Share

Bab 1 Perempuan Yang Telah Lelah

Renna—panggilannya sewaktu di kampus. Berjalan menyusuri koridor kelas dengan harapan hari ini tak terlambat atau dosen yang terkenal 'killer' akan memarahinya lagi dan paling parah adalah memberi nilai D pada rapor akhir semester. Pagi ini dia bangun kesiangan karena tak ada alarm yang menyala tepat waktu ditambah rasa lelah dan kantuk seusai semalaman 'bermain' dengan Dion.

Setelah lelaki itu—Dion pergi, Renna butuh waktu lama untuk tidur. Ia merasakan perih di pundak yang setelah dicek tadi pagi sewaktu bercermin nyatanya lebam—mungkin akibat dari benturan pundaknya dengan tembok kemarin malam saat lelakinya mendorong.

Renna membuka pintu kelas pelan. Ternyata sang dosen telah disana. Dosen perempuan dengan perawakan pendek serta kacamata yang tebal itu meliriknya tajam.

Ah, hari ini Renna sial lagi!

Dia hanya mematung menunggu dosen tersebut memberi intruksi untuknya. Namun tak ada respon, dosennya masih menatap tajam padanya.

"Kau yang keluar atau aku yang harus berhenti mengajar?" tanya dosen tersebut pada Renna.

Semua mata yang ada di dalam kelas melihat Renna. Menatapnya dengan beragam ekspresi. Ada yang kasihan hingga marah. Dia memang terbiasa dengan situasi semacam ini. Tapi Renna butuh nilai dosen ini agar bisa ke semester selanjutnya.

"Keluar!" teriak dosen tersebut membuat Renna berjingkat kaget. Ia tak menyangka harus dimarahi sepagi ini pada hari Senin. Hari pembuka untuk minggu panjang ini.

Renna melihat tatapan teman sekelasnya tak ada yang peduli. Mereka semua menatapnya dengan tatapan sama. Seolah mengatakan hari ini Renna harus mengalah dan keluar di balik pintu tersebut satu kali lagi.

Renna berbalik dan keluar dari ruangan. Tak ada yang bisa ia harapkan lagi. Kesempatan? Sudah tidak tersedia baginya. Memang seharusnya dia memilih untuk mengulang semester saja. Sebab nilainya banyak yang anjlok. Tetapi bagaimana jika orang tuanya tahu ia tak lulus tepat waktu? Bukankah akan memalukan kedua orang tuanya di kampung. Menjadi bahan pembicaraan satu kampung.

Renna menghela nafasnya lelah. Dia menyusuri kembali koridor tersebut. Melihat beberapa kelas yang terisi dengan dosen mereka. Tak ada yang benasib seperti Renna, harus keluar dari ruangan. Beberapa mahasiswa di kelas lain melihatnya dari balik jendela. Dan Renna yakini bahwa pikiran mereka adalah gadis ini lagi.

Renna sebenarnya sudah lelah dengan realita seperti ini. Dia ke kota untuk mengubah nasib. Tak ingin dibicarakan orang kampungan tak punya pendidikan tapi apa daya malahan dia disini semakin dihina. Tak ada prestasi yang ia cetak malah Renna mencetak rapor merah.

Dirinya menuruni anak tangga menuju ke kantin yang berada di sisi barat fakultasnya. Tempat yang selalu menjadi tujuan disaat seperti ini. Bahkan beberapa orang yang bekerja di kantin mengenalnya.

"Kau telat lagi?" tanya Ibu Kus—salah seorang pengurus kantin. Yang membuka warung bakso dan mie ayam disana.

"Iya, buk." jawab Renna. Ia berjalan ke deretan meja di area bu Kus.

"Mie ayam ya buk 1. Kasih ceker." pesan Renna pada Bu Kus.

"Ngutang apa mau bayar sekalian?" tanya perempuan paruh baya tersebut.

