LOGINOlivia, gadis berusia dua puluh empat tahun, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah secepat itu. Ibunya, Sheila, baru saja menikah dengan pria tampan berusia empat puluh tahun bernama Adrian — seseorang yang berwibawa, tenang, dan terlalu menawan untuk usia setengah baya. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Sebuah kecelakaan merenggut nyawa Sheila, meninggalkan Olivia dan Adrian dalam rumah yang sama—dua jiwa yang kehilangan, tapi perlahan terikat oleh sesuatu yang tak seharusnya ada. Suatu malam, dalam keadaan mabuk dan rapuh, batas antara duka dan keinginan mulai kabur. Malam itu seharusnya tak pernah terjadi. Namun setelahnya, tak ada yang sama lagi. Adrian mulai menemukan ketenangan dalam senyum Olivia, sementara Olivia sendiri tak tahu bagaimana menghapus bayangan pria yang seharusnya ia panggil Ayah tiri. "Sshh... Om, jangan berhenti.” Apakah keduanya akan terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa—atau justru tenggelam semakin dalam dalam hubungan terlarang yang membakar perlahan? [BUKU DEWASA] 21+
View More"Ma, ngapain sih nikah lagi?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir mungil seorang gadis berusia 24 tahun.
Sang pengantin wanita yang menjadi objek dalam cermin besar, hanya tersenyum menanggapi pertanyaan putri satu-satunya itu. Wanita cantik itu bernama Sheila Anggraini. "Mama!" tegur gadis itu lagi, kali ini dengan nada setengah tak sabar. "Kalau ada pria baik yang bersedia memberikan rasa aman dan menawarkan pundaknya pada Mama, kenapa tidak?" jawabnya lembut, sambil memutar sedikit tubuhnya agar sang penata rias bisa menyempurnakan detail kebaya di punggungnya. "Ya tapi Mama kan udah 44 tahun. Kenapa setelah 15 tahun menjanda, baru kepikiran menikah sekarang?" "Itu karena baru ketemu jodohnya, Olivia Sayang," jawabnya singkat, matanya tak lepas dari bayangan dirinya di cermin—penuh harapan, tapi juga sedikit gugup. Olivia, yang sejak tadi duduk di sofa beludru krem di sudut ruangan, bangkit sambil membetulkan lipatan gaun merah muda dengan potongan A-line klasik, bertabur kristal halus. Ia tersenyum mengejek. "Mama ini sebenarnya puber kedua sama Om Adrian, kan?" Sheila terkekeh kecil, ekspresinya seolah menertawakan diri sendiri. Tangannya mengusap pelan bagian depan kebaya putih modern yang membingkai lehernya dengan lembut. "Mungkin bisa dibilang begitu, Via Sayang," katanya sambil memandangi cermin, suaranya ringan namun dalam. "Tetap saja Via nggak setuju! Via nggak mau punya ayah tiri!" seru Olivia sambil menyilangkan tangan di dada, tatapannya tajam tapi mengandung rasa cemas yang disembunyikan di balik nada sinis. Sheila berbalik pelan dan menghampiri putrinya, lalu menggenggam kedua tangannya. Tatapannya lembut namun tegas. "Kamu pasti bakalan suka dengan Om Adrian, Sayang. Dia baik. Meskipun usianya 40 tahun tapi dia bisa berbaur dengan anak-anak muda karena Om Adrian memang menyenangkan bagi orang di sekelilingnya. Makanya Mama bisa jatuh cinta dengan dia," kata Sheila dengan senyum penuh keyakinan. Olivia menatap ibunya dengan dahi berkerut, "Pokoknya, aku nggak bakal manggil Om Adrian Ayah, Papa, atau apalah itu!" suaranya sedikit meninggi, tanda protesnya belum padam sejak seminggu terakhir. Sheila terkekeh pelan, menatap putrinya yang dengan keras kepala menolak menerima kehadiran Adrian Fabian dalam hidup mereka. Pria yang, setelah bercerai tiga tahun lalu, juga ingin menghapus sepi dalam dirinya. "Mama yakin, suatu saat kamu bakal manggil dia bukan Om lagi. Mungkin Daddy," goda Sheila sambil menyunggingkan senyum lebar. "Mana mungkin, Ma!" "Mungkin aja." "Mama jangan terlalu berharap deh." "Masa nggak boleh." Olivia semakin cemberut karena sikap santai sang Ibu, bahunya sedikit menegang. Dalam hati dia gelisah, tidak bisa melarang ibunya, tapi juga berat menerima jika ada laki-laki lain yang menyusup ke dalam dunia kecil mereka yang selama ini nyaman diisi berdua saja. "Duh Mama gugup! Sebentar lagi harus duduk di depan meja akad," ucap Sheila, mencoba mengalihkan suasana. Olivia mendengus. "Harusnya Via yang duduk di meja akad lebih dulu, Ma." Suara tawa Sheila menggema, terdengar lebih lepas, seperti sedang menikmati momen kecil itu. Tiba-tiba dari balik pintu, seorang pria berseragam hitam mengintip, menahan senyum sebelum menyampaikan, "Ibu Sheila, ditunggu di meja akad. Sepuluh menit lagi acara akan dimulai." Sheila mengangguk, matanya melirik ke cermin besar yang terpajang di depan. Refleksi wajahnya tampak tenang tapi ada kesedihan lembut yang sulit disembunyikan. Ia meraih kedua tangan Olivia dengan lembut, tatapannya berubah menjadi penuh kehangatan dan sedikit takut. "Via, temani Mama, ya. Mama tahu, kamu pasti khawatir Mama akan berubah karena ada orang lain yang nanti Mama urus. Tapi percaya, Mama nggak akan berubah. Justru kamu akan dapat kasih sayang baru dari orang itu." Olivia menatap mata ibunya, senyum kecil mengembang di bibirnya. "Iya, Ma. Janji, ya?" "Iya, Sayang," Sheila membalas, menggenggam tangan putrinya lebih erat seolah menegaskan tekadnya. Mereka berdua keluar dari ruangan itu, melangkah bersama menuju venue pernikahan yang dipenuhi dekorasi indah serta kehadiran kerabat, sahabat dan para tamu yang juga sudah tak sabar menyaksikan momen sakral. Meskipun bukan pernikahan pertama, detak jantung Sheila tetap berdentam kencang, menandai betapa berarti momen itu baginya. *** ".... dibayar tunai!" "Saya terima nikah dan kawinnya, Sheila Anggraini binti Bapak Adnan Hutomo dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!" Adrian Fabian, lelaki berwajah tampan, menyuarakan ijab kabulnya dengan penuh keyakinan di depan wali nikah. Detik-detik suara itu menggema, suasana hening menegang. Dua saksi duduk berdampingan dengan Pak Penghulu, mata mereka tidak berkedip, menilai tiap kata yang terucap untuk memastikan keabsahan pernikahan itu. Saat mereka mengangguk, konfirmasi kesahihan terucap sinkron dari bibir para hadirin, "Sah? Sah! Alhamdulillah..." Sheila, yang sejak awal menundukkan kepala, sekarang tangannya terkatup rapat di sisi Adrian, suaminya yang lebih muda empat tahun darinya. Lelaki yang baru saja mengucapkan kalimat sakral pernikahan untuknya. "Sekarang kalian sudah sah, silakan Mbak Sheila mencium tangan suaminya," perintah Pak Penghulu dengan suara yang tegas namun ramah. Sheila merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tersenyum haru di depan Adrian, pria yang sekarang menjadi suami sahnya, baik di mata agama maupun negara. Dengan perlahan, ia mendekatkan wajahnya pada tangan yang telah terulur di hadapannya. Tangan besar Adrian yang terbuka, menanti. Jemari Sheila yang halus bergetar sedikit sebelum akhirnya menyentuh punggung tangan lelaki itu, mengecupnya dengan lembut dan penuh cinta. "Nah, sekarang gantian, Mas Adrian boleh mencium kening Mbak Sheila," ucap Pak Penghulu lagi. Sheila mengangkat kepalanya, jantungnya