Share

Bab 2 Memutus Tapi Meninggalkan Beban

Bab 2

Selang kepergian lelaki itu—Dion. Suasana kembali senyap tak ada bisik-bisik lagi. Renna yakin beberapa tetangga tadi keluar melihat pertengkaran mereka yang kali ini cukup hebat. Renna memutuskannya bukan karena foto tadi siang—yang ditunjukkan Lea.

Sudah beberapa malam dia tidak bisa tidur karena merasakan sakit di tubuh dan hatinya. Luka di tubuh dapat sembuh tetapi tidak dengan luka di hatinya. Dia mencari jawaban kenapa rasanya sangat sakit. Sesak dan perih, luka semacam ini tak berdarah namun sakitnya bisa sangat lama. Menimbulkan kecemasan yang cukup panjang serta menurunkan kepercayaan diri. Rasa keberhargaan yang kurang. Perasaan yang menggerogoti Renna dalam kurun waktu lama. Dia hanya merasa perlu melakukannya— memutus hubungan setelah terbelenggu cukup lama dalam kecemasan. Mencoba bebas dari perasaan sakitnya.

Dia mengusap matanya yang masih agak basah. Merapikan rambutnya yang berantakan. Meletakkan ransel yang sempat ia peluk ke lantai—ransel berisi perhiasan yang ia bawa kemana-mana karena takut Dion akan mengambilnya.

Renna berjalan untuk menutup pintu kamarnya, menemukan kunci kamar yang dilempar Dion sesaat sebelum keluar. Mengambilnya lalu mengunci kamar. Lelaki itu akan pergi selamanya dan tak kembali. Kunci sudah diserahkan kembali pada Renna—meski dengan cara kasar.

Setelah dia berbalik, Renna menghela nafasnya panjang. Memandang kamarnya yang sangat berantakan. Pakaian di lemari keluar semua. Buku-buku pelajarannya juga tak berbentuk bahkan ada yang seperti lembaran. Kasurnya masih seperti saat ia masuk—terbalik. Rasanya sangat lelah untuk membereskan semuanya sekarang. Tapi jika ditinggal dan tak dibereskan sekarang maka esok hanya tambah berantakan.

Renna mengambil beberapa benda untuk dikembalikan pada posisi semula seperti sandal kamar serta sapu di pojokkan belakang pintu. Dia mulai dari merapikan tempatnya tidur. Mengembalikan kasur dan memasang sprei seperti semula dengan rapi. Dilanjutkan dengan buku-buku yang jatuh, memungut lembaran yang keluar. Buku catatannya sudah amat berantakan bentuknya bahkan beberapa tampak lusuh karena cengkeraman. Dan terakhir lemarinya, dia mulai dari mengembalikan posisi kertas koran untuk alas pakaian. Mengambil seluruh pakaian yang berserakan di lantai ke kasur dan mulai melipat semuanya. Mata perempuan ini sudah amat sendu dan mengantuk. Ia merasa lelah untuk hal yang dialami seharian, pulang dalam keadaan agak basah dan sekarang kamarnya berantakan. Bahkan luka di pundaknya terasa nyeri sesekali.

Semua gara-gara Dion mencari perhiasan miliknya. Entah kapan lelaki itu mengetahuinya, sebab Renna sendiri tak pernah bilang memiliki perhiasan tersebut. Perhiasan yang diberikan ibunya beberapa bulan lalu saat pulang kampung untuk menjenguk ayahnya. Beliau berpesan agar menjadikannya investasi di kota atau menutup kekurangan selama disini.

Memang insting seorang ibu itu baik, beliau mengetahui keadaan putrinya tanpa harus bertanya. Apalagi saat pulang kampung kemarin dia dalam keadaan tak baik—sangat. Sebab pikirannya kacau karena hutang yang terus dikejar untuk dilunasi. Belum lagi Dion yang tak bisa dihubungi setelah bermain judi dengan jaminan ponsel Renna tanpa diketahui olehnya.

Renna mengusap air matanya yang mengalir bebas. Ia sangat merasa bebas sekarang tapi semua kosong. Sakit yang ia lalui membuatnya menangis. Ternyata butuh waktu cukup lama untuk sadar.

"Sial! Brengsek!" umpat Renna merasa dirinya sangat tak pantas. Renna terus mengingat perkataan Dion yang menghinanya tadi.

Apakah merasa suci? Tidak.

Apakah merasa dirinya baik? Tidak.

Mau disentuh? Ya. Tapi kau yang memaksa brengsek.

Banyak dugaan yang tak habis dalam pikirannya . Umpatan-umpatan yang tertunda. Renna mengusap air matanya lagi—rasa panas dan sesak terasa di dada hingga membuatnya sedih namun tak tahu alasannya.

