Share

Bab 4

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2022-05-09 10:41:41

Satu minggu sudah semenjak interview itu terjadi, selama itu pun Intan masih belum mau pulang. Setiap minggu dia meminta uang kiriman dari Bapak. Semakin Intan meminta uang, maka Bapak semakin menyalahkan Sumi.

“Kalau bukan karena kamu, Sumi! Bapak gak harus nambah uang bulanan untuk ngasih makan Intan di rumah temannya! Semua ini gara-gara kamu yang masih belum kerja juga! Kalau kamu sudah kerja, pastinya si Ardi juga gak bakal ngarep kalau kamu akan terima. Sekarang apa jadinya?! Lamaran saja banyak kamu kirim sana-sini, tapi gak ada hasil sama sekali!” omel Bapak.

Sumi menunduk. Lalu apakah akan jadi salahnya jika sudah maksimal berusaha terus Tuhan belum memberikan pekerjaan? Tak ada pembelaan yang keluar dari mulutnya, toh percuma. Bapak gak akan mau kalah dan salah.

“Si Emi---temen SMA kamu saja sudah kontrak di perusahaan honsa motor, si Tita di PT Yamada motor, lah kamu? Dari kemarin masuk ke garmen aja gak keterima! Jangan-jangan nilai-nilai yang dulu selalu kamu bilang bagus itu dapet nyontek doang di sekolah!”

Bapak kini mulai lagi membanding-bandingkan. Sering sekali dia membanding-bandingkan Sumi dengan teman-temannya yang rata-rata sudah bekerja. Mereka tampak tak sesulit Sumi dalam mendapatkan pekerjaan.

Seperti biasa, Ibu akan muncul dan membela Sumi dan keduanya kembali terlibat pertengkaran. Begitulah kehidupan Sumi yang membosankan dan berulang. Berharap hasil wawancara dari golf club itu segera keluar. Setidaknya dia tak perlu di rumah dan menjadi bahan pertengkaran Ibu dan Bapak. 

[Ta, kata temen aku … yang barengan interview sama aku waktu itu sudah ada yang lolos dan mulai masuk kerja. Kok aku belum, ya?] 

Sumi mengirim pesan pada Tita. Kemarin ada salah satu teman yang duduk terpisah di pojokan mengiriminya pesan. Mereka sedikit dekat mengobrol ketika interview sehingga tukeran nomor. 

[Eh, masa? Bentar aku coba tanyakan sama temen aku yang sudah senior kerja di sana!] tulis Tita. 

Sumi tak membalas. Pulsanya terbatas. Dia hanya menunggu kabar selanjutnya. Setelah beberapa menit menunggu dengan cemas, akhirnya sebuah pesan kembali masuk dari Tita.

[Sum, kata temen aku. Besok kamu datang saja. Untuk yang baru training kamu harus pakai jeans, kaos putih, sepatu putih dan wajib pakai topi.] 

[Aku lolos?] 

Pesan kembali terjada. Tita kembali bertanya pada Pak Sabda---lelaki yang memang bekerja di bagian kantornya. Untuk posisinya, Tita pun belum jelas. Namun Pak Sabda ini kenalan dari ayahnya. 

[Iya, kata Pak Sabda datang saja! Hmmm … sebenernya kamu gak lolos, tapi Pak Sabda menjamin kamu. Jadi dari pihak sana ngasih kamu kesempatan selama Training. Kalau kamu bagus maka bisa naik nanti statusnya, tapi kalau jelek, Pak Sabda pun gak bisa bantu lagi!]

[Ok, makasih.] 

Sumi menatap sederet perlengkapan yang harus dia pakai. Dibukanya lemari, mencari pakaian yang harus dikenakannya besok. Kaos putih yang warnanya sudah tak lagi cerah rupanya ada satu, celana jeans pun dia punya satu. Namun sepatu dan topi warna putih, dia tak memilikinya. 

Tak mungkin juga dia meminta Bapak untuk membeli topi dan sepatu. Beruntung Sumi ingat tabungannya pada celengan tanah. Dia pecahkan dan mendapat beberapa peser rupiah. Sumi bergegas pamit pada Ibu dan berangkat ke pasar untuk membelu topi dan sepatu putih untuknya besok. Setelah mencari-cari yang harganya murah, akhirnya Sumi kembali pulang menaiki angkutan. Turun di perempatan yang memang lumayan jauh ke kediamannya. Sumi memilih berjalan kaki, paling hanya butuh waktu setengah jam pun sudah tiba di rumahnya.

Tin!Tin!