berdegup lebih cepat lagi. Mata Adrian yang teduh menatapnya, membuat Sheila merasa semakin gugup. Ia berusaha menenangkan diri. Sheila menahan napas, matanya terpejam, saat bibir Adrian yang lembut menyentuh keningnya. Detik berlalu seperti menit, bibir Adrian masih bertahan di sana, menambah rasa gugup yang menguar. Pak Penghulu mengurai kebekuan dengan lelucon ringan. "Mas Adrian, udah, Mas!" serunya setengah bercanda. "Oh, sudah ya?" Adrian menyahut, pura-pura kecewa. "Nanti saja lanjut di kamar! Buru-buru banget mau unboxing," candanya lagi, diikuti tawa dari tamu yang hadir. Saat tawa menggema, wajah Sheila bersemu merah. Sudah lama dia tidak merasakan kebahagiaan yang membuncah seperti ini. "Selanjutnya, tanda tangan buku pernikahan. Silakan tanda tangan di sini," titah Pak Penghulu. Sheila dan Adrian meraih pulpen dan membubuhkan tanda tangan di sana. "Ya! Tahan, foto dulu sebentar!" seorang fotografer profesional sibuk mengabadikan momen tersebut. Pesta resepsi pun resmi dimulai, diiringi ucapan selamat yang mengalir tanpa henti dari kerabat dan sahabat. Halaman luas restoran milik Adrian yang sedari kemarin malam sudah disulap menjadi venue megah mereka, kini penuh sesak dengan tawa dan sorak sorai. Lampu-lampu gantung kristal berkelap-kelip, menambah semarak suasana yang menggema hingga sore hari. Waktu berjalan tanpa terasa. Saat suara tawa mulai mereda, mereka sudah duduk dalam mobil sedan hitam yang siap membawa ke kamar hotel untuk malam pertama. Sambil fokus pada jalanan di depannya, Adrian melemparkan senyum lembut lalu mencondongkan tubuh, mengecup punggung tangan Sheila dengan penuh kasih sayang. "Kamu capek, sayang?" tanyanya pelan. Sheila mendongak, senyum manja terlukis di bibirnya. "Capek, Mas. Tapi bahagia banget." Adrian menatap matanya, masih penuh perhatian. "Tapi masih kuat, kan?" "Buat?" "Buat … malam pertama, dong," goda Adrian. Sheila tersipu, sembari mengangguk pelan. Sudah seperti kali pertama menikah saja. "Mas, aku minta kamu bisa menyayangi Olivia seperti anakmu sendiri, ya." "Iya, Sayang." "Dia memang keras kepala dan syok karena ibunya tiba-tiba menikah lagi setelah puluhan tahun kami hanya hidup berdua, tapi aku yakin kalian berdua akan segera akrab." Adrian mengangguk sambil tersenyum. Tiba-tiba, mobil yang dikemudikan Adrian bergetar ringan. Pegangan setir terasa goyah, dan mobil agak oleng. Dengan sigap Adrian menurunkan kecepatan. "Sayang, sepertinya bannya kempes. Aku cek dulu, ya. Kita berhenti sebentar." Sheila mengangguk, "Ya, Mas. Dicek dulu aja." Adrian membawa mobil sedan hitamnya pelan ke bahu jalan, lalu membuka pintu dengan hati-hati. Napasnya terhenti sejenak saat matanya menangkap paku yang tertancap di ban sebelah kiri. Dengan langkah cepat, dia mendekati Sheila yang duduk di kursi depan. "Beneran bocor, Sayang. Aku ganti ban dulu, ya. Kamu tunggu di sini aja. Nggak lama kok." "Ya, Mas," Sheila mengangguk pelan, matanya mengikuti Adrian mengambil ban cadangan dari bagasi. Tak lama, suara ketukan dan gesekan terdengar jelas di tengah ramainya jalan tol. Di dalam mobil, Sheila melirik dirinya di kaca spion, wajahnya tampak bosan dan gelisah. "Hmm, aku butuh udara segar," bisiknya, sebelum tanpa pikir panjang membuka pintu dan turun. Adrian yang berada di depan mobil masih sibuk mengganti ban yang bocor, tidak menyadari istrinya turun. Dengan gaun pengantin yang masih melekat, dia berjalan perlahan ke belakang mobil, tangan