Pagi hari Janna tak berada di kamar pribadinya, Dominic panik. Ia melangkah menyusuri sisi kamar. Dominic berlari mengitari rumah putih."Ada apa, Jenderal?" tanya Letnan Adrian yang heran dengan tingkah atasannya."Janna, di mana Janna?""Nyonya sedang di taman bersama dengan kedua putra Jenderal," jawab Letnan Adrian.Gegas Dominic berlari ke arah taman dengan masih mengenakan piyama tidurnya. Kelegaan merasuki dada Dominic begitu melihat Janna dan kedua putranya."Janna, mengapa sepagi ini sudah berada di taman?" tanya Dominic, tak segan ia melingkarkan tangan di pinggang istrinya. "Apaah udara pagi ini baik untuk mereka?" lanjut Dominic.Janna tertawa kecil, ia merasa senang diperhatikan oleh Dominic. "Semua baik-baik saja, Jenderal. Apakah Jenderal khawatir, bisa-bisanya keluar kamar hanya dengan piyama?" ledek Janna membuat Dominic salah tingkah dan malu.Selang beberapa waktu, Dominic kembali teringat perkataan Swayata dan mimpinya tadi malam."Seusai sarapan aku ingin berbinca
Telah tiga hari Janna berduka, ia lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, bahkan tidak ingin bicara pada suaminya sekalipun mereka sekamar.Saat ini Janna berada di ruangan tempat menyimpan abu keluarga Freud, tidak menangis lagi, hanya memandangi guci milik putranya. Jarak ruang abu dengan kediamannya tidak begitu jauh, cukup berjalan kaki."Janna, sedari tadi kau belum makan apa pun." Suara Dominic terdengar jelas di pendengaran sebelah kanan Janna. Pria itu menaruh kedua tangan di sisi lengan Janna bermaksud ingin menyokong badan istrinya ke atas.Mendadak Janna menggoyangkan badannya sampai pegangan itu terlepas. "Pergilah, tidak perlu mengurusiku!" ucap Janna dengan nada rendah tanpa menoleh sedikit pun."Sampai kapan kau seperti ini?" Dominic tahu kesakitan yang Janna rasakan, hanya saja waktu terus berjalan dan ada yang membutuhkan Janna."Bukan urusan, Jenderal!" teriak Janna, mata Dominic sampai terpejam. Air mata mengucur dari kelopak mata Dominic, segera ia menghapusn
"Cukup, Jenderal. Aku sudah lebih baik," ujar Janna pelan, menghentikan gerak pijatan di bahunya, ia memperbaiki gaun lalu duduk menghadap Dominic. "Pergilah, permaisuri sudah menunggu, Jenderal.""Aku harap kau percaya padaku," ucap Dominic menatap sendu ke arah istrinya, ia menggenggam kedua tangan Janna.Perempuan itu tertawa kecil seraya menoleh ke arah lain. "Sedari awal aku tak bisa percaya pada siapapun, aku hanya seorang perempuan biasa yang diperintah untuk hidup. Hanya tinggal menjalani saja." Janna memandang Dominic dengan sorotan lara, penuh derita.Dominic menghela napas berat, rasa sesak seolah-olah menekan dadanya. Dia berdiri lalu mengganti pakaian dengan busana militer. "Aku hanya sebentar." Kening Janna dikecup Dominic.Selepas kepergian Dominic, air mata Janna kembali mengucur. Ia menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan."Ada apa Permaisuri memanggil?" tanya Dominic memberi hormat pada Neha. Di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua.Neha tersenyum senang meny