Suara klakson sepeda motor membuat Sumi menoleh. Zaki tampak baru pulang kerja karena kelihatan masih berseragam. 

“Ayo, naik!” tukas Zaki seraya mengangkat kaca helm. Kebetulan memang arah rumah mereka searah kalau dari pasar. Hanya saja Zaki masih ke sana lagi.

“Gak usah,” tukas Sumi.

“Eh, kok? Aku itu tulus loh! Memang kamu gak lihat kalau di jaketku saja sudah ada tulisan tulus!” tukas Zaki sambil menunjukkan punggung jaket yang ada tulisannya.

“Aku gak enak, Zak! Ngerepotin gak?” Sumi menatap Ragu.

“Kasih micin kalau mau enak,” kekehnya sambil tetap menunggu keputusan Sumi untuk naik ke sepeda motor bebeknya.

“Aku serius, Zak! Takutnya nanti kamu dikira ada apa-apa lagi sama aku!” Sumi berucap ragu. Zaki malah terkekeh.

“Duh, jangan serius dulu … belum siap buat ucapin akadnya,” kekeh Zaki malah bercanda.

“Zak! Aku jalan kaki saja, ya!” Sumi melajukan langkah. Namun Zaki tetap mengiringinya pelan dengan motornya dan itu justru membuat Sumi semakin risih. Akhirnya dia ikut nebeng di motor Zaki dan berhenti di gang depan. Gak mau di antar sampai depan rumah karena khawatir akan omelan Bapak. Belum balik modal, jadi belum boleh deket sama cowok apalagi nikah. 

Bertemu Zaki merupakan sebuah keberuntungan, selama perjalanan mereka mengobrol sehingga akhirnya Zaki menawarkan untuk mengantarnya besok di hari pertamanya kerja.

“Baca doa biar kamu gak gugup, ya!” tukas Zaki setelah Sumiati turun dan memberikan helm itu padanya. 

“Iya, Zak. Makasih, maaf belum bisa bayar jasa ojeknya. Nanti kalau aku ada uang, aku ganti bensin, ya!” Lagi-lagi Sumi merasa tak enak. 

“Aku gak usah dibayar pakai uang, Sum! Uangku banyak. Bayar saja pakai cinta yang tulus, seperti tulisan pada jaketku ini!” Zaki sudah mulai meracau lagi.

“Duh kumat! Dah, dulu ya! Doakan biar aku lolos!” Sumi bergegas meninggalkan lelaki dengan rambut plontos itu. Alis tebalnya bergerak-gerak ketika dia melempar candaan yang jenaka untuk membuat Sumi tertawa. Ada tatapan mata yang entah dari sepasang mata Zaki melihat punggung Sumi yang menjauh meninggalkannya. 

*** 

Sumi sudah duduk di sebuah ruangan. Ada sekitar dua puluh orang kedi yang berhasil lolos barengan dirinya. Hari pertama semua ikut turun ke lapangan dan berkenalan dengan hal-hal yang masih asing di telinga Sumi sehingga dia akhirnya mencatatnya dalam ponselnya.

“Ini adalah teebox, ada beberaoa jenis dan itu berbeda sesuai standard kemampuan para pemain golf. Kalau teebox dengan tanda warna hitam ini adalah untuk champion atau pertandingan, artinya hanya untuk pegolf professional. Ada juga yang warna biru, biasanya untuk para pemain intermediate, tetapi sudah ahli mereka akan memilih main di sini. 

Nah, ada yang teebox putih, itu untuk pemain lelaki pemula. Lalu ada teebox berwana merah itu untuk para pegolf perempuan.” Seorang Kedi Senior menjelaskan dengan kencang. Bagaimanapun mereka langsung berdiri di arena para pemain golf, hanya saja memang mengambil lapang yang sedang tutup dan sedang maintenance. 

“Mengerti?” tanyanya menatap pada sekitar dua puluh orang yang berdiri mendengarkan penjelasannya. Semua menjawab serempak. Mereka meneruskan perjalanan dan kedi senior tersebut terus menjelaskan detail-detail yang harus dikuasai.

“Di lapangan ini ada beberapa pohon yang menjadi tanda jarak, nah kalau ini jarak dari lapangan ke green itu 250 yard, kalau yang ini 150 yard jadi nanti kalian harus tahu perkiraan stick atau tongkat golf mana yang akan mereka pakai pada jarak segini! Masih ingat ‘kan klasifikasinya yang sudah dijelaskan di kelas tadi!” tukasnya. Semua mengangguk saja, meskipun memang Sumi pun tak ingat semuanya.

