Share

Cerecza

Nod diam tak berkutik. Makhluk yang terlihat berterbangan di langit merupakan robot berukuran dua kali lipat tubuhnya. Dia menunggangi motor tak beroda yang membuatnya tetap melayang rendah di depan Nod.

Fibrela nyaris tak bernapas, sementara Nod hanya bisa menatap robot tadi memelas. Cerecza menjulurkan kepalanya lebih lekat ke hidung Nod. Kelihatannya dia tengah membaca setiap lekukan dan gerak-gerik Nod dengan saksama. Fibrela memberinya isyarat untuk tetap tenang. Jemarinya masih menggenggam erat pergelangan tangan Nod.

Jantung Nod berdegub kencang. Dia berharap robot mengerikan di depannya tidak bisa mengendus identitasnya. Walau dia tidak pernah tahu apa yang bisa dilakukan robot semacam ini terhadapnya, penampakan wajah yang berlapis logam dengan mata bercahaya merah tanpa mimik itu sudah cukup membuat Nod menyimpulkan dia bukan rokern ramah seperti Louie. Belum lagi sekujur tubuh robot itu tak lain adalah senjata yang bisa melepaskan berbagai macam tembakan. Nod tak lagi ingin meneliti lebih jauh sosok menyeramkan di depannya ini.

Tatapan dingin Cerecza berhenti saat melihat mata kalung yang dikenakan Nod. Setelah beberapa detik melakukan pengamatan, makhluk itu pun meninggalkannya.

Keduanya menghela napas yang sejak tadi sudah ditahan. Fibrela kembali merenggut tangan Nod memasuki terowongan bawah tanah.

“Siapa mereka sebenarnya?” tanya Nod.

Cerecza. Dia sejenis rokern yang diciptakan untuk menangkap penjahat yang berkeliaran di Luxavar. Seharusnya mereka berada di Pegunungan Krekein,” jawab Fibrela.

“Kenapa dibiarkan berkeliaran di sini?”

“Kurasa para Kanselir yang mengutus mereka.”

Jalan yang mereka tempuh adalah jalur yang mengarah ke kereta bawah tanah. Tapi mereka tidak masuk ke pintu masuk untuk ke bawah sana. Fibrela melangkah ke jalan yang melewati aliran sungai besar di atas sana.

“Apakah mereka akan menangkapku jika tahu aku bukan… atlic?” tanya Nod seraya memandang dinding terowongan yang sama terangnya seperti di bagian permukaan. Iklan dan deretan berita muncul seperti jalan di bagian atas tadi.

“Shht!” desis Fibrela. “Jangan banyak berbicara!”

Para atlic yang baru mengungsi dari jalanan di atas juga turut melewati jalur yang sama. Hal itu membuat Fibrela harus menjaga setiap kata yang keluar dari mulut Nod.

Mereka diam sepanjang perjalanan. Tidak ada hal menarik selain iklan-iklan di terowongan yang menampilkan produk secara berulang-ulang. Bahkan belum ada berita tentang penyerangan yang baru saja terjadi di dekat mereka itu. Nod juga tidak bisa asal berbicara lagi. Fibrela bukan orang yang bisa diajak berdiskusi dan anak itu juga kelihatannya sangat dingin.

“Dengan semua kecanggihan ini, tidak adalah alat yang bisa membawa kita lebih cepat ke tempat tujuanmu?” tanya Nod. “Lagian kita mau ke mana sebenarnya?”

Fibrela diam dengan tetap menekuri gelang di tangannya yang bisa mengeluarkan gambar tiga dimensi di hadapannya. Di sana terlihat beberapa grafik yang begitu statis. Ada angka-angka yang timbul setiap dia menjentikkan gambar tersebut. Sesekali Fibrela bercakap dengan orang-orang di depannya dengan alat yang sama.

“Apa nama benda ini?” tanya Nod pada Louie.

“Kami menyebutnya miliceri,” jawab Louie.

Nod memandang berkeliling dan bisa melihat setiap atlic yang berjalan bersama mereka juga melakukan hal yang sama. Justru Nod makin terlihat seperti makhluk asing karena tidak membawa benda seperti mereka.

Langkah mereka baru terhenti saat mereka sampai di ujung terowongan. Mata Fibrela beralih dari alat yang mereka sebut sebagai miliceri itu. Dia memilih jalan di sebelah kanan yang langsung diikuti oleh Nod dan Louie. Mereka keluar ke tanah lapang yang kini sudah ada di seberang sungai. Fibrela tetap berjalan menyusuri tanah lapang tersebut, memasuki salah satu bangunan megah di depan sungai. Tangga lebar menyambut pintu masuknya.

