Home / Thriller / MAFIA Behind The MASK / Happy Family #2 (end)

Share

Happy Family #2 (end)

Author: Radharmy RD
last update Last Updated: 2021-09-14 18:04:50

Dalam perjalanan, kami bertiga menghabiskan dua jam lebih untuk sampai ke Festival Malam Sonata. Di Festival ini terdapat banyak permainan dan kuliner dari berbagai macam Negara.

"Mau kulineran dulu atau permainan dulu?" tanyaku pada Mama dan Stella.

"Mama terserah kalian berdua saja," ujar Mama dengan nada lembutnya yang mampu membuat siapapun luluh.

"Stella mau main dulu, kak," rengek Stella padaku.

"Oke, Stella mau main apa?" tanyaku lagi. Stella menunjuk beberapa permainan. Ada Disco Pang Pang, Rumah Hantu, Biang Lala, dan Kora Kora. Nyaliku sedikit ciut ketika Adikku menunjuk kerumah hantu. Meski aku seorang pencuri handal, aku tetap sedikit takut terhadap hantu.

"Kakak gaberani ya masuk rumah hantu?" ujar Stella dengan nada meledek.

"Ee-enggak kok, kk-kata siapa kakak t-takut!" jawabku yang tiba-tiba menjadi gagap.

Aku dan Stella bermain Disco Pang Pang. Sedangkan Mamah hanya menunggu di ruang tunggu yang sudah disediakan khusus untuk orang tua. Disaat bermain Disco Pang-Pang, tubuhku terombang-ambing, tulangku rasanya seperti diremuk. Entahlah, semua emosi bercampur menjadi satu. Image yang kujaga selama ini tiba-tiba hilang entah kemana.

Setelah 4 kali putaran, kami semua turun dari permainan. Kepalaku pusing, perutku mual, dan seluruh tubuhku sakit. Sedangkan Stella, dia tertawa puas melihat keadaanku. Selesai istirahat, kami melanjutkan permainan Kora-kora, Biang Lala, dan terakhir adalah Rumah Hantu.

"Kakak beli tiket dulu ya, kamu tunggu di sini!" pintaku pada Stella. Aku segera pergi membeli tiket.

Beberapa menit berlalu, aku kembali dengan membawa dua tiket Rumah Hantu. Kami berdua bergegas masuk ke tempat yang gelap itu. Kubelakangkan tangan Adikku yang tubuhnya lebih kecil dariku. Stella tertawa puas melihat keadaanku yang lumayan mengenaskan. Sejujurnya, aku lebih suka dikejar oleh para bodyguard bodoh daripada dikejar hantu-hantuan ini.

Sampai di level kedua, tiba-tiba sebuah kapak asli melesat di hadapanku. Untung saja aku berjalan lebih dulu dari Adikku. Andai aku melangkah satu langkah lagi, sepertinya aku akan mati konyol di sini. Stella yang melihat kejadian barusan terlihat kaget dan langsung memelukku. Aku menggeleng dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Di kapak tersebut, terdapat sebuah tulisan dengan tinta merah, "BAWA KAPAK INI UNTUK MELINDUNGI DIRIMU SENDIRI." Seperti perintah, aku membawa kapak itu selama perjalanan.

Kami berdua melanjutkan permainan ke ruangan level 3. Di depan kami, keluar sebuah lampu berbentuk tulisan "RUN". Kami berdua menuruti perintah tersebut dan segera berlari, tapi ada kendala dengan larinya Stella. Adikku memiliki kelainan di kaki kirinya yang membuatnya sulit berlari. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara langkah kaki cepat sambil berteriak. Stella yang sudah tidak sanggup ingin menyerah begitu saja. Tapi aku tidak akan membiarkan sesuatu pun melukai dirinya.

"AYO CEPAT NAIK SINI!" perintahku pada Stella untuk menaiki punggungku. Setelah naik, aku segera berlari secepat mungkin, tapi langkah kaki yang mengejar kami semakin terdengar cepat. Badanku sudah sangat lemas untuk berlari. Tapi untuk keamanan kami berdua, aku tetap mengusahakan berlari sebisaku.

Aku yang terus berlari karena dikejar-kejar langkah kaki yang cepat tidak menyadari ada sesuatu yang menungguku di depan. "Brukk" tanpa sengaja tubuhku tertabrak oleh seseorang yang tiba-tiba berdiri di hadapanku. Tubuhku gemetar ketakutan, yang bisa kulakukan saat ini adalah memeluk Adikku seerat mungkin.

"T-tuan! Tolong jangan sakiti kami!" pintaku pada orang yang berdiri dengan tegap di hadapanku. Dia memegang pundakku, aku ingin menjauhkan tangannya, tapi gemetarannya seakan membuat seluruh tubuhku beku. Tidak terasa air mataku mengalir dengan deras. Yang kuingat kapan terakhir kali aku menangis adalah ketika ayah memilih pergi dengan istri barunya, setelah itu air mataku tak pernah lagi keluar. Lalu kenapa sekarang aku bisa kembali menangis? Aku bukannya tidak ingin menangis, hanya saja aku sudah terlalu lama memendam, sehingga hal sepele seperti ini bisa dengan mudah membuatku menangis.

Tempat itu begitu gelap hingga aku tidak bisa melihat wajah orang di depanku dengan jelas. Tapi suaranya terdengar begitu familiar. "Om Kevin!" teriakku kaget, dia langsung memelukku dan Stella.

"Berhentilah menangis! Masa iya seorang pen...." Aku langsung menutup mulut Om Kevin seerat-ratnya. Om Kevin hampir saja membuka rahasia terbesar yang kumiliki di hadapan Adikku.

Aku dan Stella kini bisa berdiri kembali, tapi kendala yang sama masih dihadapi oleh adikku bahkan kini lebih parah.

"Om! Boleh aku minta bantuan?" tanyaku pada Om Kevin.

"Hmm," jawabnya singkat.

"Om Kevin, bisa tolong bantu gendong Adikku nggak, Om?" tanyaku lagi pada pria bertubuh tinggi itu.

Tanpa menjawab, Om Kevin langsung jongkok di hadapan Adikku

Kami bertiga melanjutkan perjalanan ke ruangan level 4 dan level terakhir dengan beberapa kendala yang mudah dilewati dengan trik pencuri. Hingga akhirnya kami bertiga bisa keluar dengan selamat, meski Om Kevin dan aku memiliki luka di beberapa bagian tubuh karena terkena benda-benda tajam.

Kami bertiga menemui Mama di ruang tunggu, dan Mama menghampiri kami yang berdiri di depan pintu.

"Kenapa mata mu dan adikmu terlihat sembab?" tanya Mama sambil menatap tajam ke arah Om Kevin.

"Tidak, Ma! Dia tidak salah. Rumah hantunya yang bermasalah," ucapku sambil meyakinkan Mama. Setelah Mama yakin, Om Kevin, Mama, dan Stella saling berkenalan satu sama lain.

"Ma! Oliv jalan dulu ya sama Om Kevin, sekaligus mau ngomongin kerjaan. Ini uang Oliv, pakai aja kalau Mamah dan Stella mau belanja." Aku minta izin pada Mamah. Dia mengangguk dan kami segera pergi.

Sebenarnya banyak pertanyaan tersirat di kepala ku. Tentang bagaimana Om Kevin bisa ada di sini? Tentang bagaimana Om Kevin tahu bahwa aku tengah dalam bahaya? Tapi daripada aku mati penasaran, pertanyaan itu langsung aku tanyakan ke Om Kevin.

"Om Kevin!" panggilku yang sudah siap dengan banyak pertanyaan.

