Share

Bab 4

Satu minggu sudah semenjak interview itu terjadi, selama itu pun Intan masih belum mau pulang. Setiap minggu dia meminta uang kiriman dari Bapak. Semakin Intan meminta uang, maka Bapak semakin menyalahkan Sumi.

“Kalau bukan karena kamu, Sumi! Bapak gak harus nambah uang bulanan untuk ngasih makan Intan di rumah temannya! Semua ini gara-gara kamu yang masih belum kerja juga! Kalau kamu sudah kerja, pastinya si Ardi juga gak bakal ngarep kalau kamu akan terima. Sekarang apa jadinya?! Lamaran saja banyak kamu kirim sana-sini, tapi gak ada hasil sama sekali!” omel Bapak.

Sumi menunduk. Lalu apakah akan jadi salahnya jika sudah maksimal berusaha terus Tuhan belum memberikan pekerjaan? Tak ada pembelaan yang keluar dari mulutnya, toh percuma. Bapak gak akan mau kalah dan salah.

“Si Emi---temen SMA kamu saja sudah kontrak di perusahaan honsa motor, si Tita di PT Yamada motor, lah kamu? Dari kemarin masuk ke garmen aja gak keterima! Jangan-jangan nilai-nilai yang dulu selalu kamu bilang bagus itu dapet nyontek doang di sekolah!”

Bapak kini mulai lagi membanding-bandingkan. Sering sekali dia membanding-bandingkan Sumi dengan teman-temannya yang rata-rata sudah bekerja. Mereka tampak tak sesulit Sumi dalam mendapatkan pekerjaan.

Seperti biasa, Ibu akan muncul dan membela Sumi dan keduanya kembali terlibat pertengkaran. Begitulah kehidupan Sumi yang membosankan dan berulang. Berharap hasil wawancara dari golf club itu segera keluar. Setidaknya dia tak perlu di rumah dan menjadi bahan pertengkaran Ibu dan Bapak. 

[Ta, kata temen aku … yang barengan interview sama aku waktu itu sudah ada yang lolos dan mulai masuk kerja. Kok aku belum, ya?] 

Sumi mengirim pesan pada Tita. Kemarin ada salah satu teman yang duduk terpisah di pojokan mengiriminya pesan. Mereka sedikit dekat mengobrol ketika interview sehingga tukeran nomor. 

[Eh, masa? Bentar aku coba tanyakan sama temen aku yang sudah senior kerja di sana!] tulis Tita. 

Sumi tak membalas. Pulsanya terbatas. Dia hanya menunggu kabar selanjutnya. Setelah beberapa menit menunggu dengan cemas, akhirnya sebuah pesan kembali masuk dari Tita.

[Sum, kata temen aku. Besok kamu datang saja. Untuk yang baru training kamu harus pakai jeans, kaos putih, sepatu putih dan wajib pakai topi.] 

[Aku lolos?] 

Pesan kembali terjada. Tita kembali bertanya pada Pak Sabda---lelaki yang memang bekerja di bagian kantornya. Untuk posisinya, Tita pun belum jelas. Namun Pak Sabda ini kenalan dari ayahnya. 

[Iya, kata Pak Sabda datang saja! Hmmm … sebenernya kamu gak lolos, tapi Pak Sabda menjamin kamu. Jadi dari pihak sana ngasih kamu kesempatan selama Training. Kalau kamu bagus maka bisa naik nanti statusnya, tapi kalau jelek, Pak Sabda pun gak bisa bantu lagi!]

[Ok, makasih.] 

Sumi menatap sederet perlengkapan yang harus dia pakai. Dibukanya lemari, mencari pakaian yang harus dikenakannya besok. Kaos putih yang warnanya sudah tak lagi cerah rupanya ada satu, celana jeans pun dia punya satu. Namun sepatu dan topi warna putih, dia tak memilikinya. 

Tak mungkin juga dia meminta Bapak untuk membeli topi dan sepatu. Beruntung Sumi ingat tabungannya pada celengan tanah. Dia pecahkan dan mendapat beberapa peser rupiah. Sumi bergegas pamit pada Ibu dan berangkat ke pasar untuk membelu topi dan sepatu putih untuknya besok. Setelah mencari-cari yang harganya murah, akhirnya Sumi kembali pulang menaiki angkutan. Turun di perempatan yang memang lumayan jauh ke kediamannya. Sumi memilih berjalan kaki, paling hanya butuh waktu setengah jam pun sudah tiba di rumahnya.

Tin!Tin!

Suara klakson sepeda motor membuat Sumi menoleh. Zaki tampak baru pulang kerja karena kelihatan masih berseragam. 

“Ayo, naik!” tukas Zaki seraya mengangkat kaca helm. Kebetulan memang arah rumah mereka searah kalau dari pasar. Hanya saja Zaki masih ke sana lagi.

“Gak usah,” tukas Sumi.

“Eh, kok? Aku itu tulus loh! Memang kamu gak lihat kalau di jaketku saja sudah ada tulisan tulus!” tukas Zaki sambil menunjukkan punggung jaket yang ada tulisannya.

“Aku gak enak, Zak! Ngerepotin gak?” Sumi menatap Ragu.

“Kasih micin kalau mau enak,” kekehnya sambil tetap menunggu keputusan Sumi untuk naik ke sepeda motor bebeknya.

