Share

07 . Merantau

"Timah akan seperti tanah, kalau berada di tempatnya. Kayu cendana pun hanya akan seperti kayu bakar, bila menetap di tanah."

                                         ***********

Merantaulah

Orang berilmu dan beradab tidak tinggal beristirahat di kampung halaman.

Tinggalkan negerimu dan hidup asing di negeri orang.

Merantaulah

Kau akan mendapatkan pengganti dari orang-orang yang ditinggalkan ( kerabat dan kawan )

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat udara menjadi rusak karena diam terputus

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan menggenang menjadi keruh.

Singa jika tak keluar dari sarang , tak akan mendapat mangsa.

Anak panah jika tak ditinggalkan busur, tak akan kena sasaran.

Jika matahari di orbitnya tak bergherak dan terus terdiam.

Tentu manusia bosan dengan pemandangan memandang.

Bijih emas tad ada bedanya dengan tanah biasa ditempatnmya ( sebelumnya ditambang )

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika didalam hutan.

Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang nilainya tinggi.

Jika bikih memisahkan diri ( dari tanah ) barulah dihargai sebagai emas murni.

Merantaulah

Orang berilmu dan beradab tidak tinggal beristirahat di kampung halaman.

Tinggalkan negerimu dan hidup asing di negeri orang.

( sumber : Diwan al-Imam asy-Syafii, Set. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam, Beirut hal 39 )

Wei Fangying tampak menyimak sebuah syair indah yang di bacakan oleh seorang pria berwajah teduh yang sedang berkumpul dengan beberapa orang temannya di salah satu sudut Marina Bay. Mereka tampak asik dengan kelompoknya sendiri tanpa menghiraukan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka.

Syair yang didengarnya sangat menyentuh hati, syair tentang merantau meninggalkan tanah leluhur pergi kenegeri jauh yang belum pernah dia kunjungi.

Waktu memang berjalan sangat cepat tanpa ada jeda bagi orang yang benar-benar memanfaatkannya. Namun berbeda dengan si pemalas yang merasa waktu berjalan sangat lambat dan membosankan.

Tak terasa satu tahun dilewati tuan muda Wei dengan kerja keras, bisnis budidaya mangot dengan tuan Chen dan Derek pun berjalan dengan baik. Walau belum mendapat hasil yang besar tapi Wei Fangying yakin bisnis yang terlihat tak bernilai itu akan memperlihatkan angka-angka fantastis satu hari nanti.

Wei Fangying yang masih asik melamun, tiba-tiba tersadar dengan seseorang yang menepuk pelan bahunya. Wei Fangying menoleh dan mendapati paman Wong sudah duduk disebelahnya. Selama tinggal di Singapura, Fangying juga Wong Lu Yue belajar bahasa Indonesia dari para Tenaga Kerja Indonesia yang menjadi pelanggan kedai Laksa kakak sepupunya, Yupan.

Sehingga sedikit-sedikit pria itu bisa berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia dan mengerti artinya walau masih dalam tahap belajat, seperti halnya syair yang dibaca oleh pria berwajah teduh didepannya. Sepertinya pria itu pemimpin di kelompoknya.

"Saya pikir kamu sudah kembali ke flat, ternyata masih disini." Wong terus berceloteh sementara Fanbying masih memusatkan pandangannya ke arah kelompok pria berwajah teduh itu. Wong Lu Yue yang merasa tak ada respon dari pria teman duduknya ini pun menoleh."Apa yang kamu lihat?Apa dia seorang gadis cantik dan seksi?"

"Tidak ada gadis seksi yang bisa aku lihat. Karena kedua mataku kabur untuk melihat mereka."

Wong Lu Yue jelas saja tertawa, pria itu lalu melanjutkan perkataannya,"Lantas apa yang membuatmu duduk serius disini."

"Aku sedang mendengarkan syair indah yang dibaca oleh pria didepan itu." Tunjuk Fangying dengan dagunya dan Wong Lu Yue pun mengikuti arah yang ditunjuk oleh majikan mudanya ini.

"Lalu paman sendiri, ngapain kesini? bukannya paman harus pergi berbelanja dengan kak Mei mei."

Wong Lu Yue meringis mendengar kata paman dari mulut Fangying."Tuan muda, saya sudah pernah bilang. Jangan panggil aku paman, usia kita hanya selisih satu tahun. Aku merasa jadi lebih tua dengan sebutan paman."

Fangying menyebik mendengar perkataan Wong Lu Yue,"Aku hanya menghormatimu karena urutan. Kamu adalah putra bungsu dari kakek Wong, jadi wajar kalau aku memanggilmu paman."

"Tapi panggilan paman itu, hanya berlaku saat berada di dalam keluarga saja. Aku benar-benar merasa tua dengan sebutan itu."

Wei Fangying mendengus walau dalam hati dia membenarkan perkataan sahabatnya ini,"Lantas kamu mau dipanggil apa? Gege , Oppa atau sayang."

"Aku tak selebai itu. Panggil nama saja, itu lebih cocok buatku."

"Baik, aku akan memanggilmu nama. Tapi kamu juga membuang kata tuan muda saat memanggilku. Karena aku merasa seperti putra mahkota dari seorang tuan tanah."

"Tapi kenyataannya kamu itu memang putra mahkota keluarga Wei. Dan itu tak bisa di pungkiri."

"Biarlah itu jadi masa laluku. Masaku yang sekarang adalah kerja kerasku sendiri."

"Baik-baik, dan aku akan mengikutimu. Kemana kamu pergi."

"Ahh ... kamu memberatkan langkahku saja."

Wong Lu Yue merangkul bahu Fangying,"Hei bung percaya diri. Kamu tanpa aku itu seperti lilin tanpa api. Dia hanya berdiri dalam gelap tanpa bisa bersinar."

"Apa aku harus mengucap terima kasih?"

"Tidak perlu, karena aku baik hati."

Kembali Wong Fangying menyebik , tapi benar baginya sahabatnya ini memiliki arti tersendiri dalam perjuangan hidupnya. Wong dengan setia menemaninya baik ketika dia merana maupun tertawa.

"Ayo pulang. Kak Mei Mei memasak makan enak malam ini. Bebek Peking dan kue beras kesukaanmu." ajak Wong sembrai berdiri.

Dan mereka pun meninggalkan patung ikan berkepala singa yang menjadi icon dari Marina Bay.  Kembali ke flat milik Yupan untuk makan malam.

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status