Usai menerima panggilan dari rumah sakit, Zaki bergegas ke kamar di mana Suvia, Sumi, Intan dan Ibu berada di sana. Tampak olehnya Sumi baru saja siuman. Lagi-lagi wajahnya tampak begitu mendung. “Sum, maaf … tadi waktu kamu pingsan, ada telepon dari rumah sakit katanya sudah ada kabar tentang Mr. Hiraka,” tukas Zaki. Kalimat yang dilontarkan dengan santai itu sontak menarik perhiatian keempat perempuan itu. “Lalu kondisinya gimana, Zak?” Sumi tampak terkejut, ada raut senang tapi takut terpancar dari sorot matanya yang lemah. “Tadi keburu keputus. Aku telepon balik tapi nomornya sibuk. Mungkin better kita ke sana saja!” jelas Zaki.“Oh ya sudah, ayo kita pergi!” tukas Sumi seraya beringsut turun. Lalu berjalan lemah kea rah key box di mana kunci mobil miliknya berada. “Arsil dan Adzkia tengah pada tidur tapi, Teh! Gimana?” Intan menatap bimbang pada perempuan dengan wajah pucat itu yang tampak berusaha menguatkan diri. “Kamu di rumah saja, Dek! Jagain Asril sama Adzkia. Biar Te
“Sekarangnya saya sudah sembuh! Pergi hospitals saja buat periksa! Hmmm … tapi sayanya mau tanya Umi chan.” Yamada tersenyum, tetapi secepat kilat raut wajahnya tampak mendung. “Tanya apa, ya?” Sumi menoleh padanya.“Zaki san itu siapa, ya? Matanya saya lihat, ada cinta kalau lihat Umi chan, ya?” tanya Yamada menatap sang istri. Sumi terkekeh mendengar pertanyaan Yamada. Dia yang tengah menyetir menoleh pada lelaki bermata sipit yang tengah memasang wajah cemburu itu. “Abi san sok tahu. Mungkin Abi san lihat mata Zaki ketika dia habis tatap Suvia. Kan Suvia itu calon istrinya Zaki. Saya dan Zaki hanya teman sekolah saja, tak ada lah dia cinta saya! Kalau ada mungkin sayanya tak menikah dengan Abi san,” ucap Sumi seraya menggelengkan kepala. Dia memang tak pernah berpikir jika ada perasaan di hati Zaki terselip untuknya, meski dulu kadang rindu dan pernah merasa kehilangan, tapi Sumi sendiri tak bisa mengartikan jika itu cinta. Yamada ikut tertawa senang. Bukan karena dia percaya p
Acara berjalan lancar, menyisakkan lelah setelah semua tamu meninggalkan tempat acara. Para tetangga masih sibuk membantu mencuci piring dan membereskan sisa-sisa yang berantakan di dapur rumah Zaki. Sementara itu, para orang tua sebagian ada yang sudah terkapar karena lelah, ada juga yang masih mengobrol di halaman rumah ditemani angin malam yang menusuk kulit. Tenda masih berdiri, besok baru dibongkar oleh orang yang menyewakannya. Begitu pun pelaminan hanya menyisakkan bunga-bunga yang sebagiannya tampak sudah layu juga. Kamar tidur pengantin sudah dihias indah dengan seprai dan kelambu yang indah, tetapi justru membuat kedua pengantin bingung mau tidur di mana. Semua itu hanya barang yang disewa dan dipakai untuk mengabadikan momen pernikahan mereka. Mungkin berbeda dengan pernikahan para selebritis yang memang kamarnya dihias di hotel megah dan boleh digunakan semaunya. Kalau di kampung beda, pernikahan rakyat biasa seperti keluarga Zaki, untuk tidur malam pun susah. Para kerabat
“Percuma kamu Bapak sekolahkan tinggi-tinggi! Susah-susah pun maksain kamu biar masuk SMA, tapi mana nyatanya sekarang! Sudah mau satu tahun lulus sekolah tapi belum kerja juga! Belum ngasilin duit! Mending adik kamu yang sekolahnya SMP doang, sudah punya pacar anak tukang daging sapi, hidupnya terjamin!” celoteh Bapak. Orang yang Sumi paling takutkan ketika sudah bicara.Sumi menghela napas. Dia masih membelekangi Bapak dan mengiris bawang merah untuk masak. Untuk ke sekian kalinya omelan itu terasa menusuk hati Sumi. Bapak selalu mengungkit keinginannya untuk bersekolah lagi dan menyalahkan karena sampai saat ini belum menghasilkan rupiah.“Iya, Pak! Sumi juga lagi berusaha cari kerja! Sudah kirim lamaran juga!” tukas Sumi lirih, tak berani menatap wajah Bapak. “Ya, tapi mana atuh? Tiap hari ngabisin duit doang buat fotokopi, buat bikin kartu kuning, kartu SKCK, mana? Mana hasilnya?!” Suara Bapak makin meninggi membuat Ibu yang tengah menidurkan Asril---balita berusia tiga tahun---
Sumi mengusap wajahnya yang basah. Menatap Bapak dengan pandangan sedih dan nanar. Apa lagi salahnya? Bahkan sejak pagi sudah susah payah memasakkan untuk keluarga calon suami Intan. Namun kenapa kini malah dirinya yang kembali disalahkan.Sumi menatap Bapak dengan mata berkaca-kaca. Suaranya gemetar ketika bertanya. “Kenapa Bapak gitu, Pak? Aku dari tadi di sini … kenapa Bapak nyalahin aku?” Bapak membuang muka. Dia memutar tubuh dan meninggalkan Sumi tanpa kata. Dibantingnya pintu itu sehingga Sumi pun terkejut dibuatnya. Sumi mengelus dada, berharap sesak ini hilang. Namun usianya yang baru Sembilan belas tahun belum cukup mampu bersikap dewasa. Sumi berlari ke kamar dan menumpahkan tangisnya di sana. Sumi masih terisak ketika derit pintu terdengar. Intan muncul dengan mata merah. Mereka tidur se kamar karena rumah mereka hanya ada dua kamar. Sumi menoleh pada adiknya yang tampak habis menangis juga. “Dek, apa yang terjadi? Kenapa Bapak nyalahin teteh, apa kamu beneran batal la
“Sumi itu sudah saya keluarkan modal untuk sekolah! Jadi sebelum balik modal, dia gak boleh nikah dulu … kecuali, kamu mau ganti semua uang yang saya keluarkan buat nyekolahin dia!”Bapak bicara lantang, tega dan jelas. Membuat Sumi semakin benci tinggal di rumah itu. Dia berlari menuju kamar sambil menangis. Kenapa semua itu dianggapnya utang yang harus dilunasi?Sementara itu, Ardi melajukan kembali sepeda motornya, tak hendak berdebat lebih lama. Memang awalnya dia yang salah, akan tetapi entah kenapa setelah melihat Sumi lagi, hatinya memang tak menginginkan intan. Dia tak menyadari jika karena ulahnya kini Sumi tengah mendapatkan perlakuan tak menyenangkan oleh lelaki yang sejak kecil selalu Sumi panggil Bapak. Entah kenapa Bapak itu seakan hanya sayang pada Intan, apa karena Intan mengalah untuk tak sekolah? Kalau Sumi tahu akan jadi seperti ini, mungkin lebih baik dulu dirinya berhenti saja dan membiarkan takdir menentukan jalan hidupnya. Awalnya dia berkeras ingin melanjutkan
Satu minggu sudah semenjak interview itu terjadi, selama itu pun Intan masih belum mau pulang. Setiap minggu dia meminta uang kiriman dari Bapak. Semakin Intan meminta uang, maka Bapak semakin menyalahkan Sumi.“Kalau bukan karena kamu, Sumi! Bapak gak harus nambah uang bulanan untuk ngasih makan Intan di rumah temannya! Semua ini gara-gara kamu yang masih belum kerja juga! Kalau kamu sudah kerja, pastinya si Ardi juga gak bakal ngarep kalau kamu akan terima. Sekarang apa jadinya?! Lamaran saja banyak kamu kirim sana-sini, tapi gak ada hasil sama sekali!” omel Bapak.Sumi menunduk. Lalu apakah akan jadi salahnya jika sudah maksimal berusaha terus Tuhan belum memberikan pekerjaan? Tak ada pembelaan yang keluar dari mulutnya, toh percuma. Bapak gak akan mau kalah dan salah.“Si Emi---temen SMA kamu saja sudah kontrak di perusahaan honsa motor, si Tita di PT Yamada motor, lah kamu? Dari kemarin masuk ke garmen aja gak keterima! Jangan-jangan nilai-nilai yang dulu selalu kamu bilang bagus
“Via, lihat ini!” Sumi menunjukkan isi dompet itu pada Suvia. Jiwa kerdilnya meronta, tangannya pun sampai gemetar.“Astagaa, Sum! Ayo kita lapor ke kedi master!” tukas Suvia yang tak kalah gemetar. Keduanya saling melempar pandang, lalu setengah berlari bersamaan menuju kantor kedi master untuk melaporkan penemuan mereka. Sementara itu, seorang lelaki bertubuh sedang berjalan cepat menyusuri jalanan yang tadi dilewatinya. Mata sipitnya mengedarkan pandang ke seluruh laluan, akan tetapi benda yang dicarinya tak ditemukan. “Yamada san, cari apa?” kedi yang mengikutinya bertanya sambil terengah-engah. Orang Jepang itu meskipun tak tinggi, tetapi langkahnya mengayun cepat sehingga dirinya yang mendorong bag yang berisi stick golf milik lelaki itu cukup kewalahan mengikutinya. “Pocket kecil saya hilang!” tukasnya. Mata sipitnya tetap mengedarkan pandang. Namun sepanjang jalan yang dilewatinya memang tak ada lagi ditemukan benda yang dicarinya. Setelah memastikan tak ditemukan, lelaki