“Aku serius, Zak! Takutnya nanti kamu dikira ada apa-apa lagi sama aku!” Sumi berucap ragu. Zaki malah terkekeh.

“Duh, jangan serius dulu … belum siap buat ucapin akadnya,” kekeh Zaki malah bercanda.

“Zak! Aku jalan kaki saja, ya!” Sumi melajukan langkah. Namun Zaki tetap mengiringinya pelan dengan motornya dan itu justru membuat Sumi semakin risih. Akhirnya dia ikut nebeng di motor Zaki dan berhenti di gang depan. Gak mau di antar sampai depan rumah karena khawatir akan omelan Bapak. Belum balik modal, jadi belum boleh deket sama cowok apalagi nikah. 

Bertemu Zaki merupakan sebuah keberuntungan, selama perjalanan mereka mengobrol sehingga akhirnya Zaki menawarkan untuk mengantarnya besok di hari pertamanya kerja.

“Baca doa biar kamu gak gugup, ya!” tukas Zaki setelah Sumiati turun dan memberikan helm itu padanya. 

“Iya, Zak. Makasih, maaf belum bisa bayar jasa ojeknya. Nanti kalau aku ada uang, aku ganti bensin, ya!” Lagi-lagi Sumi merasa tak enak. 

“Aku gak usah dibayar pakai uang, Sum! Uangku banyak. Bayar saja pakai cinta yang tulus, seperti tulisan pada jaketku ini!” Zaki sudah mulai meracau lagi.

“Duh kumat! Dah, dulu ya! Doakan biar aku lolos!” Sumi bergegas meninggalkan lelaki dengan rambut plontos itu. Alis tebalnya bergerak-gerak ketika dia melempar candaan yang jenaka untuk membuat Sumi tertawa. Ada tatapan mata yang entah dari sepasang mata Zaki melihat punggung Sumi yang menjauh meninggalkannya. 

*** 

Sumi sudah duduk di sebuah ruangan. Ada sekitar dua puluh orang kedi yang berhasil lolos barengan dirinya. Hari pertama semua ikut turun ke lapangan dan berkenalan dengan hal-hal yang masih asing di telinga Sumi sehingga dia akhirnya mencatatnya dalam ponselnya.

“Ini adalah teebox, ada beberaoa jenis dan itu berbeda sesuai standard kemampuan para pemain golf. Kalau teebox dengan tanda warna hitam ini adalah untuk champion atau pertandingan, artinya hanya untuk pegolf professional. Ada juga yang warna biru, biasanya untuk para pemain intermediate, tetapi sudah ahli mereka akan memilih main di sini. 

Nah, ada yang teebox putih, itu untuk pemain lelaki pemula. Lalu ada teebox berwana merah itu untuk para pegolf perempuan.” Seorang Kedi Senior menjelaskan dengan kencang. Bagaimanapun mereka langsung berdiri di arena para pemain golf, hanya saja memang mengambil lapang yang sedang tutup dan sedang maintenance. 

“Mengerti?” tanyanya menatap pada sekitar dua puluh orang yang berdiri mendengarkan penjelasannya. Semua menjawab serempak. Mereka meneruskan perjalanan dan kedi senior tersebut terus menjelaskan detail-detail yang harus dikuasai.

“Di lapangan ini ada beberapa pohon yang menjadi tanda jarak, nah kalau ini jarak dari lapangan ke green itu 250 yard, kalau yang ini 150 yard jadi nanti kalian harus tahu perkiraan stick atau tongkat golf mana yang akan mereka pakai pada jarak segini! Masih ingat ‘kan klasifikasinya yang sudah dijelaskan di kelas tadi!” tukasnya. Semua mengangguk saja, meskipun memang Sumi pun tak ingat semuanya.

Banyak hal yang dijelaskan dan tak bisa diingat dalam waktu satu kali. Lapangan yang rumputnya halus bernama green itu pun sulit untuk diingat. Banyak detail yang harus dikuasai, termasuk memperhatikan kemiringan rumput, jenis bendera, arah angin yang mempengaruhi laju bola dan banyak lagi. Jujur, gak hapal sekali. 

Pelajaran hari itu selesai. Semuanya berjalan kembali menuju club house yang berdiri megah di tengah lapangan dengan luas hektaran itu. Kaki Sumi terasa pegal, keringat mengucur pada pelipisnya. Mereka berjalan bergerombol. Sumi bersisian dengan Suvia---teman baru yang lumayan dekat. 

Mereka memilih istirahat dulu karena kaki sudah terasa pegal. Sesekali rombongan pemain bersama kedi mereka lewat. Tampak kebanyakan dari para pemain itu didominasi orang luar seperti Jepang, Korea dan bule-bule mungkin dari amerika.

 Namun ketika keduanya tengah duduk pada tempat istriarhat yang terbuat dari kayu itu, Sumi melihat sebuah benda hitam tergeletak. Dia menghampirinya dan ternyata itu dompet, mungkin dompet pemain golf yang terjatuh. Dia pun mengambilnya dan memeriksa isinya. Seketika tangan Sumiati gemetar ketika melihat isinya yang penuh dengan lembaran merah seratus ribuan. Ada satu kartu nama tertera di sana bertuliskan Hiraka Yamada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status