"Hhmm kenapa?" tanya Om Kevin dengan suara datar sambil terus berjalan menggandeng tanganku. "Pasti kamu ingin bertanya kenapa aku bisa di sini kan?" tanya dia lagi sambil menghentikan langkah kakinya, matanya yang indah menatapku dengan tajam tapi juga terlihat teduh. Kamu tahu apa yang kulihat dari matanya tersebut? Matanya menyatakan seakan-akan dia takut kehilanganku.

"Iya, Om Kevin," jawabku sambil membalas tatapan matanya.

"Untung saja aku sempat melacak keberadaan mobilmu. Kamu nggak sadar? Di lokasi Festival yang ada di aplikasi itu hampir semua komen tentang acara ini terlihat sama. Yang berarti memiliki kemungkinan bahwa komentar itu ditulis oleh orang dalam, meski ratingnya terlihat tinggi seharusnya juga harus tetap waspada, Oliv!" jawab Om Kevin habis-habisan memarahiku. Tapi apa yang dikatakannya ada benarnya juga. Setelah aku mendapatkan jawabanku, kami berdua melanjutkan menelusuri festival tersebut.

Om Kevin berjalan di sampingku dengan memegang tanganku. Beberapa kali dia mengusap kepalaku dengan lembut ditengah pembicaraan bisnis kami. Kami mampir ke beberapa tempat kuliner. Makanan-makanan yang disediakan di sini lumayan enak. Sebelum kami kembali ke tempat awal, Om Kevin mengajakku ke sebuah toko yang menjual berbagai macam aksesoris, seperti gelang, kalung, cincin, dan lain-lain.

"Ayo dipilih, ambil semua yang Oliv suka," ujar Om Kevin sambil lagi-lagi dia mengusap lembut kepalaku.

"Boleh Om?" tanyaku pada seorang duda yang kini berdiri di hadapanku. Om Kevin mengangguk sambil tersenyum. Kali ini senyumnya sangat berbeda, dia tidak lagi mendekatkan wajahnya ke wajahku hanya untuk menutupi senyum yang manis itu. Tapi perubahan sekecil itu tidak terlalu kuhiraukan. Aku melihat-lihat barang yang ada di toko itu, tapi tidak ada satu pun barang yang membuatku tertarik.

Aku terus berjalan menyusuri toko itu, tiba-tiba ada satu benda yang membuatku langsung tertarik melihatnya. Benda itu adalah sebuah gelang dari batu kecil berwarna hijau toska dan ditengahnya terdapat 3 permata yang tersusun rapi.

"Om, aku mau yang itu!" teriakku sambil menarik tangan Om Kevin untuk mendekat ke benda itu.

"Berapa harganya? Aku mau dua, apakah ada?" tanya Om Kevin dengan ekspresi datarnya.

"Pas sekali, Tuan. Barang ini limited edition dan hanya ada 2 di sini," jawab penjaga toko itu bersemangat. Om Kevin tersenyum tipis, baru kali ini aku melihat Om Kevin mau tersenyum pada orang lain. "Harganya 10 juta, Tuan!" ucap penjaga toko tersebut. Aku yang mendengarnya langsung kaget, tapi berbeda dengan Om Kevin, dia langsung memberikan Black Card-nya tanpa bertanya apapun lagi.

Om Kevin mengambil gelang yang sudah diberikan penjaga toko. Lalu memakaikan satu gelang ke tanganku dan satu gelang lainnya ke tangannya sendiri.

"Om, ini kemahalan!" Aku ingin mengembalikan gelang itu, tapi langsung dicegah oleh Om Kevin.

"Gausah! Lagian kamu suka kan gelangnya?" tanya Om Kevin, aku mengangguk mengiyakan. Setelah membeli gelang, kami berdua kembali ke tempat Mama berada dan segera pulang ke rumah. Om Kevin ikut dengan kami karena ia tidak membawa mobil.

