“Sumi itu sudah saya keluarkan modal untuk sekolah! Jadi sebelum balik modal, dia gak boleh nikah dulu … kecuali, kamu mau ganti semua uang yang saya keluarkan buat nyekolahin dia!”
Bapak bicara lantang, tega dan jelas. Membuat Sumi semakin benci tinggal di rumah itu. Dia berlari menuju kamar sambil menangis. Kenapa semua itu dianggapnya utang yang harus dilunasi?Sementara itu, Ardi melajukan kembali sepeda motornya, tak hendak berdebat lebih lama. Memang awalnya dia yang salah, akan tetapi entah kenapa setelah melihat Sumi lagi, hatinya memang tak menginginkan intan. Dia tak menyadari jika karena ulahnya kini Sumi tengah mendapatkan perlakuan tak menyenangkan oleh lelaki yang sejak kecil selalu Sumi panggil Bapak. Entah kenapa Bapak itu seakan hanya sayang pada Intan, apa karena Intan mengalah untuk tak sekolah? Kalau Sumi tahu akan jadi seperti ini, mungkin lebih baik dulu dirinya berhenti saja dan membiarkan takdir menentukan jalan hidupnya. Awalnya dia berkeras ingin melanjutkan sekolah karena ingin memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga. Sumi kasihan pada Ibu yang selalu harus kerja banting tulang.Suara derit pintu terdengar. Sumi menoleh dan tampak Intan yang cemberut. Dia memasang wajah tak menyenangkan, jalan lurus dan tak menyapanya. Dia melewatinya begitu saja.Intan langsung menuju lemari yang dibuat untuk menyimpan pakaian mereka berdua dan memasukkan beberapa potong pakaian itu ke dalam tasnya. Sumi mendekat dan bertanya padanya.
“Tan, kamu kok beresin pakaian?”
Pertanyaan Sumi hanya dianggap angin lalu. Tak ada jawaban dari mulut Intan. Sumi duduk di tepi ranjang dan kembali bertanya. Entah kenapa perih rasa dari ucapan Bapak, bertambah sakit melihat sikap Intan yang cuek padanya.“Tan, kamu jangan gini dong ke Teteh? Salah Teteh apa?” Sumi menarik lengan Intan. Rasanya sakit sekali diperlakukan demikian.
Namun Intan menepisnya. Dia berpindah pada meja rias. Diambil semua perlengkapan makeup nya. Lalu tanpa kata dia bergegas keluar kamar dan membanting pintu dengan keras.“Ya Allah, kenapa semua orang seakan memusuhiku? Apa salahku? Aku tak melakukan apa-apa tapi kenapa harus menanggung semua ini?” Intan menyeka air matanya yang kembali luruh.
Di luar terdengar deru sepeda motor yang menjauh. Apakah Intan pergi karena tak ingin lagi berbagi kamar dengannya? Kenapa dirinya merasa seakan sendirian dan tak punya sandaran. Kadang Sumi sangat berharap lelaki yang dipanggil Bapak itu menatapnya penuh sayang seperti yang dia lakukan pada Intan dan Asril, tetapi tak pernah. Bagi Bapak, dirinya seolah benalu yang menumpang.*** Hari itu Sumi tersenyum ketika mendapatkan sebuah panggilan interview dari Golf Club. Meskipun di kampung Sumi ada beberapa konotasi negatif tentang pekerjaan itu, tak melunturkan tekad Sumi. Itulah pekerjaan yang kini diharapkannya agar tak selalu dihina Bapak.Sumi berharap dirinya bisa segera punya uang sendiri sehingga bisa ngontrak dan meninggalkan rumah agar Intan bisa kembali pulang dan Bapak tak selalu memandangnya kesal. Sudah berhari-hari Intan menginap di rumah temannya untuk menghindarinya dan membuat tambahan biaya karena harus kasih uang makan.[Ta, tapi aku pakai apa, ya ke sananya? Gak ada angkutan umum ‘kan?] Sumi mengirim pesan pada Tita.
[Hmm … iya gak ada! Bentar aku hubungi Zaki dulu. Biar dia anter kamu!] balas Tita cepat.Sumi terdiam. Ya, dia ingat Zaki teman sekolahnya dulu yang sempat minta dicomblangin ke Tita. Namun kini mereka sudah tak pernah berhubungan dan Tita sudah punya pacar lagi katanya.
[Eh, kamu gak apa hubungi Zaki, Ta? Pacar kamu gimana?] Sumi khawatir membuat masalah untuk Tita.
[Hahaha. Dah, lah! Kamu nurut saja biar Zaki yang anter!] tulis Tita cepat. Dia gak bilang, jika sebetulnya yang Zaki sukai adalah Sumi, bukan dirinya. Zaki takut Sumi membencinya karena dia pernah mendengar jika Sumi suka lelaki yang religius dan dewasa, sedangkan dirinya kebalikannya.
[Ok.] Itulah jawaban Sumi pada akhirnya.
Hari yang dinanti, tiba. Sumi yang sudah mengenakan pakaian hitam putih dan menunggu Zaki di depan rumah setelah mencium tangan Ibu meminta restu. Ibu memeluk dan mendoakannya, semoga Sumi bisa keterima kerja. Katanya lapang golf itu baru buka, jadi butuh banyak sekali kedi.
Tak berapa lama, Zaki datang dengan sepeda motornya. Lelaki yang terkenal selengehan dan asbun ketika berbicara itu selalu berbeda ketika berhadapan dengan Sumi. Dia jadi suka tampak kikuk dan gugup. Meskipun memang kalau ngomong masih suka asal ceplos.
“Assalamu’alaikum, Umi!”
“W*’alaikumsalam!”Sumi dan Ibu yang tengah berada di teras menoleh. Sumi berpamitan sekali lagi pada Ibu. Namun baru saja Sumi mendekati Zaki, lelaki itu malah mematikan sepeda motornya dan turun.
“Eh, mau ke mana?” tanya Sumi heran.“Pamit dulu sama calon ibu mertua!” ucapnya sambil tersenyum tengil.
“Eh?” Sumi melongo. Namun Zaki tetap berjalan santai dan mencium punggung tangan Ibu. “Pamit, Bu! Doakan lancar hingga sampai ke KUA! Eh, ke tujuan maksudnya!” tukasnya sambil cengengesan.“Iya, hati-hati ya, Zaki bawa motornya!” tukas Ibu. Zaki tersenyum dan mengangguk.
Dia berjalan mendekat dan membetulkan jaketnya. Lalu menyalakan sepeda motornya dan meminta Sumi naik.
“Umi, ayo naik!” tukasnya.
Dia menyodorkan satu helm yang dibawa pada motor bebeknya itu.
“Kok umi, sih?” Sumi melempar komplen sambil tangannya memakai helm yang diberikan oleh Zaki.“Kan biar mesra, Umi dan Abi Zaki!” kekehnya.
Sumi hanya tersenyum simpul dan menggelengkan kepala. Sudah lama tak ketemu Zaki semenjak lulus. Namun dia tak pernah berubah. Sengkleknya masih sama.
“Sudah?” tanya Zaki sambil menoleh pada spion.Dia menatap senyuman Sumi yang mendengar ocehannya. Wajah manisnya tampak sedikit bersinar karena mendung itu sedikit terusir oleh candaan.“Sudah!” tukas Sumi datar. Dia membetulkan helm yang dipakainya.
“Ya sudah, turun!” tukasnya datar.
“Kok?” Sumi sudah mulai kesal.“Katanya sudah?” Zaki terkekeh.“Lah ‘kan kamu nanya!” timpal Sumi lagi.
“Hahaha, iya ayo kita pergi … semoga selamat sampai KUA!” tukasnya sambil melajukan sepeda motornya. Sumi tertawa, melupakan sejenak sesak yang menimpanya.
Satu minggu sudah semenjak interview itu terjadi, selama itu pun Intan masih belum mau pulang. Setiap minggu dia meminta uang kiriman dari Bapak. Semakin Intan meminta uang, maka Bapak semakin menyalahkan Sumi.“Kalau bukan karena kamu, Sumi! Bapak gak harus nambah uang bulanan untuk ngasih makan Intan di rumah temannya! Semua ini gara-gara kamu yang masih belum kerja juga! Kalau kamu sudah kerja, pastinya si Ardi juga gak bakal ngarep kalau kamu akan terima. Sekarang apa jadinya?! Lamaran saja banyak kamu kirim sana-sini, tapi gak ada hasil sama sekali!” omel Bapak.Sumi menunduk. Lalu apakah akan jadi salahnya jika sudah maksimal berusaha terus Tuhan belum memberikan pekerjaan? Tak ada pembelaan yang keluar dari mulutnya, toh percuma. Bapak gak akan mau kalah dan salah.“Si Emi---temen SMA kamu saja sudah kontrak di perusahaan honsa motor, si Tita di PT Yamada motor, lah kamu? Dari kemarin masuk ke garmen aja gak keterima! Jangan-jangan nilai-nilai yang dulu selalu kamu bilang bagus
“Via, lihat ini!” Sumi menunjukkan isi dompet itu pada Suvia. Jiwa kerdilnya meronta, tangannya pun sampai gemetar.“Astagaa, Sum! Ayo kita lapor ke kedi master!” tukas Suvia yang tak kalah gemetar. Keduanya saling melempar pandang, lalu setengah berlari bersamaan menuju kantor kedi master untuk melaporkan penemuan mereka. Sementara itu, seorang lelaki bertubuh sedang berjalan cepat menyusuri jalanan yang tadi dilewatinya. Mata sipitnya mengedarkan pandang ke seluruh laluan, akan tetapi benda yang dicarinya tak ditemukan. “Yamada san, cari apa?” kedi yang mengikutinya bertanya sambil terengah-engah. Orang Jepang itu meskipun tak tinggi, tetapi langkahnya mengayun cepat sehingga dirinya yang mendorong bag yang berisi stick golf milik lelaki itu cukup kewalahan mengikutinya. “Pocket kecil saya hilang!” tukasnya. Mata sipitnya tetap mengedarkan pandang. Namun sepanjang jalan yang dilewatinya memang tak ada lagi ditemukan benda yang dicarinya. Setelah memastikan tak ditemukan, lelaki
Sumi meminta turun di dekat warung yang agak jauh dari rumahnya. Dia tak ingin Bapak melihat Zaki. Sumi khawatir kalau Bapak akan berbuat hal yang menyakitkan hati. Waktu sudah hampir maghrib ketika mereka tiba. Sumi menyodorkan helm yang dipakainya, Zaki menerimanya. Tatapan matanya begitu tajam dari balik helm, seolah menyiratkan sesuatu yang tak mampu dia ungkapkan.“Makasih, ya, Zak! Besok aku naik ojek saja! Kamu gak usah jemput!” tukas Sumi. Tak enak harus selalu merepotkan Zaki. “Hmmm! Lihat besok, deh! ” Hanya itu yang terdengar. Lelaki itu pergi dengan menderukan sepeda motornya. Sumi berjalan menuju rumah. Dia mampir sebentar membeli kerupuk untuk tambahan lauk makan, biasanya gak ada apa-apa. Uang belanja Ibu pun, sebagian sudah diberikan padanya untuk naik ojek dan bekal tiap hari.Ya, mau gimana lagi, namanya juga baru masuk kerja dan belum mendapatkan gaji. Sementara itu, di sana tak dikasih makan, semua harus beli. Hanya air minum saja yang gratis. Untuk pulang pergi
Sumiati melangkah tergesa ke ruangan kedi master. Dia mengambil seragam seperti yang diperintahkan oleh Stevani. Akhir-akhir ini Sumi baru tahu, jika Stevani pun rupanya kedi master baru. Sementara itu, kedi master senior yaitu Maharani sedang cuti melahirkan. Stevani menatap punggung Sumi yang baru saja mengambil perlengkapan untuk turun ke lapangan memandu pemain. Hatinya cukup kesal, ketika kemarin Sumi melawan. Beruntung dia bisa mengelak ketika dalam CCTV itu tak ditemukan bukti jika Sumi dan Suviah mengambil uang, beruntung juga ruangan kedi master CCTV nya rusak, jadi dia bisa mengelak. Seorang cleaning service yang akhirnya jadi korban pemecatan. Uang satu juta yang diambilnya, dia tuduhkan pada cleaning service yang kebetulan masuk ke ruangan kedi master untuk bersih-bersih. Awalnya dia mengumpankan Sumi dan Suviah karena melihat wajah lugu mereka. Stevani pikir dia bisa memperdaya dan mengkambinghitamkan kedua gadis itu, seperti yang biasanya dia lakukan pada anak-anak bar
Sumi mulai melangkah mengikuti langkah pemainnya dengan susah payah. Medan lapangan yang turun naik, kadang tanahnya tak rata membuat tangannya benar-benar harus mengimbangi troli yang mendorong bag golf yang dibawanya. Keringat sudah bercucuran, sinar matahari pagi memeluknya dengan senyuman. Mereka hampir tiba pada green---lapang yang berbentuk hampir bulat itu dengan rumput yang tampak bak permadani, sangat rapi dan lembut. Berbeda dengan rumput yang mereka pijak sekarang yang hanya rapi karena di pangkas, tetapi tak sehalus rumput green. “Kokki, mae des! Angin lawan, ya!” Sumi mendengar Tina menjelaskan pada pemainnya. Dia tampak mengambil pucuk rerumputan lalu melemparnya ke udara menunjukkan ke arah mana angin bergerak. Orang jepang yang dibawa Tina tampak berpikir dan menatap stick golfnya, lalu dia mengambil salah satu lalu memukul bolanya dengan stick. Benar, bola golf itu mendarat di green dan sangat dekat dengan lubang. Ya, dia ingat jika bendera yang tiangnya menutup lu
Zaki menepi menuju penjual sate di pinggir jalan sana. Sumi memilih penjual yang membuat satenya dicampur dengan kulit dan usus sehingga harganya pun sedikit lebih murah. Sumi membeli dua puluh lima ribu. Lalu dia pun pergi untuk membelikan Bapak rokok sambil menunggu yang bakar sate selesai. Setelah itu, keduanya kembali mengendarai sepeda motor hingga tiba di tempat biasa. “Makasih, Zak! Gak pake ma-cinta!” ucap Sumi seraya turun. Zaki tersenyum geli, gombalan dan candaannya sudah ketebak lagi sama Sumi.“Yah, gak seru! Lain kali, aku cari yang baru, deh!” kekehnya.Sumi mengeluarkan satu lembar seratus ribuan yang sudah dipisahkannya untuk mengganti uang bensin Zaki karena mengantar jempunya. Namun hatinya ragu, takut-takut Zaki tak mau menerimanya. “Zak! Terima, ya!” tukas Sumi sambil menyodorkan tangannya yang mengepal. “Eh, kamu nembak aku, Sum?” Zaki menatap Sumi sambil mengedip-ngedipkan mata. Ucapan Zaki sontak membuat Sumi menarik napas kesal. Lalu dia masukkan saja uang
“Ya Allah, kenapa sateku ada di sini? Siapa yang sudah begitu tega membuangnya?” umpat Sumi dalam dada. Namun, dia hanya mampu menelan saliva melihat sate-sate yang sudah berserak di tanah dan bercampur debu itu. Hanya sesak dan mengurut dada. Hendak marah pun percuma. Jika pelakunya Intan ataupun Bapak, mereka mana mau mengaku. Yang ada bukan kata maaf yang di dapat, hanya sesuatu yang menyakitkan biasanya.Sumi menghela napas, dia menatap nasi putih yang terhidang. Hanya ada ikan asin dan garam di sana. Sambal pun sudah habis sepertinya. Adapun makanan yang dibawa calonnya Intan, pastinya tak boleh disentuh oleh Bapak. Akhirnya uang dua puluh lima ribunya sia-sia, sate itu hanya dimakan kucing. Jauh bayangan dengan kenyataan. Berharap mendapati senyuman Ibu, Bapak dan Asril karena dia membawa makanan enak, tetapi rupanya sia-sia saja. Sumi kembali ke kamar. Tak menghiraukan gelak tawa yang ada di ruang tengah. Bapak tampak begitu senang melihat Intan kembali ceria atau mungkin hany
[Selamat siang, Sumi chan! Saya cari WA Sumi chan tapi tak ada. Bisakah ketemu di alamat ini! Yamada.] Sumi menatap sederet kalimat dari Yamada. Baru beberapa kali mereka bertemu, tetapi sudah mengajaknya ketemuan. Ada apa kira-kira? Sumi hanya takut jika Yamada seperti beberapa jepang nakal yang menganggap gadis sepertinya murahan. [Selamat siang! Mohon maaf, saya ada acara. Lain kali saja, ya!] balas Sumi. Dia lebih memilih mencari aman. Selama ini, Yamada memang baik, akan tetapi tak ada yang tahu apa dibalik otak lelaki bermata sipit itu.Sumi melanjutkan mengetik pesan untuk Zaki. Untuk masih ada sisa pulsa. [Assalamuálaikum, Zak! Maaf, ya kalau aku ngasihnya belum bisa setimpal sama biaya bensin yang sudah kamu keluarin! Aku baru ada uang segini soalnya! Aku harap kamu terima, ya! Aku gak enak kalau kayak gini jadinya!] [Bensin aku masih banyak. Jangan khawatir. Traktir yang lain saja!] pesan balasan dengan cepat diterimanya. [Traktir apa? Jangan yang mahal-mahal, ya! Aku k