Menunggu gilirannya untuk masuk ruang poli, Rasti iseng berjalan mengelilingi rumah sakit. Beberapa pasang mata mengamatinya karena di bibirnya terlihat bengkak parah. Namun, perempuan beranak dua itu tidak peduli.Mata Rasti tertuju pada satu bangunan yang terpisah dengan bangunan utama rumah sakit. Di atas bangunan tersebut, terdapat sebuah kubah kecil. Sejenak, ia berdiri mematung. Ada sebuah getar yang memanggilnya untuk segera berjalan ke sana.Dengan pelan dan tatapan tanpa kedip, Rasti terus melangkah, mendekati tempat ibadah orang muslim yang sengaja disediakan rumah sakit. Langkahnya langsung menuju tempat air wudhu. Dan ia tersadar, jika sedari Dzuhur, dirinya belum menunaikan ibadah wajibPerih ia rasa, saat air ia usapkan ke bagian wajah dan mengenai bibir.Rasti duduk bersimpuh setelah selesai sholat. Nyaman ia rasakan, saat menunaikan kewajibannya dengan perasaan pasrah sepenuhnya pada Sang Pemilik hidup.Mulanya ia hanya menitikkan air mata. Namun, lambat laun, isak tan
“Bapak telah bertindak gegabah. Bapak sudah membuat Rasti sakit dan terluka. Apa Bapak tidak berpikir ke depan?” ujar Danang kesal.“Jangan dikte bapak, Danang! Sampai detik ini, bapak masih curiga, istri kamu yang mengambil sertifikat itu,”“Tapi tidak harus dengan menganiaya dia, ‘kan, Pak?” tanya Danang lirih. Sorot matanya memperlihatkan kemarahan. Namun, ia tidak berani mengungkapkan itu.“Sudah sepantasnya dan waktunya, bapak mengembalikan dia ke tempat yang seharusnya. Jangan menasehati bapak. Bapak tahu, apa yang harus bapak lakukan. Dan ingat! Saya Hartono, tidak akan kalah dengan siapapun. Apalagi dengan Rasti yang hanya seorang perempuan yatim piatu,” tegas Hartono. Ia lalu bangkit dan masuk ke kamarnya, diikuti Wening.“Sudah ketemu sama pengacara, Pak?” tanya Wening begitu pintu ditutup.“Sudah. Masalah yang mudah untuk diatasi. Untuk urusan kekerasan yang aku lakukan, kamu tidak perlu khawatir,” jawab Hartono.“Syukurlah. Jangan sampai, bapak kalah,” ucap Wening mengusap
“Kenapa?” tanya Aris setengah tersenyum.“Oh, gak papa,” jawab Rasti berbohong.“Kamu takut sesuatu hal?” tanya Aris lagi. “Jangan pernah takut, bila kamu berada dalam posisi yang benar,” sambungnya lagi.“Saya sendirian di sini, Pak,” aku Rasti jujur. “Saya harus berjuang seorang diri untuk mendapatkan keadilan,”“Kamu saja yang tertutup. Jangan khawatir. Tunggulah sebulan lagi. Ketika semua sertifikat berhasil diblokir dan kamu sudah maju untuk pembuatan sertifikat baru, kamu sudah bisa melakukan semuanya. Atau membongkar tengan semua hal yang kamu tahu. Sekarang, pulanglah! Lanjutkan hidup dan temani anak-anakmu. Kamu tidak perlu ke sini lagi. Saya yang menguruskan semuanya. Dan bila sudah waktunya tiba, kamu akan saya hubungi.”“Masalah pengacara itu, bagaimana, Pak? Soalnya, saya kemarin melihat mertua saya ada di rumah itu. Sepertinya, rumah Pak Hanung.”“Pulanglah! Tenangkan hati kamu. Segala yang menjadi milikmu, pasti akan jatuh ke tanganmu. Bila ada orang-orang zalim yang se
Menunggu adalah hal yang sangat membosankan bagi Rasti. Karena dalam masa itu, ia harus tetap bertahan satu rumah dengan Danang. Pria yang tidak bisa melindunginya dari amukan Hartono. Aris pun tidak memberikan kabar apapun terkait pengacara yang akan ia sewa. Sampa pada suatu malam, Danang mendekati dirinya yang sedang menonton tayangan televisi. Seperti biasanya, ia mencoba mengajak Rasti berbincang, tapi diabaikan.“Apa kamu akan seperti ini selamanya, Rasti? Terus, rumah tangga seperti apa yang kita jalani, bila kamu terus menerus begini? Lelah, Danang mengungkapkan kekesalannya.“Anggap saja begitu, Mas. Jalani saja semuanya. Seperti kamu menjalani pernikahan keduamu dengan Firna, yang tidak ada keputusan untuk mengakhiri.” Selepas berkata seperti itu, Rasti bangun dari duduk dan masuk ke kamar anak-anaknya.Kesal terus menerus diabaikan, Danang menyambar kunci dengan kasar. Dan pergi menuju rumah orang tuanya.Rumah Hartono terlihat sudah sepi. Ragu untuk membangunkan orang tuan
