Beralih ke kamar berdekorasi mewah khas wanita, didominasi warna merah-pink-putih membuat kesan kamar pribadi itu ceria dan penuh cinta. Tapi, tidak seperti itu suasana hati si pemiliknya, Citra.
Ia mendesah panjang, menatap bayangannya sendiri di jendela malam.
"Bucin parah..." gumamnya pelan dengan nada getir, "Sampai segitunya dia bela perempuan itu."
Ia menggigit bibirnya sendiri, berusaha menahan emosi yang mulai mendidih. Kemarin di rumah Akung. Dari luar, Citra tampak seperti tamu sopan yang tahu diri. Tapi di dalam, perasaannya campur aduk. Pahit, kesal, bahkan cemburu. Ya, terlalu cemburu.
Citra kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu.
Ali bersandar santai di kursinya, sementara mata tajamnya menatap Dahlia seperti pria yang sudah lama menahan diri dan kini tak berniat menahan lagi.“Cantik banget…” bisiknya, matanya menyapu tubuh istrinya dari ujung kepala hingga kaki.Dahlia menunduk, malu-malu. “Mas, jangan lihat aku kayak gitu. Malu ih,”Ali tersenyum miring, “Kenapa? Istri aku sendiri kok. Masa aku dilarang lihat menu yang udah punya aku, sih?”Dahlia mencubit lengan suaminya pelan, “Nakaaa—”Belum selesai memprotes, Ali sudah mencuri kesempatan membisik di telinganya, dengan suara rendah dan panas, “Nanti malam… kamu mau pake dress yang mana buat aku buka pelan-pelan?”Dahlia membeku, wajahnya langsung merah seperti tomat, dan Ali tertawa puas.“Aku serius. Kamu cantik banget malam ini, Yang, dan aku ngerasa berdosa banget kalau malam ini cuma dihabisin sama ciuman manis doang.”Dahlia terbatuk kecil, pura-pura minum. Tapi Ali tidak berhenti.“Waktu kamu jalan datangin aku tadi, aku sempat mikir, kayaknya ini
Restoran itu tenang, elegan, dan privat, sejenis tempat yang biasanya digunakan untuk momen romantis, lamaran, atau makan malam istimewa.Citra datang lebih dulu, mengenakan gaun merah marun selutut dengan sepatu hak tinggi mengilap. Rambut disanggul manis, lipstik senada, dan parfum yang menyeruak manja setiap kali ia bergerak.Ia duduk di meja yang sudah dipesan atas nama Al-Ayubi Hasan, jantungnya berdebar, tangannya sedikit gemetar karena antusiasme."Dia ngajak aku makan malam berdua, di tempat begini?"Citra tersenyum kecil sambil melirik pantulan dirinya di kaca jendela, "Lambat laun, semua bakalan berjalan sesuai mau ku."Lima menit kemudian, Ali datang.Pakaiannya rapi, jas kasual abu gelap dipadukan dengan kemeja putih bersih. Namun wajahnya bukan wajah pria yang datang untuk menggoda. Tatapannya tenang, namun tajam dengan langkahnya yang mantap. 
Sore itu, udara di rumah besar terasa lebih tebal dari biasanya. Awan mendung di luar jendela tampak menggantung, seolah ikut menahan hujan demi menanti hujan yang lain, hujan kata-kata yang siap turun dari dua perempuan dengan tujuan yang bertolak belakang. Citra duduk di ruang tengah, mengenakan blus lengan tiga perempat dan celana bahan yang elegan. Seperti biasa, senyumnya lembut, pembawaannya tenang, dan suara tawanya ringan saat menyapa Akung dan menyuguhkan teh. Dahlia baru pulang. Kali ini tanpa terburu-buru. Ia meletakkan tas kerjanya dengan tenang, mengganti pakaian, lalu berjalan ke ruang tengah. Di tangannya ada dua cangkir teh hangat, yang satu ia letakkan di depan Citra. “Oh, ini buat aku, ya?” tanya Citra dengan sopan. “Untuk tamu spesial, iya dong,” jawab Dahlia sambil duduk tepat di hadapan Citra. Senyumnya ramah, tapi tatapannya menelusup dalam. Beberapa detik berlal
Beralih ke kamar berdekorasi mewah khas wanita, didominasi warna merah-pink-putih membuat kesan kamar pribadi itu ceria dan penuh cinta. Tapi, tidak seperti itu suasana hati si pemiliknya, Citra.Ia mendesah panjang, menatap bayangannya sendiri di jendela malam."Bucin parah..." gumamnya pelan dengan nada getir, "Sampai segitunya dia bela perempuan itu."Ia menggigit bibirnya sendiri, berusaha menahan emosi yang mulai mendidih. Kemarin di rumah Akung. Dari luar, Citra tampak seperti tamu sopan yang tahu diri. Tapi di dalam, perasaannya campur aduk. Pahit, kesal, bahkan cemburu. Ya, terlalu cemburu.Citra kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu.
Dahlia tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan, “Terima kasih, Dokter.”Setelah itu, Citra melangkah keluar dengan tenang, menolak dijemput sopir dan memilih naik taksi online. Ia datang dengan niat baik, tapi pulang dengan perasaan campur aduk.Begitu pintu depan tertutup, Tante Nuri langsung menyeringai, “Lihat tuh, perempuan baik-baik selalu tahu tempat. Nggak kayak yang suka maksa masuk keluarga orang.”Dahlia hanya menegakkan punggungnya, duduk dengan anggun. Ia tidak langsung menjawab, seperti sedang menimbang kata-kata.Tante Nuri menyeduh tehnya, lalu kembali bicara dengan nada menyengat, “Aku heran ya, kok bisa Pakde segitu sayangnya sama kamu. Padahal nggak ada hubungan darah, nggak ada latar belakang jelas. Keluarga juga... ya, kamu tahu lah. Nggak semua orang cocok jadi cucu mantu keluarga terpandang.”Rudi gelisah, Akung menghela napas berat. Tapi Ali hanya melirik ke arah istrinya, memberi isyarat lembut, ‘Kalau kamu mau jawab, jawab aja. Aku izinkan.’Dahlia menarik napa
Suasana mulai mencair.Tante Nuri beralih ke Rudi. “Rud, Tante ke sini karena keponakanku, Raka, mau banget kerja di perusahaan keluarga Pakde. Dia baru lulus manajemen. Tante pikir, coba aja lewat kamu, biar langsung bisa diawasi yang terpercaya.”“Boleh, Tante. Kirim CV-nya aja. Aku bantu teruskan ke tim HR. Tapi, untuk penilaian dan penerimaan, itu murni keputusan mereka, bukan aku atau Den Ali,” jawab Rudi.“Oh, gitu? Ya udah deh, nggak apa-apa. Makasih banyak ya, Rudi,” ujar Tante Nuri setengah senang. Ia tidak mengira Rudi, si cucu angkat bisa sesombong itu jawabannya.Citra duduk di kursi terpisah. Ia masih tampak kikuk karena tidak terlalu mengenal yang lain, hanya tersenyum saat diajak bicara. Sesekali matanya mengamati sekitar, kagum dengan suasana rumah yang hangat itu.Sementara itu, Ali tetap fokus ke Dahlia. Sesekali mencuri kesempatan menggoda istrinya lagi, bahkan menyuapi buah ke mulut Dahlia.Dan setiap kali tatapan Citra tak sengaja bertemu mata Ali, Ali hanya menga