gemetar saat membetulkan tanda segitiga yang terjatuh di aspal. Angin lalu lalang membuat gaunnya berkibar samar. Tanpa diduga, dari arah belakang sebuah truk besar melaju kencang, mencoba menyalip kendaraan di jalur kiri. Sopir truk terlalu fokus hingga tak melihat mobil mereka yang terparkir di bahu jalan. Tubuh Sheila membelakangi truk itu saat tiba-tiba terdengar suara rem yang menyayat telinga. Truk mencoba menghindar, tapi tubuh besar kendaraan itu tetap menyenggolnya dengan keras. Sheila terpental ke aspal, gaunnya robek, tubuhnya terluka parah dan napasnya terhenti. Suara dentuman keras dan jeritan kesakitan pecah membelah jalan tol yang ramai itu. Gaun pengantin mewah di tubuh Sheila berubah menjadi merah pekat akibat darah yang mulai mengalir di atas aspal. "Sheila!" suara Adrian pecah, menggema penuh kecemasan dan panik. Bersambung...Olivia membeku sejenak. "L-lebih, Mas?" tanyanya dengan ragu, seolah setengah takut akan jawaban yang akan ia dengar.Adrian menatapnya dalam, tatapannya begitu pekat hingga membuat dunia seolah menyempit hanya untuk mereka berdua. "Iya, Sayang," bisiknya pelan, suaranya berat namun lembut, "Hukuman yang lebih, karena kamu nakal."Belum sempat Olivia menyusun kata, jemari hangat Adrian menyusuri pipinya perlahan, seolah ingin menghafal setiap lekuk wajahnya. Sentuhan itu turun ke leher, membuat bulu halus di sekitar tubuhnya meremang, lalu meluncur lembut ke lengan Olivia yang masih terangkat di atas kepala.Jantung Olivia berdebar tak terkendali. Sorot mata Adrian membuatnya semakin tak kuasa, seolah pria itu tengah menikmati setiap detik posisinya yang pasrah."Mas..." panggilnya lirih, nyaris seperti bisikan."Hmm, apa?" Adrian menunduk sedikit, wajah mereka kian dekat."Please jangan siksa aku," bisiknya lagi, matanya bergetar menahan harap.Adrian tersenyum samar, penuh rahasia.
"Eum ... anu, Mas.""Anu apa, Sayang?""Eum...""Kenapa, Sayang? Ada apa sebenarnya?"Olivia merasakan lidahnya kelu, seolah kata-kata terkunci rapat saat tatapan Adrian semakin dalam menancap ke matanya. Ada getar ketakutan yang menyelinap di dadanya, membuatnya sulit mengatur napas.Adrian yang mulai curiga, mencoba menenangkan gejolak yang sama di dalam dirinya. Matanya mencari jawaban di raut wajah Olivia, yakin ada alasan di balik kegugupannya. Namun Olivia dengan hati-hati menyembunyikan sesuatu dari pandangan Adrian.Akhirnya Adrian dengan lembut meraih tangan Olivia dan menggandengnya."Kita mau ke mana, Mas?" suaranya pelan, mencoba menguasai diri."Kita pulang. Bicara di rumah saja. Di sini terlalu ramai," jawab Adrian dengan lembut, seolah ingin meyakinkan.Olivia hanya mengangguk, langkahnya tak pernah terhenti saat mereka menyusuri kerumunan malam di mall itu.Turun melalui eskalator, mereka sampai di parkiran basement yang terang benderang. Adrian diam, tidak lagi bertan
Olivia duduk terpaku di depan layar laptop yang menampilkan spreadsheets rumit. Bibirnya membentuk senyum tipis, seolah menahan bahagia yang diam-diam bersemayam dalam hati. Ingatan hangat saat menghabiskan waktu bersama Adrian dan Nevan terputar seperti film tanpa jeda. Anak kecil itu, walau masih menyimpan rasa curiga dan menjaga jarak, perlahan mulai menerima kehadirannya. Ada harapan kecil yang menyelinap di balik sinisnya sikap Nevan.Tiba-tiba, suara dentingan ponsel di atas meja memecah kebahagiaan itu. Olivia menoleh cepat, matanya menangkap notifikasi dengan nama Ruby yang muncul di layar. Dengan jari cekatan, ia membuka pesan itu.Ruby : Pagi, Olivia. Keponakan Tante yang paling cantik. Udah sarapan belum? Tante cuma mau tanya ulang. Apa kamu jadi belikan tas?Sebuah helaan napas keluar dari bibir Olivia. Ingatannya melayang ke hari kemarin di mal saat bersama Adrian, ketika dia sempat singgah di counter tas yang diidamkan Ruby. Beruntung Adrian tidak curiga, bahkan sempat m
