Sampai hari berganti dan para pelayat sebagian besar pergi untuk datang lagi di acara pemakaman nanti, tapi Ali masih duduk di lantai marmer dingin itu.
Di hadapannya, tubuh Akung terbujur kaku. Tak ada lagi suara napas berat atau gerutu khas saat pagi datang. Tak ada suara Akung memanggil namanya, tak ada tangan hangat yang menepuk pundaknya.
Dan seketika dunia Ali terasa hening, tak ada suara, tak ada waktu, hanya detik-detik hampa yang menusuk dada.
Pelan-pelan, air matanya kembali jatuh. Ia tidak bisa berhenti menangis, meski tidak ada suara dari bibirnya. Hanya wajah yang kusut dan mata yang sembab.
Sampai hari berganti dan para pelayat sebagian besar pergi untuk datang lagi di acara pemakaman nanti, tapi Ali masih duduk di lantai marmer dingin itu.Di hadapannya, tubuh Akung terbujur kaku. Tak ada lagi suara napas berat atau gerutu khas saat pagi datang. Tak ada suara Akung memanggil namanya, tak ada tangan hangat yang menepuk pundaknya.Dan seketika dunia Ali terasa hening, tak ada suara, tak ada waktu, hanya detik-detik hampa yang menusuk dada.Pelan-pelan, air matanya kembali jatuh. Ia tidak bisa berhenti menangis, meski tidak ada suara dari bibirnya. Hanya wajah yang kusut dan mata yang sembab.
Sinar matahari menari pelan di sela tirai, menyentuh kulit dua insan yang masih terbungkus selimut hangat. Nafas mereka tenang, dengan tubuh mereka masih bertaut, seperti enggan berpisah dari malam yang telah mereka lalui.Dahlia terbangun lebih dulu. Ia menatap suaminya yang masih terlelap dengan rambut berantakan dan wajah damai, wajah yang malam tadi membuatnya lupa segalanya.Dengan lembut, ia mengecup dahi Ali, “Pagi, Mas…” bisiknya manja.Ali membuka mata perlahan, mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya tersenyum lelah, “Hmm… pagi… istri tercintaku yang bikin aku gempor.”
Langkah Citra terdengar tenang saat menyusuri rumah besar milik Akung Hasan. Seperti biasa, ia membawa tas kecil berisi alat cek tekanan darah dan beberapa botol vitamin yang diresepkan rekan dokternya yang sudah beberapa kali memeriksa kesehatan Akung.Senyumnya tetap lembut, tatapannya ramah, dan bicaranya manis pada pelayan rumah yang menyapa. Tapi siang itu, setelah melihat senyuman Akung yang biasanya menyambut dengan hangat, tampak lebih datar, ia merasa aneh.“Kakek… udah minum obat pagi, belum?” sapa Citra sambil duduk di sisi kanan kursi rotan besar tempat Akung biasa duduk membaca koran.“Udah, Nduk… barusan tadi Rudi yang ngingetin sebelum ngantor,” jawab Akung pelan.“Oh, ya udah. Sekalian Citra cek tekanan darahnya, ya,”Akung hanya mengangguk pelan, tapi tidak buru-buru menyodorkan lengannya seperti biasanya. Tatapannya justru menatap Citra dalam diam, dalam keheningan yang membuat perempuan itu sedikit canggung.“Kake, kenapa? Ada yang salah?” tanya Citra mencoba tetap
Cahaya matahari pagi menyusup dari sela tirai putih yang melambai lembut. Dahlia membuka matanya perlahan, dan hal pertama yang ia lihat adalah dada bidang suaminya, tempat kepalanya bersandar semalaman.Ali masih tertidur dengan napasnya yang teratur, tangannya tetap melingkari pinggang Dahlia, seolah takut istrinya bisa menghilang dari pelukannya.Bersamaan dengan Dahlia yang mengangkat wajah sedikit, Ali juga mulai membuka mata, “Pagi…” gumamnya dengan suara serak seksi khas baru bangun.Dahlia tersenyum malu, “Pagi juga…”Ali menariknya makin dekat. “Masih sisa baterainya, Sayang?”“Kelihatannya gimana?” jawab Dahlia, membenamkan wajahnya di leher Ali.Ali tertawa pelan, “Syukurlah kamu masih bisa bangun. Aku kira kamu bakalan lemas kehabisan tenaga karena aku pakai semalaman,”Dahlia mencubit pinggangnya, “Mas!”Ali meringis dibuat-buat, “Istri aku galak banget pagi-pagi, padahal suaminya udah lembur semalaman buat siramin cinta semalaman,”Dahlia memukul dada Ali pakai bantal ke
Ali bersandar santai di kursinya, sementara mata tajamnya menatap Dahlia seperti pria yang sudah lama menahan diri dan kini tak berniat menahan lagi.“Cantik banget…” bisiknya, matanya menyapu tubuh istrinya dari ujung kepala hingga kaki.Dahlia menunduk, malu-malu. “Mas, jangan lihat aku kayak gitu. Malu ih,”Ali tersenyum miring, “Kenapa? Istri aku sendiri kok. Masa aku dilarang lihat menu yang udah punya aku, sih?”Dahlia mencubit lengan suaminya pelan, “Nakaaa—”Belum selesai memprotes, Ali sudah mencuri kesempatan membisik di telinganya, dengan suara rendah dan panas, “Nanti malam… kamu mau pake dress yang mana buat aku buka pelan-pelan?”Dahlia membeku, wajahnya langsung merah seperti tomat, dan Ali tertawa puas.“Aku serius. Kamu cantik banget malam ini, Yang, dan aku ngerasa berdosa banget kalau malam ini cuma dihabisin sama ciuman manis doang.”Dahlia terbatuk kecil, pura-pura minum. Tapi Ali tidak berhenti.“Waktu kamu jalan datangin aku tadi, aku sempat mikir, kayaknya ini
Restoran itu tenang, elegan, dan privat, sejenis tempat yang biasanya digunakan untuk momen romantis, lamaran, atau makan malam istimewa.Citra datang lebih dulu, mengenakan gaun merah marun selutut dengan sepatu hak tinggi mengilap. Rambut disanggul manis, lipstik senada, dan parfum yang menyeruak manja setiap kali ia bergerak.Ia duduk di meja yang sudah dipesan atas nama Al-Ayubi Hasan, jantungnya berdebar, tangannya sedikit gemetar karena antusiasme."Dia ngajak aku makan malam berdua, di tempat begini?"Citra tersenyum kecil sambil melirik pantulan dirinya di kaca jendela, "Lambat laun, semua bakalan berjalan sesuai mau ku."Lima menit kemudian, Ali datang.Pakaiannya rapi, jas kasual abu gelap dipadukan dengan kemeja putih bersih. Namun wajahnya bukan wajah pria yang datang untuk menggoda. Tatapannya tenang, namun tajam dengan langkahnya yang mantap.