Rasti termenung seorang diri. Menatap jalanan depan rumah yang basah oleh air hujan. Ia duduk di teras, sembari menunggu sesuatu hal yang ia sudah yakin tidak akan datang. Malam telah larut, tapi ia memilih duduk di sana setelah kedua anaknya terlelap.
Ada banyak misteri yang harus ia pecahkan, dibalik lara hatinya mendapati kenyataan hidup dimadu. Maka mulai malam itu, perempuan dengan hidung mancung itu telah bertekad, untuk tetap kuat, demi mengetahui rahasia yang disembunyikan oleh ayah mertuanya.
Rasti selama ini jarang memegang uang banyak. Ia berpikir kalau segala kebutuhan hidup telah ditanggung oleh Danang dan tidak pernah merasa sedikitpun kekurangan. Oleh karenanya, ia tidak pernah meminta uang untuk sekadar tabungan. Dan itu amat sangat ia sesali.
Diambilnya gawai yang ada di atas meja, dan mulai menekan nomer sahabatnya, Airini. Ia seolah lupa, bahwa waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam, dan tem
Terima kasih sudah mampir di cerita ini. bantu kasih gem, ya? Biar cerita ini bisa naik. Terima kasih .... Selamat menjalankan ibadah puasa untuk semuanya ....
Sepanjang perjalanan menuju rumah mertuanya, Rasti memikirkan alasan apa dan dengan cara apa ia akan mengambil benda berharga yang ada dalam lemari Wening. Dan hingga motor terparkir di halaman rumah besar milik keluarga Hartono, alasan itu tak kunjung ia dapatkan. Sambil terus berharap dalam hati, ia akan menemukan celah masuk ke ruang pribadi milik orang tua sang suami, Rasti melangkah, menuju pintu yang terlihat terbuka. Hanya ada Yasmin yang tengah bermain di ruang tamu bersama boneka-boneka kesayangan, saat kaki Rasti menginjak pintu rumah megah itu. “Yasmin kenapa sendiri?” tanya Rasti pada anak Firna. Meskipun agak sedikit sungkan, tapi ia mencoba untuk bersikap ramah. “Iya, Eyang ke rumah sakit. Ngantar bajunya Pak Dhe Ayah,” jawab Yasmin polos. Rasti merasa terganggu dengan panggilan yang diucapkan anak Firna. “Yasmin kenapa memanggil Pak Dhe seperti itu? Apa tidak sul
Dengan langkah berdebar, Rasti menuju ruang tamu. Tempat dimana Yasmin berada. Urusan Mbok Sum sudah beres, ia tinggal memastikan, Yasmin keluar dari rumah. Meskipun masih kecil, bukan tidak mungkin, anak dari Firna itu akan mengadu pada eyangnya, kalau dirinya masuk ke kamar dari pemiliki rumah megah itu. “Yasmin mau jajan?” Rasti memancing dengan pertanyaan itu. “Mau. Tapi, Eyang gak kasih uang tadi,” jawab Yasmin jujur. “Baiklah, ini Bu Dhe kasih uang buat jajan, ya? Kamu jajan sesuka hati kamu. Di warung depan saja, ya? Nyebrangnya hati-hati,” ujar Rasti seraya mengulurkan uang dua puluh ribuan. Anak kecil itu bersorak girang. Dan langsung berlari meninggalkan kamar. Degup jantung Rasti terasa semakin kencang, manakala ia mulai melangkah menuju kamar yang berhadapan dengan ruang keluarga. Pintu kamar yang tinggi tertutup rapat. Dalam hati berharap, kamarnya tidak terkunci. Namun, harapann
“Jika aku ke sana, apa bapak kamu mau berbicara semuanya sama aku?” tanya Rasti setelah sekian lama terdiam. “Mungkin saja, Mbak, coba saja,” jawab Huda acuh. “Aku tahu, aku memang telah bersalah dengan percaya begitu saja orang-orang yang tiba-tiba datang. Tapi sekarang, aku sudah bertekad untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Dan aku, sudah memegang sesuatu yang sangat penting,” kata Rasti mencoba membuat Huda tak lagi menyalahkannya. “Apa itu, Mbak?” tanya Huda penasaran. Kalimatnya sudah tidak seacuh yang tadi. “Kamu tidak perlu tahu sekarang. Yang jelas, bila kamu memang kasihan sama mendiang bapakku, maka bantulah aku untuk menemui Pak Rano,” “Tempat kerja Bapak itu jauh, Mbak. Harus naik pesawat, setelah itu, masih harus menempuh perjalanan berjam-jam,” “Tidak masalah. Aku akan melakukannya,” tegas Rasti.