Gista terdiam, seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Adrian tanpa ragu mengakui bahwa Olivia adalah kekasihnya. Jantungnya berdesir keras, ia mencoba menegakkan tubuh dan menatap Adrian dengan mata tajam, berusaha menampakkan ketegaran meski hatinya remuk redam karena kesempatan kembali bersama Adrian kini sudah tertutup rapat. "Kamu, bukannya anak tiri Mas Adrian? Kok bisa kalian ... seperti itu?!" suara Gista bergetar, matanya melebar menatap Olivia seolah menantang. "Tentu saja bisa. Aku belum pernah menyentuh Sheila, jadi aku masih bisa menikahi Olivia, meskipun dia anak tiriku," ucap Adrian mengangkat tangan, menggenggam erat jari-jari Olivia. Nada suaranya dingin, penuh kepastian. Olivia ikut angkat bicara dengan senyum tipis, suaranya menyisipkan ejekan halus, "Apa ada yang salah dengan itu, Mbak Gista?" Gista hanya mematung, menelan saliva sambil matanya terus mengunci Olivia sembari mencari kata-kata yang tepat. "Ayah! Ayo!" tiba-tiba suara Nevan memecah keh
Olivia menghela napas dalam-dalam, tangannya tampak ragu saat menutup kardus besar ketiga. Wajahnya menunduk, mata yang biasanya cerah kini penuh kecewa dan lelah. Sudah berhari-hari dia menelusuri barang-barang peninggalan sang ibu, berharap menemukan jejak ayah kandungnya. Tapi hasilnya nihil.Dengan malas, Olivia melepaskan blazer yang menempel di bahunya dan melemparkannya ke keranjang pakaian kotor. Kemeja tanpa lengan yang dipakainya menampakkan lengan rampingnya, namun gerak tubuhnya tak berenergi.Perempuan cantik itu duduk di tepian kasur, tubuhnya merosot pelan seperti beban di hatinya semakin menambah berat. Sambil menatap langit-langit dia berpikir sesuatu."Apa sebenarnya Tante Ruby tau keberadaan Papa, ya? Tapi dia diam saja. Sengaja buat aku penasaran?"Bukan tanpa alasan dia berpikir seperti itu. Rasanya tak mungkin jika sang Tante tidak tahu apapun tentang kakak iparnya."Sepertinya aku butuh minuman. Mungkin Bik Surti bisa buatkan sesuatu sebelum aku mandi," Olivia b
Olivia menatap layar laptopnya tanpa fokus, matanya kosong seolah mencari jawaban di antara angka dan kata yang berhamburan di depan layar. Dua hari sudah berlalu, namun jejak ayah kandungnya masih sulit ditemukan. Adrian sempat menawarkan bantuan dengan menyewa detektif swasta, tapi Olivia ragu, sementara waktu ingin mencari sendiri petunjuk itu walau hati makin berat."Sebenarnya Papa ada di mana, ya? Apa dia masih hidup. Aku cuma punya nama lengkap di akta kelahiran. Apa bisa cari dari sana?" bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Jari-jarinya yang dingin bergerak tanpa tujuan di atas keyboard."Via!" Tiba-tiba suara Laras terdengar dari balik meja, memecah lamunannya.Olivia mengerjap, mencoba mengembalikan fokus. "Ya, Bu?"Laras mendorong sebuah map plastik di atas meja dengan ekspresi serius. "Eum, tolong bantu antar dokumen ini ke Pak Bastian, minta tanda tangannya, lalu serahkan ke Mbak Sherli di HR.""Baik, Bu. Sebentar," Olivia mengangguk pelan, tangan terulur meraih






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments