Share

Luxavar, Bangsa Para Atlic

Nod hampir melempar buku itu dari tangannya. Dia menoleh ke arah asal suara. Seorang gadis kecil yang samar-samar diingat Nod saat dia tenggelam kemarin berdiri tak jauh darinya. Anak perempuan berusia sekitar delapan tahun itu mengenakan kemeja putih dengan celana panjang yang juga berwarna putih. Kontras dengan bajunya, sepatu boot hitam setinggi lutut menutupi sebagian kaki kecilnya itu. Kerah tebal membungkus lehernya yang pendek. Rambutnya yang hitam kecokelatan tergerai ke belakang.

“Siapa kau?”  

“Fibrela Greinthlen,” jawab anak perempuan itu. Nama yang agak asing di telinga Nod.

“Di mana orang tuamu, Nak?” tanya Nod lagi.

“Kurasa kau tidak perlu tahu.” Anak itu menjawab singkat.

Nod tergelak. Dia tahu bahwa pasti ada seseorang yang membawanya kemari. Halusinasinya yang kemarin tampaknya belum usai. Dia mencoba mencubit lagi lengannya untuk memastikan ini bukan mimpi.

“Oh ya, kalau begitu coba jelaskan padaku ini di mana?” Nod kembali menguji si anak.

“Kau berada di tempatku,” jawab gadis perempuan itu. “Aku tahu kau Tuan Pender. Kau seorang dokter forensik yang tengah berkelana di negeri jajahanmu….”

“Tunggu dulu, siapa kau sebenarnya?” potong Nod.

“Kau sudah menanyakan hal itu tadi. Apakah kau menderita amnesia jangka pendek?”

“Bukan, maksudku—bagaimana kau bisa di sini?”

“Aku pemilik tempat ini. Menurutmu aku tidak bisa berada di sini?” singgung Fibrela.

Nod merasakan kepalanya berdenyut sekarang. Jangan-jangan Likos benar. Dia tidak tahu apakah dia mulai gila sekarang. Walau dia berharap seperti itu dulu, tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk menjadi gila, karena menjadi gila cukup merepotkan.

“Baiklah. Kalau begitu jelaskan padaku apa maksud semua ini? Di mana aku sekarang dan bagaimana aku bisa berada di sini?” tanya Nod tak berjeda.

Setelah Nod mencurahkan seperenambelas isi pertanyaan di kepalanya, Fibrela tidak menjawab. Padahal satu kata darinya bisa sangat berguna untuk Nod. Dia memilih untuk diam, sampai seorang lelaki tua berjas hitam menghampiri mereka dan berbisik, “Profesor Greinthlen, waktunya sudah tiba.”

Lalu laki-laki berkumis putih yang benar-benar berwujud ini pergi diikuti Fibrela. Sosok Louie yang tadi menemaninya sama persis dengan hologram yang tampak di ruangannya tadi.

Nod kembali bingung, “Profesor? Kau profesor apa? Berapa umurmu?” Nod berusaha menghapus kebingungannya, walau sebenarnya pikirannya sendiri masih berputar-putar. Apa anak-anak zaman sekarang semua seperti ini.

Fibrela berbalik menyeringai ke arah Nod. Namun kemudian, seakan malas menjelaskannya, dia pun beranjak dari ruangan tersebut. Sembari melangkah, dia berpesan kepada lelaki tua di sampingnya tadi. Wajahnya yang berkerut itu memandang tanpa ekspresi. Langkahnya juga sangat kaku. Seakan setiap langkahnya telah diperhitungkan dengan mantap. Pasti dia dilatih bertahun-tahun untuk melakukan hal demikian.

“Kuserahkan dia padamu, Louie,” bisik Fibrela.

“Hei, sandiwara apa ini? Ini bukan lelucon sama sekali. Panggil orang tuamu kemari!”

“Lebih baik Anda tenang dulu Tuan Nod. Itu lebih baik untuk kesehatanmu,” kata orang tua yang bernama Louie tadi.

“Louie? Kau pengasuhnyakah?” tanya Nod.

Lelaki tua tadi tidak menggubris Nod. Dia berlalu bersama Fibrela.

“Tidak, tidak, tidak. Kalian tidak akan membiarkan aku lebih dari tiga jam bersama Louie bayangan ini lagi, kan?” Nod mengelak gusar.

Meski Fibrela tak berbicara padanya, tapi Nod sudah benar-benar ingin mendapakan penjelasan darinya dan keluar dari semua lingkaran kebingungannya ini.

“Fibrela! Jangan tinggalkan aku di sini,” pinta Nod.

Permintaan tadi ternyata bisa menghentikan langkah Fibrela, “Kurasa memang kau lebih baik ikut denganku. Kalungkan ini!” perintah Fibrela sambil melempar benda berwarna perak berkilat dari sakunya. Ada pengait yang bisa disangkutkan di leher Nod. Cukup berat untuk ukuran sebuah kalung.