"Apa yang membawamu mendatangi kediamanku, Jenderal?" tanya Sultan Bayezidan saat mereka saling berhadapan. Dominic membungkuk memberi hormat, hanya saja irama jantungnya mulai tak karuan. Terasa sulit untuk menjawab, bahkan menelan ludah pun. Dominic tidak siap dengan seribu alasan mengunjungi kediaman tanpa kehadiran Sultan di sana. Namun, ia harus tetap menjawab. Dominic mengangkat badan, sewaktu mulutnya terbuka, dari arah pintu Neha muncul. "Yang Mulia," ucapnya memberi hormat, "aku meminta Jenderal Dominic datang kemari untuk menanyakan kabar Janna, dan aku memberikan bingkisan hiburan untuk Janna yang masih bersedih, tetapi Jenderal Dominic lupa membawanya," lanjut Neha dengan tenang dan lancar, ia tertawa kecil sembari mengulurkan bingkisan dengan kedua tangannya. Paras Sultan Bayezidan yang semula datar berubah terisi senyuman. "Ambillah, kami ingin menghibur kalian. Pasti apa yang kalian alami begitu berat." Dominic masih berpikir tentang Neha dan Sultan, mereka s
"Aku tidak bersedia menjadi istrimu!" teriak Janna di hadapan Dominic Freud, seorang kepala militer Kesultanan Yagondaza."Kalian selalu memaksa perempuan menjadi Growib* dengan dalih menghasilkan keturunan unggul! Kalian manusia jahat!" Janna Braun menunjuk-nunjuk Dominic. Janna tidak segan melontarkan keberatannya akan keputusan negara mereka."Aku ingin kebebasanku!" jeritnya lagi dengan tangan mengepal.Mendadak Dominic menarik Janna dengan kasar lalu mencengkram lehernya."Apa kau masih ingin berbicara? Lehermu bisa saja aku patahkan. Kau pikir aku sudi menikahimu, kalau bukan karena keputusan negara, detik ini juga kau akan ku lemparkan menjadi santapan singa peliharaanku," ancam Dominic dengan tatapan kebencian.Tubuh Janna gemetar mendengar gertakan Dominic, tetapi ia tidak boleh lengah menunjukkan kegentaran pada calon suami yang tidak diinginkannya.Dominic melepas Janna hingga tubuh wanita itu membentur dinding keras di belakangnya. Dominic keluar dari ruang isolasi, tempat
Janna terbangun dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya terutama areal wajah. Saat berusaha duduk, tubuh Janna tidak kuat sehingga kembali terhempas ke ranjang.Janna menyapu pandangan, ia menduga bukan berada di kamp konsentrasi atau pelayanan kesehatan. Ini seperti di sebuah kamar milik pejabat stratum tinggi. Warna gelap mendominasi ruangan terkesan menakutkan bagi siapa pun yang berada di dalamnya.Pintu terbuka, seberkas cahaya masuk ke dalam ruangan. Meski dilengkapi sinar lampu, tetapi tidak seterang dari luar. Seorang pria berjubah putih masuk."Halo Nona Janna Braun, Anda sudah bangun."Janna menatap tanpa memberi ekspresi apapun."Saya Swayata Tan, kepala peneliti Kesultanan Yagondaza." Swayata menundukkan sedikit kepalanya.Janna belum pernah sebelumnya bertemu dengan Swayata secara langsung, hanya mendengar nama yang dikenal masyarakat Yagondaza sebagai kepala peneliti yang bertugas mencari perempuan dengan pewarisan sifat unggul melalui peneletian untuk dinikahkan dengan st
Dominic memandang Janna dari kaki hingga kepala, tubuh kurus Janna berbalut gaun panjang yang digunakan untuk istirahat malam."Aku minta kau makan," ucap Dominic tanpa basa basi.Janna tidak gentar menghadapi Dominic. "Lebih baik aku mati daripada bernasib buruk dengan menjadi istrimu."Tangan Dominic mengepal erat, ia geram dengan pembangkangan gadis dari stratum terendah yang terpaksa diisolasi ini."Jangan membuat kesabaranku habis," ucap Dominic. Mereka saling menatap sengit seakan-akan ingin saling membunuh, jarak mereka lima langkah kaki orang dewasa."Kau tak berhak memaksaku, Jenderal Dominic Freud. Sebaiknya kau keluar dari kamar ini!" jerit Janna.Kesabaran Dominic berangsur tergerus, ia merasa direndahkan dengan diperintah oleh gadis muda yang tidak selevel dengannya.Dominic melangkah cepat mendekati Janna, ia mencengkram leher Janna. "Aku berhak mengatur di rumahku sendiri," ketus Dominic sambil menyorot tajam manik Janna.Refleks Janna menyentuh kulit lengan Dominic yan
Dominic mengepalkan tangannya, pelajaran tata krama dari guru yang diperintahnya belum mendapat hasil yang baik. Ucapan Janna sangat merendahkan Dominic. Hanya saja Dominic mencoba menahan diri sebab tidak ingin mempermalukan diri sendiri di pesta besar kenegaraan."Selamat untuk pernikahan Anda, Jenderal Freud," ucap sultan Bayezidan diikuti oleh istri dan anak-anaknya. "Saya yakin militer Kesultanan Yagondaza akan semakin baik di tangan Anda dengan pernikahan ini," puji sultan Bayezidan. "Terima kasih, Sultan Bayezidan dan Permaisuri Neha." Dominic menunduk sebagai tanda hormatnya diikuti oleh Janna.Janna terkesima melihat kecantikan dan ketampanan sultan dan permaisuri, seumur-umur baru kali ini Janna melihat mereka dari dekat. Masyarakat stratum Royusha jarang mendapat kunjungan dari pemimpin negara karena riwayat pemberontakan di masa lalu."Terima kasih Sultan dan Permaisuri, suatu kehormatan bertemu Sultan dan Permaisuri," ujar Janna tersenyum sambil melakukan gerakan curtsy
"Apa yang membawamu mendatangi kediamanku, Jenderal?" tanya Sultan Bayezidan saat mereka saling berhadapan. Dominic membungkuk memberi hormat, hanya saja irama jantungnya mulai tak karuan. Terasa sulit untuk menjawab, bahkan menelan ludah pun. Dominic tidak siap dengan seribu alasan mengunjungi kediaman tanpa kehadiran Sultan di sana. Namun, ia harus tetap menjawab. Dominic mengangkat badan, sewaktu mulutnya terbuka, dari arah pintu Neha muncul. "Yang Mulia," ucapnya memberi hormat, "aku meminta Jenderal Dominic datang kemari untuk menanyakan kabar Janna, dan aku memberikan bingkisan hiburan untuk Janna yang masih bersedih, tetapi Jenderal Dominic lupa membawanya," lanjut Neha dengan tenang dan lancar, ia tertawa kecil sembari mengulurkan bingkisan dengan kedua tangannya. Paras Sultan Bayezidan yang semula datar berubah terisi senyuman. "Ambillah, kami ingin menghibur kalian. Pasti apa yang kalian alami begitu berat." Dominic masih berpikir tentang Neha dan Sultan, mereka s
"Cukup, Jenderal. Aku sudah lebih baik," ujar Janna pelan, menghentikan gerak pijatan di bahunya, ia memperbaiki gaun lalu duduk menghadap Dominic. "Pergilah, permaisuri sudah menunggu, Jenderal.""Aku harap kau percaya padaku," ucap Dominic menatap sendu ke arah istrinya, ia menggenggam kedua tangan Janna.Perempuan itu tertawa kecil seraya menoleh ke arah lain. "Sedari awal aku tak bisa percaya pada siapapun, aku hanya seorang perempuan biasa yang diperintah untuk hidup. Hanya tinggal menjalani saja." Janna memandang Dominic dengan sorotan lara, penuh derita.Dominic menghela napas berat, rasa sesak seolah-olah menekan dadanya. Dia berdiri lalu mengganti pakaian dengan busana militer. "Aku hanya sebentar." Kening Janna dikecup Dominic.Selepas kepergian Dominic, air mata Janna kembali mengucur. Ia menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan."Ada apa Permaisuri memanggil?" tanya Dominic memberi hormat pada Neha. Di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua.Neha tersenyum senang meny
Telah tiga hari Janna berduka, ia lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, bahkan tidak ingin bicara pada suaminya sekalipun mereka sekamar.Saat ini Janna berada di ruangan tempat menyimpan abu keluarga Freud, tidak menangis lagi, hanya memandangi guci milik putranya. Jarak ruang abu dengan kediamannya tidak begitu jauh, cukup berjalan kaki."Janna, sedari tadi kau belum makan apa pun." Suara Dominic terdengar jelas di pendengaran sebelah kanan Janna. Pria itu menaruh kedua tangan di sisi lengan Janna bermaksud ingin menyokong badan istrinya ke atas.Mendadak Janna menggoyangkan badannya sampai pegangan itu terlepas. "Pergilah, tidak perlu mengurusiku!" ucap Janna dengan nada rendah tanpa menoleh sedikit pun."Sampai kapan kau seperti ini?" Dominic tahu kesakitan yang Janna rasakan, hanya saja waktu terus berjalan dan ada yang membutuhkan Janna."Bukan urusan, Jenderal!" teriak Janna, mata Dominic sampai terpejam. Air mata mengucur dari kelopak mata Dominic, segera ia menghapusn
Pagi hari Janna tak berada di kamar pribadinya, Dominic panik. Ia melangkah menyusuri sisi kamar. Dominic berlari mengitari rumah putih."Ada apa, Jenderal?" tanya Letnan Adrian yang heran dengan tingkah atasannya."Janna, di mana Janna?""Nyonya sedang di taman bersama dengan kedua putra Jenderal," jawab Letnan Adrian.Gegas Dominic berlari ke arah taman dengan masih mengenakan piyama tidurnya. Kelegaan merasuki dada Dominic begitu melihat Janna dan kedua putranya."Janna, mengapa sepagi ini sudah berada di taman?" tanya Dominic, tak segan ia melingkarkan tangan di pinggang istrinya. "Apaah udara pagi ini baik untuk mereka?" lanjut Dominic.Janna tertawa kecil, ia merasa senang diperhatikan oleh Dominic. "Semua baik-baik saja, Jenderal. Apakah Jenderal khawatir, bisa-bisanya keluar kamar hanya dengan piyama?" ledek Janna membuat Dominic salah tingkah dan malu.Selang beberapa waktu, Dominic kembali teringat perkataan Swayata dan mimpinya tadi malam."Seusai sarapan aku ingin berbinca
Janna diperbolehkan kembali ke rumah putih, setelah kesehatannya membaik. Setiba di kediamannya, ia melihat Swayata berdiri di antara orang biasa yang menantikan kepulangan mereka.Membawa serta anak-anaknya, Janna masuk terlebih dulu."Nanti aku menyusul," ujar Dominic yang masih harus menerima Swayata di kamar kerjanya."Jenderal, selamat atas kelahiran bayi kembarmu," ucap Swayata memberi hormat, ia menyerahkan bingkisan pada Dominic yang langsung diserahkan pada pengawalnya. "Apa keperluanmu datang kemari, Pak Tua? Bukan hanya menyampaikan hal ini, bukan?" selidik Dominic.Ulasan senyum Swayata memberi jawab bagi Dominic. "Duduklah, katakan apa keperluanmu."Swayata mengikuti Dominic duduk di bangku tamu."Aku bukan pejabat lagi, Jenderal. Tetapi, aku harus mengatakan kepadamu, bila anak kembarmu harus dipisahkan karena mereka keduanya laki-laki."Dominic terbeliak mendengarnya, sebelumnya Swayata tak pernah mengatakan mengenai hal itu. "Bukankah baik aku punya anak laki-laki k
Dominic dan Janna kembali ke Pamdos, sepanjang perjalanan dalam kereta kuda Dominic melihat jelas paras Janna yang riang, sekalipun perempuan itu melihat ke arah luar. "Apa kau telah mempersiapkan nama untuk anak ini nanti?" tanya Dominic, Janna menoleh sembari berpikir. "Bukankah Jenderal yang ingin memberikan nama pada anak ini? Biasanya seorang ayah yang memberikan nama." "Kalau kau ingin memberikan nama tidak masalah. Kebiasaan yang kau sebutkan itu tidak berlaku di stratum Armyasa," sanggah Dominic. Janna tersenyum, ia menyambut gagasan suaminya. "Aku pernah terpikir, apa Jenderal ingin mendengar namanya?" "Tidak perlu, nanti saja setelah anak ini lahir." Tidak terasa mereka tiba di rumah putih. Dominic turun terlebih dulu lalu mempersilakan istrinya. "Dominic," panggil seseorang dari luar. Janna mendengarnya sembari memutar matanya. Mereka berdua telah turun dari kereta kuda. "Bolehkah aku berbicara padamu? Ini tentang upaya --" Sorot tajam Janna pada Yana
Bisik-bisik di kalangan pelayan sampai ke pendengaran Janna. Ia mengangkat gaunnya melewati lorong penginapan tempat tinggalnya di Seaco."Letnan, aku ingin berbicara sebentar," pinta Janna pada Adrian, asisten suaminya, bertepatan pria itu diminta Dominic tinggal di penginapan."Silakan, Nyonya." Adrian membungkuk memberi hormat."Aku dengar dari pelayan. Allan melarikan diri?""Benar, Nyonya," jawab Adrian pendek. Kaki Janna terasa lemah, tetapi ia berusaha tegar. Barulah ia mengerti mengapa Adrian tidak mendampingi suaminya saat ini. Dominic pasti menyuruh Adrian mengamati gerak-geriknya.Janna mempercepat langkah menuju kamar pribadinya lalu terduduk di ranjang. Jantungnya berdegup kencang. Tidak menyangka kalau Dominic memenuhi keinginannya melepaskan Allan, sekalipun dengan cara membiarkan kakaknya melarikan diri.Hingga sore hari barulah Dominic kembali ke penginapan setelah seharian mengontrol keadaan di Seaco.Janna sampai berlari menyambut kedatangan suaminya di depan peng
"Kakak," panggil Janna. Ia didampingi seorang prajurit untuk menemui Allan di penjara bawah tanah Seaco."Janna." Mereka saling berpeluang melepas rindu. "Bagaimana bisa kau kemari, pimpinan militer bisa memergoki kita," ucap Allan dengan berbisik. Janna menggeleng, ia membawa kakaknya untuk duduk di ranjang penjara. "Jenderal Dominic mengizinkan aku menemui kakak. Bagaimana kabar kakak?" tanya Janna dengan manik berkaca-kaca."Begitulah, kami tertangkap saat ingin melarikan diri."Allan melihat Janna dari bawah ke atas menyadari sesuatu yang berubah."Janna, apa kau mengandung?" tanya Allan memastikan. Tangan Janna menyentuh perutnya. "Iya, Kak. Sebentar lagi aku akan melahirkan.""Apakah pimpinan militer itu memperlakukanmu dan bayimu dengan baik?" tanya Allan lagi.Janna hanya tersenyum, menajwab dalam hati sembari melihat ke sekeliling menyadari hal yang kurang. "Di mana Xaviery, Kak?""Aku tidak tahu, mereka menempatkan di ruangan lain. Sejak tertangkap kami belum pernah ber
Janna berusaha menikmati pemandangan wilayah Seaco yang dikelilingi lautan. Angin semilir menyentuh paras pucatnya, ia membentangkan tangan merasakan dekapan angin menyentuh badannya."Kau bisa masuk angin." Dominic menyelimuti tubuh Janna dengan mantelnya."Suasana Seaco selalu menenangkan," sahut Janna. "Sepertinya kau senang tinggal di sini?" Dominic tahu jawabannya. Janna hanya mengangguk sembari mengetatkan mantel di depan dadanya."Kita di sini selama sepekan, aku harap kau bisa memikirkan kembali keinginan untuk berpisah."Manik Janna melotot, ia tak menyangka tujuan Dominic membawanya agar ia memikir ulang rencana perpisahannya. "Hal itu tak perlu dipikirkan lagi, Jenderal. Tekadku sudah bulat."Dominic menjauh ke sebelah, menutup mata sambil bersidekap."Bila aku menangkap Allan dan Xaviery, apakah kau akan mengurungkan niatmu?"Dominic menoleh, matanya menyorot dalam pada Janna yang terkesiap mendengar nama kakak dan sahabatnya. "Jenderal, mengancam?" Janna butuh jawaban