Aku berjalan hendak keluar dari kamarku, dan aku sedikit terkejut melihat gadis kecil itu masih berdiri di depan pintu kamarku. Dia tersenyum saat melihatku membuka pintu lebar. Kurasa gadis itu menungguiku sejak tadi. Aku berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengan gadis itu.
“Apa kau menungguku dari tadi?” tanyaku lembut dan langsung dibalas dengan anggukan oleh gadis itu. Mendengar jawabannya membuatku merasa begitu bersalah.
“Emm ... jadi siapa namamu? tanyaku sambil mengusap lembut kepala gadis itu.“Lily,” jawabnya singkat kembali merekahkan senyum di wajahnya.“Ya. Jadi, kenapa kau menungguku, Lily?”, tanyaku dengan lembut tanpa melepas usapan di kepalanya. Dia kelihatan menyukai apa yang aku lakukan.“Tante Alena menyuruhku mengajak Luna berkeliling kastil,” jawab Lily dengan polos. Aku terkekeh pelan melihat betapa menggemaskan ekspresinya.“Apa Luna mau kutemani berkeliling?” tanyanya dengan wajah yang penuh harap dan aku langsung mengangguk mengiyakan ajakannya tanpa berpikir apa-apa. Tentu saja, siapapun yang melihat wajah gadis menggemaskan itu pasti tak akan tega menolaknya. Tampak senyum merekah di wajah gadis kecil itu. Lily terus menggandeng tanganku selama berkeliling kastil ini, bibir kecilnya terus mengoceh memperkenalkan semua ruangan yang ada di kastil ini. Sepertinya gadis kecil itu sudah sangat hapal dengan kastil ini. Aku tersenyum, melihat keceriaan yang terpancar dari mata bulat Lily. Namun ada beberapa hal yang membuatku merasa kurang nyaman. Banyak orang-orang yang membungkukkan badannya begitu mataku menatap mereka. Hal itu membuatku sedikit risih dan aku hanya bisa menundukkan kepala. Satu-satunya hal yang membuatku tetap bertahan di tempat ini adalah keberadaan Lily. Aku tak ingin membuatnya gadis kecil itu kecewa hanya karena rasa takutku bertemu banyak orang yang belum aku kenal. Jujur aku takut. Mereka semua menatapku seperti mereka semua ingin menelanku hidup-hidup. Tidak, aku tahu ini hanya ketakutanku sendiri. Mereka tidak berniat buruk padaku.“Luna?” panggil Lily membuatku tersadar. Gaduis itu menatapku bingung sekaligus cemas. Tanpa kusadari kedua tanganku sudah bergetar dan sedingin balok es. Aku berusaha tersenyum kepadanya dan mengatakan aku baik-baik saja. Namun seolah tahu bagaimana perasaanku, gadis kecil itu menggenggam tanganku erat dan tersenyum.“Aku bersama Luna sekarang, dan semuanya akan baik-baik saja selama gadis manis ini bersama Luna”, kata Lily sambil menunjukkan senyum lebarnya. Aku mengangguk dan membalas senyumannya. Entah bagaiamana gadis kecil ini bisa membuatku merasa tenang seketika hanya dengan perkataan polosnya. Lily masih terus menuntunku berkeliling kastil besar ini. Bibir mungilnya terus tersenyum, menghilangkan semua rasa takutku. Lily mulai melepaskan tangannya saat kami sudah berada di taman. Tampak beberapa dua anak kecil seumuran Lily yang menatapku dengan bingung.“Dia adalah Luna kita,” bisik Lily pada dua anak laki-laki yang usianya mungkin tiga tahun di atas Lily. Aku tersenyum ke arah mereka dan mereka terihat begitu kagum melihatnya. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ada dalam pikiran anak-anak yang menggemaskan itu.“Luna, mereka berdua adalah teman-temanku,” kata Lily memperkenalkan mereka padaku.“Lu ... luna!” seru salah satu anak laki-laki yang langsung membungkuk di depanku diikuti oleh Lily dan anak laki-laki lainnya.“Ti ... tidak. Tolong jangan membungkuk seperti itu di depanku,” kataku merasa tidak nyaman melihat setiga anak itu membungkuk takut padaku.“Tapi ... kau adalah Luna kami,” kata anak laki-laki berambut coklat tanpa menatap ke arahku.“Namaku Levia. Jadi, siapa nama dua pangeran kecil ini?” tanyaku yang sudah duduk menyamakan tinggiku dengan mereka. Meraka langsung menatap ke arahku dan aku hanya melemparkan senyum pada mereka.