"Timah akan seperti tanah, kalau berada di tempatnya. Kayu cendana pun hanya akan seperti kayu bakar, bila menetap di tanah."
***********
Merantaulah
Orang berilmu dan beradab tidak tinggal beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing di negeri orang.Merantaulah
Kau akan mendapatkan pengganti dari orang-orang yang ditinggalkan ( kerabat dan kawan )Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.Aku melihat udara menjadi rusak karena diam terputus
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan menggenang menjadi keruh.Singa jika tak keluar dari sarang , tak akan mendapat mangsa.
Anak panah jika tak ditinggalkan busur, tak akan kena sasaran.Jika matahari di orbitnya tak bergherak dan terus terdiam.
Tentu manusia bosan dengan pemandangan memandang.Bijih emas tad ada bedanya dengan tanah biasa ditempatnmya ( sebelumnya ditambang )
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika didalam hutan.Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang nilainya tinggi.
Jika bikih memisahkan diri ( dari tanah ) barulah dihargai sebagai emas murni.Merantaulah
Orang berilmu dan beradab tidak tinggal beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing di negeri orang.( sumber : Diwan al-Imam asy-Syafii, Set. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam, Beirut hal 39 )
Wei Fangying tampak menyimak sebuah syair indah yang di bacakan oleh seorang pria berwajah teduh yang sedang berkumpul dengan beberapa orang temannya di salah satu sudut Marina Bay. Mereka tampak asik dengan kelompoknya sendiri tanpa menghiraukan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka.
Syair yang didengarnya sangat menyentuh hati, syair tentang merantau meninggalkan tanah leluhur pergi kenegeri jauh yang belum pernah dia kunjungi.
Waktu memang berjalan sangat cepat tanpa ada jeda bagi orang yang benar-benar memanfaatkannya. Namun berbeda dengan si pemalas yang merasa waktu berjalan sangat lambat dan membosankan.
Tak terasa satu tahun dilewati tuan muda Wei dengan kerja keras, bisnis budidaya mangot dengan tuan Chen dan Derek pun berjalan dengan baik. Walau belum mendapat hasil yang besar tapi Wei Fangying yakin bisnis yang terlihat tak bernilai itu akan memperlihatkan angka-angka fantastis satu hari nanti.
Wei Fangying yang masih asik melamun, tiba-tiba tersadar dengan seseorang yang menepuk pelan bahunya. Wei Fangying menoleh dan mendapati paman Wong sudah duduk disebelahnya. Selama tinggal di Singapura, Fangying juga Wong Lu Yue belajar bahasa Indonesia dari para Tenaga Kerja Indonesia yang menjadi pelanggan kedai Laksa kakak sepupunya, Yupan.
Sehingga sedikit-sedikit pria itu bisa berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia dan mengerti artinya walau masih dalam tahap belajat, seperti halnya syair yang dibaca oleh pria berwajah teduh didepannya. Sepertinya pria itu pemimpin di kelompoknya.
"Saya pikir kamu sudah kembali ke flat, ternyata masih disini." Wong terus berceloteh sementara Fanbying masih memusatkan pandangannya ke arah kelompok pria berwajah teduh itu. Wong Lu Yue yang merasa tak ada respon dari pria teman duduknya ini pun menoleh."Apa yang kamu lihat?Apa dia seorang gadis cantik dan seksi?"
"Tidak ada gadis seksi yang bisa aku lihat. Karena kedua mataku kabur untuk melihat mereka."
Wong Lu Yue jelas saja tertawa, pria itu lalu melanjutkan perkataannya,"Lantas apa yang membuatmu duduk serius disini."
"Aku sedang mendengarkan syair indah yang dibaca oleh pria didepan itu." Tunjuk Fangying dengan dagunya dan Wong Lu Yue pun mengikuti arah yang ditunjuk oleh majikan mudanya ini.
"Lalu paman sendiri, ngapain kesini? bukannya paman harus pergi berbelanja dengan kak Mei mei."
Wong Lu Yue meringis mendengar kata paman dari mulut Fangying."Tuan muda, saya sudah pernah bilang. Jangan panggil aku paman, usia kita hanya selisih satu tahun. Aku merasa jadi lebih tua dengan sebutan paman."
Fangying menyebik mendengar perkataan Wong Lu Yue,"Aku hanya menghormatimu karena urutan. Kamu adalah putra bungsu dari kakek Wong, jadi wajar kalau aku memanggilmu paman."
"Tapi panggilan paman itu, hanya berlaku saat berada di dalam keluarga saja. Aku benar-benar merasa tua dengan sebutan itu."
Wei Fangying mendengus walau dalam hati dia membenarkan perkataan sahabatnya ini,"Lantas kamu mau dipanggil apa? Gege , Oppa atau sayang."
"Aku tak selebai itu. Panggil nama saja, itu lebih cocok buatku."
"Baik, aku akan memanggilmu nama. Tapi kamu juga membuang kata tuan muda saat memanggilku. Karena aku merasa seperti putra mahkota dari seorang tuan tanah."
"Tapi kenyataannya kamu itu memang putra mahkota keluarga Wei. Dan itu tak bisa di pungkiri."
