Hari perayaan agustusan kembali tiba. Biasanya ada banyak perlombaan yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat di desa kami.
Untuk urusan mengikuti lomba, aku tak perlu ajakan dari Farah. Dengan senang hati akan kudaftarkan diriku sendiri pada panitia. Toh tidak semua lomba harus diikuti secara berkelompok, ada juga beberapa lomba yang bisa diikuti secara perorangan, jadi tidak masalah seandainya tidak ada teman yang mau satu kelompok denganku.Suasana lapangan begitu meriah. Aku datang sendiri, Kak Abel sibuk dengan sekolahnya jadi tak mungkin sempat pulang. Apalagi Kak Yumna, menurut kabar yang kudengar dari Ibu, selain bekerja di sebuah perusahaan, Kak Yumna juga membuka bimbel bagi anak-anak di sana. Ia juga terkadang membuka stand berjualan jika ada acara-acara tertentu. Jadi kakakku yang satu itu sudah jelas jarang pulang.Aku berjalan menuju meja panitia, lalu mendaftarkan diriku pada lembar peserta Lomba Balap Makan Kerupuk, Lomba Balap Karung, Lomba Balap Kelereng, Lomba Menangkap Ikan, juga Lomba Masukkan Paku Ke Dalam Botol.Perlombaan dimulai tepat pukul sembilan. Aku maju ke barisan untuk mengikuti berbagai lomba yang telah kudaftarkan. Suasana perlombaan yang begitu meriah membuatku sejenak dapat melupakan masalahku. Aku bahkan tidak sempat memperhatikan apakah Ayah dan Ibu menontonku atau tidak. Fokusku hanya berlomba untuk menjadi juara, mengalahkan teman-temanku. Aku tidak perlu disemangati oleh orang tua seperti anak-anak yang lain. Membayangkan hadiah-hadiah yang disediakan oleh panitia saja sudah membuatku semangat. Tahun kemarin aku mendapatkan empat buah buku tulis, enam buah pensil, tiga buah penghapus, tiga buah alat meraut pensil dan satu kotak pensil sebagai hadiah juara lomba. Aku senang bukan main.Matahari semakin meninggi. Tidak sia-sia usahaku. Sejauh ini aku berhasil meraih juara dua untuk Lomba Makan Kerupuk dan Lomba Masukkan Paku Ke Dalam Botol. Juara tiga untuk Lomba Balap Karung. Serta juara satu untuk Lomba Balap Kelereng dan Lomba Menangkap Ikan.Aku mengambil air mineral gratis yang disediakan panitia. Lalu meneguknya sampai habis. Seorang panitia menanyakan keberadaan ayah dan ibuku yang sejak tadi belum terlihat batang hidungnya.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, memang tidak tampak kehadiran ayah mau pun ibuku. Ada sedikit rasa khawatir dalam hatiku, biasanya ibuku tak pernah absen dalam acara ramai seperti ini. Aku hendak beranjak pulang untuk mencari orang tuaku namun Lusi tiba-tiba berteriak memanggil namaku.“Naya!”Aku menoleh.“Kamu ikut grup kita ya! Ini masih kurang satu.”Lusi mengajakku ikut bergabung dalam kelompoknya untuk Lomba Lari Estafet, juga pada Lomba Tarik Tambang dan Lomba Balap Bakiak.Aku kembali terhipnotis oleh meriahnya suasana lomba dan melupakan tentang absennya kedua orang tuaku. Peluh menetes deras, kelompokku hanya berhasil meraih juara dua dalam Lomba Lari Estafet. Untuk Lomba Tarik Tambang kami sudah terlalu lemas. Sedang untuk Lomba Balap Bakiak lebih kacau lagi, langkah kaki kami tak pernah seirama saat berjalan sehingga beberapa kali kami harus terjungkir saling tumpang-tindih.Aku kembali ke tempat panitia untuk meminta minum. Sayang, air mineral gratis itu sudah habis.Aku tidak membawa sepeser uang pun untuk membeli minuman. Maka kuputuskan untuk pulang ke rumah. Sekalian makan siang, mandi lalu salat, pikirku.“Nay, bilangin ibu sama ayahmu, abis Zuhur nanti ada lomba khusus orang dewasa.” Seorang panitia berpesan padaku.“Siap, kak!” jawabku.Aku pulang dengan riang. Banyak lomba yang berhasil kumenangkan, artinya akan banyak hadiah yang nanti kudapat. Perutku kembali berbunyi, aku semakin mempercepat langkahku. Membayangkan sepiring nasi dengan sepotong telur dadar tanpa bawang dan sambal terasi memberikan sedikit tenaga tambahan untuk tetap mengayun kakiku menuju rumah.Sampai di rumah pintu tidak terkunci. Aku kaget ketika masuk rumah dan melihat barang-barang berserakan tak beraturan.“KAU ANGGAP AKU APA DARMAN?! KAU ANGGAP AKU APA?!”Pilu, terdengar suara ibu yang berteriak sambil menangis dari arah dapur. Aku mengendap untuk memeriksa. Di sana kulihat ayah dan ibu sedang bertengkar hebat. Penampilan ibu tampak kacau sekali. Rambutnya awut-awutan. Pakaiannya berantakan. Dan yang mengerikan, ibu mengacungkan sebilah pisau.“Nolongin Rahma itu kewajibanku. Dia janda anaknya yatim. Itu perintah Tuhan untuk memuliakan janda sama anak yatim.”“STOP BERALASAN KAU! JANDA DI SINI BANYAK BUKAN CUMA DIA! NEK SUMI JUGA JANDA, DIA LEBIH BERHAK KAU TOLONG DARI PADA SI RAHMA!” Ibu berteriak kalap.Aku juga heran di sini memang ada banyak janda. Ada Nek Sumi, ada Bu Popon, ada Bik Surti, ada juga Eceu Mae, semua janda yang ditinggal mati suaminya, tapi kenapa hanya Tante Rahma yang selalu dibantu oleh ayah.“Nek Sumi itu...,”“Prang!” Sebuah piring melayang lalu berbenturan dengan lantai. Pecahannya berhamburan ke sekitar, menciptakan jarak yang tidak mudah untuk dilewati.“SUDAH KUKATAKAN KAU TAK PERLU BANYAK ALASAN!” Ibu kembali berteriak.Aku merasa pilu mendengarnya. Hilang sudah rasa laparku. Bahkan aku melupakan rasa hausku. Satu-satunya yang kurasakan saat ini hanya, dingin. Rasa dingin yang diakibatkan oleh menyempitnya pembuluh darah yang biasa terjadi ketika aku ketakutan.Aku tak tahu harus berbuat apa di situasi seperti ini. Sama sekali tak terpikirkan untuk meminta bantuan tetangga atau siapa pun. Andai kakakku ada di sini…. Namun nyatanya aku sendirian. Seorang anak kecil duduk meringkuk ketakutan menyaksikan orang tuanya yang bertengkar hebat dengan seorang mengacungkan pisau.“KAU BELIKAN SI RAHMA HP. KAU BERI SI RAHMA UANG. KAU AJAK MEREKA JALAN-JALAN. KAU BELIKAN GALANG SEPEDA! SEMENTARA KELUARGAMU SENDIRI KAU ABAIKAN!” teriak Ibu.“LIHAT ANAKMU SI NAYA! TIAP HARI DIA NGELUH DIBULLY SAMA TEMAN-TEMANNYA KARENA KELAKUANMU YANG TAK TAHU MALU!”“Ah, si Naya! Memang anak bodoh dia!” Ayah menyahut teriakan Ibu. Tangannya mengambil sapu ijuk lalu mulai membersihkan pecahan-pecahan kaca. Jujur sakit sekali mendengar kata-kata ayah barusan. Air mataku juga ikut menetes.“DIA ANAKMU DARMAN! DIA, ANAKMU. BUKAN GALANG! BAGAIMANA BISA KAU MEMULIAKAN ANAK YATIM SEMENTARA KAU MEYATIMKAN ANAKMU SENDIRI! KAU PIKIR! BAGAIMANA JIKA DIA NANTI YANG TERNYATA MENANGGUNG KARMAMU?! BAGAIMANA JIKA NAYA NANTI YANG HARUS MEMBAYAR MAHAL SEMUA KESALAHANMU?!”Lha, kok aku sih? Kulihat ayah terdiam. Mungkin menyadari kesalahannya.“Aku capek, Darman!” Suara ibu mulai melemah.“Aku capek terus menerus menutupi aibmu sementara kau semakin tak tahu diri!” Ibu terisak.“Jangan asal bicara kau, Rasti!”Tak kukira, ternyata kata-kata ibu malah menimbulkan emosi bagi Ayah.“Siapa yang tak tahu diri?! Kau hidup sudah kubiayai masih saja banyak mengeluh! Lihat siapa yang membuat semua kekacauan ini!” Ayah menunjuk ke sekelilingnya yang berantakan.“Kau! Kau yang tak pernah bisa mengontrol emosimu! Kau yang selalu menuruti prasangkamu! Kau yang terlalu mendengarkan gosip-gosip para tetangga! Aku muak dengan semua kelakuanmu, Rasti!” Ayah berbalik marah pada Ibu.“Aaaaaa!!” Ibu menjambak rambutnya sendiri. Pisau yang sejak tadi ia genggam terlepas dari tangannya.“TERUS KAU SALAHKAN AKU! TERUS!” Ibu meraung-raung.“DEMI BAPAK DAN IBU YANG KUTINGGALKAN DI SEBERANG PULAU SANA, AKU SUNGGUH SAKIT HATI PADAMU, MAS!”Ibu berjalan gontai ke sudut dapur. Tangannya meraih jeriken yang berisi minyak tanah lalu menumpahkannya ke sekujur tubuhnya. Hilang sudah rasa lapar dan hausku. Bahkan aku melupakan rasa kebeletku yang sejak tadi kutahan. Aku hanya bisa terdiam takut, tak tahu apa yang harus kulakukan. Andai kak Abel atau kak Yumna ada di sini. Namun nyatanya aku sendirian berada di kandang para serigala ini.Kulihat Ayah berlari mencegah Ibu mengambil korek api.“JANGAN CEGAH AKU! BIARKAN AKU MATI DENGAN SEMUA RASA SAKIT INI!” Ibu masih berteriak di tengah sisa tenaganya. Tampak tangannya mencoba merebut korek api yang diamankan Ayah.Ayah menghentikan aksi Ibu dengan memukul kepalanya. Namun hal itu justru membuat Ibu tak sadarkan diri. Ayah kemudian membopong Ibu ke kamar, melewatiku yang masih berdiri ketakutan.“Urusin sana ibumu!” perintah ayah padaku.Aku masuk ke kamar Ibu. Memeriksa keadaannya, napasnya lemah. Bau minyak tanah sungguh menyengat. Aku pergi ke kamar mandi dan mengambil seember air. Sekilas kulihat ayah sedang membereskan semua kekacauan yang diakibatkan pertengkaran mereka.Aku kembali ke kamar ibu, lalu mengambil selembar handuk kecil di lemarinya. Kuseka wajahnya. Wajah seorang perempuan yang beberapa tahun lagi akan genap menghabiskan separuh abadnya di dunia. Kubuka pakaiannya, tubuh itu begitu kurus tak terawat. Amat jauh berbeda dengan tubuh ibu-ibu kebanyakan yang biasanya berbadan gempal. Apalagi dengan Tante Rahma yang montok dan sekal. Aku tahu Ibu sering telat makan hanya karena menunggu Ayah pulang. Aku menggantikan pakaian Ibu dengan yang bersih.Ayah masuk ke kamar. Ia baru selesai mandi.“Udah sadar ibumu?” tanya ayah.Aku menggelengkan kepala.“Jawab kalau ditanya sama orang tua! Bukannya gedeg-gedeg!” bentak Ayah.“Belum.” jawabku lirih. Sebenarnya aku ingin menangis saat itu.Ayah berpakaian lalu memakai minyak wangi. Terdengar suara seseorang memanggil-manggil Ayah di luar.“Heh, nanti kalau ada yang ke sini tanya ibumu, bilang saja ibumu sakit! Masuk angin gitu!” pesan Ayah.Aku mengangguk. Ayah tak peduli dengan jawabku, ia segera berlalu menyambut tamunya.“Ayok agustusan Pak Darman! Eh, ke mana aja? Sampean ditungguin dari tadi!” Itu suara Pak Bayu, salah seorang tetangga kami.“Ayok siap! Maaf tadi aku abis ngerokin si Rasti itu masuk angin katanya,” ucap Ayah.Kulihat Ayah menutup pintu, kemudian berlalu bersama Pak Bayu. Menyisakan aku dan Ibu yang belum juga sadar.Hari bebas. Libur kenaikan kelas telah tiba. Aku naik ke kelas sebelas. Kak Daniel berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi yang cukup bergengsi di negeri ini. Namun, hal yang paling menyenangkan adalah, aku sudah bebas dari bayang-bayang Ibu. Aku sudah tinggal di tempat kos sekarang. Bersama Elina yang kini menjadi sahabatku. Aku sama sekali tidak membayar biaya sewa untuk kos ini. Semua ditanggung Kak Daniel.Namun di balik itu semua, tentu saja hal paling menyenangkan adalah ketika aku bisa belajar mengendarai sepeda motor setiap hari, bersama Elina. Kadang bersama Kak Eugiene jika salah satu kakak kembar Kak Daniel itu ada waktu luang. Aku begitu di terima dengan hangat di lingkungan keluarga Kak Daniel. Semua orang menyayangiku. Ini luar biasa. Sungguh sesuatu yang di luar dugaanku. Di keluargaku sendiri aku ditolak, diabaikan, bahkan sering dituduh yang aneh-aneh dan dicaci-maki tanpa alasan yang jelas. Namun, lihatlah di keluarga orang lain justru aku begitu diterima dan d
Minggu pagi aku sudah siap-siap. Aku menjadi lebih rajin setelah mengenal dunia luar lewat Elina dan Kak Daniel. Entahlah, selama ini aku merasa seperti di penjara. Hidup dengan begitu banyak aturan yang diberikan oleh orang tuaku. Namun, di sisi lain, mereka juga tidak mampu memenuhi kebutuhanku. Aku merasa, aku sudah cukup banyak mengalah untuk orang tuaku selama ini.Sejak dini hari aku sudah merapikan kamarku. Lalu membersihkan seisi rumah tanpa harus menunggu perintah Ibu. Wanita yang telah melahirkanku itu enam belas tahun lalu itu tengah memasak untuk sarapan kami. Kak Abel telah resmi menikah satu bulan lalu. Sekarang kakakku satu-satunya itu tinggal bersama suaminya dan mungkin akan jarang pulang lagi ke sini. Aku tak tahu, aku tidak terlalu dekat dengannya. Mungkin waktu aku kecil aku merasa begitu dekat hanya karena sering diizinkan tidur menginap di kamarnya. Namun, baru aku sadari sekarang bahwa kakakku itu sebenarnya tidak terlalu peduli juga padaku. Hal ini terlihat set
Semenjak bekerja bersama Elina, sedikit demi sedikit kesadaranku mulai terbuka. Kemurunganku perlahan hilang dan aku bisa tersenyum kembali. Bulan ketiga aku bekerja di sana, aku mulai mengenal keluarga inti Kak Daniel. Tak hanya ibunya, tapi juga ayahnya, kedua kakak kembarnya, serta kedua kakak laki-lakinya. Aku selalu merasa lebih baik saat bersama mereka dibanding saat bersama keluargaku sendiri. Mereka seperti rumah yang selama ini kucari, dan aku belajar banyak hal dari mereka.Kak Daniel telah diterima di sebuah kampus ternama di negeri ini melalui jalur undangan. Aku ikut senang mendengarnya. Juga ikut termotivasi untuk bisa sepertinya. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Aku takjub dengan keluarga ini. Kami berbeda agama tapi mereka sangat menghormatiku. Mereka selalu memperhatikan apa yang kumakan, mereka senantiasa mengingatkanku untuk salat lima waktu ketika azan berkumandang. Mereka juga menghormatiku ketika aku berpuasa. Semua orang di sini tulus dan ramah, jauh berbeda d