“Namaku Maro, dan aku bukan seorang pangeran”, jawab anak yang memiliki mata yang berwarna coklat terang dan rambut emas.“Tetap saja dimataku kalian terlihat seperti dua pangeran kecil yang menggemaskan”, kataku sambil terkekeh pelan. Kulihat anak yang disamping Maro tersipu mendengar pujianku barusan. Astaga, bahkan dia terlihat semakin menggemaskan saat pipinya memerah.“Lalu, siapa nama pangeranku yang satu ini, tanyaku sambil menatap mata coklat yang sangat mirip dengan milik Maro.“Namanya Stiff, dia adalah adikku,” jawab Maro membuatku tertegun. Bodohnya aku karena tidak menyadari bahwa dua anak ini memang benar-benar mirip. Tak salah lagi, mereka kembar. Bahkan wajah dan warna mata mereka sama. Hanya warna rambut mereka saja yang berbeda.“Dia memang sedikit pemalu, tapi dia adalah anak yang baik,” kata Lily membuat Stiff semakin menundukkan kepalanya. Merasakan hawa canggung dari kedua anak itu membuat satu ide terlintas di kepalaku.“Emm ... apa kalian mau dengar cerita?” tanyaku dengan wajah ceria pada mereka. Mendengar tawaranku mereka segera mengagguk dangan antusias dan menatapku dengan penasaran. Aku tersenyum senang, merasa aku sudah mulai bisa mendapatkan hati makhluk makhluk menggemaskan ini.Aku mulai menceritakan sebuah kisah pada mereka. Mereka duduk di depanku, menatapku dengan wajah berseri-seri mereka. Dan aku dengan semangat menceritakan kisah yang dulu sering kakakku ceritakan padaku. Aku meniru gaya kakakku saat bercerita. Dia selalu memperagakan tokoh yang ada dalam ceritanya, seolah dia sendirilah tokoh utamanya. Dan sekarang aku juga melakukannya. Sudah beberapa kali aku mengubah mimik ekspresiku dan juga suaraku, menggerakkan tubuhku seolah aku benar-benar seorang aktris yang sudah profesional. Semua mata anak anak itu menatapku tanpa berkedip, seolah aku sudah menjadi magnet yang sudah menarik seluruh perhatian mereka. Sepertinya aku memang berbakat untuk menjadi aktris.Aku mengakhiri ceritaku dan mereka semua bertepuk tangan dengan wajah yang semangat. Mereka tampak senang dan menikmati ceritanya. Stiff yang dari awal masih malu-malu padaku mulai mendekat padaku, menatapku dengan mata coklat lebarnya.“Emmm ... Luna ...” panggilnya dengan nada yang begitu rendah hampir seperti bisikan.“Ada apa sayang?” tanyaku dengan lembut sambil sedikit memiringkan kepalaku. Kulihat Stiff kembali menunduk dan memilin jari-jarinya. Terlihat gugup dan ragu saat menatapku. Aku mengelus kepalanya berusaha menghilangkan keraguan di hati anak kecil itu.“Katakan saja” Aku tersenyum saat mata coklat terangnya semakin lebar.“Apa ... aku boleh memeluk Luna?” tanya Stiff dengan nada yang pelan. Aku sedikit tertegun mendengar pertanyaan yang lebih seperti permintaan yang dilontarkan Stiff padaku. Aku mengangguk dan segera merentangkan kedua tanganku untuk memeluknya. Anak itu langsung menghambur dalam pelukanku, meletakkan wajahnya dalam lekukan leherku. Aku tersenyum, hal ini mengingatkanku pada Ibuku yang dulu sering memelukku dan juga kakakku. Tiba-tiba kurasakan leherku basah dan suara isakan kecil yang tertahan. Dia menangis? Aku mengelus punggung Stiff perlahan dan suara isakannya terdengar lebih jelas. Aku tidak tau hal apa yang membuat anak kecil ini menangis, namun mendengar suara isakannya membuatku hatiku begitu sedih. “Ayolah Stiff, jangan cengeng! Kau membuat Luna sedih sekarang!” seru Maro yang cukup keras pada Stiff sedangkan Lily hanya menatapku dan Stiff dengan wajah yang murung. Astaga situasi macam apa ini?“Stiff, berhentilah menangis! Dan lepaskan Luna sekarang!” bentak Maro sambil berusaha menarik Stiff dari pelukanku. Namun Stiff semakin mengeratkan pelukannya padaku dan tangisnya kian pecah.“Tidak, tidak masalah Maro. Biarkan Stiff memelukku,” ucapku berusaha menenangkan Maro yang semakin kuat menarik Stiff. Kulihat Maro menunduk dan melepaskan tarikannya, wajahnya yang terlihat selalu tenang kini tampak lebih murung sekarang. “Stiff, dengarkan aku! Ingat kata bibi Maria, kita tidak boleh menangis di depan orang lain. Laki-laki tidak boleh cengeng, Stiff!”, seru Maro yang suaranya terdengar cukup bergetar seperti menahan sebuah beban yang berusaha ditahannya sekuat tenaga. Sesuatu seperti menusuk hatiku saat mendengar perkataan Maro. Mereka masih anak-anak, tapi sepertinya dari kecil mereka diajarkan untuk menjadi orang dewasa. Kenapa anak sekecil mereka harus menahan beban seperti itu? Kuulurkan tangan kananku untuk mengangkat wajah Maro agar mau menatapku, namun dia memalingkan wajahnya kembali. “Yang dikatakan bibi maria itu memang benar, Maro. Laki-laki memang tidak boleh cengeng dan menunjukkan kesedihannya di depan orang lain. Tapi ada kalanya seorang laki-laki harus menangis. Bukankah awal kehidupan manusia diawali dari sebuah tangisan?” tuturku lembut sambil mengelus rambut emas milik Maro. Perlahan dia mau menatapku dan matanya terlihat merah dan lembab. Aku sedikit terkejut melihatnya. Jadi, anak ini juga menangis?“Dengar Maro, bahkan bagi seorang Ibu suara tangisan anaknya adalah musik yang paling indah di telinganya,” ucapku seraya tersenyum. Namun mata Maro malah semakin meredup dan menunjukkan wajah yang sangat murung.“Aku ... dan Stiff ... tidak punya orang tua,” ucapnya lemah membuatku begitu terkejut dan sedikit terguncang. Sepertinya kata-kataku yang terakhir tidak menenangkan anak itu, tapi justru melukai hatinya. Tangan kananku langsung merengkuh tubuh kecil Maro dan menggiringnya dalam pelukanku. Dia memeluk tubuhku dengan erat dan kurasakan air matanya juga membasahi bahu kananku. Kedua anak laki-laki ini sekarang sedang menangis dalam pelukanku. Stiff terus terisak sedangkan Maro menangis dalam diam.Lily ikut menghambur dan memelukku. Kami semua menangis dan saling memeluk seakan bisa merasakan luka itu dan membaginya bersama. Aku tak tau hal buruk apa saja yang sudah dijalani dua anak kecil ini tanpa adanya kedua orang tua mereka. Mereka masih terlalu kecil untuk merasakan sakitnya kehilangan kedua orang yang sudah menjadi sumber kehidupan mereka.“Ada apa ini?” Suara bariton di belakangku mengejutkanku. Lily segera melepaskan pelukannya dan menghambur ke arah orang itu. Aku segera menghapus air mataku dan menoleh ke sumber suara itu. Kulihat Dave bersama seorang laki-laki di sampingnya tengah menggendong Lily dan menciuminya. Kulihat wajah tak senang Dave saat melihat jejak air mata di wajahku.“Maafkan kami, Alpha. Kami tidak bermaksud membuat Luna menangis,” ujar Maro yang tertunduk takut sambil berusaha menghapus air matanya.“Ini salahku, Alpha. Aku yang tiba-tiba menangis dan membuat Luna sedih,” ucap Stiff berusaha menghentikan isakkannya. Mereka berdua kelihatan begitu takut menatap Dave dan berusaha melindungi satu sama lain. Apa mereka akan dihukum?!“Tidak! Mereka berdua sama sekali tidak salah. Ini salahku karena menceritakan cerita sedih pada mereka,” ucapku berbohong. Dave menutup matanya sejenak dan menghembuskan napas beratnya. Jantungku mulai berdetak tak mengikuti iramanya. Apa dia marah? apa dia akan menghukumku bersama anak-anak tidak berdosa ini? apa aku akan dicambuk? Tanpa sadar tubuhku sudah bergetar dan napasku juga sedikit terengah. Rasa takut mulai menyerangku kembali hingga sebuah tangan mengusap kepalaku dengan lembut dan meraih tubuhku dalam pelukannya. Dave memelukku dan mengusir rasa takutku, membuat tubuhku kembali tenang dan napasku kembali normal.“Jangan berbohong. Tidak, jangan sembunyikan apapun dariku,” bisiknya lembut di telingaku. Dave melepaskan pelukanya dan melingkarkan tangannya di pinggulku, Dia mendekati Lily yang ada di gendongan pria di samping Dave. “Lily, bisa kau ceritakan apa yang terjadi?” tanya Dave dengan lembut pada gadis kecil itu. Lily tampak bingung dan menatap pria yang menggendongya sebelum akhirnya mengangguk dan kembali menatap Dave.“Tadi Luna menceritakan sebuah cerita pada kami. Kami sangat senang mendengar cerita dari Luna. Namun setelah itu, Stiff ingin dipeluk Luna dan menangis saat sudah dipeluk. Luna menjadi sedih karena Stiff menangis. Kemudian Maro membentak Stiff agar berhenti menangis, tapi setelah itu Maro juga ikut menangis dan memeluk Luna. Kurasa Maro dan Stiff sangat merindukan orangtuanya. Jadi saat mereka melihat Luna, mereka seperti melihat ibu mereka,” tutur Lily menceritakan kejadian yang sebenarnya. Aku sempat kagum mendengar gadis kecil itu yang berbicara layaknya orang dewasa. Dave mengusap kepala Lily kemudian mulai berjongkok, menyamakan tingginya dengan Stiff dan Maro.Kulihat Dave tersenyum dan meraih tubuh kecil dua anak kembar itu. Menarik mereka berdua dalam pelukannya. Aku sempat tertegun melihatnya. Tak kusangka Dave akan langsung memeluk dua anak kecil itu. Tampak Dave sedang membisikkan sesuatu pada mereka berdua dan secara ajaib langsung membuat wajah murung dua anak kecil itu kembali cerah. Dave melepas pelukannya dan mengacak pelan rambut Stiff dan Maro. Dua anak itu tersenyum senang dan langsung berlari pergi setelah berpamitan pada kami semua. Aku tak tau mantra apa yang sudah Dave bacakan hingga membuat dua anak itu kembali tersenyum dan terlihat begitu bahagia.Kurasakan sebuah tarikan pelan di tanganku, aku menunduk dan mendapati Lily yang sedang memegang tanganku. Kepalanya mendongak dan senyum mengembang di bibir mungil gadis itu.“Luna, aku ingin kau mengenalkan Ayahku padamu. Ini adalah Ayahku, dia Betanya Alpha,” ucap Lily sambil menunjuk pria yang menggendongnya tadi.“Senang bisa bertemu dengan Anda Luna,” sapa pria itu sambil membungkuk hormat padaku. Aku hanya mengangguk canggung. Merasa kurang nyaman bertemu dengan orang belum aku kenal. “Namanya Mark. Dia adalah Beta di pack kami,” kata Dave memperkenalkan nama pria itu. Aku kembali mengagguk mengerti. Dave mulai melingkarkan tangannya di pinggangku dan membawaku kembali ke kamar kami.***“Mama, aku ingin bermain keluar! Aku akan pulang sebelum petang!” Teriak seorang bocah laki-laki yang berusia lima tahun yang tampak mengganti kaosnya dengan tergesa.“David, Mama melarangmu pergi! Sudah berkali-kali kuperingtkan jangan bermain ke dalam hutan itu lagi!” teriak seorang wanita dari arah dapur, namun sama sekali tidak di gubris oleh David, nama bocah laki-laki itu.“Aku akan baik-baik saja! Aku sayang Mama dan tante Alena!” teriak David yang sudah berlari keluar dari rumah sederhana miliknya, mengabaikan suara teriakan Ibunya yang terus memanggil namanya.“Dasar, anak itu sama sekali tak mendengarkanku!” Keluh Levia kesal melihat putera semata wayangnya yang tak pernah menurut padanya. Sedang Alena, satu-satunya orang yang sedang bersamanya hanya terkekeh melihat kekesalan adik iparnya.“Sudah biarkan saja. Dia masih pada masa kejayaannya. Jangan terlalu overprotektif padan
Langit tampak cerah dan matahari bersinar terik. Titik-titik peluh mulai menetes dari keningku. Menyirami tanaman bukanlah pekerjaan yang berat, tapi karena usia kandunganku yang sudah tua membuatku cepat kelelahan. Kuhela napas lelahku setelah berhasil duduk di sebuah kursi kayu yang berada di teras depan rumah. Akhirnya setelah sekian lama terlunta-lunta di antara hutan, berpindah dari tempat satu ke tempat lainya, akhirnya kami memutuskan untuk menetap dan berbaur dengan manusia. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Setelah hari-hari buruk itu kami akhirnya menemukan tempat yang cukup aman sehingga kami bisa tinggal sedikit lebih lama di sana. Kami menemukan sebuah perkampungan kecil, dimana adat istiadat dan kesederhanaan sangat dijunjung tinggi. Tempat yang dihuni oleh ras manusia dan jauh dari ras werewolf, tentu ini adalah tempat yang paling aman untuk tinggal. Penduduk kampung di sini juga sangat baik dan ramah, mungkin karena itulah aku dan Alena cukup m
Kulitku seperti mati rasa, tak lagi bisa merasakan dingin saat tubuhku berkali-kali menembus kabut dan juga melawan dinginnya angin malam. Aku hanya memejamkan mata sambil mengeratkan pegangan tanganku pada tubuh serigala milik Alena. Seperti apa yang dikatakan Forel, maid yang datang ke pondok kami tadi pagi, kami memutuskan untuk segera meninggalkan tempat persembunyian kami dan segera mencari tempat baru untuk melanjutkan hidup. Tubuhku terasa sangat lelah. Tapi aku tahu Alena jauh lebih lelah dibandingkan dengan diriku. Entah sudah berapa lama dan sejauh apa Alena berlari membawaku. Tapi sejauh ini, belum sekalipun Alena mengeluh ataupun beristirahat sejenak sejak kami meninggalkan pondok itu. Suara Forel masih menggema dalam pikiranku. Jawaban wanita itu terus menghantui kepalaku. Hatiku terasa kosong, dan perasaanku yang sudah hancur kini sudah tidak berbentuk. Hari ini aku sudah kehilangan segalanya. Packku, keluargaku, Putera angkatku, dan juga ... Mateku ...
Langit-langit coklat menjadi pemandangan pertama saat aku membuka mataku. Aroma tanah basah dan juga tumbuhan hijau memenuhi indra penciumanku. Membuatku langsung mengingat dimana tempatku berada. Perlahan aku bangun dan menatap selimut merah yang membukus tubuhku. Dibalik selimut itu pakaianku sudah berganti, bukan lagi pakaian yang kukenakan kemarin. Dan aku juga menemukan lengan kananku yang sudah dibungkus dengan perban. Kurasa Alena yang melakukannya. Kutatap sekelilingku, mencari keberadaan gadis itu. Namun aku tak menemukannya di ruangan ini. “Kak Lena.” Langkahku terhenti saat melihat gadis itu sedang berdiri di depan lemari kayu yang ada di dapur. Pakaian yang dia kenakan sudah berganti lebih baik dari kain lusuh yang sebelumnya. Mendengar panggilanku Alena berbalik, menatapku dengan senyuman khas miliknya. Membuatku tertegun saat melihat senyum di wajah gadis itu. “Kau sudah bangun? Lebih baik kita sarapan sekarang. Ada beberapa buah yang bisa kita makan. M
Mataku membulat, Jantungku terasa berhenti sejenak dan napasku tercekat. Air mataku mengalir deras, mulutku tak mampu bersuara bahkan isak tangisku sama sekali tak terdengar. Semua indraku seolah mati rasa. Kegelapan melingkupiku, mataku tak bisa beralih dari sosok yang bersimbah darah di bawah tangan kotor iblis itu. Hening, aku tak bisa mendengar apapun bahkan detak jantungku sendiri. Karena memang jantungku seperti berhenti berdetak untuk sekarang. Otot-otot sendiku terasa sangat lemas, hingga aku tak memiliki daya sedikit pun untuk bergerak satu senti saja dari tempatku. Kutatap tajam pria itu dengan kedua mataku yang kuyakin sudah gelap seluruhnya. Amarah mengusaiku dan kurasakan Lucy yang semakin liar berusaha mengambil alih tubuhku. Hanya kebencian serta rasa murka yang teramat besar yang mengisi ruang kosong dalam hatiku. “Iblis itu harus mati!” Kalimat itu terus berdengung dalam kepalaku. Rasa murkaku perlahan mengikis logika dan aka
Matanya yang berwarna merah menatapku tajam. Bagai api yang berkobar, hanya dengan tatapannya saja seolah aku sudah hangus terbakar. Dadaku menyempit, paru-paruku terasa terhimpit saat tangan pria berambut perak itu mulai menekan tenggorokanku kuat, mengangkat tubuhku perlahan hingga kakiku mengambang di udara. Pandanganku kian mengabur seiring menipisnya udara yang ada dalam paru-paruku. Air mataku mengumpul di kelopak mata, tak kuat menahan sakit yang menggerogoti tubuhku. Semua terjadi dengan cepat, bahkan sebelum otakku bisa mencerna semuanya. Dobrakan keras sebelumnya mengantarkan seorang pria asing yang memiliki aura yang sangat kuat. Tatapan matanya bagai elang yang mencengkram mangsanya. Kemudian dalam sekejap tubuhku sudah dibawah kendalinya. Tubuhku terasa lemas, sudah berkali kali aku memberontak tapi yang kulakukan hanya menguras tenaga saja. Pria itu menyeringai, mengejek ketidakberdayaanku ditangannya. Sudah terlambat untuk menyelamatkan diri sekarang.
Mataku segera terbuka saat merasakan pergerakan kecil pada tubuhku. Kurasa sesorang seseorang berusaha memindahkan tanganku. Namun aku segera memeluk tubuh Dave kembali setelah orang itu berhasil menyingkirkan tanganku. “Sia, aku membangunkanmu?” suara Dave berbisik pelan. Sepertinya orang yang berusaha menyingkirkan tanganku adalah Dave. Aku mendongakkan kepalaku, menatap wajahnya setelah mengerjapkan mataku beberapa kali “Tidurlah kembali.” Mintanya setelah mengecup keningku sekilas kemudian kembali melingkarkan tangannya di sekeliling tubuhku. Aku melirik kearah jam dinding sekilas. Waktu belum menunjukkan pagi tiba. Tapi kurasa Dave ingin segera melepaskan diri dariku. “Apa aku memelukmu terlalu erat?” tanyaku, memastikan alasan Dave ingin melepaskan diri dariku. “Tidak, bukan begitu,” jawab Dave masih dengan suara yang pelan. “Lalu, kau ingin pergi?” tanyaku kembali, berusaha tetap bernada setenang mungkin. Meskipun rasa takut terus mengg
Mataku perlahan terbuka saat mencium bau tanah yang basah. Hal yang pertama kali kulihat adalah langit mendung yang tertutup oleh daun daun yang lebat. Mataku melebar dan aku segera bangkit saat menyadari tempat ini bukanlah kamarku. Ku abaikan rasa pusing di kepalaku. Dengan panik kuedarkan pandanganku ke segala penjuru. Banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi di sekitarku. Kemudian aku bisa memastikan bahwa diriku berada di tengah-tengah hutan yang sangat asing untukku. Aku mulai bangkit. Suasana begitu sepi seperti tak ada makhluk hidup lain yang tinggal di sini selain aku dan juga pohon-pohon ini. Kufokuskan indra penciumanku, berusaha mencari bau makhluk lain dihutan ini. Namun tak ada bau apapun yang tercium selain bau khas tanah basah dan juga bau tumbuh tumbuhan yang menyegarkan. Hingga akhirnya samar-samar aku mencium bau yang sangat familiar untukku. Aroma lavender samar-samar tertangkap indra penciumanku. Membuatku langsung mengetahui siapa p
Aku duduk bersandar di kepala ranjang sambil menatap lurus ke depan. Hanya suara jarum jam yang terus beretik yang terdengar di ruangan ini. Jarum jam terus berputar, namun nyatanya waktu berjalan sangat lama. Alice sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, meninggalkanku dalam kekacauan di otakku. Apa yang dikatakan Alice masih terus berputar dalam kepalaku. Membuatku merasa kacau sekaligus membuatku menyadari sesuatu. Menyadari seberapa egoisnya diriku. Pintu kamarku terbuka, kulihat gadis bernetra hazel menatapku dengan waspada. Aku hanya melihatnya sekilas, sebelum akhirnya kembali menatap kosong kearah jam dinding yang berada lurus dengan pandanganku. Alena mulai mendekat, dia terlihat khawatir dan juga gelisah. “Apa yang sudah dikatakan Alice?” tanya Alena tanpa berbasa-basi. Aku menatap gadis itu tanpa menjawab pertanyaannya. “Kenapa kalian tidak memberitahuku?” Tanyaku balik, menatapnya dengan tatapan terluka. “Apa yang terjadi di pack? Apa ya