"Besok Oliv, Om jemput ya! Mobilnya Om bawa pulang dulu," ucap Om Kevin lembut. Aku mengangguk, dan kami segera pulang sambil menelusuri jalanan kota yang lumayan indah.

Radharmy RD

Jika ada kesalah dalam penulisan, Author minta maaf yah ;) Have Fun ketika membaca :D IG : rdhrmy_027

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MAFIA Behind The MASK   Langkah Dalam Bayangan

    Aku berjalan gelisah di dalam apartemen. Pagi itu terasa sangat berat setelah malam yang penuh ketegangan. Panggilan misterius, ancaman yang belum jelas, dan kenyataan bahwa seseorang mengawasi setiap gerakanku membuat dadaku sesak.Julius masih duduk di sofa dengan ekspresi serius, sedangkan Angel sedang menyeduh kopi di dapur. Aku tahu mereka berusaha tetap tenang, tetapi aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di antara kami."Julius, apakah kamu yakin bahwa ini ada hubungannya dengan Om Kevin? " tanyaku pelan, duduk di seberang Julius, suaraku penuh kegelisahan.Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku tidak tahu dengan pasti, Oliv. Tetapi yang jelas, seseorang ingin membuatmu takut. Mereka ingin kamu menyadari bahwa kamu sedang diawasi," katanya dengan nada yang waspada.Aku meremas jemariku sendiri, mencoba menenangkan diri. "Jadi, apa langkah kita selanjutnya? " tanyaku dengan nada penuh harap.Angel meletakkan tiga cangkir kopi di meja dan duduk di sampingku. "Ji

  • MAFIA Behind The MASK   Panggilan Misterius

    Di sebuah malam yang gelap di kota New York, Aku sedang duduk sendiri di kamar yang tenangnya sesak oleh kesunyian. Om Kevin, yang biasanya selalu ada di sampingku, tiba-tiba pergi lima hari yang lalu. Aku merasa rindu dan cemas, tetapi ada hal lain yang juga mengganjal hatinya.Setelah terror kotak makanan tadi siang, Aku dan kedua sahabatku saling menguatkan satu sama lain. Julius yang menyadari kejanggalan ini menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya. Tentang apa yang terjadi padaku dan ada urusan apa yang dilakukan Om kevin sampai mengabaikan pesan darikuKetika malam semakin larut, Aku mendengar suara lonceng ponselku berdering. Ketegangan menaungi ruangan saat Aku melihat layar ponselku menunjukkan panggilan masuk tanpa nomor pengenal. Perasaan waspada memenuhi pikirannya, tapi penasaran dengan kemungkinan pesan dari Om Kevin membuatku menekan tombol untuk mengangkat panggilan tersebut."Hello," sapaku dengan suara ragu.Namun, jawaban yang diterima hanya suara bising yang tak je

  • MAFIA Behind The MASK   Terror yang Pertama

    Hari ini tepat lima hari Om Kevin meninggalkan aku bersama dua orang yang semakin hari semakin menyebalkan. Udara pagi New York yang sangat dingin membuatku enggan untuk keluar kamar dan menemui kedua sahabatku. Tapi entah kenapa satu malam ini perasaanku benar-benar tak karuan. Penyebabnya bukan hanya aku rindu Om Kevin, tapi ada hal lain juga yang mengganjal hatiku.*Ting Tong* bell berbunyi, aku yang mendengar bell di tekan hanya diam dan tidak peduli tentang siapa yang menekan tombol tersebut. Aku ingat pesan Om Kevin, tentang jangan membukakan pintu untuk siapapun kecuali untuk dirinya."Oliv! apa kamu memesan makanan Online?" tanya Angel dari balik pintu kamar."Aku tidak memesan makanan apapun, Angel! Stok makanan kita saja masih banyak di dalam kulkas, mana mungkin aku begitu boros untuk memesan makanan Online," jawabku yang berjalan ke arah pintu kamar dan membukakannya untuk Angel.Aku dan angel yang sibuk bertanya-tanya siapa yang memesan makanan Online sama-sama melirik ke

  • MAFIA Behind The MASK   Hak Asuh Jessi

    *POV Kevin Pranata Agraha*Empat hari setelah pergi meninggalkan Oliv. Pagi itu bertepatan di kediaman Kevin, sebuah keributan besar terjadi di rumah itu."Tak akan kubiarkan hak asuh Jessi jatuh ke tanganmu!" teriak seorang Pria yang terkenal dengan sifat dinginnya. Ia memeluk erat anak perempuan semata wayangnya itu."Aku mohon, Kevin! Tolong berikan hak asuk Jessi padaku. Aku berjanji padamu akan merawat Jessi dengan sebaik mungkin," ucap wanita yang sudah tidak punya urat malu itu."Plak." Satu pukulan melayang ke pipi yang sudah mengkhianati laki-laki itu."Sadar dengan ucapan mu Grace! Atas dengan alasan apa aku harus memberikan hak asuh Jessi kepadamu? Selama lima tahun aku merawat Jessi sendirian tanpa ada sedikitpun kontribusi dari Ibunya! Sekarang, kamu datang dengan muka busukmu itu untuk meminta hak asuk Jessi? Dimana rasa malumu Grace?" cercah Kevin habis-habisan menghantam Grace dengan kata-kata tajamnya."Aku mohon padamu Kevin, berikan aku satu kali kesempatan untuk mer

  • MAFIA Behind The MASK   Suka Duka Bersama

    "Prankkk!" sebuah barang jatuh dari dapur. "Juliuss!" teriak Angelina bersamaan dengan barang jatuh itu. Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Dua orang tamu yang baru datang tadi malam sedang membuat keributan di dapur. Aku yang masih menikmati waktu tidurku ikut terganggu mendengar keributan itu. "Mereka kenapa sih?" tanyaku sambil berusaha membuka mata yang kini terasa berat. Setelah mengumpulkan nyawa, aku berjalan ke arah cermin untuk melihat wajahku terutama di area mata. "Benar-benar sembab, apa mereka melihatnya?" gumamku dengan perasaan takut. Aku segera ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan merelaksasikan tubuhku yang mulai kelelahan. Selesai mandi aku memakai beberapa rangkaian perawatan kulit untuk menutrisi kulit dan juga mengurangi sembab yang ada di mataku. Kamar hotel yang aku tempati lumayan luas, aku tinggal di lantai 20 yang bertema VVIP yang hanya berisi enam kamar. Satu kamar sudah memiliki fasilitas lengkap, seperti ruang tamu dengan kursi yang bisa

  • MAFIA Behind The MASK   Tamu Tak di Undang

    Setelah di tinggal oleh Om Kevin, aku menghabiskan kesendirianku hanya dengan main game, menonton film, makan-makan dan masih banyak lagi. "Sekarang apa yang harus aku lakukan?" Bertanya pada diriku sendiri. Aku kembali duduk di balkon sambil menikmati angin dan matahari sore. Pemandangan yang indah jika dinikmati bersama orang yang menyayangimu. "Sekarang aku benar-benar kesepian," ucapku dengan kembali membuka game buatan Stella. Sebelum login game, seseorang tanpa nama mengirim pesan private kepadaku. "Aku akan balas dendam padamu!" "Tak akan kubiarkan kamu hidup tenang!" "Kamu akan mati di tanganku!" Tulisnya dalam pesan terkunci itu. Aku yang lebih mementingkan kesepianku hanya tersenyum tipis melihat pesan itu. "Mau aku mati di tanganmu atau di tangan orang lain, siapa yang akan peduli tentang kematianku!" gumamku dalam hati sambil meneruskan permainan yang sejak tadi menunggu dimainkan. ***Dua hari kemudian*** *Ting, ting, ting* bel pintu terus berbunyi. Aku yang s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status