Kirani bangun kesiangan. Suaminya sudah tidak ada di tempatnya. Ke mana perginya?
Kirani merenggankan otot. Dia merasa kepalanya cukup pusing. Ketika dia hendak bangkit tiba-tiba perutnya kembali bergejolak.
Wanita itu langsung terbirit menuju kamar mandi. Dia muntah lagi. Bahkan sampai mengeluarkan cairan berwarna kuning yang rasanya amat pahit.
"Kenapa, Ran?" Suara sang suami terdengar di pintu.
"Gak tahu nih mual banget," jawab Kirani lemah.
Dia membasuh mulutnya hingga bersih. Karena sih ada waktu untuk ibadah pagi, Kirani sekalian berwudhu. Ketika keluar, Rain sudah tidak ada lagi.
Wanita itu menggelar sajadah sajadah walau waktu sudah mau pukul enam pagi. Tidak biasanya dia terlambat bangun seperti ini. Lebih anehnya tiba-tiba Kirani merasa tubuhnya tidak nyaman.
Usai mengucap salam, Kirani melipat mukenanya. K
"Selamat ya, Ran." Akhirnya setelah mampu mengendalikan perasaan, bibir Shila mampu berucap kalimat demikian. Walau pun senyumnya terlihat begitu amat dipaksakan. Gadis itu menyelonongkan tangan. "Makasih banyak, Mit," balas Kirani bahagia. Dia yang biasa dekat dengan Shila langsung menjabat tangan mungil itu. Kirani juga memeluk sahabat akrabnya tersebut. Namun, wanita itu merasakan jika Mita hanya diam bergeming tanpa mau membalas dekapannya. "Ini tumben Kak Nathan main ke sini pagi, biasanya ada di sini pagi itu kalo nginep malemnya," ujar Kirani usai melepas pelukan. "Shila minta diantar ke sini. Penasaran dengan markas," sahut Nathan sedikit mengerling pada Shila. "Aduh ... dulu padahal udah sering banget aku ajak Mita mampir ke sini. Tapi dianya gak mau," tutur Kirani dengan tersenyum kecil. Shila hanya terdiam. Baginya jika dulu dia enggan ke markas demi bisa menghindari perasaan aneh yang mendera, yakni menyukai Rain. Ber
Setelah Kirani duduk, Rain membuka pintu mobil depan. Dirinya duduk berdampingan dengan Ayon yang pegang kemudi. Jam sibuk sudah berlalu. Sehingga Ayon tidak terjebak macet. Pria itu membawa bos dan istrinya ke rumah sakit terdekat di daerah Fatmawati.Hanya dua puluh menit berkendara, Ayon sudah bisa memarkirkan mobilnya dengan rapi di parkiran rumah sakit. Ketiganya turun dari mobil. Rain dan Kirani berjalan menuju lobi. Sedangkan Ayon pergi mencari tempat tongkrongan yang asyik buat menunggu. Rain dan Kirani menuju loket untuk mengantri nomor antrian. Begitu dapat keduanya menuju poli kandungan. Beruntung karena poli Obgyn sedang tidak terlalu ramai. Sepuluh menit menanti, akhirnya nama Kirani pun dipanggil perawat. Pasangan suami istri itu masuk ke ruang praktek dokter. Kirani mendapatkan pemeriksaan dengan baik. Ternyata usia kandungan Ki
"Ngga, cari keberadaan Shila saat ini!" suruh Tama dengan menahan emosi."Mo ngapain?" Mata Ingga menyipit."Lu b*dek apa pura-pura b*go?" Mata Tama terbeliak lebar, "udah jelas gue butuh duit dari dia, pake nanya segala," ketusnya terlihat sekali geram."Tam, plis deh!" Ingga menatap sobat dengan lurus tanpa ada rasa takut. "Udah berapa kali gue bilang? Jangan grusa-grusu kek gitu! Bikin ancur segala planning kita. Terus juga yang ada Shila makin jauh sama kita," paparnya memperingatkan."Terus sekarang gimana? Barang gue berhasil digagalkan. Gue butuh duit," cerocos Tama menyugar rambutnya."Calm down, Beibz," bisik Ingga dengan sedikit meniup bagian belakang telinga Tama. Gadis itu tahu titik-titik terlemah sang pria. Dan itu cukup meredam emosi Tama yang sempat meledak-ledak barusan. "Biarkan Shila merampungkan kerjaannya dulu. Kalo sudah kembali ke Jakarta baru kita dekati.""Alaaah ... kelamaan!" sahut Tama tidak sabaran. Lelaki itu me
Walau begitu dia berusaha menekan suaranya selirih mungkin. Shila tidak ingin Kirani terbangun karenanya. Memalukan sekali jika sampai Kirani tahu kalo dirinya masih mengemis cinta suaminya."Kita dalam fase break saat kamu menghilang pergi, Shil. Itu sama aja kita lagi gak ada hubungan," jelas Rain mencoba tenang. Ada rasa bersalah saat melihat mata Shila berkaca-kaca lewat spion.Shila sendiri juga tetap menatap Rain lekat lewat spion. Dapat ia tangkap jika manik elang Rain mengandung keseriusan."Bertahun-tahun aku memang sangat menyesal atas menghilangnya kamu. Aku bahkan sempat berpikir tidak mau akan mengenal perempuan lain lagi selain kamu. Ternyata takdir berkata lain, Shila," tutur Rain hati-hati.Selain menjaga perasaan Shila, dia juga tidak mau pembicaran ini sampai terdengar oleh Kirani. Karena Rain tahu, istrinya pasti akan merasa bersalah karena telah menjadi penghalang suatu hubungan di masa lalu."Sebentar lagi aku akan menjad
Kirani tertegun melihat aksi dramatis dari sahabatnya. "Mita ....""Jangan sentuh aku!" tolak Shila ketika Kirani mengulurkan tangan. "Dan sekali lagi aku tekankan, jangan pernah panggil aku dengan nama Mita! Namaku adalah Shila," tegasnya dengan mendongak tajam."Kenapa jadi kekanak-kanakan begini, Shila?" tegur Rain terlihat kecewa, "Shila yang kukenal adalah seorang gadis yang berpikiran dewasa.""Mitaku juga seorang gadis yang selalu bersikap lemah lembut. Tidak pernah marah sekali pun terluka." Kirani ikut menambahkan.Berpegangan pada tangan Nathan yang terulur, Shila mencoba bangkit. " Manusia pasti punya batas kesabarannya, Kiran. Dan jujur aku cukup sakit hati karena telah dikhianati oleh kawan karib sendiri."Kirani terpaku. Dia tidak menyangka jika patah hati mampu merubah karakter seseorang. Melihat Shila berurai air mata, hatinya menjadi kacau.
Gadis itu meraih handuk. Shila mengeringkan badan. Karena lupa tidak membawa pakaian ganti, dirinya terpaksa memakai bajunya yang tadi. Shila pun lekas membuka pintu kamar mandi."Non Shila ditunggu teman-temannya di meja makan," kata Bibik begitu Shila keluar."Eum ... antarkan saja makanannya ke kamar aku ya, Bik!" suruh Shila pelan."Baik." Bibik mengangguk.Shila menderap langkah menuju kamar. Di meja makan dia melihat Rain tampak sibuk menyuruh sang istri untuk makan. Sementara Nathan langsung melambai padanya.Shila tidak menggubris lambaian itu. Dirinya terus mengarah ke kamarnya sendiri. Begitu masuk ternyata ponselnya tengah berdering. Ada nama Tama terpampang di layar. Pemuda itu melakukan panggilan video."Hai ... Sayang." Di seberang sana Tama langsung melambai begitu Shila mengangkat teleponnya.Shila se
"Mencintai suami orang itu dosanya besar. Sedangkan mencintai lajang seperti aku, halal," ujar Nathan tampak begitu serius.Sementara bagi Shila, pernyataan Nathan seperti tamparan keras baginya. Dia merasa terlalu menuruti keinginan hati yang salah, yakni memaksakan cinta dari suami orang. Bahkan statusnya suami kawan sendiri."Kenapa bengong? Lagi membenarkan omongan aku?"Tebakan jitu dari Nathan membuyarkan lamunan Shila. Gadis itu menipiskan bibir. Sedikit tersipu karena isi pikirannya mampu diterka oleh Nathan."Gaklah! Kamu ngomong apa sih?" Shila pura-pura sewot untuk mengalihkan perhatian."Kalo hati kecil kamu ngebenerin omongan aku, itu tandanya hati nuranimu masih hidup, Shil." Nathan berbicara dengan serius, "karena seorang wanita pasti tahu rasanya sakit hati jika suaminya direbut orang. Apalagi oleh orang yang dekat dengan kita."Sindiran telak dari Nathan membuat Shila terbungkam."Andai juga kamu berhasil memaks
Keduanya menghabiskan makanan tanpa bicara lagi. Hanya saling menyuap secara bergantian. Setelah habis, Nathan pamit keluar.Pemuda itu membawa nampan berisi piring kotor tersebut dengan hati yang semringah. Dia menaruhnya di bak cucian piring. Setelah itu kakinya menderap ke belakang vila.Pasangan suami istri tersebut memang tinggal di sebuah paviliun di belakang vila. Tampak Mamang tengah duduk di hadapan api unggun. Sementara tangannya menaruh jagung manis pada api tersebut.Udara malam memang cukup menusuk tulang. Pria itu tampak kedinginan walau pun sudah mengenakan pakaian tebal. Nathan datang mendekat. Dengan cekatan Mamang langsung menyodorkan jagung hasil bakarannya."Makasih, Mang. Bibik mana?" tanya Nathan semringah menerima jagung bakar tersebut. Pemuda itu lekas menikmati penganan tersebut."Kecapekan. Sudah tidur sekarang," jawab Mamang sembari membakar jagung yang lain.Tidak lama Rain datang. Kembali Mamang langsung me