Share

Fakta Baru

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2021-10-13 21:15:28

Kenapa rasanya seperti di tampar. Semua yang diucapkan Ardi itu begitu menyinggungku. Tak mau buang waktu aku segera pulang ke rumah saat jam istirahat. Entah siapa yang memarkir motor sembarangan persis di depan rumah, siapa gerangan yang mampir. Aku mengintip lewat celah pagar, mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Dilra menyerahkan uang pada pria berkemeja itu. Lalu pria itu menyerahkan sobekan kecil dari bukunya. Begitu berbalik ternyata itu Pak Rudi. Bank keliling harian yang biasa meminjami Ibu-ibu sekitar rumahku, tetapi itu dulu saat di rumah yang lama. Entah kenapa dia bisa kemari. Jadi Dilra diam-diam meminjam uang tanpa sepengetahuanku?

"Dil, siapa tadi? Bank keliling ‘kan?” tanyaku. Tatapan Dilra langsung berubah tak suka.

“Untuk apa pinjam-pinjam segala, itu riba!” sentakku kala Pak Rudi, sudah memacu motornya.

“Enggak pernah dikasih uang ya pinjam,” jawabnya datar. Tidak tampak raut bersalah sama sekali, malah membalik badan dan berjalan begitu saja. Kuikuti ke mana arah langkahnya tertuju, ke arah dapur rupanya.

 “Dilra, kamu masih menghargai Mas, enggak? Butuh uang berapa sih, apa susahnya tinggal bilang sama Ibu? Kalian serumah, tahu dosa enggak sih kamu! Boleh kamu pinjam kalau kepepet, aku kerja mati-matian kalau bukan buat kamu.” Dilra yang tengah mengambil cangkir yang menggantung di mini bar mendadak meletakannya kembali. Kini dia berjalan mendekat.

“Kenapa, mau marah lagi?” Dilra hanya menatap tajam. Seperti dugaank dia marah lagi. Dadanya naik turun, menahan emosi, mata yang mulai memerah semakin menjelaskan semua itu. Kulihat tangannya mulai meremas kuat, hingga buku-buku jarinya tampak memerah.

“Aku pinjam karena butuh, salah?”

“Berapa yang kamu pinjam, seberapa besar yang bisa dia kasih?”

“Dua ratus ribu.” Sungguh tidak habis pikir. Aku sedikit terkekeh, uang sekecil itu kenapa harus meminjam.

“Hanya dua ratus ribu kamu pinjam ke Bank?”

“Kenapa kamu ketawa Mas, lucu ‘kan? Istri pemilik bengkel mobil besar, pinjam uang dua ratus ribu ke bank keliling?”

“Jangan bercanda Dil, bilang berapa hutangmu?”

“Ya sudah kalau enggak percaya, tanya ke Pak Rudi.”

“Aku kasih ibu uang 10 juta hanya untuk kebutuhan makan dan kamu malah pinjam ke Pak Rudi dua ratus ribu buat apa, masih belum cukup juga?” Aku sedikit berteriak karena dia seakan acuh, memilih meneruskan membuat kopi yang tadi, sempat tertunda.

“Itu buat ibumu bukan buatku.”

“Apa maksudmu bilang begitu, jelas itu buat kita semua.”

“Ah, berisik tahu. Ini kopi minum aja. Besok-besok enggak usah minta bikin kopi, kalau enggak mau didatangi rentenir ke rumah.”

“Dilra! Begitu caramu melayani suami?" Lagi pula sedang puasa kenapa juga malah menyuguhkan kopi, apa dia melupakannya?

“Ya terus, maunya bagaimana?”

“Dilra kamu keterlaluan, aku selama ini sabar sama kamu tapi kalau cara kamu begini ....”

“Mas mau apa, kenapa sih mas cerewet banget. Aku butuh uang buat beli kopi gula, siapa yang minum? Kamu juga ‘kan? Masih mending anakmu minum ASI, jadi enggak perlu repot-repot keluar biaya.”