Firna yang masih duduk di atas bed dengan infus terpasang di lengan, hanya bisa mengikuti gerak-gerik lelaki yang sangat dicintainya itu melalui tatapan matanya. Sekalipun raga dan hati Danang tak bisa ia miliki, dirinya sudah cukup bahagia dengan hanya melihat senyum terukir di bibir kakak iparnya itu. “Mas, suatu ketika nanti, saat aku sudah siap, aku akan mengatakan itu pada kamu,” ucap Firna dengan suara sedih. “Apa maksdunya?” Danang yang sedang memasukkan baju ke dalam tas mendongak dan bertanya. “Talak. Kau boleh mengucapkannya saat aku sudah benar-benar siap. Untuk saat ini, biarkanlah aku menjadi istri sirimu, istri rahasiamu, yang hanya bahagia melihat kamu tersenyum untukku.” Danang bangkit dari posisi berjongkok, berdiri di samping Firna lalu berkata, “aku akan doakan kamu bertemu dengan jodoh kamu yang sesungguhnya. Yang mencintai kamu dan kamu pun mencintainya.
“Kalian di sini ternyata. Papa panggil tidak ada yang menyahut,” ucap Danang saat menemukan yang dicari berada di dalam kamar.“Papa kenapa baru pulang?” si Kecil Raline bertanya.“Maaf, Papa habis—“ Danang berhenti memberikan penjelasan. Karena ia tahu, jika ditersukan akan menyakiti hati Rasti. “Kalian sedang apa di sini?” sambungnya lagi.“sedang bermain, Papa,” jawab Raline yang belum paham apa yang terjadi.“Kakak kenapa diam? Tidak kangen sama Papa?” tanya Danang pada Nadine. Anak sulungnya itu menggeleng lemah.“Mama?” Tatapan danang kini beralih pada istri pertamanya.“Mandilah! Jika belum makan, masih ada makanan di meja” Rasti menjawab dingin.Danang sadar dan memahami, bila ia diperlakukan sedemikian cuek oleh ketiga orang yang
“Bapak dan Ibu sayang sama kamu, rasti,” “Rasa sayang itu bisa dirasakan. Bukan hanya sekadar ucapan dari orang lain.” “Kenapa aku seperti tidak mengenal kamu, Rasti? Berapa hari kam u bekerja? Dan dengan siapa kamu bekerja? Sehingga sifatmu berubah seperti in ….” “Kamu terlalu sibuk menjaga Firna. Hingga tidak tahu dengan apa yang terjadi sama aku.” “Dia sendirian tidak ada yang menunggu.” “Ada orang tuanya. Atau, bisa meminta siapapun orang yang butuh bayaran untuk menjaganya.” “Rasti! Jawab dulu pertanyaan aku!” tegas Danang. “Ok. Aku tidak berubah, Mas. Aku hanya seperti orang yang tersadar dari mimpi yang sangat panjang. Yang dinina bobokan oleh singa, hanya agar aku tidak pernah bangun dan tahu kenyataan yang terjadi.” Mendengar jawaban Rasti, danang tersentak. Ada gurat gelisah di wajah. Hatinya mendadak diliputi keta
Danang gelisah di dalam kamar tidur. Ia yang sudah berbaring menunggu sang istri datang seperti waktu-waktu sebelumnya –harus menlan rasa kecewa. Sejak sore tadi, Rasti bersikap sedikit pendiam. Meski dirinya berusaha mengajak mengobrol berkali-kali, wanita yang telah ia nikahi bertahun-tahun itu menjawabnya singkat. Pun dengan Nadine, si Sulung yang sangat dicintainya itu berkali-kali tertangkap basah tengah memandang dirinya dengan tatapan yang tidak biasa. “Kakak kangen sama Papa?” pancing Danang saat lepas Maghrib anaknya selesai sholat. Nadine menggeleng. Danang lalu mengajaknya ke teras, dengan alasan menunggu pedagang lewat. “Kakak marah sama Papa?” tanya Danang lagi saat keduanya duduk bersila di atas keramik. “Kakak hanya takut. Suatu hari nanti, kami harus diusir Eyang dari rumah ini,” jawab Nadine polos. “Kakak, Sayang, jangan berpikir
"Rasti, kita perlu bicara,” ucapnya saat Rasti telah bersiap berangkat. Sementara Nadine dan raline telah menunggu di depan rumah. “Tidak ada yang perlu dibicarakan, Mas. Kita ini suami istri yang yah, seperti biasanya. Jadi, menurut aku, tidak ada masalah penting,” “Kamu benar-benar berbeda,” desis Danang. “Setiap orang, akan berada di fase yang berbeda suatu ketika. Entah karena sebuah kejenuhan, keadaan yang menyakitkan, maupun karena disebabkan oleh suatu kebohongan yang ia ketahui. Meskipun suami istri, tapi masing-masing dari kita, tetaplah pribadi yang memiliki ruang untuk privasi,” ujar Rasti datar. Danang kembali tersentak. Sebuah kata bohong, begitu menampar hatinya. “Pulanglah cepat! Aku akan mengajak kalian jalan-jalan,” ucap Danang memberi perintah. “Aku tidak yakin, bila hari ini tidak ada yang memintamu datang.” Usai berkata demikia