Berharap memiliki keluarga yang utuh dan bahagia bersama Juan, Dahlia sanggup menahan omelan dan hinaan sang ibu mertua. Sebutan si Gendut, style gembel, dan perempuan mandul, seolah biasa terdengar selama setahun pernikahannya. Tepat di hari kepulangan Juan, Dahlia mendapati suaminya itu memadu kasih dengan sahabat karibnya sendiri—Nila, di kamar mereka. Adapun sang ibu mertua malah menyalahkan Dahlia. “Kenapa Ibu diam aja setelah tau Mas Juan selingkuh?” tanya Dahlia lirih sambil menutup mulutnya menahan tangis. “Salah sendiri jadi istri nggak guna. Nggak cantik, gila jabatan, eh mandul pula!” jawab sang ibu mertua tanpa belas kasihan. Bagaimanakah Dahlia bertahan dengan pengkhianatan dan kesakitannya dari orang-orang terdekatnya itu?
View MoreGoldwin Estate, kawasan perumahan mewah di tengah kota Bandung itu berkilau disinari matahari pagi ini. Di salah satu unit dua lantai di kawasan itu tercium aroma daging sapi yang dipanggang. Tampak di sana seorang wanita muda berkacamata minus dengan rambutnya yang dikuncir ekor kuda, tengah tekun menyiapkan makanan untuk mertuanya.
Dahlia, perempuan muda berusia 25 tahun dengan berat badan 65 kilogram itu begitu telaten membuat makanan enak untuk keluarganya. Tapi keikhlasan hatinya itu harus terganggu dengan cibiran ibu mertuanya yang pedas.
“Lia, masih belum siap juga? Masak apa, sih, kamu? Sengaja mau buat mertua kamu kelaperan, ya?!” dari belakang Dahlia, suara sang ibu mertua—Bu Bani, mendekat.
Belum lagi Dahlia menjawab, tangan sang ibu mertua langsung mencomot masakan Lia yang sudah lebih dulu diletakkan di piring saji, “Apaan, nih? Asin banget.”
[Meludah]
“Memang beneran sengaja mau buat mertua kamu modar cepat, ya? Mana bisa ibu makan makanan yang garamnya sekilo gini!” sambung Bu Bani mengejek masakan Dahlia. Tapi tetap saja wanita itu menyuapi sisa daging ‘asin’ di tangannya ke dalam mulut.
“Kamu itu bisanya apasih? Bisa-bisanya makan gaji buta aja! Kasihan banget anak saya gaji istri nggak guna kayak kamu. Cantik nggak, tambah gendut iya. Minimal bayar pembantu kalau kerjaan kantor kamu banyak!”
Dahlia yang murung hanya bisa menghela napas berat sambil mengelap keringat di dahinya. Posturnya yang bertubuh subur itu memang lebih mudah berkeringat, apalagi di dapur yang notebene berhadapan dengan paparan api kompor.
“Ibu…” ucapnya yang kini terpaksa mengubah kemurungan menjadi senyum seolah tidak terjadi apa-apa, “Maafin aku ya kalau keasinan. Lagian dari tadi aku udah tanya ke Ibu bolak-balik, tapi Ibu terus bilang terserah, kan, Bu?”
Jawaban Dahlia tidak bisa dibantah karena benar, itu juga karena mulut sang ibu mertua sedang sibuk mengunyah comotan daging yang sudah keberapa kalinya dari piring saji tadi.
Melihat itu Dahlia kembali memperhatikan daging panggangnya.
“Lia, ambil cuti. Ibu nggak mau tahu, minggu ini kita ke rumah sakit!”
Dahlia kembali menoleh ke belakang, “Ibu sakit? Biar aku panggilin dokter langganan aja. Ibu mau?”
“Nggak usah pura-pura terus kenapa, sih?” seketika celetukan Ibu Bani kembali membuat Dahlia murung. Ia mulai tahu inti pembicaraan ini.
“Kamu sama Juan itu udah setahun nikah, kan? Habis nikah, Juan masih di Bandung sama kamu. Tapi kamu kok belum hamil? Itu nggak jelas jadi masalah di mata kamu?”