Renna tertegun mengingat jika punya utang disini untuk makan beberapa hari lalu. Dirinya mengintip ke tasnya berharap ada uang lebih. Masih ada uang sebesar seratus ribu sisa uang gajian paruh waktu—Gaji yang diberikan setiap seminggu sekali.

"Saya bayar sama yang kemarin ya, Buk." ujarnya agak santai. Bu Kus sedang menyiapkan mie ayam untuk Renna.

Renna melirik pada ponselnya. Belum ada pesan, masih nihil. Dion belum mengirimi pesan semenjak pergi tadi malam. Bahkan membalas pesannya yang tadi pagi dikirim pun tidak ada hilalnya.

"Masih nungguin cowok kamu itu?" tanya Bu Kus yang mengantar pesanannya. Menurunkan semangkok mie ayam dengan ukuran mangkok cukup besar tak lupa pula tambahan ceker yang menambah nikmat untuk disantap.

"Minum apa?" tanya Bu Kus—biasanya perempuan paruh baya ini akan memberi minuman gratis untuk Renna.

"Air putih aja, Buk."

"Kamu itu, mumpung gratis minta yang enak dong. Teh gimana?" tawar perempuan itu lagi dengan nada agak galak—memaksa Renna.

"Ya gapapa." ucap Renna dengan senyuman. Menatap wajah perempuan yang selalu menawarinya makanan bahkan berutang pun boleh.

Renna menarik semangkok mie tadi dan mulai menambahkan beberapa sendok sambal, saos serta kecap manis sedikit. Tak lupa tambahan daun bawang seperti kesukaannya. Mengaduknya dengan telaten. Aroma kuah yang mengental begitu menggoda. Renna mulai menyantap makanannnya dengan tenang. Suasana kantin terbilang sepi untuk hari Senin. Bu Kus datang membawa teh panas gratis dan menaruhnya di dekat Renna.

Setelah selesai menyantapnya ia menyingkirkan mangkok. Memilih membuka aplikasi di ponsel. Di sisi lain dua mahasiswa datang mendekat ke Renna. Mereka adalah kawan Rennata yang terbilang cukup dekat namun tak terlalu akrab—Sasa dan Lea. Dua orang yang tak bosan mendekatinya untuk akrab dari awal masa Renna di kampus.

"Disini rupanya." ucap Sasa—gadis berambut keriting. Suara derit kursi bergeser terdengar mendecit. Beberapa orang di kantin melihat ke arah kursi mereka.

"Oh, sorry." ucap Sasa sambil menggedikkan bahunya. Tak ada respon berarti dari orang yang ada di sana.

"Ada apa? Kamu telat lagi?" tanya Lea—teman Rennata yang berasal dari Solo. Setiap katanya berlogat sangat lembut namun agak 'medok'.

"Ya, seperti yang kau lihat." Rennata tersenyum. Tentunya bukan senyum kebanggaan sebab rekornya adalah terlambat lagi.

Sasa dan Lea saling pandang lalu melempar pandangan pada Renna yang ada di hadapan mereka.

"Karena Dion lagi?" ucap mereka berbarengan.

Renna tersenyum kikuk sebagai jawaban. Memilih diam agar tak ada percakapan dengan topik kekasihnya.

"Ya kan?" tanya Sasa mendesak jawaban Renna tetapi dia tetap diam tak berniat menjawab. Lebih memilih mengaduk teh yang gulanya telah tandas.

"Ren, kenapa lo bodoh banget? Dion itu lagi bodohin lo!" ucap Sasa bertambah kesal. Mengibaskan tangannya menunjukkan rasa kesal hingga membuat panas suasana.

"Ren, sebenernya aku gak mau ngomong begini sama kamu. Tapi beneran kata Sasa. Dion udah toxic ke kamu. Bahkan kamu gak tahu kelakuannya di belakang kamu." Kini giliran Lea yang mengatakan kata-kata yang sama dari hari ke hari.

Mereka selalu mengatakan bahwa Renna tak mengetahui apa yang Dion lakukan di belakangnya. Tapi Renna yakin bahwa Dion adalah orang yang setia dan tak akan meninggalkannya—setidaknya itu untuk sekarang.

Tak mendapat respon dari Renna yang memilih diam agar tak membicarakan topik tentang Dion. Lea mengambil ponsel yang ada dalam ranselnya. Membuka kode kunci dengan cepat ketika sudah terbuka, ia memilih aplikasi foto. Lea menghela nafasnya lalu menunjukkan foto tersebut pada Renna.

"Ini dia yang sering aku bicarain soal kelakuannya di belakang kamu. Kamu bisa lihat sendiri tanggal di foto itu, kapan aku ambilnya? Pagi ini di pusat kuliner deket kos ku."

Renna melihat foto yang ditunjukkan oleh Lea seksama. Benar—itu foto kekasihnya yang sedang memeluk wanita lain. Jika tak melihat tanggal dan waktu sudah pasti ia akan mengatakan editan. Tapi tanggal disana tertera hari ini waktu pagi apalagi bukan hanya satu foto namun ada beberapa foto yang menunjukkan lelaki itu memasuki sebuah kafe pagi.

Renna terdiam tak bergeming. Mencoba mencerna apa yang ada di hadapannya. Itu benar foto lelakinya yang pergi semalam dengan pakaian yang masih sama.

Sasa merebut ponsel Lea dan memekik terkejut. "Apa gue bilang!" teriak Sasa kesal hampir membanting ponsel Lea sebelum pemiliknya merebutnya. Takut jika Sasa mengamuk.

"Ren, kali ini jangan bodoh!" kata Sasa kesal.

"Maafin aku, Ren. Aku harus nunjukinnya agar kamu sadar." sahut Lea.

Rennata hanya diam. Ia masih linglung. Kejadian ini begitu cepat. Dia masih belum paham harus marah bagaimana. Hatinya terasa panas hingga dadanya terasa sesak. Renna tak bisa menangis—entah kenapa. Raut kecewa terpatri jelas disana.

"Brengsek!" umpat Renna kesal. Meski kata brengsek saja tak cukup menggambarkan keadaannya. Sasa dan Lea saling sikut karena untuk pertama kalinya melihat Rennata mengumpat.

****

Pukul 10 malam Renna baru pulang dari kafe tempatnya bekerja. Tak jauh, hanya berada di area dekat tempatnya tinggal. Tak perlu adanya biaya tambahan untuk transportasi sebab berjalan kaki adalah pilihan terbaik. Berjarak sekitar 500 meter dari tempat tinggalnya.

Suasana di kota malam ini begitu sunyi, tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Renna menyusuri trotoar yang cukup lengang— hanya ada beberapa pedagang kaki lima dan penjual kopi keliling. Mungkin karena hari Senin tak ada orang yang nongkrong.

Suara gemuruh terdengar diikuti rintikan hujan yang turun. Membasahi jalanan dan orang yang di bawahnya. Para pedagang mulai berteduh mereka ada di halte hingga bawah tangga jembatan penyeberangan. Renna menutup kepala dengan kedua tangan. Ia melihat ke sekitar area gelap—barangkali ada tempat untuk berteduh.

Ya disana, di bawah jembatan penyeberangan hanya ada sedikit orang yang berteduh. Beberapa halte sudah penuh. Jarak ke tempat tinggalnya masih sekitar 200 meter. Jika dipaksa lari, Renna akan basah.

Belum sempat dirinya berlari ke sana sebuah payung menutup kepalanya. Hujan mampu dihalangi sesaat. Semerbak bau harum parfum tercium diindranya. Renna melihat ke arah samping. Seorang lelaki membawakannya payung. Sosok asing yang tak dikenal kini tersenyum hangat padanya.

"Bawalah payung ini. Aku akan naik bus." ucap lelaki itu menyerahkan payung pada Renna.

Jelas Renna tak langsung menerimanya, dia hanya menatap ragu payung tersebut.

"Gak usah." tolaknya halus.

"Bawa saja. Besok bawa ke kafe tempatmu bekerja. Kembalikan disana. Namaku Dimas." ucap lelaki itu—menawarkan kembali payung dengan rayuan senyuman hangatnya.

Renna ragu. Tapi tak ada pilihan, hujan akan semakin deras. Tinggal beberapa meter lagi dirinya sampai tujuan. Dia mengambil alih payung tersebut. Membiarkan pemiliknya— lelaki tersebut berbalik lalu berlarian menuju halte bus. Meninggalkan Renna yang agak basah di bagian kaki serta pundak.

Perempuan itu segera berjalan menjauh dari sana. Pulang lebih baik untuk sekarang. Hujan makin deras. Payung hanya mampu menutupi kepala dan tak membiarkan tubuhnya basah. Tetapi kaki Renna mulai menggigil. Sepatu sneakers-nya telah basah.

Sesampainya dia di salah satu gang sepi. Renna melihat ke sekelilingnya, rasa takut muncul. Bagaimana jika ada kejahatan mengintai disana. Ia segera berjalan cepat. Rasanya jarak 200 meter sangatlah jauh. Setibanya di gedung kosnya, Renna melepas sepatunya. Membiarkan kakinya yang basah menapak lantai dingin.

Dia menentengnya sampai ke lantai atas—tempat tinggalnya. Tak ada yang berarti. Suasana kos sepi karena sudah malam. Sebagian penghuni pastinya sudah tertidur lelap menyambut mimpi. Renna sampai ke tempatnya tinggal. Kamar yang paling ujung dan bila hujan akan ada sedikit air yang menggenang.

"Ah, hari sial yang panjang." umpatnya dengan bisikan halus. Tak ada yang mendengar ataupun curi dengar.

Renna menaruh sepatu dan payung di rak depan. Beberapa sepatunya basah sedikit. Ia masuk ke dalam kamar yang tak terkunci—Dion sudah pulang. Sebab kunci hanya ada pada Renna dan kekasihnya itu.

Suasana kamarnya berantakan—bahkan sangat. Beberapa barang seperti kasur yang terbalik di dipannya. Sprei dan selimut yang berantakan. Suara ribut karena benda berjatuhan terdengar. Renna menuju sumber suara ribut itu.

Ternyata Dion yang menjatuhkan beberapa buku dan pakaian. Lelaki itu seperti mencari sebuah benda dengan serius. Nampak semuanya kacau.

"Apa yang kamu cari?" tanya Renna membuat lelaki itu kaget.

"Aku lagi cari sesuatu yang penting." ucap Dion yang masih sibuk. Bahkan lembaran koran alas pakaian di lemari ia balik.

Semua kacau. Kamarnya tak ubahnya kapal pecah. Renna mengambil nafas panjangnya mencoba menahan emosi. Tapi gagal.

Hari ini begitu melelahkan dan panjang. Dari terlambat hingga saat ini lelakinya—Dion mengobrak-abrik kamar untuk mencari barang yang ia sendiri tak tahu.

"Kamu kan bisa minta bantuanku. Kamar ini jadi berantakan, aku capek." Renna mulai mengeluh berharap kekasihnya ini paham. Tapi yang ia dapat hanya suara geraman kesal Dion.

"Ya besok aku bantuin beresin." ucap Dion yang masih sibuk mencari.

"Kamu cuma bohong. Setiap selesai berantakin tinggal pergi."

Dion berbalik dan mengumpat. "Sialan! Aku sedang sibuk!" ucap lelaki sambil memandang Renna dari atas sampai bawah.

Hari ini Renna memang sengaja membawa tas ransel yang cukup besar. Buku-bukunya begitu banyak. Dion melihat ke arah tas ransel Renna.

"Pasti disana. Serahkan perhiasan kamu."

Renna membulatkan matanya. Tak percaya jika yang di cari lelaki itu adalah seperangkat perhiasan miliknya. Perhiasan emas pemberian ibunya untuk berjaga di kota. Renna menggeleng cepat.

"Tidak! Ini penting." ucapnya yang langsung memeluk tas ransel. Duduk jongkok di bawah agar lelaki ini sulit menariknya.

Dion agak melunak. Memandang perempuan di depannya. Kelicikan muncul dalam benaknya. "Serahin aja. Itu buat bisnis. Kita jual dan mulai bisnis. Biar utang cepet lunas."

Renna diam sesaat. Sudah berapa kali ia dirayu semacam ini. Ya, tidak sekali dua kali. Bahkan beberapa hutang ke rentenir juga ia katakan untuk bisnis namun nyatanya untuk gaya hidup seperti baju harga mahal sampai menyewa mobil untuk dipamerkan. Renna menutup matanya. Memblokir setiap rasa marahnya—namun gagal.

Darahnya mendidih. Panas dan sesak terasa di dada. Sudah lama ia selalu seperti ini. Renna tertawa miris cukup lama membuat Dion heran.

"Kamu lelaki terbrengsek dalam hidupku!" ucap Renna pelan. Menbuat keterkejutan Dion. Tak percaya wanita di hadapannya mengucapkan hal itu.

Renna menatap Dion dengan tatapan nyalang. Ia begitu marah saat ini. Dibohongi beberapa kali ia tetap percaya. Dion sudah merampas semua miliknya termasuk mentalnya. Renna lelah sangat lelah.

"Apa maksudmu?" tanya Dion marah.

"Ya, kamu lelaki brengsek. Mengambil semuanya. Hartaku. Harga diriku. Mentalku. Kamu hancurin semua. Dua tahun aku bertahan sama kamu tapi kamu malah semakin hancurin aku! Bisnis katamu? Itu yang selalu kau bilang saat mau minta uang. Tapi apa? Nihil. Kau mau bilang gagal? Tidak. Uang itu kau gunakan untuk menyewa mobil mewah untuk pamer. Lelaki sialan!" bentak Renna dengan tangisannya. Pecah sudah segala emosinya.

Dion mendengus sesekali. Meludah ke samping. "Terus apa maumun sekarang?" tanya lelaki itu sambil menahan kesalnya

"Kita akhiri sekarang!" bentak Renna.

"Kita bisa omongin baik-baik." rayu Dion.

"Tidak, kali ini aku beneran pengen putus. Kamu orang yang toxic!"

"Toxic? Kita jalanin berdua. Kamu pikir gak toxic juga? Orang yang taunya minta duit buat bayar utang. Itu kan utangmu!" bentak Dion dengan nada lebih keras.

"Tapi uangnya buat kamu. Kamu yang ngerayu aku buat hutang. Katamu bisnis? Tidak semua itu untuk pamer. Sialan!" Renna sudah begitu lelah dan hari ini dirinya tak ingin tambah semakin terpojokkan.

"Kamu mau aja dibodohin. Cih." Dion meludah ke arah baju Renna. Harga diri wanita ini begitu hancur.

"Lelaki brengsek!" bentaknya lagi. Ia sudah tak peduli jika beberapa tetangga kos mendengarnya adu mulut seperti ini.

Dion mendengus kesal. "Baik, jika ini maumu! Kau adalah pelacur bagiku. Murahan!"

Ucapan Dion bagai petir di telinga Renna. Tak pernah ia sangka akan ada ucapan seperti ini. "Mau aja nyerahin keperawanan sama harta? Mau aku sentuh setiap hari padahal bukan istriku? Kamu pikir kamu suci dan benar? Kamu juga kotor!" ucapan demi ucapan Dion begitu menyakitkan.

"Pergi!" usir Renna menunjuk pada pintu yang terbuka lebar.

Dion mendengus kesal. Lelaki itu memilih pergi. Menutup pintu dengan suara debuman keras untuk meluapkan amarahnya.

Meninggalkan Renna yang merenung lalu meraung. Dia menangis. Tubuhnya lelah apalagi hatinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status