“Sekali pun Dion minum susu formula aku masih mampu!”

“Oh, ya? Kalau hanya masalah gula kopi hutang ke Pak Rudi, bagian mana yang kamu sebut mampu, Mas? Sudahlah aku mau nyapu.”

Plakk!!

“Cukup Dilra, kamu keterlaluan!” Kali ini aku kalap lagi, tak sengaja menamparnya. Untuk pertama kalinya juga aku melakukan ini, tapi kurasa ini setimpal untuk istri yang selalu melawan. Dilra tampak mengusap pipinya yang memerah, matanya menatapku nanar tapi tak lama dia mengusap air mata yang mengalir dengan cukup kasar. Setelahnya, seolah tak terjadi apa-apa Dilra malah meraih sapu. Aku berpikir dia akan melawanku tapi malah menyapu lantai. Aku jadi merasa bersalah.

“Dil, Mas minta maaf.”

“Hmm.” Dilra tidak mau melihat ke arahku sama sekali, pandangannya ke lantai masih fokus dengan sapu di genggamannya.

“Dil.” Kali ini aku menahan lengannya, lalu menangkupkan kedua tanganku di wajah wanita itu. Ada jejak merah berbentuk telapak tangan di sana, tapi seakan dia tak merasa tersakati sama sekali.

“Sakit, Dil?” Aku mengusap pipinya pelan, perlahan sapu di genggamannya terlepas, kini kami saling menatap.

“Maaf, Mas kelepasan, pasti sakit. Biar dikompres pakai es ya.” Mata Dilra terlihat berembun, tapi lagi-lagi dia tak mau membuka suara. Tangannya malah menggenggam kedua tanganku.

“Lepas!!!” ketusnya, sungguh membuatku terkejut bukan main. Setelahnya langsung menghempas tanganku dengan kasar. Sekarang malah pergi ke kamar, membiarkan sapu tergeletak begitu saja. Aku berniat menghampiri, tapi begitu mengetuk pintu dia seperti sengaja tak ingin ditemui. Pintunya dikunci dari dalam. Aku menyerah sudah diketuk berkali-kali, tetap tak mau keluar. Dia menulikan diri meski seharusnya merasa terganggu. Sempat terdengar jeritan bayi Dion, karena terkejut dengan suaraku, tapi Dilra masih kukuh tak mau membuka pintu.

Aku memutuskan tak kembali ke bengkel, menunggu sampai Dilra mau keluar kamar. Ternyata rumah sepi sekali saat siang hari, Ibu dan Mia entah pergi ke mana dari siang sampai sore belum juga pulang, hingga pukul empat. Aku dengar suara pintu di buka, ada Ibu dan Mia di balik sana. Mereka tampak riang dengan beberapa tas belanja berisi pakaian dan camilan. Aku memperhatikan dari lantai dua. Sampai sekarang mereka belum sadar akan kehadiranku.

Jam menunjukkan pukul 4.30 sudah setengah jam aku memperhatikan mereka dari dalam sini. Sesekali tawa mereka terdengar riang, tanpa sadar membuatku tersenyum. Akhirnya aku bisa membuatmu bahagia Bu. Saat itu juga Dilra keluar dari kamar. Dia melewati begitu saja, seolah aku ini tak tampak baginya.

“Dil.”

“Aku mau masak Mas, jangan ikuti aku!” Ya sudahlah aku menyerah. Aku turun ke bawah tak lama setelah Dilra berada di dapur.

“Eh kami kok udah ada di rumah Lang?” Ibuku tampak gugup menyadari kehadiranku. Dia tampak gelisah memasukkan asal barang belanjaannya ke dalam tas.

“Enggal usah disembunyikan, aku sudah liat semuanya.” Seketika Ibu tertunduk, mungkin merasa bersalah.

“Enggak apa-apa Bu, Galang senang kalau bisa bikin Ibu bahagia.”

“Benar enggak apa-apa, Lang?”

“Ya, Bu.” Ibu malah menangis haru. Dia selalu begitu begitupun Mia yang malah mengikuti Ibunya. Sementara di dapur Dilra seolah tak peduli sama sekali. Dia tetap asyik bergulat dengan sayur mayur dan alat masaknya.

Ruang keluarga memang sengaja dirancang mengarah langsung ke semua tempat. Dilra yang mengusulkan katanya biar mudah mengontrol anak-anak kami dari sini, awalnya Ibu juga menolak tapi alasan Dilra cukup masuk akal kali itu. Dilra dan Ibu hampir selalu beda pendapat sejak dulu bahkan sampai sekarang. Seringnya Dilra mengalah, katanya cuma ingin hidup dengan tenang dan damai. Itu dulu kalau sekarang kutanya kenapa dia mau mengalah, maka dia akan berkata, malas ribet. Dia telah berubah, aku hampir kehilangan sosok Dilra yang lembut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dimas Adrian
klo udh tidak sanggup knp tidak pergi saja Dilra,suami guob*"k kaya gitu,gila udh brp tahun kamu di sia siakan.
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Kasihan km dilra, suami km bego harus dikasih pejaran
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Luka Seorang Istri   Ending

    Saat merasakan tubuhnya mulai bergetar Dilra segera menepi. Untunglah Ilham sigap mengambilkan air untuknya. “Maaf bikin kalian repot.” “Sudah tugas kami menjaga Ibu,” kata mereka kompak. Adam baru saja menyusul ke sini, karena penasaran melihat Ilham berlarian di tengah kebun. Dilra menatap hamparan kebun nanas miliknya dengan mata nanar. “Panggil Bi Nunik ke sini ya. Aku kayaknya enggak kuat jalan sendiri,” ucapnya lemah. “Bi Nunik lagi nyusul ke sini Bu, tadi ikut panik juga lihat Ilham lari.” “Ayo, Bu. Saya bantu jalan sampai rumah.” “Makasih, Bi.” “Di rumah sudah saya siapkan makanan, Bu. Kesukaan Ibu semua, coba dimakan sedikit-sedikit. Biar ada tenaga.” “Nanti saya makan, kalau perut saya enakkan. ‘Kan sayang makanan enak yang Bibi masak, malah dimuntahkan lagi.” Dilra masih saja mencoba tersenyum pada Bi Nunik, meski saat itu dadanya semakin sesak. Sampai-sampai mereka terpaksa menghentikan jalannya.

  • Luka Seorang Istri   Tunggu Aku

    “Ibu, mau ke mana?”“Nyusul Pak Adam.”“Enggak usah, tunggu di mobil saja. Paling lagi diberi penyuluhan sama satpam, sebentar lagi pasti balik.”Dilra tak mampu menutupi kekhawatirannya. Bukan hanya pada Adam juga pada nasibnya dan anak-anak. Pikirannya carut marut, menerka-nerka, siapa kemungkinan yang ingin mencelakakannya.Sebelum pergi ke luar kota dia sempatkan untuk kembali ke rumah lamanya. Melepas rindu juga untuk beberapa barang yang akan dia butuhkan. Langkahnya pelan memandangi setiap sudut rumah beserta isinya, sementara anak-anak berlarian ke ruang bermain. Mengumpulkan barang mereka, sebanyak mungkin. Tiba di depan pintu kamarnya langkahnya terhenti saat mendapati seseorang baru saja masuk tanpa mengetuk. Rupanya Mbak Rina, dia menghampiri majikannya, saling memeluk melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa.Wanita itu mulai mengajak tuannya beristirahat di dalam kamar. Namun, sebelum pergi, d

