Berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban bagi setiap anak. Namun tidak semua anak terlahir dari keluarga yang menyayangi mereka. Dibandingkan, diremehkan, dipermalukan, tidak dianggap, bahkan tak jarang, dianiaya. Adalah makanan pahit sehari-hari yang diterima para anak ini di rumah yang semestinya memberi kenyamanan dan kehangatan. Rasanya berat untuk berbakti jika mengingat perlakuan orang tua yang selalu memicu benci. Cerita ini mengisahkan tentang Nayara, seorang gadis tangguh yang berusaha keluar dari situasi terpuruk yang menimpa dirinya akibat sumpah serapah sang Ibu yang sakit hati oleh perilaku ayahnya.
Lihat lebih banyak“Keterlaluan kau, Mas! Kenapa kau tak pulang saja ke rumahnya sekalian, ha?! Tidur sampai pagi di rumah si janda sialan itu!”
Aku mengerjapkan mata. Melayangkan pandangan ke sekitar yang diselimuti keremangan cahaya lampu tidur. Tatapanku berhenti pada jam meja analog milik kakakku yang berpendar mengeluarkan cahaya lembut pada jarum jam dan angka-angkanya. Jarum jam dan menit pada benda itu sama-sama menunjuk pada angka satu. Lagi-lagi aku harus terbangun oleh suara keributan yang ditimbulkan Ayah dan Ibu.“Apa sih, Ras? Kebiasaan kau sembarangan nuduh! Aku ini ada rapat sama para pengurus partai lainnya sampai tengah malem. Aku Cuma kebetulan ketemu Rahma pas pulang.”“Prang,” suara benturan dari benda pecah belah yang beradu dengan lantai menyusul terdengar.“Sudah kubilang jangan kau sebut nama si janda laknat itu! Dasar kau banyak alasan! Kau tak ingat ha, tiga anakmu itu perempuan semua, Darman?! Kau tak takut karmamu jatuh pada anak-anakmu, ha?!”“Seharusnya kau ngaca Rasti! Siapa suruh kau hanya mampu melahirkan anak perempuan!”Lama berjeda. Tak kudengar jawaban keluar dari mulut Ibu. Tapi sepertinya ibuku mulai menangis. Dapat kutebak dari suara isakan perempuan yang perlahan mulai terdengar.Aku menggoyangkan tubuh Kak Abel yang terbaring di sampingku. Aku gelisah, aku tak tahu kenapa akhir-akhir ini Ayah dan Ibu sering ribut di tengah malam seperti ini.Kak Abel seketika membuka mata. Ia menatap tajam ke arahku dan berbisik, “ssstttt! Udah, tidur!” ia lalu kembali menutup matanya seolah-olah tengah tertidur pulas. Rupanya sejak tadi kakakku itu juga ikut mendengarkan suara keributan Ayah dan Ibu.“Anak itu titipan Tuhan, Mas! Aku tak mampu menentukan jenis kelaminnya!” Ibu kembali bicara dengan suara terisak.“Seharusnya kau mikir, kenapa Tuhan terus kasih kita anak perempuan! Itu biar kau sadar, biar kau tidak terus-terusan sakiti aku!” sambungnya lagi.“Lihat saja, Mas! Aku bersumpah karmamu pasti turun ke anak-anakmu! Semoga kau panjang umur agar kau dapat menyaksikan itu semua!”Terdengar suara langkah kaki orang berlari. Disusul debum daun pintu dibanting yang menggema ke seisi rumah. Mengagetkan para penghuninya. Termasuk kakakku yang juga sekejap membuka matanya, namun kemudian kembali tertidur. Atau mungkin tepatnya pura-pura tertidur. Aku mengikutinya. Aku memeluk erat si Melvin, boneka monyet kesayanganku, lalu mencoba memejamkan mata seperti yang dilakukan Kak Abel di sampingku.Suara berserak dari serpihan kaca yang tengah disapu masih dapat tertangkap oleh indra dengarku. Entah siapa yang membersihkan sisa-sisa keributan itu. Mungkin Ayah. Karena perlahan dapat kudengar suara pilu isak tangis Ibu dari balik kamar yang saat ini kutempati.Sebenarnya aku memiliki kamarku sendiri di bagian depan sebelah ruang tamu. Hanya saja aku lebih suka tidur bersama kakakku jika Ayah terlambat pulang. Dulu, waktu Ayah belum bergabung dengan partai politik, Ayah selalu pulang tepat waktu lalu menceritakan kisah-kisah para nabi atau pun kisah heroik para pahlawan Nusantara sampai aku tertidur karena bosan mendengarnya. Rasanya semuanya berubah saat