Sumi mulai melangkah mengikuti langkah pemainnya dengan susah payah. Medan lapangan yang turun naik, kadang tanahnya tak rata membuat tangannya benar-benar harus mengimbangi troli yang mendorong bag golf yang dibawanya. Keringat sudah bercucuran, sinar matahari pagi memeluknya dengan senyuman. Mereka hampir tiba pada green---lapang yang berbentuk hampir bulat itu dengan rumput yang tampak bak permadani, sangat rapi dan lembut. Berbeda dengan rumput yang mereka pijak sekarang yang hanya rapi karena di pangkas, tetapi tak sehalus rumput green. “Kokki, mae des! Angin lawan, ya!” Sumi mendengar Tina menjelaskan pada pemainnya. Dia tampak mengambil pucuk rerumputan lalu melemparnya ke udara menunjukkan ke arah mana angin bergerak. Orang jepang yang dibawa Tina tampak berpikir dan menatap stick golfnya, lalu dia mengambil salah satu lalu memukul bolanya dengan stick. Benar, bola golf itu mendarat di green dan sangat dekat dengan lubang. Ya, dia ingat jika bendera yang tiangnya menutup lu
Zaki menepi menuju penjual sate di pinggir jalan sana. Sumi memilih penjual yang membuat satenya dicampur dengan kulit dan usus sehingga harganya pun sedikit lebih murah. Sumi membeli dua puluh lima ribu. Lalu dia pun pergi untuk membelikan Bapak rokok sambil menunggu yang bakar sate selesai. Setelah itu, keduanya kembali mengendarai sepeda motor hingga tiba di tempat biasa. “Makasih, Zak! Gak pake ma-cinta!” ucap Sumi seraya turun. Zaki tersenyum geli, gombalan dan candaannya sudah ketebak lagi sama Sumi.“Yah, gak seru! Lain kali, aku cari yang baru, deh!” kekehnya.Sumi mengeluarkan satu lembar seratus ribuan yang sudah dipisahkannya untuk mengganti uang bensin Zaki karena mengantar jempunya. Namun hatinya ragu, takut-takut Zaki tak mau menerimanya. “Zak! Terima, ya!” tukas Sumi sambil menyodorkan tangannya yang mengepal. “Eh, kamu nembak aku, Sum?” Zaki menatap Sumi sambil mengedip-ngedipkan mata. Ucapan Zaki sontak membuat Sumi menarik napas kesal. Lalu dia masukkan saja uang
“Ya Allah, kenapa sateku ada di sini? Siapa yang sudah begitu tega membuangnya?” umpat Sumi dalam dada. Namun, dia hanya mampu menelan saliva melihat sate-sate yang sudah berserak di tanah dan bercampur debu itu. Hanya sesak dan mengurut dada. Hendak marah pun percuma. Jika pelakunya Intan ataupun Bapak, mereka mana mau mengaku. Yang ada bukan kata maaf yang di dapat, hanya sesuatu yang menyakitkan biasanya.Sumi menghela napas, dia menatap nasi putih yang terhidang. Hanya ada ikan asin dan garam di sana. Sambal pun sudah habis sepertinya. Adapun makanan yang dibawa calonnya Intan, pastinya tak boleh disentuh oleh Bapak. Akhirnya uang dua puluh lima ribunya sia-sia, sate itu hanya dimakan kucing. Jauh bayangan dengan kenyataan. Berharap mendapati senyuman Ibu, Bapak dan Asril karena dia membawa makanan enak, tetapi rupanya sia-sia saja. Sumi kembali ke kamar. Tak menghiraukan gelak tawa yang ada di ruang tengah. Bapak tampak begitu senang melihat Intan kembali ceria atau mungkin hany
[Selamat siang, Sumi chan! Saya cari WA Sumi chan tapi tak ada. Bisakah ketemu di alamat ini! Yamada.] Sumi menatap sederet kalimat dari Yamada. Baru beberapa kali mereka bertemu, tetapi sudah mengajaknya ketemuan. Ada apa kira-kira? Sumi hanya takut jika Yamada seperti beberapa jepang nakal yang menganggap gadis sepertinya murahan. [Selamat siang! Mohon maaf, saya ada acara. Lain kali saja, ya!] balas Sumi. Dia lebih memilih mencari aman. Selama ini, Yamada memang baik, akan tetapi tak ada yang tahu apa dibalik otak lelaki bermata sipit itu.Sumi melanjutkan mengetik pesan untuk Zaki. Untuk masih ada sisa pulsa. [Assalamuálaikum, Zak! Maaf, ya kalau aku ngasihnya belum bisa setimpal sama biaya bensin yang sudah kamu keluarin! Aku baru ada uang segini soalnya! Aku harap kamu terima, ya! Aku gak enak kalau kayak gini jadinya!] [Bensin aku masih banyak. Jangan khawatir. Traktir yang lain saja!] pesan balasan dengan cepat diterimanya. [Traktir apa? Jangan yang mahal-mahal, ya! Aku k
