Share

Romantis Sesaat (18+)

"Tok Tok tok." Seseorang mengetuk pintu rumah kami. Aku masih sibuk dengan riasan dan pakaianku.

"Stella, ada yang mengetuk pintu. Tolong dibukakan!" teriakku meminta pada Stella yang kamarnya berada di samping kamarku. 

Beberapa menit kemudian, Stella masuk ke kamarku tanpa izin. Tapi bagiku itu bukanlah suatu masalah.

"Siapa yang datang?" tanyaku pada Adikku.

"Om Kevin, Kak!" Jawabnya sambil ingin melangkah pergi. 

"Tunggu dek. Tolong buatkan dia air minum ya. Dan katakan padanya, kakak mau membereskan berkas dulu. Nanti kakak segera menyusul," pintaku pada Stella. Dia mengangguk dan pergi dari kamarku.

Ku keluarkan sebuah Map besar dari laci meja di samping tempat tidurku. Lalu kuambil beberapa berkas penting dari laci lainnya. Tidak lupa dengan undangan penting itu juga kumasukkan dalam Map yang akan ku bawa untuk perjalanan bisnis ini. Sebelum menemui Om Kevin, aku berdo'a terlebih dahulu.

"Lindungi aku dan yang lainnya Tuhan. Semoga rencana kali ini berjalan lancar," ucapku dalam hati. Lalu aku melangkah dari kamar untuk menemui Om Kevin.

                                  ***

"Pagi, Mama! Pagi, Om Kevin!" sapaku pada mereka berdua yang sedang berbincang santai di ruang tamu. 

"Pagi, Oliv sayang!" Mama membalas sapaan ku, dia berdiri dan mencium puncak kepalaku. "Berangkat sekarang?" tanya Mama sambil menatap aku dan Om Kevin bergantian.

"Iya Ma", "Iya Tante," jawab kami barengan. Mama tersenyum mendengar jawaban kami.

"Mr.Kevin! Tolong jaga anak saya di sana!" pinta Mama serius pada lelaki bertubuh tinggi yang berdiri dihadapannya. Om Kevin tersenyum lalu mengangguk mengiyakan.

Kami berempat berdiri di depan pintu rumah. Aku dan Om Kevin izin pamit pada Mama dan Stella. Kami berdua memasuki mobil, aku melambaikan tangan ku kepada dua orang yang selalu menanti kepulangan itu.

Mobil semakin menjauh dari rumah, kini kami sudah berada di muka gang yang menuju jalan utama. Selama perjalanan aku lebih banyak diam. Perasaanku mulai bekecamuk ketika meninggalkan rumah. 

"Kenapa lebih banyak diam? Biasanya kamu paling cerewet!" tanya Om Kevin dengan terus fokus pada jalan di depannya.

"Oliv takut, Om!" ucapku tanpa berpikir. Pandanganku tidak teralih dari jalanan yang terlihat lebih ramai daripada biasanya

"Takut? Mau pulang saja? Jangan terpaksa dengan sesuatu yang tidak membuat dirimu nyaman!" ujar Om Kevin. Dia ingin membelokkan mobilnya, tapi langsung ku cegah.

"Jangan, Om!" teriakku kaget. "Kita terus aja, Oliv cuma takut kalau dalam misi yang penting ini Oliv gagal dan mengecewakan kalian semua" ucapku sambil menundukkan pandanganku. 

"Oliv! Ini bukan misi penting pertama yang kamu coba. Misi kali ini sama, hanya saja partner kerjamu kali ini adalah para senior yang sudah terpercaya dalam misi mereka. So, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Om Kevin mencoba menenangkan ku. Sekarang rasa percaya diriku mulai kembali sedikit demi sedikit.

"Oh iya Om, kita kan belum memesan tiket pesawat?" ujar ku sambil memandang Om Kevin yang sedang fokus menyetir.

"Kalau ada pesawat pribadi! Untuk apa tiket pesawat?" tanya Om Kevin sambil menaikkan salah satu ujung bibirnya dan tetap fokus menyetir. 

"Dari samping aja ganteng, apalagi dari depan," gumam ku dalam hati dengan senyum-senyum sendiri. Tampaknya Om Kevin menyadari kelakuan anehku.

"Kenapa senyum-senyum? Suka?" tanya Om Kevin blak-blakan dengan nada mengejek.

Aku refleks mengatakan iya tanpa disengaja. Sedangkan Om Kevin sudah tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan ku.

"Udah Om! Jangan diketawain, Oliv jadi malu!" ucapku sambil menutup wajah yang mulai terasa hangat. 

"Iya-iya tidak lagi," ujar Om Kevin masih tertawa. "Kamu tidur saja, nanti Om bangunin kalau sudah sampai di tempat tujuan. 

Ku ambil earpods yang ada di dalam tas kecil ku. Lalu kuputar musik dari ponsel dan mulai memejamkan mataku yang mulai mengantuk. Karena belum tertidur sepenuhnya, samar-samar kulihat Om Kevin memandangiku dengan tersenyum. Sekarang Om Kevin sudah mengambil posisi sebagai Ayah di dalam hatiku. Meski sikapnya dingin, tapi perhatian kecil darinya sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa terlindungi.

Tiga jam berlalu, akhirnya kami sampai di tempat pesawat pribadi Om Kevin terparkir.

"Olivia bangun!" pinta Om Kevin sambil mengguncang pelan tubuhku. Kesadara ku kembali dengan perlahan.

"Udah sampai, Om?" tanyaku sambil berjalan keluar mobil dengan keseimbangan yang belum sepenuhnya muncul. Aku hampir jatuh, tapi Om Kevin dengan sigap menangkap tubuhku yang dominan sangat kecil dibanding tubuhnya.

"Ya Ampun Oliv!" teriak Om Kevin kaget. "Kalau belum sepenuhnya sadar, jangan jalan dulu! Mau Om gendong?" seru Om Kevin sambil menawarkan bantuan padaku.

"Iya Om," ucapku tanpa sadar. Dengan senang hati Om Kevin menggendong tubuhku yang mungkin sangat ringan untuknya. Dia membawaku menaiki anak tangga pesawat, lalu meletakkan tubuhku di kasur empuk ada di pesawat itu. Om Kevin duduk disampingku dengan mengusap kepalaku lembut. 

"Olivia!" panggilnya lembut sambil menatap wajahku secara mendalam. Kali ini aku tidak bisa melihat Om Kevin yang biasanya. Yang terlihat hanyalah Om Kevin yang perhatian, tidak ada tatapan dingin atau aura ketus diwajahnya. Tatapan Om Kevin yang dalam membuat tubuhku membeku, otakku yang cerdas seakan berhenti bekerja.

"Om jangan menatap Oliv seperti itu," pintaku pada Om Kevin. Pipiku terasa menghangat, aku yakin sekarang kedua pipiku sangat merah sekarang.

"Kali ini saja!" ucap Om Kevin dengan suara yang mulai terdengar berat.

Aku paham tapi tidak ingin memahami. Seluruh tubuhku rasanya membeku tapi juga menghangat. Om Kevin mendekatkan wajahnya ke wajahku. Ingin rasanya aku menolak, tapi tubuhku benar-benar membeku kali ini. Bibir dan lidahku terasa kelu tidak bisa berkata apa-apa. Sekarang aku hanya bisa pasrah dan menerima perlakuan Om Kevin. Menolak pun rasanya percuma, hatiku juga menginginkannya.

Semakin dekat wajahnya semakin dalam juga tatapan matanya. Om Kevin mengelus leherku lembut sehingga membuat tubuhku bergidik ngeri. Tanpa aba-aba Om Kevin langsung mencium bibirku dan melahapnya secara perlahan. Tubuhku menegang saat Om Kevin melakukannya tanpa izin dariku. Semakin lama semakin dalam dan panas ciuman Om Kevin. Tapi tidak ada sedikitpun bagiku niat membalas ciuman darinya yang menghangatkan itu. Permainan saat ini mulai liar, tangan Om Kevin sudah menjalar kesana-kemari. Tidak ada penolakan dariku, malah tubuhku semakin lama semakin menikmati permainan dari Om Kevin. Tapi tetap saja diriku tidak ingin membalas ciuman dari Om Kevin.

"Hmm...." desahku pelan. Saat itu juga Om Kevin semakin liar dan membuka pengait bra yang menutupi aset berharga milikku. Tapi aku tidak ingin Om Kevin berbuat lebih seenaknya. Kuhentikan permainan tangannya yang mulai tidak terkendali. Kulepas ciuman dari bibirnya yang tidak terbalas. Om Kevin menatapku dengan tatapan kecewa. Dia bergegas pergi ke kamar mandi dan menyelesaikan kegiatan panasnya disana sendirian. 

Aku paham apa yang dirasakan Om Kevin saat ini. 5 tahun tidak melakukannya, membuat Om Kevin menjadi gila seperti sekarang ini.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Om Kevin keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Dia mendekat kearah ku lalu duduk ditempat yang sama seperti saat dia melakukan kegiatan panas tadi. Lelaki duda di hadapanku ini memegang kepalaku dengan lembut lalu mengecup singkat dahiku.

"Terima kasih! Rasanya manis! First Kiss?" tanya Om Kevin dengan suara yang kembali normal dan senyum yang tidak memudar sejak saat dia keluar dari kamar mandi tadi. Aku mengangguk dan memalingkan wajahku agar tidak terlihat oleh Om Kevin.

"Terima kasih untuk apa?" tanyaku dalam hati sambil mengerutkan dahiku. Aku tidak lagi peduli dengan keadaan saat itu. Aku lelah dan ingin istirahat, Om Kevin juga sdh kembali ke kursi yang masih 1 ruangan denganku. Kupejamkan mataku yang mulai terasa berat, lalu beberapa dektik berlalu aku terlelap tanpa peduli orang disekitar ku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status