seseorang mengajak ayah untuk menjadi bagian dari pengurus salah satu partai politik. Waktu ayah banyak tersita untuk urusan partai katanya. Sehingga ia tiada sempat lagi menemaniku belajar mengaji atau sekedar menceritakan kisah-kisah membosankan sebelum aku tidur.Selang beberapa saat, terdengar pintu kamar kami terbuka. Aku tak tahu siapa yang membukanya karena posisi tidurku membelakangi pintu. Aku hanya dapat melihat Kak Abel yang tetap memejamkan mata, maka aku pun mengikutinya.Rentetan suara yang khas dari para nyamuk yang menjemput ajalnya di sebuah raket listrik menyusul terdengar. Bisa kupastikan itu Ayah. Telingaku menangkap suara helaan nafasnya yang berat saat ia berdiri di belakangku, menarik selimutku lalu mengusap lembut kepalaku.Kalau aku boleh berpendapat, sebenarnya Ayah adalah orang yang baik. Namun entah mengapa Ibu selalu marah-marah pada Ayah. Kak Abel bilang, ada sebuah hal dalam dunia orang dewasa yang belum dapat dimengerti oleh anak yang baru berusia tujuh tahun sepertiku.Usapan tangan Ayah menenangkanku. Hingga akhirnya aku kembali menjemput mimpi-mimpi yang tadi sempat terjeda.Pukul setengah enam pagi Kak Abel membangunkanku. Pasti Ibu masih marah. Tak kudengar suara Ibu yang mengomel tanpa henti tentang kebiasaan tidurku yang sulit untuk bangun seperti biasa. Ibu memang selalu jadi pendiam jika telah bertengkar dengan Ayah. Jika hari libur, biasanya ayah yang akan memasak nasi goreng untuk kami semua bila ibu sedang marah. Tapi ini hari kerja. Ayah sudah berangkat sejak pukul lima. Jarak rumah kami dan kantor tempat Ayah bekerja memang cukup jauh. Sehingga ia harus berangkat pagi-pagi sekali demi mengejar jadwal kereta. Aku melaksanakan rutinitas pagiku walau dengan suasana yang tak begitu nyaman.“Kau masih ke sekolah, Bel? Bukannya ujiannya sudah beres?” tanya Ibu.Kak Abel ikut bergabung di meja makan lengkap dengan pakaian seragam sekolah putih birunya. Ia meletakkan kotak bekal makanan kosong lalu mulai mengisinya dengan hidangan apa pun yang tersedia di meja.“Iya, Bu. Kemarin aku dapet kabar dari Pak Yusuf kalo aku lulus seleksi tahap pertama calon penerima beasiswa di salah satu SMA favorit di Ibu Kota. Hari ini aku diajak ke sana untuk melengkapi berkas persyaratan sekaligus daftar ulang untuk ujian tahap kedua,” papar Kak Abel.“Memang kau yakin mau sekolah di Ibu Kota? Nanti gimana kamu tinggal di sana? Makan kamu? Masa kamu pulang-pergi ke sana?” tanya Ibu.“Aku bisa ikut di kos Kak Yumna, Bu. Lokasi sekolahnya masih satu daerah kok. Kalau aku berhasil dapat beasiswa, semua keperluan sekolahku ditanggung pihak yayasan, termasuk seragam dan alat tulis. Jadi Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir lagi soal biaya sekolahku.”Kak Abel menjawab sambil memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas khusus. Ia juga membungkus beberapa kue yang ada di meja untuk dimakannya di kendaraan umum. Kakakaku itu memang jarang sempat sarapan di rumah, ia mengikuti cara Ayah dan Kak Yumna dulu untuk mengisi perut disela kesibukannya.“Ya sudahlah.” Ibu terlihat menghela napas pasrah sambil memberikan tangan kanannya untuk dicium oleh anak keduanya itu. Kak Abel berangkat, tinggal aku berdua dengan Ibu. Suasana tak nyaman mulai kurasakan.Aku mulai memikirkan tentang nasibku sendiri. Di antara semua saudaraku, hanya aku yang paling tidak bisa dibanggakan. Kak Abel dan Kak Yumna dulu sering juara di sekolahnya. Amat berbeda denganku, semester kemarin aku hanya sanggup mendapat peringkat 10 di kelasku. Ayah dan Ibu tampak kecewa. Mereka terus menuntutku untuk bisa sehebat kakak-kakakku. Katanya, agar aku tidak terus merepotkan mereka di masa depan nanti, lebih bagus kalau bisa membantu mereka.