“Kemarin saya ajak Sumi chan, tapi tak datang! Nanti WA saya kalau sudah bisa pakainya, ya! Saya tak tahu Sumi chan suka warna apa!” “Buat saya?”Sumi menerima benda yang dibungkus dalam plastik itu. Dari dusnya pun sudah jelas isinya apa. Di situ bertuliskan sebuah merek ponsel android.“Iya, sayanya susah kalau mau chat Sumi chan! Mungkin nantinya mau datang kalau adik Sumi chan menikah! Apa boleh?” tukas Yamada. Sontak kedua mata berbulu lentik Sumi membulat. Apa dia tak salah dengar? Yamada mau datang ke nikahan adiknya?Akhirnya Sumi hanya mengiyakan, toh paling juga si jepang itu pun tak bisa datang. Yamada mengangguk dan tersenyum, pemilik perusahaan automotive Yamada motor itu berpamitan dan melambaikan tangan pada Sumi. Mereka berpisah, Sumi mengantar bag ke potter lalu istirahat sejenak. Dilepasnya topi kedi yang lebar itu, lalu dia menggulung rambutnya ke atas dan diikat asal. Sumi menghampiri Suvia yang baru saja datang setelah selesai jaga oob di lapangan lili. Suvia mas
“Sumi chan!” Langkah Sumi dan Zaki terhenti. Keduanya menoleh ke asal suara. Seorang lelaki bermata sipit dengan kemeja batik yang pastinya branded tengah berdiri. Dia mengulas senyum pada Sumi. Bapak yang tadi menjemputnya menatap heran pada lelaki berwajah asing itu. Kenapa bisa lelaki itu mengenali Sumi? Atau mungkin salah orang.“Tuan, pengantinnya di sana! Tuan pasti bosnya bagus ‘kan? Ini memang anak saya, tapi bukan dia pengantinnya!” tukas Bapak sambil membungkuk-bungkuk sopan di depan Yamada. Dia sudah membayangkan berapa besar amplop yang akan disumbangkan oleh lelaki yang dia kira adalah bos dari Bagus. Yamada hanya menoleh, lalu beralih fokus lagi pada Sumi. Sumi mendekat lalu membungkuk sambil mengangguk. “Terima kasih sudah datang, Yamada san!” tukas Sumi. Bapak mendelik pada Sumi. Dia merasa anak perempuannya itu sok kenal dengan ikut-ikutan menyapa. Dan gak sopan karena menyebut nama.“Hush, kamu jauh-jauh sana! Jangan malu-maluin Bapak. Bosnya si Bagus biar Bapak
Sumi mencoba abai pada tatapan tidak menyenangkan yang Intan berikan padanya. Bukankah sekarang Intan pun sudah punya Suami? Kenapa masih harus membencinya karena Ardi? Sumi terus melanjutkan langkah dan bergegas ganti pakaian. Meskipun gerimis yang mengenainya tak cukup banyak, akan tetapi cukup membuat badannya terasa lengket. Bagaimanapun seharian sudah berada di gedung acara tersebut dan berkeringat. Sumi bergegas mandi, tetapi dia bertemu dengan Bagus yang baru keluar kamar mandi. Laki-laki itu hanya mengenakan kolor saja tanpa pakaian, membuat Sumi memalingkan wajah karena merasa tak nyaman. “Teh, baru pulang?” tanyanya. Dia malah sengaja berlama-lama mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Iya,” tukas Sumi sambil bergegas ke kamar mandi. Sumi mengguyur tubuhnya dan membersihkan sisa-sisa make up yang terasa lengket di wajahnya. Sengaja mandi berlama-lama, berharap Bagus sudah tak ada di dapur ketika dia selesai nanti. Toh, di depan masih banyak keluarganya. Rasanya benar-ben
Sepulang kerja, Sumi minta di antar Zaki cari kontrakan. Sumi sengaja memilih yang jauh dari tempat tinggalnya dan terlewati jemputan. Sudah lelah dengan semua drama Intan serta tingkah laku Bagus yang menyebalkan. Sumi ingin memulai hidup baru dengan lembaran yang berbeda. Sebelum mencari rumah kontrakan, mereka mampir sebentar di toko kue bolu. Sumi membeli tiga loyang. Dua untuk di rumah dan satunya untuk Zaki.“Banyak banget?” Zaki bertanya.“Iya, kan di rumah warganya banyak! Tapi ini satunya buat kamu!” tukas Sumi sambil menggantungkan plastik berisi kue bolu di depan motor Zaki.“Eh, gak usah! Aku gak suka makanan manis!” tukas Zaki sambil mengangkat satu alisnya.“Eh maaf, gak tahu! Kamu emang sukanya apa?” Sumi menatap serius.“Aku … sukanya … kamu!” tukasnya sambil tersenyum. “Mulai, deh!” Sumi memutar bola mata jengah. Satu pukulan ringan mendarat pada pundak lelaki itu. Lalu dia naik kembali ke atas sepeda motor Zaki yang hanya terkekeh melihat tingkahnya. Sifat usil dan