Kosong? Iya. Perasaannya seketika kosong entah harus bersyukur atau sedih. Lepas dari belenggu lelaki itu tetapi ia harus belajar hidup tanpa orang yang menemaninya selama dua tahun.

Renna telah usai melipat pakaiannya yang tak banyak. Memasukkan kembali ke dalam lemari. Menatanya hingga rapi. Setelah usai, Renna melihat ke penjuru kamar. Tinggal besok menyapu dan menata piring kotor.

Sudah pukul setengah sebelas malam. Dia belum sempat mandi, ingin rasanya langsung tidur tapi tubuhnya tadi agak basah, bajunya tentu kotor. Renna masuk ke kamar mandi untuk menyalakan kran dan mengisi ember. Bukan mandi, ia hanya membasuh wajah serta menyikat giginya. Mengganti pakaian yang lebih kering dan hangat. Dia tak menangis selama beberapa saat.

Ketika tubuhnya mulai direbahkan dan berselimut. Renna mulai menangis, dia menutup mulutnya yang terisak dengan guling yang ada—membekap agar tak terdengar suara tangisnya. Memeluk guling erat. Rasa sakit menggerogoti hatinya lagi. Semua, kenangan tentang Dion hadir. Kenangan terburuk yang pernah ada melintas. Semua janji yang terucap dan tak akan pernah terpenuhi kembali ia ingat. Pertemuan mereka hingga detik ini.

Lelaki yang mengambil keperawannya itu berubah setelah ia menyerahkan tubuhnya. Tak berperilaku semanis dulu. Renna menutup matanya. Berusaha memblokir ingatan malam itu. Kenangan terburuk kala lelaki itu memaksanya dalam kondisi mabuk. Matanya sudah sembab karena menangis. Air mata sudah mengering hingga tak sanggup lagi keluar dari kedua netra kosongnya. Setelah merasa sangat lelah menangisi semuanya Renna menutup mata untuk tidur. Beristirahat dari panjangnya hari yang menyakitkan.

"Dia brengsek." Ucapnya sebelum matanya benar-benar tertutup. Berharap dunia membiarkan dia beristirahat untuk malam ini. Melupakan rasa sakit yang ia alami dalam jangka panjang.

Tidur meringkuk dengan selimut yang membungkusnya rapat. Bantal dan gulingnya tampak basah karena air mata.

***

Hari ini dia tampak lesu. Matanya sembab dan berkantung, lingkaran hitam tampak jelas di mata perempuan berusia 20 tahun itu. Dia belum bangun dari tempat tidurnya semenjak tadi—sengaja agar tak perlu berangkat kuliah.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Jika memaksa berangkat maka dia akan terlambat seperti kemarin dan menjadi cemoohan lagi. Hanya untuk hari ini, Renna ingin melindungi dirinya. Keadaannya sangat kacau. Ia tak merasakan lapar meski belum makan setelah pulang dari kampus kemarin. Matanya lebih banyak melamun. Menghadap ke arah langit-langit kamar yang lampunya masih menyala.

Renna merasa tak memiliki niat hidup untuk hari ini—merasa kehilangan minat dan semangat. Beberapa kali ia meyakini dirinya baik-baik saja tetapi pikirannya melayang pada perkataan Dion semalam. Lalu setelahnya akan menangis—lagi secara tiba-tiba. Perasaan tak berharga dalam dirinya yang tertanam sejak lama kini tumbuh subur menjadi kecemasan berkepanjangan. Tak ada teman atau kawan yang ingin dihubungi dalam keadaan seperti ini baik Lea ataupun Sasa, dia merasa tak terlalu akrab.

Bagi Renna, teman hanya topeng kepalsuan beberapa orang. Bahkan Sasa dan Lea yang terlihat sering bersamanya. Renna menganggapnya sebagai pelindung dari orang-orang dan formalitas hidup dalam sosial. Mereka memang pernah akrab selama beberapa bulan tapi semua berubah kala Renna mencuri dengar saat kedua orang yang ia anggap akrab membicarakannya. Tepat setelah ia mengatakan menyerahkan keperawanan pada Dion. Mereka menghina dirinya dengan kata bahwa dirinya agak mudah dirayu. Sejak saat itu, Renna membentengi diri untuk tak bercerita banyak.

Bagaimana mereka mengetahui hubungannya tak baik? Dari luka lebam yang terkadang ia dapatkan. Dan kesimpulan mereka adalah Dion bersalah. Tapi tak ada tindakan, kedua orang itu lebih banyak bicara menasihati tanpa tindakan yang dibutuhkan seperti mengajaknya jalan atau memberi bantuan agar lepas dari belenggu tersebut.

Renna mengambil nafasnya. Matanya memerah bersiap untuk menangis lagi. Ingat akan dirinya yang sejatinya kesepian saat berada di keramaian. Tak ada yang benar-benar teman sekarang bahkan orang yang ia pikir akan menemaninya adalah penghancur hidupnya.

Hampir pukul sepuluh dan Renna belum ada pergerakan. Masih ditempat yang sama dan keadaan yang lebih parah. Rambutnya semakin acak-acakan. Beberapa kali terdengar bunyi notifikasi pesan masuk dari ponselnya. Namun tak menarik minat Rennata.

Beberapa saat setelahnya suara pintu diketuk dengan keras terdengar. Bahkan suara tetangga berbisik terdengar ribut di telinga. Orang di depan sana sangat ribut memanggil Renna dengan segala macam umpatan. Kamar kos Renna ini sangat biasa dikelasnya, suara tetangga menonton televisi saja terdengar.

"Hei, sialan! Keluar kau!" panggil suara berat nan kasar itu. Renna yakin suara lelaki.

"Keluar kau! Brengsek!" ucap orang itu lagi. Renna masih dalam kebingungan, menerka siapa yang datang.

Hutangpun sudah lunas seminggu lalu dengan uang gajian paruh waktunya dan ia tak memperpanjang lagi hutang tersebut. Renna diam-diam membayar tunggakan terakhir. Supaya Dion tak mengetahui hutang telah lunas sehingga merasa punya kesempatan berhutang ke rentenir lagi.

Renna mengambil sisir lalu menggelung rambutnya. Berjalan ke pintu yang sangat berisik dengan suara ketukan dan makian. Dia membukanya dengan pelan.

Didepan pintunya tampak dua orang bertubuh kekar dengan tato yang berada di lengan. Pakaian mereka kaos oblong hitam lengan pendek dan celana panjang hitam. Tak lupa sepatu boots warna hitam. Lengkap, semuanya serba hitam. Apalagi raut wajah mereka galak, mencoba menunjukkan sisi sangar— bagi beberapa orang mereka menakutkan.

Renna melihatnya dengan tatapan bingung. Dia jelas mengenal dua lelaki ini. Mereka adalah debt collector dari rentenir tempat Dion sering berhutang dengan namanya. Renna berpikir dengan cepat. Menduga jika Dion kembali berhutang dengan namanya.

"Tagihan pertama!" Ucapan pertama yang Renna dengar dari seorang debt collector di hadapannya. Sudah Renna duga memang Dion penyebabnya.

"Aku tidak berhutang." ucap Renna dengan tenang—lebih tepatnya berusaha tenang. Kaki perempuan ini gemetar merasa ketakutan. Tak tahu jumlah hutang Dion kali ini.

"Pacarmu berhutang ke kami lagi!" bentak salah satu dari mereka.

"Aku bukan lagi pacarnya!"

"Jangan bohong. Kau dan pacarmu sering bersama. Cepat bayar tunggakan pertama kalian!"

Bentakan mereka membuat para tetangga sebelahnya saling melirik dan berbisik. Membicarakan Renna yang selalu berurusan dengan rentenir.

"Tapi aku beneran sudah gak sama dia. Tagih aja sama dia." Renna tak mau kalah. Dia merasa tak memakai uang tersebut.

"Jangan ngaco! Pacarmu bilang itu untuk uang kuliahmu!"

"Tapi aku tak menerimanya!"

Renna dan kedua debt collector tersebut saling tatap lalu berdebat. Renna yang merasa tak menggunakan uang hutang tersebut serta dua debt collector yang sedang menjalankan pekerjaannya—meski Renna akui mereka sangat tak bersahabat ke nasabah.

"Kami tidak mau tahu. Tugas kami menagih dan alamat tagihan ke tempatmu. Bayar untuk setoran pertama senilai 700 ribu!"

Renna semakin bingung, mulai mempertanyakan nominal hutang lelaki itu. Biasanya hutang yang bersifat mingguan ini memiliki nominal tak sampai 500 ribu. Tapi kali ini nilainya dibawah satu juta.

"Kalian ngeyel? Saya bilang tak merasa berhutang." Renna masih teguh dengan ucapannya. Meski ketakutan masih merayap dalam dirinya—merasa takut jika dua orang ini memukulnya.

"Kau tahu hutangnya? 20 juta untuk 9 bulan!" Info salah seorang debt collector dengan nada galaknya. Tak mau kalah dari Renna yang menggunakan nada galak sedikit membentak—sebagai bentuk benteng diri.

"Telepon pacarmu itu, biar kita selesaikan semuanya." ucap salah seorang dari mereka. Merasa iba dan percaya pada perkataan Renna yang berulang tentang tak menggunakan uang tersebut.

Renna masuk ke dalam kamarnya dan mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur. Beberapa pesan tampak pada notifikasi tak dipedulikan oleh Renna. Dia membuka aplikasi bertukar pesan. Memanggil nomor lelaki itu namun hasilnya nihil hanya keterangan memanggil yang terus muncul—yang berarti sedang tak aktif.

Renna memanggilnya lagi berharap kali ini hasilnya beda akan tetapi tak ada perbedaan, masih sama. Nomor tersebut tak aktif. Renna membuka profil lelaki tersebut dan mengirim pesan makian. Namun hasilnya tak ada. Tanda baca disana menunjukkan pesan tak terkirim. Profilnya kosong beserta info.

Ada dua kemungkinan yang terjadi pertama lelaki itu memang benar-benar tak mengaktifkan ponsel. Yang kedua Renna diblokir agar tak bisa menghubunginya.

"Sial!" umpat Renna kesal. Dia mulai merasa khawatir dan takut.

Renna membawa ponsel dan berjalan ke arah dua debt collector yang berdiri di ambang pintu sambil menatapnya galak. Dengan mengumpulkan sedikit keberanian lebih. Jika dirinya diblokir berarti memang sengaja melakukannya agar Renna yang membayarnya bahkan apabila Dion memiliki nomor ponsel rentenir itu sudah pasti ikut menblokirnya. Memutuskan hubungan tapi meninggalkan beban.

"Dion gak bisa dihubungi. Apa kalian bisa menghubunginya?" tanya Renna ragu.

"Kami ke sini karena dia tak bisa dihubungi sama kami!" bentak salah seorang dari mereka.

"Dia berkata ke boss jika kamu akan membayar hutangnya." lanjutnya.

Renna paham. Ini memang sengaja dilakukan Dion. Memutuskan hubungan dengannya lalu meninggalkan hutang sebesar dua puluh juta. Renna melihat sekeliling, penghuni kos tampaknya semakin tertarik dengan keberadaan kedua orang di hadapannya.

"Baiklah, aku akan berusaha menghubungi Dion Jika bisa datanglah kembali besok."

Dua debt collector saling pandang sesaat. Renna mengharap sedikit keajaiban agar diberi kelonggaran hari ini.

"Baiklah kami akan kembali besok. Siapkan uangnya untuk tagihan pertama."

Renna bersyukur dalam hatinya. Merasa senang sedikit—setidaknya ada kelonggaran meski ia tak tahu akan mendapat uang darimana esok hari. Setelah ucapan tersebut mereka pergi dari hadapannya. Renna segera masuk dan mengunci pintu kamar. Tak ingin jadi pusat perhatian para penghuni gedung tempatnya tinggal.

Dia membuka ponselnya lagi. Menghubungi Dion lagi namun hasilnya masih nihil. Lelaki itu benar-benar memutuskan hubungan.

Renna membuka ponsel, barangkali ada yang sedang baik hati mengiriminya pesan tentang lelaki itu tapi nihil—sama sekali tak ada pesan dari teman Dion ataupun temannya yang mengenal Dion. Hanya ada pesan dari nomor yang tak disimpan awalnya Renna berharap itu adalah Dion namun bukan lelaki itu.

Pesan yang dikirim dari seseorang yang tak di kenalnya.

'Hai aku Dimas.'

'Yang payungnya kamu pinjam.'

'Apakah bisa kita bertemu nanti sore di kafe tempatmu bekerja?'

Pesan yang benar-benar membuatnya tak tertarik. Ternyata lelaki yang semalam meminjaminya payung. Renna melibat ke arah payung di pojok kamar. Mungkin tidak bisa ia kembalikan hari ini, dia sedang tak minat bekerja.

Beberapa saat kemudian masuk sebuah pesan berupa gambar dari Lea. Gambar yang menunjukkan Dion sedang bersama perempuan kemarin di lokasi yang sama. Renna memperbesar foto dan melihat tanggalnya.

Hari ini, 5 menit yang lalu!

"Sialan! Brengsek!" umpat Renna membanting ponselnya ke atas kasur. Seketika tubuhnya luruh. Perlakuan Dion memang sangat menghancurkannya.

Ia tertawa miris dengan bibirnya tapi air matanya mengalir.

Renna mengetik pesan balasan pada Lea.

'Dimana tempatnya?'

Tak butuh waktu lama untuk balasan pesan dari Lea.

'Cafe In The Morning, pusat kuliner. Dekat halte bus jurusan 3C dari tempatmu. Apakah harus aku tunggu?'

Renna menggigit bibirnya. Berpikir untuk membalas perilaku seenaknya Dion.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status