“Cepatlah kau makannya, Naya! Jangan banyak melamun! Kamu semua serba disiapin masih aja lelet! Lihat tuh kakakmu, Abel! Bangun paling pagi, siap-siap sendiri, ke sekolah sendiri. Lah kau? Bangun masih harus dibangunin, makan masih harus disiapin, berangkat pun masih harus kuantar,” omelnya.Itulah yang menyebalkan dari Ibu. Padahal sebenarnya aku pun ingin menyiapkan makananku sendiri, aku pun bisa berangkat ke sekolah sendiri, tapi Ibu sengaja melakukan semuanya untukku, lalu kemudian dia menyalahkanku. Tapi baiklah, demi mendengar Ibu kembali mengomel, berarti suasana hatinya mulai membaik. Aku mempercepat makanku sesuai titahnya. Apalagi ketika mendengar beberapa teman memanggil namaku dari luar rumah, pasti mereka sudah berangkat.“Cepat, Naya! Lihat teman-temanmu sudah pada nunggu!”Aku ikut bergabung bersama teman-temanku menuju sekolah. Ibu berjalan di belakang bersama para orang tua siswa lain yang juga ikut mengantarkan anaknya.“Tiit tiiit tiiitttt,” dari belakang terdengar seseorang menirukan bunyi klakson. Kami semua menyingkir untuk memberikannya jalan.Seorang anak lelaki melintas dengan sepeda barunya. Itu Galang, anaknya Tante Rahma. Ayahnya meninggal karena kecelakaan satu tahun yang lalu.“Wiiih, sepeda baru, Lang?” tanya Bu Ratih, ibunya temanku yang juga ikut mengantarkan anaknya ke sekolah.“Iya, kemarin dibelikan papanya Naya.”Galang menjawab dengan santainya sambil terus melesat membelah jalanan pedesaan kami.Eh, tunggu. Apa dia bilang? Sepeda itu dibelikan ayahku?Hari bebas. Libur kenaikan kelas telah tiba. Aku naik ke kelas sebelas. Kak Daniel berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi yang cukup bergengsi di negeri ini. Namun, hal yang paling menyenangkan adalah, aku sudah bebas dari bayang-bayang Ibu. Aku sudah tinggal di tempat kos sekarang. Bersama Elina yang kini menjadi sahabatku. Aku sama sekali tidak membayar biaya sewa untuk kos ini. Semua ditanggung Kak Daniel.Namun di balik itu semua, tentu saja hal paling menyenangkan adalah ketika aku bisa belajar mengendarai sepeda motor setiap hari, bersama Elina. Kadang bersama Kak Eugiene jika salah satu kakak kembar Kak Daniel itu ada waktu luang. Aku begitu di terima dengan hangat di lingkungan keluarga Kak Daniel. Semua orang menyayangiku. Ini luar biasa. Sungguh sesuatu yang di luar dugaanku. Di keluargaku sendiri aku ditolak, diabaikan, bahkan sering dituduh yang aneh-aneh dan dicaci-maki tanpa alasan yang jelas. Namun, lihatlah di keluarga orang lain justru aku begitu diterima dan d
Minggu pagi aku sudah siap-siap. Aku menjadi lebih rajin setelah mengenal dunia luar lewat Elina dan Kak Daniel. Entahlah, selama ini aku merasa seperti di penjara. Hidup dengan begitu banyak aturan yang diberikan oleh orang tuaku. Namun, di sisi lain, mereka juga tidak mampu memenuhi kebutuhanku. Aku merasa, aku sudah cukup banyak mengalah untuk orang tuaku selama ini.Sejak dini hari aku sudah merapikan kamarku. Lalu membersihkan seisi rumah tanpa harus menunggu perintah Ibu. Wanita yang telah melahirkanku itu enam belas tahun lalu itu tengah memasak untuk sarapan kami. Kak Abel telah resmi menikah satu bulan lalu. Sekarang kakakku satu-satunya itu tinggal bersama suaminya dan mungkin akan jarang pulang lagi ke sini. Aku tak tahu, aku tidak terlalu dekat dengannya. Mungkin waktu aku kecil aku merasa begitu dekat hanya karena sering diizinkan tidur menginap di kamarnya. Namun, baru aku sadari sekarang bahwa kakakku itu sebenarnya tidak terlalu peduli juga padaku. Hal ini terlihat set