Gerbang besar terbuka menyambut ratusan atlic dan rokern yang berlalu di tempat tersebut. Gedung yang mereka masuki berupa bengkel raksasa bertingkat yang ditempati pesawat kecil yang memenuhi langit dunia bawah laut ini.

Tulisan besar ‘YUNISH’ terpasang di bagian atas gerbang tadi. Pesawat di tempat ini berbentuk seperti ikan paus versi obesitas. Walau gemuk, benda tadi dapat terbang seperti pesawat tempur.

Fibrela melangkah ke salah satu yunish yang terparkir rapi di lantai paling bawah. Benda berwarna putih dengan kaca besar menutupi bagian depan yunish tampak mengkilap dan bersih.

“Aku baru memodifikasi ulang yunishku.” Fibrela terlihat girang dengan mainan baru di depannya.

Itulah alasan mengapa mereka harus berjalan sejauh ini dari ujung jalan utama Mercendia hingga ke tempat ini. Anak itu sedang melakukan perbaikan pada ikan paus terbangnya ini.

“Dengan yunish kita bisa menjelajah Luxavar lebih mudah,” timpal Fibrela. Sepertinya dia senang bisa kembali menggunakan kendaraan itu lagi.

Pintu samping yang tembus pandang terbuka disambut oleh dua deret tempat duduk super empuk di dalamnya. Kendaraan futuristik yang mungkin baru bisa Nod nikmati seratus tahun lagi ini ternyata bisa dimiliki secara pribadi. Tajir juga si Fibrela, pikir Nod.

Dengan cepat mereka sudah mengudara di langit-langit yang berwarna merah jambu itu. Nod duduk tanpa bisa berkata-kata. Dia pernah merasakan terbang dengan pesawat komersil beberapa tahun lalu, tapi ini sungguh berbeda. Tidak senyaman dan semenakjubkan ini. Dia terkesima menatap pemandangan kota yang terhampar di bawahnya itu. Fibrela sedikit melakukan manuver memutar agar Nod memiliki kesempatan untuk bisa melihat lebih lama. Louie duduk tegap di belakang mereka tanpa ekspresi—seperti biasa.

Selang beberapa menit, Fibrela kembali mengarahkan yunish tersebut turun. Alat kemudinya hanya berupa roda elastis yang bisa dinaikturunkan sesuai keinginan pengemudi. Nod bahkan bisa mencobanya, sebab alat kemudinya bisa dipindahkan ke semua penumpang.

Pesawat berwujud ikan paus tadi terbang rendah menuju ke sebuah gedung berbentuk limas segi enam terbalik. Jadi, bagian bawah yang lebih runcing itu menjadi penyangga gedung. Sekeliling bangunan terdapat kolam, lengkap dengan tanaman airnya. Warna dasarnya yang kebiruan terpantul sempurna ke dinding gedung yang mengilap.

 Tepat di dasar air tadi berpendar cahaya yang bertuliskan ‘FARMASI DAN BIOTEKNOLOGI BALOROP’.

Mereka mendarat mulus di atas tanah lapang di sisi gedung bagian depan. Pintu segi enam terbuka lebar menyambut mereka. Setiap atlic yang masuk ke dalam menunjukkan punggung tangannya ke alat pendeteksi berupa rokern menjaga.

“Kau bekerja di sini?” tanya Nod.

Fibrela tak menjawab, melainkan tetap berjalan memasuki pintu utama gedung tersebut. Di kedua sisi jalan masuk terdapat deretan bunga kristal raksasa. Air yang sama seperti di bagian luar juga menggenangi bagian dalam bangunan tersebut. Bunga besar tersebut masih menguncup.

Ketika Fibrela berdiri di salah satu bunga, seseorang menyapanya.

“Profesor Greinthlen, selamat datang,” ucap anak laki-laki yang berusia sekitar sepuluh tahun. Rambutnya yang panjang dan licin dikucir ke belakang dengan rapi. Dagunya tirus dan tatapannya tajam. “Kau mau ke podium tas Kaltor?”

Fibrela menyunggingkan sedikit senyum. Goresan senyum yang dingin yang selalu ditunjukkannya pada sebagian atlic di dunia ini.

“Aku mau bertemu Paerovy.” Fibrela berkata sambil menerawang ke segala arah. “Kau tahu di mana dia, Edvard?”

“Ah ya, tentu saja,” jawab anak bernama Edvard tersebut. “Dia masih mengajar di lantai dasar.”

“Sampaikan kalau aku menunggunya di Herborium,” kata Fibrela.

Kemudian dia mendekati salah satu kuncup bunga yang paling dekat dengannya. Dengan cepat Fibrela menyanyikan dua bait lagu.

Pada awalnya, Nod heran dengan tindakannya. Namun dia mengerti setelah melihat sebagian besar atlic di tempat ini melakukan hal yang sama. Tampaknya itu salah satu kode yang dibutuhkan untuk memasuki tempat tertentu di gedung tersebut.

Balorop! Oh, Balorop sang poros peradaban dunia.

Berputarlah, matahari ‘kan menjemputmu di timur!

Tak berapa detik setelahnya, mahkota bunga berwarna merah yang menguncup itu  pun perlahan merekah. Salah satu mahkota terjulur lentik ke pinggir kolam membentuk jalan masuk ke bagian  dalam bunga.

Fibrela masuk diikuti Nod. Setelah mereka berdiri di dalam, bunga itu kembali menguncup. Seluruh kelopaknya mengurung mereka yang berada di dalamnya. Kini mereka bertiga tepat berada di dalam perut sebuah bunga.

“Aku tidak tahu kau bisa bernyanyi.” Nod menyindir halus.

“Lebih baik kau hafalkan lagu tadi,” timpal Fibrela sambil berlalu setelah mahkota bunga yang mereka tumpangi bergerak sesuai dengan tujuan Fibrela. Ada tombol bercahaya yang menempel di salah satu dinding yang mengindikasikan tempat yang bisa mereka tuju.

Bunga tadi mengantar mereka menuju ke sebuah ruangan yang tidak berlantai. Benar-benar tidak ada tanah, alas, atau apa pun yang bisa dijadikan pijakan. Tapi Fibrela bisa tetap berdiri dengan stabil di atasnya. Nod tak berani menebak apakah jalan yang tidak tampak itu benar-benar bisa dilalui. Dengan penuh keraguan, dia melangkah.

Nod tidak pernah melihat ruangan dengan bentuk semacam ini, meskipun dalam mimpi. Nod berdiri kikuk karena lantai yang diinjaknya tidak berbentuk, berwarna, ataupun lebih parah—tidak ada tanda kalau itu lantai. Mereka seperti berjalan di udara. 

“Kenapa begitu lamban?” tanya Fibrela tersenyum geli melihat Nod kesulitan memilah langkahnya.

Tempat tersebut adalah ruangan yang dikelilingi juluran tanaman di setiap sisinya.

“Apa usahnya membuat lantai?” tanya Nod sangsi.

“Kami tidak membuat lantai karena kami tidak membutuhkannya.”

Nod tak membantah. Setelah beberapa menit berjalan menyusuri tempat tadi, dia akhirnya terbiasa. Dia merasa seperti berada di taman bermain tiga dimensi ketimbang pusat riset dan observasi.

Tiga atlic berdiri tak jauh dari tanaman yang sudah berbuah dengan biji berwarna ungu kemerahan. Nod tak dapat menebak jenis tanaman tersebut. Dia hanya bisa mengamati para atlic yang tengah menyiangi setiap biji dari tanaman unik tadi.

Semua atlic langsung menghadap ke Fibrela ketika menyadari kedatangannya.

“Profesor Greinthlen, ada kebutuhan menyenangkan apa Anda kemari?” sapa salah satu pekerja di tempat tersebut.

Belum sempat mereka menghapus senyum manis mereka, tatapan garang langsung terhunus dari bilik mata Fibrela.

“Bagaimana bisa Orchixfilgh itu jadi layu? Kalian tahu berapa banyak nektar yang harus hilang karena ketidakbecusan kalian merawatnya?” cecarnya dengan suara tinggi.

Seisi ruangan hening. Tampaknya kemarahan anak itu kembali memuncak. Bahkan atlic yang berusia dua kali lipat darinya sampai merunduk tak berkutik.

“Aku tidak akan memvalidasi laporan bulan ini jika orchixfilgh itu tidak mekar di akhir minggu,” tegas Fibrela. “Dan kau Garix, aku tidak bisa mempertahankanmu lagi di Balorop. Kau bisa berbenah sekarang.”

“Tapi Profesor Greinthlen… beri aku kesempatan sekali lagi,” ucap atlic laki-laki bernama Garix tersebut. Usianya masih sebaya dengan Fibrela. Wajahnya langsung memerah saat Fibrela akhirnya memutuskan hubungan kerja dengan anak tersebut.

“Kau sama sekali tidak pantas mendapat pengampunan lagi. Aku tidak mau menerima laporan rekayasamu lagi. Pergilah sebelum aku meminta rokern menyeretmu dari tempat ini.” Fibrela berkata dengan lugas. Salah satu tangannya terulur ke arah atlic malang itu.

Garix melepaskan pin kecil yang menempel di pakaiannya dan menyerahkan benda tadi ke Fibrela dengan wajah berang. Dia tak lagi memelas setelah Fibrela mematahkan pin tadi menjadi dua bagian. Sekarang atlic tadi resmi bukan lagi bagian dari Balorop.

Nod menatap mereka iba. Bagaimana bisa seorang bocah cilik seperti dia mengancam pekerjanya sampai begitu tak berdaya.

Fibrela berlalu setelah melampiaskan kekesalannya pada ketiga atlic yang tadi tengah menyiangi tanaman berbiji ungu tersebut. Dia melangkah menjauhi juluran tanaman dengan nama rumit tadi dan berlanjut ke tanaman lain di sebelahnya.

Dua atlic tengah memetik tangkai merah pada pohon dengan batang berwarna kebiruan. Tanaman tersebut tidak begitu besar, tapi mereka tumbuh mengelilingi dinding di ruangan tadi. Tidak ada komentar yang keluar dari mulut Fibrela.

Keduanya berlanjut ke jenis tanaman selanjutnya. Setiap atlic akan berbaris menyambutnya seolah ratu. Kengerian tersirat dari tatapan mereka. Sebagian terdiri dari anak-anak berusia 5 hingga 9 tahun. Mereka begitu patuh dengan setiap patah kata yang diucapkan Fibrela.

Tepat di bagian ujung deretan tanaman langka khas negeri antah berantah ini, berdiri sesosok atlic. Dia atlic yang tadi dilihat Nod saat memasuki mahkota bunga. Tampaknya atlic yang dilihatnya di pintu masuk tadi bukan wujud yang asli. Nod tak ingin berpikir lebih panjang.

“Kau masih mau memamerkan tas Kaltor-mu itu, Edvard?” lontar Fibrela terlihat tidak suka dengan desakan Edvard tentang alat baru rancangannya.

“Maafkan saya Profesor, pihak pemasaran perlu telaah dari Anda,” jawab atlic bernama Edvard tersebut.

“Apa peduliku dengan pihak pemasaran?” tukas Fibrela seraya mengamati daun tumbuhan berbuah kuning terang yang tumbuh di dalam pot.

Edvard terdiam. Dia tak membantah perkataan Fibrela. Semua tampak segan dengan anak perempuan itu.

Setelah lama mengacuhkan Edvard, akhirnya Fibrela menoleh ke arahnya.

“Di mana tas Kaltor-nya?” tanya Fibrela masih dengan ekspresi pedas.

Wajah Edvard segera merekah. Dia bergegas menarik kotak besar yang bertengger tak jauh dari mereka. Sejak tadi benda itu terus mengikuti Edvard.

Dengan penuh semangat, Edvard mengeluarkan benda seperti tas ransel besar yang memiliki bantalan di bagian panggul dan perut. Di bagian punggung tas tersebut tergantung sejenis alat yang bisa menyala. Edvard menekan tombol hidup dan bagian dalam dari tas tersebut langsung berdesir halus.

Sebelum Fibrela menggerutu, Edvard langsung mengeluarkan alat sejenis dari kotak besar beroda tadi.

“Ini untuk Anda, Tuan Nod Pender,” ucap Edvard dengan suara yang begitu bersahabat. “Aku jamin, Anda tidak akan melupakan pengalaman menggunakan tas Kaltor ini untuk pertama kalinya.”

Nod menerima benda tadi dengan sedikit tersenyum paksa. Fibrela melihat ransel yang di dalamnya terdapat rangkaian elektronik sambil mengatur ulang programnya.

“Silakan, Profesor Greinthlen,” ucap Edvard sambil menyanggah tas yang cukup berat ke punggung Fibrela yang mungil.

Nod butuh tenaga ekstra untuk mengaitkan bagian depan tas Kaltor. Edvard membantu memastikan semua sudah terpasang dengan baik.

“Bagaimana cara menggunakannya?” tanya Nod.

“Ayunkan tuas yang ada di kaki,” kata Edvard. “Lalu arahkan dengan kedua tangan.”

Nod mengentakkan kakinya dan tanpa dikira dia langsung memelesat tinggi ke langit yang tidak berujung tersebut. Fibrela terbelalak. Edvard menyengir tegang. Nod memekik ngeri.

“Wooooooh!” Suara teriakan Nod memantul dan menghilang dari balik langit-langit.

Fibrela segera melompat dan melayang naik. Dia mengejar Nod semampu alat yang diberikan Edvard. Dia terbang membawa alat terbang sederhana tadi sampai lantai paling atas dari Balorop. Nod tak boleh lepas begitu saja, benaknya terus memperingati hal tersebut.

“Nod!” panggil Fibrela ketika menemukan Nod akhirnya berhasil membuat tas Kaltor tenang.

Nod diam masih mengumpulkan keberaniannya untuk melihat ke bawah. Fibrela terbahak menertawakan pria paruh baya yang masih gemetar ketakutan di depannya. Awan yang berwarna merah muda melintas dan membuat gumpalan tipis di bawah mereka. Pemandangan sebagian Mercendia terlihat memukau dari tempat ini.

“Kau sudah bisa membuka matamu, Nod,” ujar Fibrela.

Nod mengerjap ragu.

“Tunggu,” sela Fibrela. “Jangan buka dulu. Biar aku stabilkan tas kaltormu.”

Nod berdiri tegap enggan menggerakkan seluruh tubuhnya. Fibrela menarik tuas di kedua kakinya dan setelah mengatur ulang, dia memasangkan lagi benda tersebut di kedua kaki Nod.

“Sekarang, kau buka matamu, tapi jangan lakukan gerakan mendadak,” perintah Fibrela.

Nod mengintip dari sela kelopak matanya tanpa bergerak. Dia memandang sekitar dan mengikuti setiap aba-aba yang diutarakan Fibrela. Kedua tangan Fibrela meraih tangan Nod dan mengarahkannya sesuai arah yang telah diaturnya.

“Ikuti gerakan yang kutunjukkan padamu,” ucap Fibrela.

Nod mengikuti ayunan kaki kecil di depannya dan perlahan-lahan dia mulai bisa mengendalikan alat tersebut.

“Mudah kan?” Fibrela terlihat bangga Nod bisa menguasai benda itu pada menit-menit pertama penerbangan mereka.

“Ini benar-benar menakjubkan!” ujar Nod. Kegembiraannya tersulut. Dia menggerakkan tubuhnya mengikuti arah angin dan merasakan dirinya kini bisa terbang seperti burung. “Aku bisa ke mana pun yang kuinginkan dengan benda ini.”

“Haha, ya, tapi tidak sekarang, Nod,” timpal Fibrela.

“Wah, kalian benar-benar hebat, Fibrela,” ujar Nod. “Mengapa tidak dari awal kita menggunakan alat ini. Jadi tidak perlu berjalan kaki ke bengkel yunishmu itu.”

“Berjalan dapat melatih otot kakimu.”

“Tapi kita tidak perlu bertemu dengan makhluk berzirah besi itu.”

“Kau bisa menemukannya di mana pun, Nod. Cerecza bisa muncul di sini, detik ini.”

“Mengapa kalian membuat makhluk sedemikian merepotkan?”

Keluhan Nod membuat Fibrela kembali tertawa. Anak yang tadinya barusan marah-marah sudah kembali riang.

“Kau harusnya lebih sering tertawa,” ucap Nod.

“Memangnya aku tidak sering tertawa?”

“Kau memarahi pekerjamu karena membuat tanaman itu layu sampai mereka gemetar ketakutan,” sindir Nod.

“Itu karena mereka selalu melakukan kesalahan berulang kali,” jawab Fibrela.

“Mereka bahkan ada yang berusia lebih tua darimu,” kata Nod.

“Memang kenapa? Mereka pantas dimarahi.”

“Kau tampak sangat galak seperti nenek-nenek.”

Fibrela berhenti mengayunkan kakinya menembus awan. Dia langsung menarik tuas di kaki Nod. Sentak Nod langsung kehilangan keseimbangan. Tanpa bisa mempertahankan arahnya, tubuhnya memelesat turun.

“Hei… apa yang kau lakukan?” Nod benar-benar panik sekarang. Walau mengentak-entakkan kakinya, dia tak lagi bisa kembali terbang. Tubuhnya terus terjun bebas tanpa bisa dihentikan. Dia tak tahu apa yang akan terjadi pada ransel yang dipikulnya.

Tinggallah Fibrela yang masih melayang-layang tenang di atas awan. Namun itu tidak bertahan lama. Dia menggaruk kepalanya gundah. Beberapa detik setelahnya, Fibrela langsung memelesat turun mengejar Nod lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status