“Mau pura-pura nggak ngerti apa memang kamu yang nggak sadar diri, sih? Apa harus banget kamu dengar dari ibu kalau kamu itu perempuan man—“
Dahlia sudah tidak tahan. Ia mematikan api kompor dan kemudian berbalik, “Ibu, makasih banget Ibu peduli sama kami. Tapi bukannya aku yang nggak ngerti atau nggak peduli. Ini pasti karena Mas Juan yang belum bilang ke Ibu, kan?”
“Bilang apa?”
Deg…
Bibir Dahlia terkatup seketika. Tidak mungkin dirinya mengatakan hal yang sebenarnya pada sang ibu mertua bahwa anaknya itu tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Dan kalaupun semua ketahuan, sudah pasti kekurangan fisiknya yang akan disalahkan.
“Mas Juan bilang kami harus pergi ke rumah sakit berdua aja. Tapi tunggu dia punya waktu luang. Ibu juga tau, kan, sebelum tugas ke Papua, banyak panggilan kantor yang bikin kepala Mas Juan pusing. Yang begituan juga pasti ngaruh buat pembuahan, Bu,”
“Nanti, waktu udah balik dan kalau capeknya Mas Juan udah hilang, kami bakalan ke rumah sakit bareng kok, Bu.” Dengan senyum yang terus ia paksakan, Dahlia menjelaskan dan sang ibu mertua akhirnya menyerah.
“Ya udah, ibu bisa ngerti urusan pribadi kalian. Tapi coba dengar ibu yang satu ini, Lia,” ucapnya lagi dan Dahlia semakin serius mendengarkan, “Ibu dengar kamu diangkat jadi kepala manager cabang Bandung. Kerjaan kamu pasti tambah banyak, kan? Trus program hamilnya kapan kalau kamu sama Juan sama-sama capek?”
‘Ah, itu toh yang mau dibahas dari tadi,’ batinnya miris berucap.
“Aku juga maunya gitu, Bu. Tapi keputusan soal jabatan kantor mutlak dari atasan. Mereka juga nggak sembarangan naikin jabatan, toh. Kalau ada yang lebih baik dari Lia, ya monggo aja,”
“Kan ada suami kamu. Apa kamu nggak bisa promosiin Juan? Masa suami jabatannya kalah sama istri? Kejam banget kamu, ya!” Bu Bani kembali ketus saat merasa Lia sungguh tidak bisa diandalkan untuk penopang karier anak tunggalnya itu.
“Ya walaupun Mas Juan itu suami aku, mana boleh gitu, Bu. Ini bukan perusahaan keluarga kita. Yakin aja, nanti ada waktunya Mas Juan dipromosikan jadi Manager senior. Selama nggak banyak ngeluh dan kerjanya bagus, itu bakalan dikasih apresiasi tinggi, kok,” masih dengan senyuman, Dahlia menjawab tenang.
“Kamu ini, terus aja ngejawab yang ibu bilang. Durhaka tau! Ibu mertua atau ibu sendiri juga sama, sama-sama orang tua kamu,” Bu Bani mulai geram.
“Oh, iya. Ibu lupa. Kamu, kan, memang anak yatim piatu yang nggak punya orang tua dari lahir. Gimana mau tau caranya hormatin orang tua? Pernah jadi anak angkat, tapi sayang ibunya cepet banget meninggalnya,”
“Lagian kamu itu kenapa nggak bisa nurut aja kayak si Nila? Dia tuh perempuan idaman mertua. Udah cantik, karier bagus, nurut sama orang tua pula. Nggak nyangka aja kalian dari panti asuhan yang sama, tapi beda banget sifatnya.”
“Bu, tolong jangan—“
[Ding Dong…]
Baru saja Dahlia ingin menjawab agar ibu mertuanya berhenti menghina dan membandingkan dengan sahabatnya sendiri, tapi suara bel pintu membuyarkan percakapan mereka.
Bu Bani begitu cepat melangkah ke depan pintu, “Ya ampun, kok cepet banget datangnya, sih?” gumamnya sambil bergegas membukakan pintu, “Wah, udah pada datang, ya. Masuk-masuk, Jeng!” sambut Bu Bani dengan gembira. Ya, ternyata dia mengundang teman-teman sosialitanya datang ke rumah anak dan menantunya.
Terlalu menggemari hobby barunya bermain media sosial membuat Bu Bani lupa daratan. Yang awalnya hanya petani bawang merah di kampung, dan setelah Juan menikahi Dahlia di kota, membuat taraf harga dirinya kepentok langit.
Sementara Dahlia hanya bisa mengelus dada dan menghela napas tidak berdaya, ‘Ibu kok nggak bilang-bilang mau ngajak temannya ke sini? Masih pagi banget juga. Padahal hari ini aku udah bilang mau pergi belanja sebentar… ah, ya udah deh…’ batinnya lagi.
Begitulah hidup Dahlia yang berat. Ia harus mengalah dan menuruti apa yang ibu mertuanya katakan. Bagaimana pun juga, ibu mertua yang cerewet seperti Bu Bani tetaplah orang tua baginya. Dihina dan dibanding-bandingkan dengan sahabatnya—Nila, juga bukan hal baru di setahun pernikahannya dengan Juan.
“Lia, bikin minum buat tamu saya, ya!” panggilan yang tiba-tiba formal dari sang ibu membuyarkan lamunan sesaatnya.
“Iya, Bu…” sahutnya dari dapur. Sepuluh menit setelah itu Dahlia terlihat membawakan nampan berisi lima cangkir teh kosong dengan sebuah teko berisi teh melati.
Ia menuju ruang tamu untuk menyajikan teh dengan beberapa camilan untuk tamu mertuanya, “Silakan dinikmati, Ibu-ibu…”
“Wah, menantu Jeng Bani manis, ya? Ramah banget lagi,” salah seorang ibu memuji kesopanan dan keanggunan Dahlia. Tampak wajah Bu Bani terlihat tidak senang, tapi tidak mungkin ia menyangkal pujian pada menantunya itu.
“Ayo, silakan dicicip-cicip, Jeng. Bentar lagi kita sarapan bareng, ya. Pada belum sarapan, kan? Habis jogging pasti laper, dong, hahaha!” ajak Bu Bani mengalihkan pembicaraan dan pujian pada Dahlia. Dari belakang, tangannya seolah mengusir Dahlia dari sana.
Dahlia mengangguk singkat dan pergi dari sana. Tapi bukannya kembali ke dapur, ia malah menuju kamarnya. Tubuhnya yang sudah banyak berkeringat mengharuskannya mandi.
Di bawah guyuran shower yang membasahi tubuhnya, Dahlia mengeluarkan air mata sedih, “Sampai kapan Ibu bakalan sayang ke aku? Padahal aku sayang banget sama Ibu,”
Tepuk tangan pelan menyusul. Suasana syahdu. Mata Dahlia sudah tidak bisa lagi menahan haru yang luar biasa. Ia menyandarkan kepalanya yang tertunduk di bahu Ali.“Terima kasih, Akung…” sebutnya dengan lirih dan haru. Ia benar-benar bahagia saat ini.Tidak lama setelah Akung turun dari panggung mini, MC kali ini memanggil sang pengantin pria untuk menyampaikan satu dua patah kata untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan saat ini.Tapi Ali tidak berpindah tempat. Ia masih berdiri di samping pengantinnya tanpa melepaskan genggaman tangannya. MC datang dan menyerahkan mic untuk Ali bicara.“Terima kasih, semuanya karena sudah datang untuk mendoakan dan bersedia merayakan kebahagiaan kami.”Ia menoleh sebentar pada Dahlia.“Pernikahan kami mungkin tidak megah. Tapi izinkan saya berdiri di sini untuk membuktikan satu hal, bahw
Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, pagi hari.Langit pagi itu cerah, tapi tidak terlalu terik. Angin lembut menyapu halaman kecil KUA yang sudah dirapikan oleh petugas. Tidak ada dekorasi berlebihan, hanya beberapa bunga segar di meja akad, dipilih langsung oleh Ali, sesuai permintaan Dahlia yang ingin pernikahan mereka low-key dan penuh kesederhanaan.Beberapa kursi disusun rapi di ruangan kecil KUA. Hanya keluarga inti yang hadir—Pak Endang dan Bu Juli dari pihak Dahlia. Dan dari pihak Ali, ada Akung dan juga Rudi sebagai salah satu saksi nikah.Tidak ada gaun pengantin berkilauan, tidak ada pelaminan, tidak ada kamera besar, tapi justru disitu letak keindahannya.
