“Kau sudah menerima kabar dari mereka?” tanya Brevis.
“Semua akses dari dan menuju ke Luxavar ditutup. Mereka terjebak di Luxavar. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada mereka,” jawab Likos seraya membanting tubuhnya ke sofa teras depan rumahnya.
“Apakah kita harus kembali ke Luxavar?” tanya Brevis.
“Bagaimana caranya?” tanya Likos.
“Kita bisa menghubungi Louie?” tanya Brevis.
“Ah, rokern bodoh itu. Dia tak berguna. Fibrela dan Nod tidak mungkin berada di dekat mereka,” kata Likos. “Kita hanya bisa menunggu dan berharap mereka bisa selamat.”
“Ya, mudah-mudahan mereka bisa selamat,” kata Brevis. “Dan kita akhirnya harus terjebak di sini.”
“Hei, ini bukan terjebak,” kata Likos. “Kita bebas.”
“Kau yang bebas,” kata Brevis. “Aku seperti makhluk asing di sini.”
Likos tertawa. “Baiklah, aku ajari kau biar tidak jadi makhluk asing di sini.”
“Tidak berminat,” kata Brevis.
“Kau tidak tertarik dengan orang
Saat terbangun, Fibrela mendapati kedua tangannya masih terikat. Kakinya tak bisa banyak bergerak karena memang sudah patah. Dia bisa melihat tempat ini berbentuk kubus dengan seluruh dinding berwarna putih. Tidak ada jendela yang bisa menempel di dindingnya. Bahkan Fibrela gagal mengidentifikasi pintu tempat para atlic itu masuk. Seorang pria berjalan pelan mendekati Fibrela. Dia mengambil tempat di dekat Fibrela. Wajahnya licin dengan rambut yang tersisir rapi. Kulitnya yang gelap kontras dengan ruangan yang tengah ditempati Fibrela sekarang. Dia mengenakan kemeja hitam dengan puluhan lencana yang menempel di dada kanannya. “Kau salah satu orang yang kupercayai di Luxavar. Tetapi kau melakukan hal ini. Kebodohan macam apa yang sudah merasukimu, Greinthlen?” Dua orang atlic datang lagi mendekatinya. Agrenta salah satu di antaranya. Laki-laki bertubuh jangkung berjalan di belakang Agrenta dengan memegang alat seperti stempel besar. Fibrela menyipitkan kedua m
Pesan yang dikirim Fibrela terlambat lima menit dari yang diperkirakan. ‘LARI’ Punggung tangan Nod berpendar membentuk tulisan singkat tersebut. Fibrela baru saja menjelaskan tentang akses ini bisa digunakan untuk mengirim pesan di saat darurat. Nod mematikan akses identitas tadi seketika setelah pesan itu muncul. Nod melirik sekilas dan segera mencari jalan keluar dari rumah Eremus. Dia menyelinap melewati dapur dan memelesat secepatnya ke pepohonan di belakang rumah Eremus. Eremus menahannya untuk tidak keluar saat Nod melihat Fibrela dibawa oleh Para Kanselir. “Apa yang mereka lakukan padanya?” Nod menyingkirkan cekalan Eremus. Ketidakpercayaan samar-samar terbesit dari sorot matanya. Seharusnya dia memang tidak semudah itu memercayai atlic tua ini. “Para Kanselir sudah mencurigai keberadaan kalian di tempatku,” ucap Eremus. “Oh ya? Bagaimana aku bisa percaya padamu setelah semua ini terjadi padanya?” “Kau berhak tidak perca
Fibrela dikawal oleh tiga orang rokern dan satu Atlic memasuki pintu utama menara. Dia berharap Nod bisa menerima pesannya dan segera menemukan bantuan. Nod tahu apa yang harusnya dilakukan. Edvard mungkin bisa membantunya keluar dari tempat ini. Dua rokern masih mencengkeram kedua lengannya sangat erat. Bagaimana bisa mereka begitu tidak berbelas kasihan padanya yang tak berkekuatan lagi ini. Luka yang baru mengering di sekujur tangannya, kini harus berdarah lagi. Kakinya yang patah kemarin kembali bergeser saat kedua rokern itu mengentak tubuhnya berulang kali. Dia tidak mendapat obat nyerinya sejak tadi pagi. Dan kakinya belum diapa-apakan sejak kemarin. Hanya dibidai dari plastik tipis itu. Tubuh lunglai Fibrela diseret melewati bagian demi bagian ruang periksa itu. Dia bisa melihat sekeliling tempat ini dijaga sedemikan ketat sejak insiden kaburnya tahanan Luzav. “Kirim dia ke daratan,” kata Atlic yang ikut meringkusnya ke atas. Rokern penj
Fibrela akhirnya bisa beristirahat dengan tenang di atas ranjang rumah sakit setelah berhasil melakukan perjalanan panjang dan melelahkan melewati dua dunia. Nod bertengger di balik kaca berulang kali menengok Fibrela dari kejauhan. Dari ujung koridor, seorang pemuda berjalan menghampirinya. Pakaian putih dengan bau yodium menyeruak di sekelilingnya.“Jadi, sejak kapan kau punya anak?” tanyanya sembari ikut duduk di samping Nod.Nod terhenyak dengan pertanyaan tadi. Dia kenal dengan si penanya, tapi tentu saja menjelaskan tentang keberadaan Luxavar pada pria itu terdengar sangat absurd. Nod menghela napas pelan berusaha membuat alasan yang masuk akal. Walau akhirnya dia hanya diam karena enggan meladeni pertanyaan temannya itu.“Lebih baik kau tangani kakinya terlebih dahulu. Aku tidak bisa membiarkan anak ini cacat karena aku.” Nod berkata tanpa menjawab pertanyaan Yoris.Ada dua perawat yang berjalan masuk hendak mengganti cairan
Nod duduk membaca bukunya seraya sesekali melirik ke arah Fibrela yang kembali tertidur. Likos, Vabian, dan Brevis sudah datang lagi membawa banyak makanan serta kantung belanjaan yang terisi penuh.“Nod, aku bawa banyak makanan untukmu. Vabian membeli beberapa pakaian untuk Fibrela. Aku dan Brevis juga membeli pakaian,” kata Likos. Dia mengeluarkan makanan yang baru dibelinya kepada Nod. “Makanlah. Kau belum sempat makan dari kemarin, kan?”“Dia sudah tidur dengan pulas,” kata Brevis berdiri di sisi Fibrela menatap matanya yang tertutup rapat. “Kasihan Fibi.”Brevis membenarkan posisi kepalanya yang masih miring. Teman lama yang sekarang akan berjuang bersamanya di daratan. Brevis sendiri tak sempat terpikir tentang apa yang akan mereka hadapi di daratan yang asing ini.“Kau mulai menyayanginya, heh?” goda Likos pada Nod.Nod mengernyit risih dengan arah pembicaraan ini.“Sud
Jauh di dalam Samudera Atlantik, di bawah kedalaman lautan yang gelap, di bawah selubung kaca yang melingkupi kehidupannya, di atas sebuah gedung di tengah Kota Mercendia, di dalam ruangan baca terbesar di gedung megah bertuliskan Brugaden, di atas sofa empuk itu, duduklah seorang Atlic laki-laki bersama dua orang lainnya yang berdiri tegap di kedua sisinya.“Jadi, ada berita apa kalian kemari?” tanyanya. Suaranya terdengar kejam dan berkuasa. Matanya memunculkan aura kegelapan yang dalam. Pandangannya menyoroti seorang pria yang baru masuk dari pintu ruangan itu.Atlic yang disorotinya langsung menjawab, “Tentang keamanan gerbang utama Luxavar, Presiden.”“Oh, kasus pelarian lagi?” tanyanya sinis.Dia membuka telapak tangannya dan melihat layar di dalam telapak tangannya dengan serius.“Jadi siapa dalangnya kali ini?” ucap sang presiden dengan tenang.“Dia… Profesor Greinthlen,&rd
Nod mengaduk bubur di panci yang mulai meletup-letup. Dia menyeruput sesuap cairan kental yang ada di dalamnya seraya berharap Fibrela tidak mengejek satu-satunya makanan yang bisa dibuatnya. Dia tidak tahu bagaimana rasa bubur di Luxavar. Semestinya dia mencobanya waktu itu. Tapi kalaupun dia mencicipinya, rasanya pasti akan sangat aneh.Sambil menuang bubur yang telah mengepul itu, Nod sekali lagi membaca buku resep yang dipegang di salah satu tangannya. Dia memberi tanda pada salah satu baris kalimat di buku itu. Sudah lama sekali semenjak Regan dan putrinya meninggal Nod tak pernah memasak bubur. Meski ia selalu mencoba memasak, tak pernah terpikir untuk membuat bubur.Di samping semangkuk bubur itu, ada sup kental yang panas. Nod sudah biasa membuat sup, tapi tak yakin apakah Fibrela bisa merasakan sup itu seperti yang diarasakan.“Aku membawa makanan untukmu,” kata Nod sambil menyodorkan wadah makanan yang berisi bubur dan sup yang sudah sehari
Bocah laki-laki mengamati kepingan tipis berisi susunan serabut halus di hadapannya tanpa berkedip. Kelopak mata yang redup dan jenuh itu terbingkai kaca pembesar. Sesekali dia menggeser serabut tadi dan menyatukannya ke ujung serabut yang lain. Ujung jemarinya seperti mesin yang senantiasa menyeret panel di depannya itu. Ketika seluruh kepingan berserabut di depannya tersusun secara sempurna, dia beralih ke kepingan yang lain dan kembali melakukan rutitinas itu sepanjang hari. Tiap jalinan serabut akhirnya tersambung satu sama lain. Dindingnya yang bercorak kebiruan melukiskan ornamen bawah laut yang terbias oleh kelap-kelip lampu di sudut-sudutnya. Cahaya biru yang terang dengan titik-titik kuning dari beberapa sisi saling beradu untuk memberikan gradasi warna yang lebih gelap. Salah satu lampu ada yang padam, tapi anak itu tidak mengacuhkannya. Dia bahkan tidak menghiraukan keindahan ikan dan gelembung-gelembung udara yang bergerak menghiasi dinding ruangan tersebut. Ada pintu be