  • Luka Seorang Istri   Waspada

    Ruangan pengap dan lembap berukuran 3x3 dengan dinding yang sebagian berlumut, juga langit-langit yang berlubang menandakan rumah ini memang sudah lama tak terjamah. Pencahayaan yang hanya mengandalkan dari senter, membuatnya semakin suram. Hari ini bahkan harus menjadi saksi biksu, pertumpahan darah yang tak bisa dielakkan lagi. Sorot mata membunuh itu masih menatap tajam pada perempuan yang meringkuk seraya memegangi perutnya. Pakainya telah berubah warna menjadi merah darah. Sayup-sayup terdengar kata tolong keluar dari bibirnya yang memucat.“Sudah kukatakan jangan mengusikku, apalagi dia!” Suara bariton kini mendominasi ruangan. Lengan yang berlumur darah itu mencengkeram dagu, wanita lemah di depannya, memaksa agar dia melihat bagaimana perbuatannya membuat wanita yang berada dalam pangkuannya tergeletak tak berdaya.“Aku enggak akan segan, bahkan untuk menghabisimu.” Wanita itu ingin bicara, tetapi rasa sakit di bagian perut membuatnya te

  • Luka Seorang Istri   Nekat

    “Loh, Mas mau ke mana?”“Makasih buat infonya, tolong kabari saya kalau Dilra hubungi kamu.”Tanpa persiapan apa pun Galang pergi ke kota Bandung. Untunglah di perjalanan dia sempat tertidur sebentar, setidaknya tenaganya sedikit memulih.“Pak kalau mau tidur enggak apa-apa. Nanti saya bangunkan kalau sudah sampai Bandung," kata Demian, salah satu staff di kantornya.“Enggak perlu, barangkali saya lihat anak istri saya di jalanan.”“Tapi mata Bapak kelihatan capek.”“Enggak apa, saya baik-baik saja.”Galang tetap membuka matanya lebar-lebar. Menengok ke kiri dan kanan dengan gelisah. Sayangnya yang di cari tak ada di sini. Dia benar-benar hanya membuang waktu.Minggu berlalu Galang masih berada di kota kembang. Seperti orang gila dia terus mencari keberadaan anak dan istrinya. Selama di sana dia menetap di rumah Ibu Rima. Malam hari dia baru pulang untuk tidur, l

  • Luka Seorang Istri   Tetaplah Seperti Ini

    Esok hari Galang terbangun, namun tak mendapati Dilra di sampingnya. Dia turun untuk mencari, rupanya Dilra tengah di dapur.“Sayang, masih terlalu pagi kok udah masak aja.”“Lagi kepengen aja, aku buat rendang.”“Tahu aja makanan kesukaan, Mas.”“Makanya itu karena masaknya makan waktu, jadi aku mulainya lebih awal.”Galang meletakkan wajahnya di bahu Dilra yang terbuka, wanita itu memakai daster yang mengekspose kedua bahunya yang putih mulus tanpa celah. Tak cukup sampai situ, Galang melingkarkan perutnya di perut Dilra.“Jangan begini.”“Habisnya kamu bikin Mas pengen nempel terus.”Dilra hanya tersenyum, lekas dia berbalik, sebelum pria itu membuatnya harus kembali mandi.“Mas, belum subuh ‘kan?”

  • Luka Seorang Istri   Ada Apa denganmu?

    Aku hanya diam menikmati suasana kota di sore hari. Sampai kami tiba di lampu merah, untungnya jalanan belum terlalu padat, ini masih pukul 4 sore setengah jam lagi mungkin akan berbeda.Motor menepi di dekat alun-alun, di sini cukup ramai.“Enggak apa-apa ‘kan duduk di sana sebentar ya.” Aku menunjuk pada bangku di taman.“Memangnya kenapa, di mana pun jadi, Mas. Ayo,” ajaknya. Aku masih menggenggam lengan Dilra. Kami duduk menikmati pemandangan anak-anak remaja yang tengah bermain skate board.“Tinggal dulu ya, Mas mau beli minum buat kamu.” Di sana Dilra lebih banyak diam, hanya bicara tiap kali aku menanyakan sesuatu. Aku masih belum menyerah, mencoba mengalihkan perhatiannya pada beberapa remaja yang berpakaian ala korea. Mereka sepertinya sedang shooting video. Orang-orang ramai berkeremun di dekat anak-anak itu. Aku bisa melihat Dilra pun sesekali terkekeh melihat aksi para penari yang begitu en