Setelah malam yang canggung di restoran, Ali tidak bisa memejamkan mata. Senyum Dahlia yang biasanya hangat kini hanya sekilas, dan matanya… terlalu sering melamun. Fitnah itu sangat mengganggunya.Pagi itu, tanpa memberi tahu siapa pun, Ali masuk lebih awal ke kantor. Bukan untuk bekerja, tapi untuk menyelidiki.Ia meminta tim IT menarik kembali rekaman CCTV kantor selama beberapa minggu terakhir. Satu per satu rekaman ruang pantry, lorong belakang, bahkan area parkir ditelaahnya. Ia juga menghubungi bagian HRD secara pribadi, meminta mereka mencatat siapa saja yang sering menggosip, terutama soal Dahlia.Ali bekerja seperti detektif. Diam, tajam, dan rapi.Butuh waktu setengah hari hingga ia mendapat simpul benang: Bu Bani. Pegawai senior bagian administrasi, yang tampaknya merasa paling tahu masa lalu semua orang. Dari mulutnyalah racun gosip itu menyebar, memutarbalikkan masa lalu Dahlia, menyebarkannya seperti jamur di mus
"Anak saya ini sebenarnya laki-laki baik. Tapi ya, namanya juga manusia, pasti pernah salah. Masalahnya, mantan istrinya itu… Ya Allah…. Kok ya tega banget, ya.”Ia berhenti di dekat pantry, pura-pura membereskan rantang sambil melirik-lirik penuh maksud.“Apa nggak kasihan, ya, sama anak saya? Digugat cerai, ditinggal, terus sekarang mantan istrinya malah… ya ampun, mau nikah sama bosnya sendiri.”Seorang staf perempuan yang duduk sambil menyeduh kopi menoleh, tampak mulai penasaran.Bu Bani melanjutkan, kali ini nadanya lebih seperti bisikan yang sengaja dikeraskan.“Padahal ya, Mbak… Dahlia itu, secara fisik tuh gak ideal loh. Maaf ya, saya bukan mau jelek-jelekin atau body shaming, tapi dia itu... penyakitan. Cuma punya satu ginjal. Terus kata dokter, dia juga nggak bisa punya anak,”“Tapi habis cerai, malah anak saya yang disalahin. Padahal, siapa yang nggak mau punya istri sehat yang bisa ngasi
Berawal dari acara pertunangan Juanda dan Nila, kabar heboh mencuat. Berita itu menyebar seperti petir di siang bolong yang membuat orang ada yang percaya maupun tidak.Tapi hari ini akan terjawab jelas. Ali, CEO yang selama ini dikenal dingin dan penuh wibawa, tiba-tiba mengumumkan sesuatu yang membuat seluruh kantor gempar. Ya, kabar pernikahannya dengan Dahlia.Tak tanggung-tanggung, undangan digital langsung dikirim ke seluruh jajaran.Mulai dari office boy, staff keuangan, hingga kepala divisi. Semuanya diundang tanpa sumbangan. Ali bahkan secara pribadi menyampaikan undangan itu dalam rapat besar mingguan.Semua orang harus menikmati hari bahagia mereka, menurut Ali.“Saya dan Ibu Dahlia akan melangsungkan akad nikah pada tanggal 25 bulan ini. Saya harap seluruh keluarga besar perusahaan bisa hadir dalam momen penting kami.”“Kami akan sangat senang jika kalian bisa menjadi bagian dari hari bah
Acara pertunangan selesai, para tamu sudah pulang dan pelayan mulai membereskan meja-meja makanan yang sebagian besar tersisa.Di kamar hotel di gedung yang sama, Nila sedang membuka satu persatu hadiah sambil terus mencibir, seolah tak memiliki rasa syukur.“Lihat nih, Mas. Parfum mahal. Tapi gimana, ya, hadiah dari Tante Yuni ini kok cuma beginian? Padahal dia tahu siapa aku,”“Tadi juga, kamu lihat Bu Ratna, kan? Aku tahu banget dia itu nyindir aku pas dia bilang, ‘Semoga rumah tangganya awet, ya, Nila…’ basa basi banget!”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments