Satu minggu sudah semenjak interview itu terjadi, selama itu pun Intan masih belum mau pulang. Setiap minggu dia meminta uang kiriman dari Bapak. Semakin Intan meminta uang, maka Bapak semakin menyalahkan Sumi.
“Kalau bukan karena kamu, Sumi! Bapak gak harus nambah uang bulanan untuk ngasih makan Intan di rumah temannya! Semua ini gara-gara kamu yang masih belum kerja juga! Kalau kamu sudah kerja, pastinya si Ardi juga gak bakal ngarep kalau kamu akan terima. Sekarang apa jadinya?! Lamaran saja banyak kamu kirim sana-sini, tapi gak ada hasil sama sekali!” omel Bapak.
Sumi menunduk. Lalu apakah akan jadi salahnya jika sudah maksimal berusaha terus Tuhan belum memberikan pekerjaan? Tak ada pembelaan yang keluar dari mulutnya, toh percuma. Bapak gak akan mau kalah dan salah.“Si Emi---temen SMA kamu saja sudah kontrak di perusahaan honsa motor, si Tita di PT Yamada motor, lah kamu? Dari kemarin masuk ke garmen aja gak keterima! Jangan-jangan nilai-nilai yang dulu selalu kamu bilang bagus itu dapet nyontek doang di sekolah!”Bapak kini mulai lagi membanding-bandingkan. Sering sekali dia membanding-bandingkan Sumi dengan teman-temannya yang rata-rata sudah bekerja. Mereka tampak tak sesulit Sumi dalam mendapatkan pekerjaan.Seperti biasa, Ibu akan muncul dan membela Sumi dan keduanya kembali terlibat pertengkaran. Begitulah kehidupan Sumi yang membosankan dan berulang. Berharap hasil wawancara dari golf club itu segera keluar. Setidaknya dia tak perlu di rumah dan menjadi bahan pertengkaran Ibu dan Bapak. [Ta, kata temen aku … yang barengan interview sama aku waktu itu sudah ada yang lolos dan mulai masuk kerja. Kok aku belum, ya?] Sumi mengirim pesan pada Tita. Kemarin ada salah satu teman yang duduk terpisah di pojokan mengiriminya pesan. Mereka sedikit dekat mengobrol ketika interview sehingga tukeran nomor.[Eh, masa? Bentar aku coba tanyakan sama temen aku yang sudah senior kerja di sana!] tulis Tita.
Sumi tak membalas. Pulsanya terbatas. Dia hanya menunggu kabar selanjutnya. Setelah beberapa menit menunggu dengan cemas, akhirnya sebuah pesan kembali masuk dari Tita.[Sum, kata temen aku. Besok kamu datang saja. Untuk yang baru training kamu harus pakai jeans, kaos putih, sepatu putih dan wajib pakai topi.][Aku lolos?]
Pesan kembali terjada. Tita kembali bertanya pada Pak Sabda---lelaki yang memang bekerja di bagian kantornya. Untuk posisinya, Tita pun belum jelas. Namun Pak Sabda ini kenalan dari ayahnya.[Iya, kata Pak Sabda datang saja! Hmmm … sebenernya kamu gak lolos, tapi Pak Sabda menjamin kamu. Jadi dari pihak sana ngasih kamu kesempatan selama Training. Kalau kamu bagus maka bisa naik nanti statusnya, tapi kalau jelek, Pak Sabda pun gak bisa bantu lagi!]
[Ok, makasih.]
Sumi menatap sederet perlengkapan yang harus dia pakai. Dibukanya lemari, mencari pakaian yang harus dikenakannya besok. Kaos putih yang warnanya sudah tak lagi cerah rupanya ada satu, celana jeans pun dia punya satu. Namun sepatu dan topi warna putih, dia tak memilikinya. Tak mungkin juga dia meminta Bapak untuk membeli topi dan sepatu. Beruntung Sumi ingat tabungannya pada celengan tanah. Dia pecahkan dan mendapat beberapa peser rupiah. Sumi bergegas pamit pada Ibu dan berangkat ke pasar untuk membelu topi dan sepatu putih untuknya besok. Setelah mencari-cari yang harganya murah, akhirnya Sumi kembali pulang menaiki angkutan. Turun di perempatan yang memang lumayan jauh ke kediamannya. Sumi memilih berjalan kaki, paling hanya butuh waktu setengah jam pun sudah tiba di rumahnya.Tin!Tin!
Suara klakson sepeda motor membuat Sumi menoleh. Zaki tampak baru pulang kerja karena kelihatan masih berseragam.
“Ayo, naik!” tukas Zaki seraya mengangkat kaca helm. Kebetulan memang arah rumah mereka searah kalau dari pasar. Hanya saja Zaki masih ke sana lagi.“Gak usah,” tukas Sumi.
“Eh, kok? Aku itu tulus loh! Memang kamu gak lihat kalau di jaketku saja sudah ada tulisan tulus!” tukas Zaki sambil menunjukkan punggung jaket yang ada tulisannya.“Aku gak enak, Zak! Ngerepotin gak?” Sumi menatap Ragu.“Kasih micin kalau mau enak,” kekehnya sambil tetap menunggu keputusan Sumi untuk naik ke sepeda motor bebeknya.“Aku serius, Zak! Takutnya nanti kamu dikira ada apa-apa lagi sama aku!” Sumi berucap ragu. Zaki malah terkekeh.“Duh, jangan serius dulu … belum siap buat ucapin akadnya,” kekeh Zaki malah bercanda.“Zak! Aku jalan kaki saja, ya!” Sumi melajukan langkah. Namun Zaki tetap mengiringinya pelan dengan motornya dan itu justru membuat Sumi semakin risih. Akhirnya dia ikut nebeng di motor Zaki dan berhenti di gang depan. Gak mau di antar sampai depan rumah karena khawatir akan omelan Bapak. Belum balik modal, jadi belum boleh deket sama cowok apalagi nikah. Bertemu Zaki merupakan sebuah keberuntungan, selama perjalanan mereka mengobrol sehingga akhirnya Zaki menawarkan untuk mengantarnya besok di hari pertamanya kerja.“Baca doa biar kamu gak gugup, ya!” tukas Zaki setelah Sumiati turun dan memberikan helm itu padanya.“Iya, Zak. Makasih, maaf belum bisa bayar jasa ojeknya. Nanti kalau aku ada uang, aku ganti bensin, ya!” Lagi-lagi Sumi merasa tak enak.
“Aku gak usah dibayar pakai uang, Sum! Uangku banyak. Bayar saja pakai cinta yang tulus, seperti tulisan pada jaketku ini!” Zaki sudah mulai meracau lagi.
“Duh kumat! Dah, dulu ya! Doakan biar aku lolos!” Sumi bergegas meninggalkan lelaki dengan rambut plontos itu. Alis tebalnya bergerak-gerak ketika dia melempar candaan yang jenaka untuk membuat Sumi tertawa. Ada tatapan mata yang entah dari sepasang mata Zaki melihat punggung Sumi yang menjauh meninggalkannya.
***
Sumi sudah duduk di sebuah ruangan. Ada sekitar dua puluh orang kedi yang berhasil lolos barengan dirinya. Hari pertama semua ikut turun ke lapangan dan berkenalan dengan hal-hal yang masih asing di telinga Sumi sehingga dia akhirnya mencatatnya dalam ponselnya.
“Ini adalah teebox, ada beberaoa jenis dan itu berbeda sesuai standard kemampuan para pemain golf. Kalau teebox dengan tanda warna hitam ini adalah untuk champion atau pertandingan, artinya hanya untuk pegolf professional. Ada juga yang warna biru, biasanya untuk para pemain intermediate, tetapi sudah ahli mereka akan memilih main di sini.Nah, ada yang teebox putih, itu untuk pemain lelaki pemula. Lalu ada teebox berwana merah itu untuk para pegolf perempuan.” Seorang Kedi Senior menjelaskan dengan kencang. Bagaimanapun mereka langsung berdiri di arena para pemain golf, hanya saja memang mengambil lapang yang sedang tutup dan sedang maintenance.
“Mengerti?” tanyanya menatap pada sekitar dua puluh orang yang berdiri mendengarkan penjelasannya. Semua menjawab serempak. Mereka meneruskan perjalanan dan kedi senior tersebut terus menjelaskan detail-detail yang harus dikuasai.
“Di lapangan ini ada beberapa pohon yang menjadi tanda jarak, nah kalau ini jarak dari lapangan ke green itu 250 yard, kalau yang ini 150 yard jadi nanti kalian harus tahu perkiraan stick atau tongkat golf mana yang akan mereka pakai pada jarak segini! Masih ingat ‘kan klasifikasinya yang sudah dijelaskan di kelas tadi!” tukasnya. Semua mengangguk saja, meskipun memang Sumi pun tak ingat semuanya.
Banyak hal yang dijelaskan dan tak bisa diingat dalam waktu satu kali. Lapangan yang rumputnya halus bernama green itu pun sulit untuk diingat. Banyak detail yang harus dikuasai, termasuk memperhatikan kemiringan rumput, jenis bendera, arah angin yang mempengaruhi laju bola dan banyak lagi. Jujur, gak hapal sekali. Pelajaran hari itu selesai. Semuanya berjalan kembali menuju club house yang berdiri megah di tengah lapangan dengan luas hektaran itu. Kaki Sumi terasa pegal, keringat mengucur pada pelipisnya. Mereka berjalan bergerombol. Sumi bersisian dengan Suvia---teman baru yang lumayan dekat. Mereka memilih istirahat dulu karena kaki sudah terasa pegal. Sesekali rombongan pemain bersama kedi mereka lewat. Tampak kebanyakan dari para pemain itu didominasi orang luar seperti Jepang, Korea dan bule-bule mungkin dari amerika.Namun ketika keduanya tengah duduk pada tempat istriarhat yang terbuat dari kayu itu, Sumi melihat sebuah benda hitam tergeletak. Dia menghampirinya dan ternyata itu dompet, mungkin dompet pemain golf yang terjatuh. Dia pun mengambilnya dan memeriksa isinya. Seketika tangan Sumiati gemetar ketika melihat isinya yang penuh dengan lembaran merah seratus ribuan. Ada satu kartu nama tertera di sana bertuliskan Hiraka Yamada.
“Via, lihat ini!” Sumi menunjukkan isi dompet itu pada Suvia. Jiwa kerdilnya meronta, tangannya pun sampai gemetar.“Astagaa, Sum! Ayo kita lapor ke kedi master!” tukas Suvia yang tak kalah gemetar. Keduanya saling melempar pandang, lalu setengah berlari bersamaan menuju kantor kedi master untuk melaporkan penemuan mereka. Sementara itu, seorang lelaki bertubuh sedang berjalan cepat menyusuri jalanan yang tadi dilewatinya. Mata sipitnya mengedarkan pandang ke seluruh laluan, akan tetapi benda yang dicarinya tak ditemukan. “Yamada san, cari apa?” kedi yang mengikutinya bertanya sambil terengah-engah. Orang Jepang itu meskipun tak tinggi, tetapi langkahnya mengayun cepat sehingga dirinya yang mendorong bag yang berisi stick golf milik lelaki itu cukup kewalahan mengikutinya. “Pocket kecil saya hilang!” tukasnya. Mata sipitnya tetap mengedarkan pandang. Namun sepanjang jalan yang dilewatinya memang tak ada lagi ditemukan benda yang dicarinya. Setelah memastikan tak ditemukan, lelaki
Sumi meminta turun di dekat warung yang agak jauh dari rumahnya. Dia tak ingin Bapak melihat Zaki. Sumi khawatir kalau Bapak akan berbuat hal yang menyakitkan hati. Waktu sudah hampir maghrib ketika mereka tiba. Sumi menyodorkan helm yang dipakainya, Zaki menerimanya. Tatapan matanya begitu tajam dari balik helm, seolah menyiratkan sesuatu yang tak mampu dia ungkapkan.“Makasih, ya, Zak! Besok aku naik ojek saja! Kamu gak usah jemput!” tukas Sumi. Tak enak harus selalu merepotkan Zaki. “Hmmm! Lihat besok, deh! ” Hanya itu yang terdengar. Lelaki itu pergi dengan menderukan sepeda motornya. Sumi berjalan menuju rumah. Dia mampir sebentar membeli kerupuk untuk tambahan lauk makan, biasanya gak ada apa-apa. Uang belanja Ibu pun, sebagian sudah diberikan padanya untuk naik ojek dan bekal tiap hari.Ya, mau gimana lagi, namanya juga baru masuk kerja dan belum mendapatkan gaji. Sementara itu, di sana tak dikasih makan, semua harus beli. Hanya air minum saja yang gratis. Untuk pulang pergi
Sumiati melangkah tergesa ke ruangan kedi master. Dia mengambil seragam seperti yang diperintahkan oleh Stevani. Akhir-akhir ini Sumi baru tahu, jika Stevani pun rupanya kedi master baru. Sementara itu, kedi master senior yaitu Maharani sedang cuti melahirkan. Stevani menatap punggung Sumi yang baru saja mengambil perlengkapan untuk turun ke lapangan memandu pemain. Hatinya cukup kesal, ketika kemarin Sumi melawan. Beruntung dia bisa mengelak ketika dalam CCTV itu tak ditemukan bukti jika Sumi dan Suviah mengambil uang, beruntung juga ruangan kedi master CCTV nya rusak, jadi dia bisa mengelak. Seorang cleaning service yang akhirnya jadi korban pemecatan. Uang satu juta yang diambilnya, dia tuduhkan pada cleaning service yang kebetulan masuk ke ruangan kedi master untuk bersih-bersih. Awalnya dia mengumpankan Sumi dan Suviah karena melihat wajah lugu mereka. Stevani pikir dia bisa memperdaya dan mengkambinghitamkan kedua gadis itu, seperti yang biasanya dia lakukan pada anak-anak bar
Sumi mulai melangkah mengikuti langkah pemainnya dengan susah payah. Medan lapangan yang turun naik, kadang tanahnya tak rata membuat tangannya benar-benar harus mengimbangi troli yang mendorong bag golf yang dibawanya. Keringat sudah bercucuran, sinar matahari pagi memeluknya dengan senyuman. Mereka hampir tiba pada green---lapang yang berbentuk hampir bulat itu dengan rumput yang tampak bak permadani, sangat rapi dan lembut. Berbeda dengan rumput yang mereka pijak sekarang yang hanya rapi karena di pangkas, tetapi tak sehalus rumput green. “Kokki, mae des! Angin lawan, ya!” Sumi mendengar Tina menjelaskan pada pemainnya. Dia tampak mengambil pucuk rerumputan lalu melemparnya ke udara menunjukkan ke arah mana angin bergerak. Orang jepang yang dibawa Tina tampak berpikir dan menatap stick golfnya, lalu dia mengambil salah satu lalu memukul bolanya dengan stick. Benar, bola golf itu mendarat di green dan sangat dekat dengan lubang. Ya, dia ingat jika bendera yang tiangnya menutup lu
Zaki menepi menuju penjual sate di pinggir jalan sana. Sumi memilih penjual yang membuat satenya dicampur dengan kulit dan usus sehingga harganya pun sedikit lebih murah. Sumi membeli dua puluh lima ribu. Lalu dia pun pergi untuk membelikan Bapak rokok sambil menunggu yang bakar sate selesai. Setelah itu, keduanya kembali mengendarai sepeda motor hingga tiba di tempat biasa. “Makasih, Zak! Gak pake ma-cinta!” ucap Sumi seraya turun. Zaki tersenyum geli, gombalan dan candaannya sudah ketebak lagi sama Sumi.“Yah, gak seru! Lain kali, aku cari yang baru, deh!” kekehnya.Sumi mengeluarkan satu lembar seratus ribuan yang sudah dipisahkannya untuk mengganti uang bensin Zaki karena mengantar jempunya. Namun hatinya ragu, takut-takut Zaki tak mau menerimanya. “Zak! Terima, ya!” tukas Sumi sambil menyodorkan tangannya yang mengepal. “Eh, kamu nembak aku, Sum?” Zaki menatap Sumi sambil mengedip-ngedipkan mata. Ucapan Zaki sontak membuat Sumi menarik napas kesal. Lalu dia masukkan saja uang
“Ya Allah, kenapa sateku ada di sini? Siapa yang sudah begitu tega membuangnya?” umpat Sumi dalam dada. Namun, dia hanya mampu menelan saliva melihat sate-sate yang sudah berserak di tanah dan bercampur debu itu. Hanya sesak dan mengurut dada. Hendak marah pun percuma. Jika pelakunya Intan ataupun Bapak, mereka mana mau mengaku. Yang ada bukan kata maaf yang di dapat, hanya sesuatu yang menyakitkan biasanya.Sumi menghela napas, dia menatap nasi putih yang terhidang. Hanya ada ikan asin dan garam di sana. Sambal pun sudah habis sepertinya. Adapun makanan yang dibawa calonnya Intan, pastinya tak boleh disentuh oleh Bapak. Akhirnya uang dua puluh lima ribunya sia-sia, sate itu hanya dimakan kucing. Jauh bayangan dengan kenyataan. Berharap mendapati senyuman Ibu, Bapak dan Asril karena dia membawa makanan enak, tetapi rupanya sia-sia saja. Sumi kembali ke kamar. Tak menghiraukan gelak tawa yang ada di ruang tengah. Bapak tampak begitu senang melihat Intan kembali ceria atau mungkin hany
[Selamat siang, Sumi chan! Saya cari WA Sumi chan tapi tak ada. Bisakah ketemu di alamat ini! Yamada.] Sumi menatap sederet kalimat dari Yamada. Baru beberapa kali mereka bertemu, tetapi sudah mengajaknya ketemuan. Ada apa kira-kira? Sumi hanya takut jika Yamada seperti beberapa jepang nakal yang menganggap gadis sepertinya murahan. [Selamat siang! Mohon maaf, saya ada acara. Lain kali saja, ya!] balas Sumi. Dia lebih memilih mencari aman. Selama ini, Yamada memang baik, akan tetapi tak ada yang tahu apa dibalik otak lelaki bermata sipit itu.Sumi melanjutkan mengetik pesan untuk Zaki. Untuk masih ada sisa pulsa. [Assalamuálaikum, Zak! Maaf, ya kalau aku ngasihnya belum bisa setimpal sama biaya bensin yang sudah kamu keluarin! Aku baru ada uang segini soalnya! Aku harap kamu terima, ya! Aku gak enak kalau kayak gini jadinya!] [Bensin aku masih banyak. Jangan khawatir. Traktir yang lain saja!] pesan balasan dengan cepat diterimanya. [Traktir apa? Jangan yang mahal-mahal, ya! Aku k
“Kemarin saya ajak Sumi chan, tapi tak datang! Nanti WA saya kalau sudah bisa pakainya, ya! Saya tak tahu Sumi chan suka warna apa!” “Buat saya?”Sumi menerima benda yang dibungkus dalam plastik itu. Dari dusnya pun sudah jelas isinya apa. Di situ bertuliskan sebuah merek ponsel android.“Iya, sayanya susah kalau mau chat Sumi chan! Mungkin nantinya mau datang kalau adik Sumi chan menikah! Apa boleh?” tukas Yamada. Sontak kedua mata berbulu lentik Sumi membulat. Apa dia tak salah dengar? Yamada mau datang ke nikahan adiknya?Akhirnya Sumi hanya mengiyakan, toh paling juga si jepang itu pun tak bisa datang. Yamada mengangguk dan tersenyum, pemilik perusahaan automotive Yamada motor itu berpamitan dan melambaikan tangan pada Sumi. Mereka berpisah, Sumi mengantar bag ke potter lalu istirahat sejenak. Dilepasnya topi kedi yang lebar itu, lalu dia menggulung rambutnya ke atas dan diikat asal. Sumi menghampiri Suvia yang baru saja datang setelah selesai jaga oob di lapangan lili. Suvia mas