Semenjak bekerja bersama Elina, sedikit demi sedikit kesadaranku mulai terbuka. Kemurunganku perlahan hilang dan aku bisa tersenyum kembali. Bulan ketiga aku bekerja di sana, aku mulai mengenal keluarga inti Kak Daniel. Tak hanya ibunya, tapi juga ayahnya, kedua kakak kembarnya, serta kedua kakak laki-lakinya. Aku selalu merasa lebih baik saat bersama mereka dibanding saat bersama keluargaku sendiri. Mereka seperti rumah yang selama ini kucari, dan aku belajar banyak hal dari mereka.Kak Daniel telah diterima di sebuah kampus ternama di negeri ini melalui jalur undangan. Aku ikut senang mendengarnya. Juga ikut termotivasi untuk bisa sepertinya. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Aku takjub dengan keluarga ini. Kami berbeda agama tapi mereka sangat menghormatiku. Mereka selalu memperhatikan apa yang kumakan, mereka senantiasa mengingatkanku untuk salat lima waktu ketika azan berkumandang. Mereka juga menghormatiku ketika aku berpuasa. Semua orang di sini tulus dan ramah, jauh berbeda d
Setelah beberapa hari membujuk, bahkan sampai membawa Elina datang ke rumahku. Dengan berat hati, akhirnya Ibu pun mengizinkan aku bekerja di resto milik ibunya Kak Daniel bersama Elina. Aku memberitahukan segala tentang resto itu pada Ibu untuk meyakinkannya. Aku akan baik-baik saja, Elina juga anak baik-baik bukan seperti yang selama ini selalu Ibu tuduhkan padaku.“Jangan menghakimi orang tuamu, Nay.” Suatu hari gadis itu memberi nasihat ketika kami selesai bekerja seharian.Jam kerjaku adalah sejak pulang sekolah hingga pukul tujuh malam. Ibu memintaku untuk pulang pergi ke rumah dan tidak boleh menginap di mana pun. Meski jarak rumahku ke sini adalah sekitar tiga puluh lima menit perjalanan. Ibu masih paranoid, takut jika aku melakukan hal-hal yang melanggar norma. Andai saja Ibu tahu tentang perbuatan Kak Abel, apa Ibu akan marah pada Kak Abel? Mengingat selama ini wanita yang menjadi ratu di rumahku itu selalu memperlakukan Kak Abel dengan baik, berbeda denganku. “Tapi mereka
Aku sampai di rumah lebih dulu dari Ibu. Sepertinya orang tuaku masih mampir dulu entah ke mana. Karena nyatanya mereka baru sampai dua jam kemudian setelahku.“Kenapa juga si Abel kepengen buru-buru nikah? Tahu orang tuanya lagi repot banyak hutang.” Ayah mengeluh sambil melepas sepatunya.Aku menyerahkan segelas air putih untuk Ayah pada Ibu. Sudah seperti peraturan tak tertulis di keluarga kami bahwa jika Ayah pulang, kami harus membawakannya segelas air minum. Entah itu oleh Ibu, atau pun kakak-kakakku. Setelah memberikan air putih, segera aku kembali menepi menuju kamarku. Menutup pintu, kemudian hanya mendengarkan dari dalam sini. Sejak peristiwa ayah memukuliku bertahun-tahun lalu, jujur aku malas berdekatan dengan Ayah. Energi Ayah membuatku tak nyaman, seperti ada aura gelap di sana. Atau mungkin, aku hanya trauma? Aku tak tahu pasti. Namun, aku enggan berdekatan dengan Ayah.“Ya, mau gimana lagi. Toh si Abel juga sudah cukup usianya untuk menikah. Nikahin aja, dari pada na
Kak Daniel hanya tersenyum melihat tingkah aneh kami berdua. Elina yang begitu ekspresif dipadukan denganku yang amat pendiam. Beberapa karyawan resto yang ada di sana seketika melirik ke arah kami. Kurasakan pipiku mulai memanas, ingin rasanya berlari sembunyi, tapi tak mungkin. Ingin menggenggam tangan Kak Daniel lalu menyembunyikan kepalaku di bahunya, ah itu jauh lebih tak mungkin! Jadi, di sinilah aku. Hanya bisa diam mematung menyaksikan tatapan orang-orang yang memperhatikanku. Apa ini panic attack? Oh, tidak! Apa waktu kata Kak Hana?“Udah! Jangan tegang! Ngobrol sana sama Elina! Aku mau ke Mama dulu!” Kak Daniel berpesan seraya menepuk bahuku. Kemudian lelaki itu berlalu memasuki sebuah pintu yang tertutup.Apa? Mama? Apa restoran ini milik ibunya? Atau ibunya bekerja di sini?“Cari tempat, yuk!” Belum selesai aku melakukan konfigurasi terhadap kebingunganku, Elina sudah menarik tanganku. Terpaksa aku mengikutinya.Wanita berambut panjang hitam lurus itu mengajakku ke halaman
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen