Apakah Cinta hanya untuk orang yang sehat? Bagaimana dengan mereka yang cacat fisik?! Itu jugalah yang dialami oleh Reyfan saat dia mencintai Melga, gadis yang berjalan menggunakan kruk. Saat Melga mengalami perundungan di sekolah, Reyfan selalu ada, bahkan saat pelecehan itu terjadi, Reyfan pun rela terluka demi menyelamatkan pujaan hatinya. Tapi seluruh pengorbanan itu tidak nampak di mata Melga yang menganggap Reyfan hanya kasihan padanya.
View MoreDia bisa mendengar pujian merdu, karena dia tidak tuli.
Dia bisa melantunkan syair indah, karena dia tidak bisu
Dia bisa menari sampai senja, karena dia tidak lumpuh.
Dia hanya mengalami kecacatan pada salah satu kakinya. Lalu kenapa dia diperlakukan dengan berbeda?
Apa karena itu dia menolak cintaku? Dia merasa tidak pantas dicintai karena seorang tuna daksa?
Dia bisa mendengar pujian merdu, karena dia tidak tuli.
Dia bisa melantunkan syair indah, karena dia tidak bisu
Dia bisa menari sampai senja, karena dia tidak lumpuh.
Dia hanya mengalami kecacatan pada salah satu kakinya. Lalu kenapa dia diperlakukan dengan berbeda?
Apa karena itu dia menolak cintaku? Dia merasa tidak pantas dicintai karena seorang tuna daksa?
Aku mengingat jelas kalimat penolakannya, saat aku mengutarakan cinta dulu.
"Kamu tidak pernah mencintaiku!"
Pernyataan tegas yang digaungkan setiap bibirku melantunkan bahasa cinta. Seakan-akan dia mengetahui isi hatiku, bahwa aku tidak serius mencintainya.
Bahwa aku hanya main-main, lebih lagi sebatas kasihan, padahal aku mencintai Melga dengan tulus, tidak peduli apapun kondisinya.
Gadis berambut sebahu dengan kacamata bulat membingkai wajah. Sorot matanya teduh, lembut dan bersinar bagai memancar kebahagiaan.
Namun, di saat yang sama, sarat akan luka mendalam. Tatapan itu seolah menjeritkan beban hidup dan kepedihan yang ditanggungnya.
Rasa kesepian yang mandarah daging, tapi seulas senyum itu, seperti melarang mengeluh pada dunia, meski hanya satu kata.
"Apa alasannya?” tantangku.
“Tidak ada.”
“Lalu kenapa? Kenapa kamu selalu mengatakannya?” tuntutku. “Kamu selalu menganggap bahwa pernyataan cintaku hanya omong kosong. Kenapa kamu selalu menolakku? Apa kamu tidak menyukaiku?"
Pertanyaan yang selalu aku tanyakan. Jika memang Melga tidak menyukaiku, mengapa tidak langsung menolak. Bukan malah memberikan alasan, jika aku tidak pernah menyukainya. Apa sikapku selama ini tidak bisa menjadi bukti, bahwa aku menaruh hati padanya?
"Bukan aku yang tidak menyukaimu. Tapi kamu, Reyfan,” tunjuknya padaku. “Kamu tidak pernah mencintaiku!"
Pernyataan itu lagi. Aku muak mendengarnya. Dengan kesal aku mencengkeram kuat bahu Melga, mendekatkan diri padanya dan menatap iris kecoklatan itu yang juga balas menatap, aku berharap bisa menyelam dan menjelajahi samudra cinta di matanya.
Andai itu ada ….
Tapi kosong. Hanya kehampaan yang aku dapat. Kegelapan pekat menyelimuti bagai sang raja malam. Jika begitu kenapa dia tak mau menerimaku? Mungkin jika aku menjadi kekasihnya, aku bisa mengisi kekosongan itu.
Iya ‘kan?!
Tapi untukku sendiri, terdengar ragu.
"Aku mencintaimu, Melga,” ungkapku berharap dia mengerti. “Aku cinta kamu sejak pertama bertemu.”
“Tidak ada yang seperti itu, Rey.”
“Ada. Aku!”
"Tidak. Kamu bohong. Kamu tidak mungkin mencintai gadis cacat sepertiku."
"Melga!"
Ingin rasanya, aku menjerit frustasi akan kekerasan kepalaan Mega. Aku tidak pernah suka saat Melga mengungkit kekurangan fisiknya. Aku merasa marah setiap kali dia merendahkan diri seperti itu.
Memang kenapa jika dia seorang difabel? Apa itu artinya dia tidak berhak merasakan cinta?
Omong kosong!
Setiap mahluk mempunyai hak untuk mencintai dan dicintai, termasuk aku yang telah melabuhkan hati pada Melga. Seorang gadis yang berjalan menggunakan kruk tongkat di sisi kanan dan kirinya.
"Kenapa kamu marah, Rey?"
Melga menepis tanganku yang semula menyentuh bahunya. Sorot itu menghujam dengan sejuta emosi.
Hampa …
Apa yang telah dunia lakukan padamu, Kasih?
"Aku saja menerima dengan ikhlas kenyataan jika aku cacat. Kenapa kamu harus marah? ‘kan bukan kamu yang merasakannya?!"
Perkataan itu menusukku. Aku merasa terhina.
Duhai embun di mata … sampai kapan akan menahan diri? Hati ini terus memberontak, tidakkah menyerah saja?
"Oke, kamu cacat! Lalu apa?" tantangku kembali memegang bahunya. Dapat kurasakan tubuh mungil Melga tersentak. Namun, sorot itu masih terus menata tanpa gentar mempertahankan argument-nya.
"Lepaskan!" raungnya.
Melga meraung sarat kemarahan, tapi tidak sedikitpun dia mendorongku mundur. Mungkin karena kedua tangannya dipakai untuk memegang kruk besi yang selama ini menjadi penompang untuk bisa melangkah ke tempat tujuan.
Tongkat itu bagai teman setia. Lalu, bagaimana denganku?
Ungkapan cinta ini bukanlah kepalsuan. Tidak bisakah dia memberikanku kesempatan untuk membuktikannya?!
"Dengar, Melga. Aku akan mengatakannya sekali lagi.”
Dia terdiam mendengarkan.
“Aku mencintaimu! Maukah kamu menjadi kekasihku?"
Kembali kata cinta itu terucap, tapi balasan yang kuterima justru embun di pelupuk matanya. Kristal bening itu meluncur membasahi wajah cantiknya bagai air hujan yang tadi mengguyur.
"Jangan bercanda denganku, Reyfan!"
Bruk!
Dan bunyi dentuman benda jatuh bergema kuat.
Bukan! Bukan aku yang terjembab membentur tanah, melainkan Melga yang kini terduduk menatap tongkat besi, keduanya tergeletak tanpa perlawanan di dekatnya.
Yap! Keseimbangan Melga goyah saat dia berusaha mendorong tubuhku menjauh. Sontak aku pun bergegas menjulurkan tangan untuk membantunya berdiri.
"Menjauh!"
Namun, suara Melga menyentakku, menahan segala niatan hati.
Lagi, dengan pilu, aku hanya bisa menurunkan kembali tanganku, yang kini mengepal kuat, serasa ditolak.
"Kamu lihat sendiri, Rey. Aku tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan tongkat ini. Apa yang kamu harapkan dari gadis cacat sepertiku?"
Melga tertawa kecil. Namun, aku mengetahui jika itu bukan tawa murni melainkan olokan. Aku pun berjongkok, sehingga sejajar dengannya. Kuarahkan jemari tanganku untuk menyentuh dagunya, mengangkat pelan tak ingin lebih menyakiti.
Oh, embun di mata … bagaimana caraku menghapus duka itu?
"Aku tidak peduli itu! Aku mencinta___"
"Tapi aku peduli, Rey! Sangat peduli!" bentaknya mendorongku menjauh.
Kuatnya sentuhan itu membuatku mengerti. Melga telah berada di ujung penghancuran. Bahkan diri ini tak peduli dengan cipratan lumpur yang seakan ikut mengejek. Lembabnya tanah dan tetesan hujan seolah tak merestui dua insan bersatu.
Tuhan … apa Si Cacat dan Si Normal ini tidak bisa bersama? Sampai kapan dunia akan ikut campur? Inikah wajah cinta sesungguhnya?
"Dari dulu aku sudah mengatakannya padamu, Rey. Tidak akan pernah ada orang yang mencintai gadis cacat sepertiku. Tidakkah kamu mengerti juga?!"
Melga kembali membentakku dengan nada yang lebih tinggi. Suaranya berbenturan dengan angin senja, berembus memadamkan penghakiman dunia, tetapi tak cukup kuat untuk mewujudkannya.
Sebenarnya apa sudah dia lalui sepanjang membuka mata? Kenapa Melga seolah menolak cinta? Seakan-akan cinta adalah kepalsuan. Hanya karangan fiktif belaka atau ini hanya trik untuk membela diri?
"Bukan aku yang tidak mengerti. Tapi kamu yang tidak mau mengerti, Melga! Kenapa kamu tidak mau membuka hatimu?" tanyaku membuat gadis bertongkat itu membisu.
Aku kembali melanjutkan, mengungkapkan segala isi hati yang terpendam. Sebuah rasa yang selalu menikamku, menghujamku, mengoyakku dan mengantarkan kesakitan tanpa ada obat penyembuh.
Sempat aku bertanya. Siapa yang merasa lebih sakit? Seorang pemuda yang mencintai gadis tuna daksa atau gadis yang merasa tak pantas dicintai karena seorang tunda daksa?
Apapun itu seharusnya dunia tidak menghakimi, tapi semesta tetap menghalangi.
Untuk kali ini saja, biarlah aku terlihat lemah di matanya, karena Melga berhak tahu, betapa hancurnya hidupku dibuat olehnya.
"Kenapa kamu tidak lagi percaya pada cinta, Melga? Kejadian apa yang telah merubahmu? Aku tidak mengerti," lirihku.
Keheningan menerpa bagai embusan angin laut. Posisi kami tidak berubah sejak Melga mendorongku. Empat pasang mata masih beradu, seolah-olah mengarungi lebih jauh lagi.
Namun, itu tidak berlangsung lama, Melga memutus kontak mata, meraih kruk besi, menyangganya di ketiak dan bangkit berdiri tanpa memedulikanku.
Sikap Melga membuat hati ini remuk redam.
Sesak sekali!
"Melga …”
Aku memanggil gadis besi yang membelakangiku dan bersiap untuk pergi. Air hujan yang kembali mengguyur, tak menyurutkan niatnya untuk menghilang dari hidupku, terjebak dalam jurang sakitnya patah hati.
“Bahkan jika aku mencintaimu. Aku tidak bersalah. Aku tidak pernah meminta perasaan ini ada.”
Kulihat ayunan langkah kaki itu terhenti dan dia membisu di tempat. Lantas, aku menumpu tangan di atas lutut untuk bangkit berdiri, tidak peduli kotornya lumpur yang menghias jaketku.
“Aku tidak ingin mencintaimu.”
Melga berbalik. Tatapan kami kembali mengarungi samudra rasa. Entah cinta, sedih atau amarah.
"… Mencintai orang yang menutup hati sepertimu. Aku tidak ingin merasakannya!” ungkapku berharap dia mendengarkan.
"Tapi perasaan ini ada. Perasaan ini nyata. Aku mencintaimu! Lalu apa yang harus kulakukan?"
Aku meminta pembenaran jika mencintainya adalah sebuah kesalahan, maka dia harus menjelaskan alasannya.
Tapi jurang pertanyaan itu kembali Melga berikan padaku. Gadis bertongkat besi berbalik tanpa memberi jawaban, meninggalkanku bersama hujan disertai petir.
Aku menyesal bertemu denganmu, Kasih.
Andai aku tidak berusaha kerasCinta ini tak akan menghancurkanTapi aku tidak tega membiarkan gadis tuna daksa itu menanggung masalahnya sendiri***"Hm ... Gue salah ngomong, ya?""Tidak, kok."Aku mengerutkan alis. Saat itu, aku tak mengerti apapun. Yang bisa kulakukan hanya gumaman tak jelas. Apalagi reaksi yang dia berikan adalah kekehan kecil.Melga mengukir senyum manis. Sesekali bibir itu melantunkan tawa kecil, seakan geli. Tapi kebahagiaan tak sampai padaku. Justru hanya ada sesak."Oh ya, Reyfan.""Apa?" tanyaku.Sungguh! Perjalanan ke ruang guru yang seharusnya cepat, jika bersama Melga sangat lambat. Tapi aku menikmati setiap langkah, bahkan mengharapkan ini tidak segera berakhir.Kutuklah aku karena berharap dia berjalan seperti siput selamanya, agar kebersamaan ini tak tergerus waktu."Selamat atas perlombaan karate bulan lalu," ungkapnya. "Maaf, baru bisa bilang seka
Andai aku tidak mengatakannya, rasa sesak ini tidak akan bertambah.Tapi mengetahui jika dirinya dimanfaatkan, aku emosi.Aku ingin gadis tuna daksa itu tahu, kalau dia berharga.***“Ciee yang liburansemesternya di Jawa Timur. Bahagia banget pasti," goda Rukly.“Tahu nih," sahut Saga. "Katanya gak mau ikut karena biayanya mahal, ternyata udah lunas aja bayarannya."“Wah, pasti pengendeketin gebetan, tuh.”“So pasti, Ly.”Aku mencebik kesal mendengar suara sumbang sahabatku. Mereka kompak bersahut-sahutanmenghakimi keputusanku untuk ikut study tour.Memang, kenapa jika akumengikuti kegiatan itu karena in
Andai aku tidak menemaninya, telinga ini tidak akan mendengar hujatan dunia.Tapi hatiku tidak bisa membiarkan dia seorang diri.Aku ingin selalu melangkah bersama gadis tuna daksa itu. ***Sore Hari ...Alunan suara musikberderu beriringan dengan manusia hilir mudik tak tentu arah, mereka sibuk mengurusikegiatan masing-masing. Hiasan kain dan bunga memenuhi area yang dijadikantempathajatan.Menurut informasi dari Bapak, pesta kali iniuntuk merayakan pernikahan putri kedua Pak Resno.Tidak heran jikaacara dilakukan dengan sangat meriah, mengingat Pak Resno salah satu orangterkaya di daerah tempatku tinggal, terlebih Bapak lima anak itu terkenal dengan sifat dermawan.
Andai aku tidak menolongnya, rasa ini tidak akan menjerat...Tapi melihatnya terus dicecar makian membuat hatiku ikut sakit.Aku ingin menjadi sandaran untuk gadis tuna daksa itu. ***Berjalan berdua dengan Melga mengingatkan akan kejadian kamus dulu. Tapi situasi kali ini berbeda, sebisa mungkin aku menyingkirkan perasaan bersalah itu.Saat tiba di UKS, aku menjulurkan tangan meraih gagang pintu dan mendorongnya pelan sambil mengucapkan salam."Assalamu'alaikum...""Wa'alaikumsalam."Sayup-sayup terdengar Melga menjawab, sedangkan dalam ruangan tidak terdengar apapun. Benar saja, ruangan itu kosong tanpa tanda kehidupan.Aku mempersilakan Melga untuk masuk lebih dulu. Gadis i
Andai aku membiarkan dia sendiri, cinta ini tidak akan menjeratku...Tapi aku tak suka mendengar mereka berlaku kurang ajar.Aku ingin menjadi pahlawan untuk gadis tuna daksa itu. ***Aku tidak kuat melihatnya dalam posisi itu. Hingga kejadian yang ditakutkan terjadi.Cairan kimia itu tumpah mengenai tangan Melga disusul jerit kesakitan dan panik menggema memenuhi ruangan.Guru yang bertugas pun mengambil alih situasi dengan memarahi teman sekelompoknya yang hanya bisa tertunduk.Bu Aulia---Guru Biologi pun memerintahkan mereka untuk membawa Melga ke UKS. Dengan langkah yang setengah hati, merekamembimbing dia menuju pintu keluar.Sontak,aku yang semula mematung di amban
Andai sorot mata ini tidak terpaku padanya...Rasa sesak ini tidak akan membunuhku secara perlahan.Tapi aku ingin selalu ada di dekat gadis tuna daksa itu.***Rasa penasaran saat melihatnya duduk sendirian di aula, tak pernah hilang barang sedetik pun. Sepertinya aku telah terjebak pada rasa ingin tahu yang begitu tinggi.“Ck! Bukannya dijawab malah ngelamun lagi," gerutu Saga."Pasti lo lagi mikirin Melga, kan?Gue denger lo juga jarang masuk English Club lagi? Apa karena dia?”“Sumpah, deh! Losejak kapan bawel kayak Rukly?!” keluhku pura-pura kesal. “Biasanya kalem adem, enggak pernah suka ikut campur hal ribet kayak gitu.”“Lah, gue serius. Lokan so
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments