anshar. "Oke, meeting selesai. Kembali bekerja," lanjutnya.Kami semua, hampir berdiri bersamaan dan kemudian berjalan keluar ruangan meeting. Kali ini Friska memilih keluar terlebih dahulu. Masih terdengar candaan seputar kekaguman fisik dari para section head lainnya. Aku dan Hani saling berpandangan dan kemudian menggelengkan kepala. Semua pria sama saja kalau melihat yang begituan."Mirip tante pemersatu Bangsa … hahaha," ucap Pak Leman yang berjalan di belakangku, bersisian dengan Pak Indra dan Pak Andre. Kedua pria di sampingnya tertawa mengiyakan."Memangnya ada tante pemersatu Bangsa?" tanya Hani sedik
Sekilas kecupan hangat menyapa bibirku, membuat pipiku menghangat."Bisakah kita lebih serius dari ini?" tanyaku padanya, masih dengan kening menyatu"Tentu saja, kita akan atur semua, sebenarnya aku lebih suka, kamu di rumah tak perlu bekerja, tapi aku cukup tau karaktermu. Tak mungkin mau berdiam diri dirumah," ucap Pak Ryan."Kamu benar, aku paling tak bisa di rumah," ucapku. "Gimana, kalau ntar malam kita ajak Prilly keluar, jalan-jalan.""Boleh, kemana?" tanyaku."Prilly suka kemana? Jangan bilang ke mall belanja, itu mamanya pasti yang minta." Aku tertawa mendengar canda garingnya."Itu sudah kodrat sayang, shopping itu penghilang stres," ucapku beralasan."Pinter banget cari alasan, pacar siapa sih ini," ucap Pak Ryan tangannya membingkai wajahku, bibirnya terkatup gemas."Halalin adek, Bang," candaku. Pria itu tertawa mendengarku."Sakit perutku," ucapnya menahan tawa, sambil memegangi perutnya."Itu sindirin sebenarnya," lanjutku
Mas Dipta terlihat di depan pagar, aku dan mama saling berpandangan. Jelas ini bukan hal yang menyenangkan. Papa muncul di belakang kami, berjalan melewat aku dan mama membuka pagar untuk Mas Dipta."Wahh, Teddy Bear besar banget," teriak Prilly dengan senyum lebar. Aku kembali saling berpandangan dengan mama. Ada rasa sesak menyergap, bukanya tak suka melihat wajah ceria Prilly, hanya saja hati belum sepenuhnya menerima. "Suka?" tanya Mas Dipta lalu menggendong gadis kecilnya, setelah mencium tangan papa."Suka sekali," jawab Prilly sambil mendaratkan sebuah ciuman ke pipi Mas Dipta. Melihatnya entah kenapa badanku lemas tiba-tiba. Mas Dipta berjalan dan berhenti di hadapanku dan mama. Diturunkannya Prilly dari gendongan nya, sedikit membungkuk ingin bersalaman dengan mama. Wanita separuh baya itu bergeming. Dikibaskan tangan mantan menantunya itu."Oma, Papa mau salim," ucap Prilly, meraih tangan mama. Mas Dipta kembali membungkuk, mama terpaksa membiarkan
Kelelahan Prilly tertidur di jok belakang, aku ingin memangkunya tadi, tapi dia memilih duduk di jok belakang."Sayang, terima kasih ya," ucapku, saat mobil melaju pelan meninggalkan parkiran mall."Aku yang harusnya berterima kasih, malam minggu terindah di temani dua bidadari," balasnya."Bidadari? lebay," ucapku, lalu tertawa kecil."Aku serius sayang, kalian bidadari di hatiku," lanjutnya, aku kembali tertawa."Sayang, aku merasa nggak enak ama kamu, masalah Prilly dan Mas Dipta. Kamu tau betapa keras kepala sekali dia."Pak Ryan meraih tanganku, meletakkan di atas pahanya. Sesekali diketuknya mengikuti irama lagu yang sedang didengarnya."Bagaimanapun, pria itu Ayah Prilly. Tapi bagiku asal kamu tetap bersamaku, aku yakin bisa melewati halangan yang ada," ucapnya."Tau nggak, aku merasa menjadi wanita paling beruntung. Terima kasih untuk cinta ini, aku ingin menjadi bagian terpenting dalam hidupmu, menjadi separuh jiwamu, dan juga tulang rusukm