Banyak hal yang dijelaskan dan tak bisa diingat dalam waktu satu kali. Lapangan yang rumputnya halus bernama green itu pun sulit untuk diingat. Banyak detail yang harus dikuasai, termasuk memperhatikan kemiringan rumput, jenis bendera, arah angin yang mempengaruhi laju bola dan banyak lagi. Jujur, gak hapal sekali. 

Pelajaran hari itu selesai. Semuanya berjalan kembali menuju club house yang berdiri megah di tengah lapangan dengan luas hektaran itu. Kaki Sumi terasa pegal, keringat mengucur pada pelipisnya. Mereka berjalan bergerombol. Sumi bersisian dengan Suvia---teman baru yang lumayan dekat. 

Mereka memilih istirahat dulu karena kaki sudah terasa pegal. Sesekali rombongan pemain bersama kedi mereka lewat. Tampak kebanyakan dari para pemain itu didominasi orang luar seperti Jepang, Korea dan bule-bule mungkin dari amerika.

 Namun ketika keduanya tengah duduk pada tempat istriarhat yang terbuat dari kayu itu, Sumi melihat sebuah benda hitam tergeletak. Dia menghampirinya dan ternyata itu dompet, mungkin dompet pemain golf yang terjatuh. Dia pun mengambilnya dan memeriksa isinya. Seketika tangan Sumiati gemetar ketika melihat isinya yang penuh dengan lembaran merah seratus ribuan. Ada satu kartu nama tertera di sana bertuliskan Hiraka Yamada.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 46 - End

    Acara berjalan lancar, menyisakkan lelah setelah semua tamu meninggalkan tempat acara. Para tetangga masih sibuk membantu mencuci piring dan membereskan sisa-sisa yang berantakan di dapur rumah Zaki. Sementara itu, para orang tua sebagian ada yang sudah terkapar karena lelah, ada juga yang masih mengobrol di halaman rumah ditemani angin malam yang menusuk kulit. Tenda masih berdiri, besok baru dibongkar oleh orang yang menyewakannya. Begitu pun pelaminan hanya menyisakkan bunga-bunga yang sebagiannya tampak sudah layu juga. Kamar tidur pengantin sudah dihias indah dengan seprai dan kelambu yang indah, tetapi justru membuat kedua pengantin bingung mau tidur di mana. Semua itu hanya barang yang disewa dan dipakai untuk mengabadikan momen pernikahan mereka. Mungkin berbeda dengan pernikahan para selebritis yang memang kamarnya dihias di hotel megah dan boleh digunakan semaunya. Kalau di kampung beda, pernikahan rakyat biasa seperti keluarga Zaki, untuk tidur malam pun susah. Para kerabat

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 45

    “Sekarangnya saya sudah sembuh! Pergi hospitals saja buat periksa! Hmmm … tapi sayanya mau tanya Umi chan.” Yamada tersenyum, tetapi secepat kilat raut wajahnya tampak mendung. “Tanya apa, ya?” Sumi menoleh padanya.“Zaki san itu siapa, ya? Matanya saya lihat, ada cinta kalau lihat Umi chan, ya?” tanya Yamada menatap sang istri. Sumi terkekeh mendengar pertanyaan Yamada. Dia yang tengah menyetir menoleh pada lelaki bermata sipit yang tengah memasang wajah cemburu itu. “Abi san sok tahu. Mungkin Abi san lihat mata Zaki ketika dia habis tatap Suvia. Kan Suvia itu calon istrinya Zaki. Saya dan Zaki hanya teman sekolah saja, tak ada lah dia cinta saya! Kalau ada mungkin sayanya tak menikah dengan Abi san,” ucap Sumi seraya menggelengkan kepala. Dia memang tak pernah berpikir jika ada perasaan di hati Zaki terselip untuknya, meski dulu kadang rindu dan pernah merasa kehilangan, tapi Sumi sendiri tak bisa mengartikan jika itu cinta. Yamada ikut tertawa senang. Bukan karena dia percaya p

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 44

    Usai menerima panggilan dari rumah sakit, Zaki bergegas ke kamar di mana Suvia, Sumi, Intan dan Ibu berada di sana. Tampak olehnya Sumi baru saja siuman. Lagi-lagi wajahnya tampak begitu mendung. “Sum, maaf … tadi waktu kamu pingsan, ada telepon dari rumah sakit katanya sudah ada kabar tentang Mr. Hiraka,” tukas Zaki. Kalimat yang dilontarkan dengan santai itu sontak menarik perhiatian keempat perempuan itu. “Lalu kondisinya gimana, Zak?” Sumi tampak terkejut, ada raut senang tapi takut terpancar dari sorot matanya yang lemah. “Tadi keburu keputus. Aku telepon balik tapi nomornya sibuk. Mungkin better kita ke sana saja!” jelas Zaki.“Oh ya sudah, ayo kita pergi!” tukas Sumi seraya beringsut turun. Lalu berjalan lemah kea rah key box di mana kunci mobil miliknya berada. “Arsil dan Adzkia tengah pada tidur tapi, Teh! Gimana?” Intan menatap bimbang pada perempuan dengan wajah pucat itu yang tampak berusaha menguatkan diri. “Kamu di rumah saja, Dek! Jagain Asril sama Adzkia. Biar Te

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 43

    Zaki menatap sepeda motor yang penuh kenang itu. Dia mengelus boncengan yang biasa Sumi duduki dulu. Tak berlama-lama menelan nostalgia. Zaki mendorong sepeda motornya keluar dari bagasi. “Kamu tahu alamatnya, Vi?” Zaki menatap wajah Suvia yang tengah menunggunya di halaman rumah. “Sumi sudah share lok, kok!” tukas Suvia seraya menunjukkan layar gawainya. Zaki mengangguk. Sikapnya mendadak cool seperti musim dingin. Hatinya berdentum-dentum tak karuan, tetapi yang jelas dia ingin dirinya ada ketika orang yang masih dicintainya dalam diam itu kesusahan. Sepeda motor yang ditumpangi keduanya berjalan menembus gelap malam. Menyusuri jalanan kampung yang mulai lengang hingga akhirnya berbaur dengan jalan ramai. Meliuk berbelok memecah sunyi dalam dada. Tak ada obrolan tercipta, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Hingga akhirnya google maps mengarahkan mereka pada gerbang sebuah cluster elit. Setelah menyimpan KTP sebagai jaminan, barulah sepeda motor Zaki diperbolehkan masuk. Suv

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 42

    Suara pramugari yang menginformasikan jika pesawat akan lepas landas terdengar. Zaki menepuk bahu Arifin yang masih lelap sejak mulai penerbangan tadi. Meskipun penerbangan tadi sempat delay akhirnya mereka tiba dengan selamat. “Pin, sudah sampe. Lu mau turun gak?” Arifin mengerjap, lalu menegakkan duduknya. Dia masih menguap berkali-kali. “Cepet banget, ya, Zak?” “Iyalah, lu molor aja sepanjang jalan! Kalau ibarat kata, ruh lu udah sampe duluan ke Indonesia!” gerutu Zaki. Arifin yang sedikit gemulai tertawa seraya menutup mulut menggunakan tangannya. “Lu bisa aja, Zak!” satu tangan lainnya menepuk Zaki dengan manja. “Lu kapan sih jadi lakinya, masih kemayu aja! Gak inget mau dijemput calon bini!” tukas Zaki seraya menepis tangan Arifin yang masih menempel di pundaknya. Ya, selain Zaki, Afirin pun sama sudah dijodohkan oleh orang tuanya. “Ya, biar saja dia lihat gue yang kayak gini! Kalau emang jodoh ya pasti dia nerima-nerima aja, kok! Lagian kalau gue pura-pura macho demi di

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 41

    Acara wisuda berjalan lancar. Gelar sarjana hadir sebagai penyempurna impian Sumi. Haru biru tak terelakkan.Ibu menangis dengan isak tertahan ketika menatap sosok mungil dan cantik itu tampak tinggi dengan menggunakan sepatu berhak tujuh senti. Kebayanya yang anggun tertutup oleh pakaian wisuda yang berwarna gelap dan longgar. Toga tersemat di kepalanya bersama sebuah senyuman yang tersungging ketika jepretan kamera mengabadikan pengesahan statusnya. “Selamat kepana Sumiati, Sarjana Manajeman. Telah lulus dengan predikat cumlaude.” Terdengar dari pengeras suara. Gema yang membuat sudut mata Sumi basah dan menghangat. Kini dua kata baru tersemat diujung nama polosnya---Sumiati, S.M. Kakinya mengayun pasti turun dari podium menuju tempat duduknya kembali. Di mana di sana ada Ibu dan Yamada yang tengah menunggunya. “Congrats, Umi Chan!” Yamada berdiri dan merenggangkan tangannya. Meskipun malu karena di tengah keramaian. Sumi tetap menjatuhkan kepala pada pelukan Yamada yang kini men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status