Sampai di rumahnya, Rasti segera menenggak sebotol air dingin yang ia ambil dari kulkas. Meskipun ia sadar, air itu tidak mampu untuk meredam gejolak panas dalam hati, tapi setidaknya, tenggorokannya yang kering telah tersiram.
Duduk di sofa depan televisi, Rasti menimbang-nimbang langkah yang akan diambil. Jika seblumnya, ia telah memutuskan untuk mengubur keinginan mengungkap masa lalu orang tuanya dalam-dalam, tidak dengan saat ini. Wanita itu memiliki tekad untuk menuntaskan semuanya.
Rasti melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas siang. Ia lalu bergegas bangkit lagi, untuk menuju sebuah tempat. Teringat akan ucapan sang suami yang mengatakan tidak bisa pergi ke kantor.
Dengan mengendarai motor matic kesayangan, Rasti kembali menembus jalan raya yang padat. Setelah setangah jam lebih berkendara, sampailah ia pada showroom mobil yang kepemilikannya tengah ia ragukan.
Dengan melenggang sa
“Aku tanya dulu ya, Mbak, sama Bapak. Kalau tidak bisa pulang, kalau Mbak Rasti pengin ketemu Bapak segera, palingan Mbak yan disuruh ke sana,”“Baik, Huda, hubungi bapak kamu segera dan kasih kabar sama aku,” ucap rasti memutus telepon.Jenuh karena tidak mendapatkan informasi, Rasti memilih bangkit dan berpamitan pada karyawan untuk pulang. Ia lalu menjemput anak-anaknya ke sekolah.***Di rumah sakit, Danang harus mengurus Firna seorang diri. Tidak ada alat komunikasi yang bisa digunakan, membuatnya tidak bisa menghubungi keluarga istri sirinya.Ibu Yasmin sudah ditangani dan masuk ruangan dengan kelas VIP. Danang yang bingung hanya bisa duduk termenung di sofa tunggu seraya menatap tubuh yang terbaring di atas ranjang.“Yasmin …,” rintih Firna. “Yasmin …,” ulangnya lagi.Da
Gadis yang masih memakai seragam SMA itu tersipu malu, saat diperkenalkan dengan putra salah satu rekan ayahnya.Berkali-kali mencuri pandang pada pemuda yang duduk di kursi yang menghadap ke meja yang sama. Saat tatapan matanya tertangkap basah, ia kembali menunduk. Begitu berulangkali terjadi.“Danang akan menunggu sampai dia berambut putih kalau calonnya seimut ini,” kelakar Hartono yang dijawab oleh tawa membahana Cokro.“Tidak. Jangan khawatir! Firna saat ini kelas dua SMA. Sebentar lagi lulus. Kalau Mas Danang memang ingin secepatnya menikah, Firna bisa kuliah sambil menikah. Ya, paling lama tiga tahun lagi menunggu,” jawab Cokro setelah tawanya reda.“Apa Firna mau sama Mas Danang yang sudah tua?” tanya Hartono dengan nada bercanda. Memanmg, saat itu, Danang berusia dua puluh empat tahun. sudah lulus kuliah dan tengah diajari untuk berbisnis jual beli mobil
Danang tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang putih. “Karena katanya kamu suka aku. Aku takut, kalau kamu menolak, nanti kamu nangis dan jadi ngambek gak mau sekolah,” ujarnya kemudian.“Mas Danang, iiiih ….” Firna berteriak khas seorang remaja yang kesal karena digoda.Wening dan Rianti yang kebetulan duduk di ruangan yang tidak jauh dengan mereka, saling melempar senyum bahagia.“Sudah mulai akrab sepertinya,” ujar Wening sembari berjingkat mengintip.“Iya, biarin aja, Mbak. Nanti kalau ketahuan jadi malu,” sahut Rianti.Hari-hari setelahnya, Danang kerap diminta menjemput Firna ke sekolah. Ingin rasanya menolak, tetapi ia selalu kasihan saat mengingat wajah polois Firna.“Dia itu pantasnya dijodohkan sama Adrian,” ujar Danang suatu malam, saat ia dan orang tuanya bersantai di ruang ke
POV FIRNAAku menyukainya sejak pertama kali kami berjumpa. Meski kutahu, ia pemuda yang sudah dewasa, tapi entah kenapa, aku merasa jatuh hati. Pucuk dicinta, ulampun tiba. Ia yang aku kagumi ternyata sosok yang akan dijodohkan denganku.“Jika kamu mau, orang tua Danang mau ke sini untuk ya, sekadar menjalin kesepakatan di depan kalian berdua.” Begitu kata Papa suatu malam saat kami selesai makan.Hati ini berbunga dan penuh kebahagiaan. Namun, aku menyembunyikannya di hadapan Mama dan Papa, serta adik semata wayangku yang saat itu masih duduk di bangku kelas lima. Dia cowok yang jahil dan hobi menggoda. Ole karenanya, aku tidak ingin menunjukkan senyum malu-ku di depannya.Kjepala ini tertunduk seraya mengangguk. Saat mendongak, kulihat senyum Mama penuh godaan.“Mama tahu, kamu suka sama Danang,” ujarnya saat masuk ke kamarku, setelah acar
Selepas SMA, aku memutuskan untuk kuliah. Hal ini tentu ditertawakan kawan-kawanku. Dan aku, hanya menanggapiu dengan senyum. Senyuman yang mengungkapkan kepedihan karena cintaku harus kandas.Pak Hartono tentu tidak setuju dengan keputusan anak sulungnya. Ia tetap memaksa, bahwa suatu hari, kami harus berdiri di pelaminan.“Jangan sedih, Sayang. Danang bilang ingin seorang wanita yang dewasa. Kamu harus menjadi dewasa dulu, Ibu yakin, dia pasti mau sama kamu,” ujar ibu Mas Danang yang sudah mengajariku memanggil sebutan ibu sejak dulu—mencoba memberikan wejangan.Hati berusaha menepis rasa itu. Tapi yang terjadi, aku semakin terluka. Sikapnya yang lemnut, tutur bahasa yang santun dan senyumannya, tidak bisa hilang begitu saja dari ingatan ini.“Anak kecil itu harus belajar yang rajin, jangan malah pengin nikah,” kelakar yang sering kali ia ucapkan saat kami sering jalan
“Kamu tidak pulang, Mas?” tanya Firna saat malam hari ia sudah bisa duduk di atas bed-nya.“Tidak. Aku akan menjagamu di sini,” jawab Danang. Ia masih mengenakan kaus dan celana jeans yang sama dengan yang ia pakai saat pagi.“Pulanglah, Mas! Aku bisa di sini sendirian,” ujar Firna lagi.“Mana ada orang sakit sendirian, Fir?” tanya Danang. Matanya masih menatap layar televisi yang menempel pada dinding.“Ada. Orang yang sakit hati,” kelakar Firna.Danang hanya melirik sekilas wanita yang sama-sama menonton tayangan televisi.“Firna, kenapa kamu menikah dengan aku?” tanyanya kemudian setelah beberapa menit saling diam.Giliran Firna yang menoleh pada Danang seraya berkata, “Siapa yang bisa menolak keinginan Ibu Wening, Mas?” tanya Firna balik. “Kamu p
Rasti termenung seorang diri. Menatap jalanan depan rumah yang basah oleh air hujan. Ia duduk di teras, sembari menunggu sesuatu hal yang ia sudah yakin tidak akan datang. Malam telah larut, tapi ia memilih duduk di sana setelah kedua anaknya terlelap. Ada banyak misteri yang harus ia pecahkan, dibalik lara hatinya mendapati kenyataan hidup dimadu. Maka mulai malam itu, perempuan dengan hidung mancung itu telah bertekad, untuk tetap kuat, demi mengetahui rahasia yang disembunyikan oleh ayah mertuanya. Rasti selama ini jarang memegang uang banyak. Ia berpikir kalau segala kebutuhan hidup telah ditanggung oleh Danang dan tidak pernah merasa sedikitpun kekurangan. Oleh karenanya, ia tidak pernah meminta uang untuk sekadar tabungan. Dan itu amat sangat ia sesali. Diambilnya gawai yang ada di atas meja, dan mulai menekan nomer sahabatnya, Airini. Ia seolah lupa, bahwa waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam, dan tem
Sepanjang perjalanan menuju rumah mertuanya, Rasti memikirkan alasan apa dan dengan cara apa ia akan mengambil benda berharga yang ada dalam lemari Wening. Dan hingga motor terparkir di halaman rumah besar milik keluarga Hartono, alasan itu tak kunjung ia dapatkan. Sambil terus berharap dalam hati, ia akan menemukan celah masuk ke ruang pribadi milik orang tua sang suami, Rasti melangkah, menuju pintu yang terlihat terbuka. Hanya ada Yasmin yang tengah bermain di ruang tamu bersama boneka-boneka kesayangan, saat kaki Rasti menginjak pintu rumah megah itu. “Yasmin kenapa sendiri?” tanya Rasti pada anak Firna. Meskipun agak sedikit sungkan, tapi ia mencoba untuk bersikap ramah. “Iya, Eyang ke rumah sakit. Ngantar bajunya Pak Dhe Ayah,” jawab Yasmin polos. Rasti merasa terganggu dengan panggilan yang diucapkan anak Firna. “Yasmin kenapa memanggil Pak Dhe seperti itu? Apa tidak sul