Firna tersipu malu, saat Danang memundurkan wajah. Denag cepat, jari jemarinya mengusap bibir yang basah. Ayah Nadine dan Raline itu memalingkan wajah pada hamparan sawah di depannya. Ia juga terlihat malu. “Maaf,” ujarnya.“Untuk apa? Aku halal buatmu,” jawab Firna. Sorot matanya terlihat sebuah harapan, untuk mendapatkan hal yang lebih dari yang mereka lakukan sebelumnya.Lama mereka saling diam. Danang yang masih memandang lurus ke arah depan. Sementara Firna, tidak menggeser lirikan bola matanya pada arah lain selain pada lelaki yang ada di sampingnya.“Aku masuk dulu,” pamit Firna yang terlihat putus asa.Saat kakinya hendak melangkah di ambang pintu, panggilan dari sang suami membuatnya terhenti. “Apa?” tanyanya setengah kesal.“Aku lapar,” jawab Danang sambil menarik sedikit kedua ujung bibirnya.“Mau makan apa?” tanya Firna dingin.“Terserah kamu,” sahut Danang.Dengan langkah malas, Firna mengayunkan kaki menuju dapur.Sepiring nasi dengan lauk rendang daging yang sudah dipan
“Saya tidak bisa menceritakannya, Pak. Yang jelas, sesuatu hal yang membutuhkan banyak waktu,” jelas Rasti.“Suami kamu selingkuh? Atau menikah lagi? Atau apa? Ceritalah, siapa tahu, saya punya jalan keluar lain selain resign. Aku mohon, baru kali ini aku nemu orang yang seperti kamu.”“Tapi, Pak, saya tidak bisa atur waktu.”“Baiklah, kamu boleh ijin. Atau, lakukan pekerjaan kamu di rumah. Yang penting, bantulah kami untuk beberapa waktu lagi. Setidaknya, sambil mencari pengganti kamu. Kalau kamu menolak, kami akan menempuh jalur hukum. Kamu akan kami laporkan atas tuduhan mempermainkan hati perusahaan.” Rasti memicingkan mata. Merasa aneh dengan apa yang dikatakan Hardi. Namun, beberapa saat kemudian, ia menyetujui permintaan itu. Hanya karena merasa bersalah sudah masuk lalu pergi.Danang kembali ke rumah seperti biasa. Namun, ia tidak segigih dulu mengajak istrinya berbincang. Kali ini, ia ikut diam. Namun terkadang, ia juga memperhatikan gerak-gerik Rasti. Rasa bersalah karena te
Aris : Rasti, semua sertifikat sudah berhasil diblokir.Pesan dari Aris membuat Rasti yang sedang mengerjakan laporan tempatnya bekerja melonjak kaget. Di tengah rasa gundah atas kepergian Danang, kabar yang ia dapat memberi sedikit kebahagiaan. Entah mengapa, untuk kali ini, dirinya merasa ada keganjilan dengan perginya sang suami.Ia lalu melirik jam yang ada di dinding. “Masih jam sepuluh. Masih ada waktu sebelum jemput anak-anak,” gumamnya.Dengan gerakan cepat, Rasti melangkah keluar rumah, mengendarai sepeda motor menuju ke rumah Maryam. Tempat yang beberapa hari ini sudah tidak ia datangi.***“Kapan mertua kamu pulang, Mar?” tanya Rasti saat ia dan Maryam bersama-sama memotong sayuran. Sumarti sedang tidak ada di rumah.“Katanya sih, mau pulang cepet, Mbak, setengah bulan lagi.” Jawaban dari Maryam membuat senyum Rasti mengembang. Hari ini, sudah dua kabar bahagia ia dapat.“Kabari aku ya, Mar, kalau sudah mau jalan ke sini bapaknya,”“Iya, Mbak ….”Mereka berdua saling bercer
“Dari mana Ibu beli rumah ini? Kenapa tanya akta jual beli? Ya, itu bukti sah yang harus Ibu miliki-lah. Harus banget aku menjelaskan?” ujar Rasti dengan menekan seluruh emosi.“Rasti, kamu jangan macam-macam di rumahku!” Rianti berlagak mengancam.“Baiklah, akui saja. Silakan berhalusinasi sepuas anda, Ibu. Tapi mulai sekarang, Ibu harus bersiap-siap, jika suatu ketika, kamu dan keluarga kamu akan aku tending dari sini,” ancam Rasti tidak main-main.“Tidak akan ada yang bisa menendangku, Rasti. Kamu yang akan ditendang dari trah keluarga Pak Hartono. Keluarga terhormat, yang akan menjadi mertua seutuhnya anakku,” ucap Rianti dengan penuh percaya diri.“Itu sebabnya foto itu sudah terpampang di sana? Di dinding rumahku? Orang yang kalian dzalimi?” tanya Rasti geram.“Kenapa? Kamu cemburu? Kamu akan lebih cemburu lagi, bila tahu Danang pergi kemana saat ini,” kata Rianti merasa menang.Rasti tersenyum, menutupi lara dalam hatinya. Ia tahu, ada sebuah kesungguhan dan kebenaran, saat Ria