  • Luka Seorang Istri   Kencan

    “Aku yang egois mengedapankan perasaanku meski itu menyakiti Ayah. Aku yang membuatnya meninggal, Ren.” Dilra masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kamu yakin ingin meninggalkan suamimu?” tanya Irene.“Harus, Ren. Cepat atau lambat.”“Sanggup?” bukannya menjawab Dilra malah menangkupkan wajahnya pada ke dua telapak tangan.“Yakinkan dirimu, Dil. Bisa jadi kalau Ayah masih hidup dia akan merestui hubungan kalian. Selama melihat putrinya bahagia.”“Enggak mungkin, Ayah membenci Mas Galang dan keluarganya. Dia bahkan memilih mati jika aku nekat rujuk, tapi Allah … memanggilnya lebih dulu,” katanya. Dilra terisak, ah andai aku tidak sedang menyamar sudah kupeluk dia. Saat itu ponsel Dilra berdering. Sepertinya panggilan dari anak-anak.“Loh, memangnya Papah pergi ke mana? Bunda enggak pergi sama Papah kok,” kata Dilra.Gawat. Sepertinya aku

  • Luka Seorang Istri   Niat Sesungguhnya

    Hari yang ditunggu tiba. Sekalinya dapat job malah di luar kota dengan 2 lokasi berbeda. Sebenarnya aku ingin ikut tetapi di akhir bulan. Kantor selalu banyak pekerjaan. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tadi pagi saat Dilra berpamitan. Sesungguhnya aku ingin sekali menahannya. Namun, itu sama saja membuatnya lari dari tanggung jawab. Jam makan siang tiba entah ini teleponku yang ke berapa. Dilra hanya tertawa melihatku terus menerus menghubunginya lewat sambungan video.“Aku masih sendiri, Mas. Enggak ada siapa pun, paling nanti ada Irene yang temani aku,” katanya. Aku hanya tersenyum lalu kembali mematikan telepon. Ingin sekali kutanya kapan dia akan bertemu Hiro, tetapi aku takut dia kira aku begitu protektif. Ini hari pertama dia bekerja seharusnya aku mendukungnya.“Pak, permisi, Ehem!” Ternyata seseorang baru saja berdehem. Itu Vina sekretari

  • Luka Seorang Istri   Mas Izinkan

    Setahuku akan ada petugas keamanan yang berkeliling setiap 3 jam sekali apalagi setelah keributan yang terjadi di rumahku kemarin siang, keamanan kompleks pasti lebih diperketat. Jadi kurasa kami tak perlu capek-capek mengusirnya. Sudah pasti dia akan kembali di usir. Entah tadi malam dia ke mana, hingga sepagi ini sudah ada di depan rumah. “Mas, lebih cepat dikit,” kata Dilra. “Santai ajalah Dek, kenapa juga harus buru-buru,” sahutku. Andai saja aku bisa melambatkan waktu rasanya aku ingin selalu di sampingmu Dil. Setelah mengutarakan keinginanmu untuk kembali bekerja. Hatiku selalu was-was, seolah kamu akan pergi jauh meninggalkanku dan anak-anak. “Kenapa berhenti, Mas?” kata Dilra. Di depan kami ada sebuah tanah lapang yang cukup besar. Dilra langsung turun lantas memeriksa keadaanku. Dia pikir aku selemah itu. Kalau memang khawatir harusnya kamu di rumah saja, jangan pernah bekerja. Biar aku saja. Aku bahkan rela bekerja lebih giat lagi, demi bisa m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status