Setelah beberapa hari membujuk, bahkan sampai membawa Elina datang ke rumahku. Dengan berat hati, akhirnya Ibu pun mengizinkan aku bekerja di resto milik ibunya Kak Daniel bersama Elina. Aku memberitahukan segala tentang resto itu pada Ibu untuk meyakinkannya. Aku akan baik-baik saja, Elina juga anak baik-baik bukan seperti yang selama ini selalu Ibu tuduhkan padaku.“Jangan menghakimi orang tuamu, Nay.” Suatu hari gadis itu memberi nasihat ketika kami selesai bekerja seharian.Jam kerjaku adalah sejak pulang sekolah hingga pukul tujuh malam. Ibu memintaku untuk pulang pergi ke rumah dan tidak boleh menginap di mana pun. Meski jarak rumahku ke sini adalah sekitar tiga puluh lima menit perjalanan. Ibu masih paranoid, takut jika aku melakukan hal-hal yang melanggar norma. Andai saja Ibu tahu tentang perbuatan Kak Abel, apa Ibu akan marah pada Kak Abel? Mengingat selama ini wanita yang menjadi ratu di rumahku itu selalu memperlakukan Kak Abel dengan baik, berbeda denganku. “Tapi mereka
Aku sampai di rumah lebih dulu dari Ibu. Sepertinya orang tuaku masih mampir dulu entah ke mana. Karena nyatanya mereka baru sampai dua jam kemudian setelahku.“Kenapa juga si Abel kepengen buru-buru nikah? Tahu orang tuanya lagi repot banyak hutang.” Ayah mengeluh sambil melepas sepatunya.Aku menyerahkan segelas air putih untuk Ayah pada Ibu. Sudah seperti peraturan tak tertulis di keluarga kami bahwa jika Ayah pulang, kami harus membawakannya segelas air minum. Entah itu oleh Ibu, atau pun kakak-kakakku. Setelah memberikan air putih, segera aku kembali menepi menuju kamarku. Menutup pintu, kemudian hanya mendengarkan dari dalam sini. Sejak peristiwa ayah memukuliku bertahun-tahun lalu, jujur aku malas berdekatan dengan Ayah. Energi Ayah membuatku tak nyaman, seperti ada aura gelap di sana. Atau mungkin, aku hanya trauma? Aku tak tahu pasti. Namun, aku enggan berdekatan dengan Ayah.“Ya, mau gimana lagi. Toh si Abel juga sudah cukup usianya untuk menikah. Nikahin aja, dari pada na
Kak Daniel hanya tersenyum melihat tingkah aneh kami berdua. Elina yang begitu ekspresif dipadukan denganku yang amat pendiam. Beberapa karyawan resto yang ada di sana seketika melirik ke arah kami. Kurasakan pipiku mulai memanas, ingin rasanya berlari sembunyi, tapi tak mungkin. Ingin menggenggam tangan Kak Daniel lalu menyembunyikan kepalaku di bahunya, ah itu jauh lebih tak mungkin! Jadi, di sinilah aku. Hanya bisa diam mematung menyaksikan tatapan orang-orang yang memperhatikanku. Apa ini panic attack? Oh, tidak! Apa waktu kata Kak Hana?“Udah! Jangan tegang! Ngobrol sana sama Elina! Aku mau ke Mama dulu!” Kak Daniel berpesan seraya menepuk bahuku. Kemudian lelaki itu berlalu memasuki sebuah pintu yang tertutup.Apa? Mama? Apa restoran ini milik ibunya? Atau ibunya bekerja di sini?“Cari tempat, yuk!” Belum selesai aku melakukan konfigurasi terhadap kebingunganku, Elina sudah menarik tanganku. Terpaksa aku mengikutinya.Wanita berambut panjang hitam lurus itu mengajakku ke halaman