“Jangan kau lepaskan jika kau tidak mau hal buruk terjadi padamu.”

Itu saja yang dikatakannya. Nod memperhatikan kalung berliontin perak dengan emblem yang tidak dia mengerti. Tetapi ketika mengalungkan benda itu, dia merasakan tubuhnya lebih ringan. Ada gelombang tak tampak yang bergetar dari kalung tadi yang merambat ke kedua kakinya.

Nod menurut, mengalungkannya di leher, dan mengikuti Fibrela keluar dari pintu di balik lukisan Pedesaan-Ajaib itu. Lukisan itu bergeser dari tempat seharusnya sampai kira-kira muat untuk dilewati manusia normal.

Baru kali ini Nod bisa melepaskan dirinya dari ruangan aneh yang selama ini menjeratnya. Pemandangan ini sangat asing baginya. Awan mereka berwarna merah jambu. Dengan berbagai jenis benda terbang yang melintas di langitnya. Dari tempatnya berdiri, Nod bisa melihat sebuah jalan di hadapannya lurus ke depan. Jalan ini mengarah ke sebuah perkotaan di kejauhan. Meski mataharinya bersinar terang, hawa yang menyelubungi mereka tak sehangat yang dibayangkan. Udaranya sejuk. Sesejuk udara di lereng gunung.

“Tapi aku yakin ini bukan pemandangan yang kulihat tadi,” ucap Nod. Dia ingat betul pemandangan dari balik jendela yang dilihatnya dari pembaringannya tadi.

“Ya. Aku menjalankan xeflenya untuk membawamu kemari,” jawab Fibrela tanpa menoleh.

Nod melirik ke arah benda yang tadi dikiranya rumah itu. Ternyata ruangan itu memang bisa dipindah-pindahkan. Ada roda yang bisa dikendalikan di bawahnya. Mereka menyebutnya xefle. Tampaknya setiap rumah di dunia ini bisa dipindah-pindahkan seperti itu. Nod tak mau memikirkannya lebih jauh karena hal itu hanya akan membuatnya semakin pusing.

Fibrela membawanya melangkah di jalan yang bertekstur rata. Tak ada mobil atau kendaraan apa pun yang melaju di jalan tersebut. Pemandangan kota terlihat dari tempat mereka berdiri.

“Kau meninggalkan xe…flemu di sana?” tanya Nod bingung.

Xefle tidak boleh dibawa masuk ke Mercendia,” jawab Fibrela singkat.

Tidak perlu waktu yang lama bagi mereka untuk sampai ke jalur utama yang terarah langsung ke pusat kota. Banyak pejalan kaki yang berlalu lalang di jalan yang sama dengan mereka. Semua orang tampak tak saling peduli satu sama lain. Pakaian mereka rata-rata senada dengan yang dikenakan Fibrela.

Ada terowongan kaca tak beratap yang mengarahkan mereka menyusuri jalanan di perkotaan itu. Menara dan bangunan menjulang di mana-mana. Terowongan itu berada di atas kereta yang melaju kencang di bawahnya. Sekeliling mereka ditumbuhi berbagai tanaman. Sebagian besar tidak dikenal oleh Nod. Ada jalan yang mengarahkan setiap orang menuju ke bangunan-bangunan besar di sepanjang jalan.

Jalur yang mereka tapaki sekarang disuguhi pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Nod sempat mengamati permukaan tanah yang dipijakinya selama beberapa detik. Tidak ada aspal atau semen yang biasa dia temui di daratan, jalanan itu sepertinya terbuat dari serat logam yang memiliki fungsi serap dan fungsi redam terhadap hantaman keras. Cahaya terang juga berpendar dari dasar jalanan.

“Kau akan mengutuk tanah itu jika kau bukan atlic,” bisik Fibrela sambil tetap berjalan.

Nod belum mengerti ucapan Fibrela barusan dan tidak berniat bertanya lebih lanjut. Perhatiannya teralihkan oleh tulisan-tulisan di dinding penyangga jalan. Dinding kaca yang menutupi jalan tersebut memancarkan gambar yang bisa bergerak. Kadang-kadang ada deretan tulisan yang muncul atau suara yang berbunyi dari sana. Setiap bagian menyajikan gambar yang berbeda.

JALUR FRASA 1 SEMENTARA DIALIHFUNGSIKAN MENJADI JALUR DISTRIBUSI ROKERN. MOHON TIDAK MEMARKIRKAN YUNISH DI KAWASAN FRASA 1. PERHATIAN KEPADA PARA ATLIC YANG TERHORMAT, JALUR FRASA 1 SEMENTARA DIALIHFUNGSIKAN MENJADI JALUR DISTRIBUSI ROKERN, MOHON TIDAK MEMARKIRKAN YUNISH DI KAWASAN FRASA 1.

Dan seluruh penjuru kota seperti digemakan oleh pengumuman tadi. Walau Nod tidak sepenuhnya paham dengan kalimat yang disampaikan berita tadi, dia tetap melanjutkan perjalanannya. Fibrela akan memberitahunya bila itu memang dibutuhkan—seharusnya begitu, kan?

Selang beberapa detik layar tadi kembali berganti. Kali ini tampaknya gambar yang muncul adalah iklan makanan. Torri Gluka, nama yang jelas belum pernah didengarnya di dalam mimpi mana pun.

Mereka terus berjalan melewati beragam iklan lainnya. Ada video yang menampilkan iklan aneh lainnya. Rokern, sebutan untuk robot berwujud manusia yang ada di dunia ini. Berbagai penampilan ditunjukkan sesuai dengan keinginan pemesan. Bahkan iklan barusan menampakkan model terbaru pakaian untuk manusia kaku tersebut. Jaring-jaring dengan mutiara dan bulu bertebaran di sebagian baju yang menutupi rokern tadi. Awalnya Nod mengira mereka menjual pakaian anjing pudel.

“Fibrela,” panggil Nod.

Anak perempuan itu berbalik.

“Apakah Louie juga salah satu dari mereka?” tanya Nod penuh keraguan.

Fibrela mengangguk. “Louie lebih istimewa ketimbang para rokern abal-abal yang dikeluarkan mereka.”

“Abal-abal?” gumam Nod makin bertanya-tanya. Dia hendak kembali bertanya, tapi Fibrela terlihat sudah berjalan tiga langkah mendahuluinya.

Dia mencoba mendekati Louie. Nod lupa kalau Louie itu bukan manusia. Ada desingan lembut ketika Louie menggerakkan lehernya—menoleh ke arah Nod. Fibrela juga langsung memandang Nod tajam saat tahu kakek tua kesayangannya didekati oleh Nod.

Louie memang selalu mengikuti ke mana pun Fibrela pergi. Mungkin itu yang membuatnya istimewa. Namun seharusnya dia membuat rokern yang lebih tampan, atau rokern berwujud peri sekalian, pikir Nod. rokern itu tua dan jelek. Kumisnya bahkan sudah beruban. Kulit wajah pun keriput.

“Kita harus cepat, Nod.” Fibrela kembali mendesak Nod yang tengah bingung mencerna segala jenis pemandangan yang terpampang di sekelilingnya.

Terowongan kaca tadi juga melewati sungai besar yang membelah kota tersebut menjadi dua bagian yang terpisah. Airnya yang biru memalingkan tatapan Nod dari dinding berita. Ada jalan menurun yang bisa mereka lalui bila ingin ke tepi sungai. Pepohonan memadati sekeliling sungai, bahkan hingga ke setiap sela bangunan. Kota ini seperti kota yang didambakan Nod dalam mimpinya.

Tatapan takjub yang diekspresikan Nod memancing kegelisahan Fibrela. Dia meraih lengan Nod agar mempercepat langkahnya. Dia tak ingin para atlic yang berlalu lalang di jalanan ini mencurigai mereka.

Mendadak bayangan hitam melintas di langit. Cahaya benderang tersebut silih berganti diliputi gerombolan makhluk hitam. Nod tak bisa menerka makhluk yang tengah berterbangan di atas sana. Dia tidak pernah tahu ada benda semacam itu.

Beberapa detik kemudian, terdengar suara dentuman tak jauh dari tempat mereka berdiri. Suara keras tadi disusul oleh ledakan beruntun di balik bangunan pencakar langit di sampingnya. Asap hitam mengepul dari balik bangunan tersebut.

Cerecza!” pekik orang-orang di sekeliling Nod.

Semua kalang kabut mencari perlindungan. Seluruh penghuni jalan berlari terbirit-birit mencari jalan keluar.

“Nod!” Fibrela menarik tangan Nod menjauhi kerumunan. Dia langsung mengarahkan jalannya menuruni terowongan menuju ke tepi perairan.

Nod menoleh heran. Apa yang membuat semua orang begitu cemas? Mungkin sosok hitam yang bertebaran di langit tersebut adalah Cerecza.

“Gerombolan Cerecza sedang melakukan patroli,” bisik Fibrela setelah mereka berada di tempat yang agak tersembunyi. Pohon besar menaungi sebagian tanah berumput di tepi sungai.

Sekali lagi Nod menatap sekeliling tempat tadi terkesima. Dia nyaris lupa betapa hal tersebut membuat Fibrela amat ketakutan.

“Nod, kita harus bersembunyi!” tukas Fibrela.

Tapi terlambat. Salah satu makhluk berwujud robot tadi sudah meluncur tepat ke hadapan Nod.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status