"Biarlah itu jadi masa laluku. Masaku yang sekarang adalah kerja kerasku sendiri."
"Baik-baik, dan aku akan mengikutimu. Kemana kamu pergi."
"Ahh ... kamu memberatkan langkahku saja."
Wong Lu Yue merangkul bahu Fangying,"Hei bung percaya diri. Kamu tanpa aku itu seperti lilin tanpa api. Dia hanya berdiri dalam gelap tanpa bisa bersinar."
"Apa aku harus mengucap terima kasih?"
"Tidak perlu, karena aku baik hati."
Kembali Wong Fangying menyebik , tapi benar baginya sahabatnya ini memiliki arti tersendiri dalam perjuangan hidupnya. Wong dengan setia menemaninya baik ketika dia merana maupun tertawa.
"Ayo pulang. Kak Mei Mei memasak makan enak malam ini. Bebek Peking dan kue beras kesukaanmu." ajak Wong sembrai berdiri.
Dan mereka pun meninggalkan patung ikan berkepala singa yang menjadi icon dari Marina Bay. Kembali ke flat milik Yupan untuk makan malam.
*******
"Kesuksesan merupakan mengembangkan kekuatan kita, sedangkan kegagalan adalah akumulasi dari kelemahan kita,"****Dalam kehidupan manusia tida ada rasa kepahitan, tidak ada kesakitan yang abadi, tidak ada lubang yang tidak dapat dilangkahi, dan tidak ada kesulitan yang tidak bisa di lewati."Ingat yang perlu di ingat, lupa dengan apa yang harus dilupakan, mengubah apa yang bisa di ubah dan menerima apa yang tidak dapat diubah." Gu Wei Gong berkata denganekspresi wajahnya yang hangat. Gu wei Gong ini adalah seorang pujangga yang kini memilih menjadi seorang biksu. Dia adalah guru spiritual Yupan yang kerab datang ke kedai untuk sekedar mengobrol dan memahami makna dari sebuat arti kehidupan."Apa yang bisa di ubah itu, guru Gu?" Wei Fangying sangat tertarik dengan kiasan yang disampaikan oleh pria bijak ini. Guru Gu tersenyum dan mengangguk."Yang bisa di ubah dalam kehidupan adalah nasib dan yang tak bisa di ubah dalam kehidupan itu adalah takdir.
"Semua mimpimu akan menjadi kenyataan jika kamu punya keberanian untuk mengejarnya."***Jika kamu ingin mengalahkan rasa takut, Jangan duduk di rumah dan berpikir tentang rasa takut itu. Pergilah keluar dan sibukkan dirimu agar rasa takut itu tak lagi bersemayam di pikiranmu.Hari ini Wei Fangying menyibukkan diri dengan menganilisa wilayah. Pemuda itu mulai pukul 6 pagi sudah berkeliling sekitar rumah Tan Sabran Zahirulloh, sahabat guru Gu yang tinggal di Kelana Jaya. Pakcik Tan bekerja sebagai guru besar di salah satu Universitas di Johor Bahru sementara istrinya memiliki balai latihan kecerdasan bagi perempuan. Pakcik Tan memiliki tiga orang anak, mereka sudah menikah dan tinggal di Kuala Lumpur juga di Inggris dan Jepang.Selama tinggal di rumah guru besar itu, Wei Fangying tak ubahnya sedang menjalankan peran sebagai mahasiswa. Karena saat sore hari Pakcik Tan akan membahas hal-hal krusial yang terjadi terutama masalah pertumbuhan ekonomi.
"Keberhasilan tidak akan mendatangimu, tetapi kamu sendiri yang harus mendatanginya."*****Karena terkendala bahasa terkadang membuat Fangying dan Wong Li Yue merasakan kesulitan. Karena tidak semua orang yang bertemu dengan mereka bisa dan paham berbahasa Inggris atau Mandarin. Apalagi buat Wong Li Yue yang bahasa Inggrisnya masih tidak beraturan, sesuka dia menyebutnya saja.Dan hari ini mereka berencana menghabiskan sabtu sore di Kuala Lumpur, karena hari ini Buntario sedang banyak uang. Upah kerjanya di Kilang di terimanya siang tadi.Mereka naik LRT sama seperti saat tiba sebulan yang lalu. Tujuan mereka kali ini adalah jalan Alor yaitu tempat wisata kuliner Kuala Lumpur yang sangat cocok untuk menyuka kuliner seperti Wong Li Yue. Tapi sebelumnya mereka mengunjungi Batu Caves, Kuil Hindu tempat yang akan dipenuhi banyak orang saat diadakan festifal Thaipusam. Tapi di hari biasa pun pengunjung tak pernah surut untuk berphoto dengan latar belakang pat
"Masalah yang kamu hadapi di masa lalu akan membantumu sukses di masa depan."***Wei Fangying membungkuk hormat di hadapan seorang pria yang sama-sam membungkukkan badannya. Dia adalah paman Chen, orang kepercayaan paman Lin yang juga ayah tirinya."Kenapa paman ada disini? dan bagaimana paman bisa tahu kalau saya terkurung di sini." tatapan curiga jelas diberikan Fangying pada pria yang berprofesi sebagai pengacara keluarga Wei itu."Ini semua adalah tugas dari Tuan besar Wei Jun dan tuan Wei Qio Lin, untuk menjaga tuan muda Wei dari jauh."Tuan Chen buru-buru menambah pernyataannya sebelum Fangying melayangkan protes. "Jangan berprasangka buruk pada kakek juga ayahmu, tuan muda. Mereka menugaskan saya untuk menjaga tuan muda tidak terlibat masalah hukum di negara lain. Status tuan muda di sini adalah warga negara asing yang kedudukannya sangat rentan. Oleh karena itu tuan besar memberi saya perintah untuk mendampingi uisi
"Segala kemungkinan kerab kali datang menghampiri. Dan segala kebetulan pun akan ikut menyertai."*****Ketiga pria itu pun melanjutkan perjalanan mereka, kali ini mereka akan berkeliling di sekitar Kelana Jaya atau lebih dikenal dengan nama Petaling Jaya salah satu kota modern di Selangor, yang memiliki fasilitas dan akomodasi yang lengkap. Di Petaling ini terdapat pusat perbelanjaan modern dan berbagai restoran, hingga kuil-kuil tradisional yang ikut memberikan warna pada kota satelit ini.Mereka akan menghabiskan libur selama dua hari hanya untuk bersenang-senang karena pada hari senin mereka akan mulai aktifitas mereka.Tiba-tiba dari arah berlawanan tampak seorang wanita berlari dengan wajah ketakutan. Wanita itu bersembunyi di belakang Wei Fangying dan kedua temannya duduk.Terdengar suara wanita itu mengiba meminta perlindungan,"Tolonglah pakcik, jangan sebar tahukan soal saya disini dengan laki-laki yang berlari di
"Orang-orang yang berpengetahuan tinggi ialah mereka yang mengerti dan masih bertanya. sementara orang-orang yang berpengetahuan rendah ialah mereka yang tidak mengerti dan tidak mau bertanya."*******Wei Fangying dan kedua temannya berjalan mengikuti langkah Serly melewati jalan semen menuju rumah sewa wanita itu. Rumah berbentuk couple dengan warna-warni cerah itu berjajar saling berhadapan. Walau begitudarisekian banyak rumah yang mereka lewati tak satu pun yang membuka pintunya."Sepi sekali, ya." Buntario menjadi komentator pertama dalam menilai suasana di daerah rumah sewa wanita yang sedang di ikutinya itu."Kalau jam segini mereka masih berada di kilang atau tempat kerja lainnya. Nanti menjelang maghrib baru mereka pulang.""Jadi ramainya malam hari ya.""Tidak, tetap saja. Tidak ada yang buka pintu. Karena kami memilih untuk istirahat dari pada mengobrol. Tidak seperti di daerah perkampungan di Indonesia,
"Masa lalu adalah pelajaran yang tak perlu di ulang. Dia hanya bisa dijadikan sebagai pengingat agar masa depan tak sekelam masa lalu."***Dan sesuai janji mereka kembali bertemu, kali ini ketiga pria itu menjemput Serly dirumah sewanya. Berempat mereka menuju Kuala Lumpur dengan menggunakan LRT. Rencananya mereka naik pesawat langsung ke Surabaya dan tinggal beberapa hari di rumah emaknya Buntario di daerah Malang Raya."Anak sampeyan usianya berapa tahun , mbak?" Buntario kembali bertanya, jujur dia sangat penasaran dengan sosok wanita bernama asli Sri Erni Nursaly ini."Sudah usia lima tahun,Mas. Kata ibu, sudah didaftarkan ke taman kanak-kanak. Saya awal kerja disini begitu lulus sekolah, setelah tiga tahun terus saya nikah sama sesama pekerja di kilang. Karena kontrak kerja di habis, jadi mantan suami saya pulang duluan ke Indonesia dan berjanji akan tetap di sana sembari merawat anak juga mengolah sawah hasil kerja s
"Terkadang melarikan diri bukan karena rasa takut yang menghujam jiwa, tetapi kadang kita harus melarikan diri agar jiwa kita bisa menghirup segarnya oksigen kehidupan."*****Fang Ying dan kedua rekannya berusaha melepaskan diri dari kejaran anak buah mandor Zahron. Mereka cukup merasa kewalahan juga karena jumlah yang tak seimbang, disamping itu hanya dirinya saja yang menguasai beladiri dengan baik. Sementara Wong Li Yue tetap pada gayanya, habis pukul lari. Sementara Buntario bukan tak bisa bela diri, pria itu kemampuan bela dirinya cukup mumpuni.Tapi karena ada Serly yang pingsan dan berada di gendongannya membuat gerakan pria itu sedikit tertahan. karena tak mungkin meninggalkan Serly untuk sekedar bisa menjatuhkan lawan. Kondisi wanita itu sangat lemah dan mengibakan."Jangan sampai lolos! Kalau perlu habisi mereka." Perintah mandor Zahron yang tampak sangat marah. Wajah berminyak pria itu sampai berwarna mera