Share

Part 7

Satu tahun kemudian ....

Setelah berpisah dengan Fauzan, Aretha langsung berangkat ke PT, dan saat ini ia sudah berada di Taiwan untuk bekerja sebagai pengasuh lansia.

Awal-awal bekerja sebagai TKW adalah masa yang paling berat yang harus dialami oleh semua para TKI, namun bukan hanya TKI saja, semua pekerja lain pun akan mengalami masa sulit ini karena mereka harus beradaptasi dengan orang baru dan juga lingkungan yang baru.

Aretha bahkan diam-diam sering menangis ketika ia hendak tidur, sebab selain merindukan anaknya, ia juga mengalami tekanan mental saat merawat bosnya yang sudah tua itu.

"Laoban, Laoban Niang, makan siang sudah disiapkan," ujar Aretha pada anak majikannya yang saat ini sedang berkunjung ke rumah ibunya.

"Iya, terima kasih, Retha."

"Retha, bukankah aku sudah pernah bilang? Panggil kami, Thai-Thai dan Sienseng!" raung nenek yang dirawat Aretha. Majikan Retha sangat mempedulikan status, oleh karena itu ia tidak suka jika Aretha memanggil mereka dengan sebutan Laoban atau Laoban Niang, namun harus dengan sebutan Thai-Thai dan Sienseng agar Aretha mengerti jarak di antara mereka.

"Maaf, baik Thai-Thai." Setelah mengatakan itu, Aretha langsung kembali ke dapur, sebab bisa panjang omelan si nenek jika ia tidak segera kabur dari tempat itu.

Setelah enam bulan tinggal di sini, Aretha sekarang sudah terbiasa mendengar omelan nenek. Aretha lantas tidak memasukkan omelan tersebut ke dalam hati, ia justru hanya memasukkan omelan tersebut dari telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri, yang juga berarti ia kini selalu mengabaikan omelan tersebut.

Setelah ikut makan siang di dapur, Aretha kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali, setelah bosnya istirahat, ia pun baru bisa mengambil waktu istirahat dan baru kemudian bergegas bersih-bersih rumah sebelum bosnya bangun.

Setelah habisnya jam istirahat, Aretha baru saja akan membersihkan rumah, akan tetapi tiba-tiba saja bosnya menghampirinya.

"Retha, puas ya kamu? Sekarang kamu disuruh anakku memanggilku dengan sebutan Nainai, jika tidak, mereka tidak akan mau pulang mengunjungiku."

"Maaf, Thai-Thai. Jika Anda tidak suka, maka saya akan tetap memanggil Anda Thai-Thai. Akan tetapi, saya akan memanggil Anda dengan sebutan Nainai jika ada keluarga Anda."

"Tidak! Kamu kira anakku bodoh? Kamu harus memanggilku Nainai mulai dari sekarang!"

"Baik, Thai--"

"Oh, maksud saya Nainai."

Di dalam hati Aretha mendesah, hanya perkara panggilan saja, lagi-lagi bosnya itu mengomel.

"Memangnya tidak capek apa, ngomel mulu tiap hari?" batin Aretha yang hanya bisa bersabar, sebab bagaimanapun juga bos memang bebas mau ngapain saja.

"Retha, kamu jangan bersih-bersih rumah dulu, lebih baik sekarang kamu ikut aku ke ladang."

Ladang yang dimaksud nenek adalah halaman belakang rumahnya, Beliau memiliki banyak tumbuhan aneka sayur di halaman belakang rumahnya.

Meskipun Nenek cukup tua, namun ia masih sangat kuat untuk berkebun, jadi untuk mengisi waktu luangnya, nenek sering mengurus tanamannya sendiri.

"Retha, jadi perempuan itu harus kuat, kita tidak bisa mengandalkan suami, apalagi anak. Kamu harus mencontoh aku, bagaimana seorang ibu tunggal sepertiku bisa mengantarkan anak-anaknya pada kesuksesan, hingga mereka semua bisa hidup bahagia saat ini, bahkan di masa tuaku sekarang, aku juga tidak merepotkan mereka."

"Dan lagi, jika sedang sakit sedikit itu jangan dimanja, sebab waktu adalah uang, kamu kan harus menghidupi anakmu sendirian, jadi ingatlah dia selalu untuk semangatmu dan motivasi hidupmu, hingga kamu nantinya tidak pernah merasakan lelah atau sakit."

Aretha mengangguk mendengar nasihat nenek, walaupun nenek sangat cerewet, namun perjuangan hidupnya dulu patut Aretha acungi jempol.

Iya, Aretha harus kuat demi Vano, ia harus bekerja keras untuk Vano, karena Vano tidak bisa mengandalkan ayah kandungnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebab Fauzan telah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.

Aretha mendapatkan kabar ini dari Lina, bahwa Fauzan tidak pernah menjenguk Vano di pondok pesantren, apalagi kirim uang untuk bayar iuran bulanan maupun uang jajan untuk Vano.

Namun, untungnya saja Vano anak yang pintar, ia mendapatkan beasiswa hingga dibebaskan dari semua jenis pembayaran di pondok pesantren tersebut, sedangkan untuk uang jajan, Lina melarang Aretha mengirimkan uang untuk Vano, sebab Lina mempunyai keinginan sendiri memberikan uang jajan pada Vano, karena Vano sudah dianggap seperti anaknya sendiri.

Aretha hanya bisa pasrah dengan kemauan sahabatnya itu, namun ia tentu tidak akan melupakan kebaikan Lina. Aretha pasti akan membalas kebaikan Lina dua kali lipat, itulah janji Aretha pada dirinya sendiri.

Karena tidak ada beban yang menggelayutinya di Indonesia, Aretha jadi bisa menabung semua gajinya setelah terpotong dari pihak agensi, bank, maupun asuransi, sebab kebutuhannya selama di Taiwan, semua sudah ditanggung oleh majikannya sendiri.

Bahkan hanya untuk sekedar membeli sabun mandi saja, Aretha pernah kena marah sebab Aretha dinilai tidak menghargai pemberian bosnya itu.

Flashback on.

Beberapa bulan yang lalu...

"Kamu mau ke mana?"

"Mau ke BelMart, Thai-Thai."

"Mau beli apa?"

"Be-beli sabun mandi," sahut Aretha gugup, karena majikannya memandangnya dengan tajam.

"Sabun mandi? Bukankah di kamar mandi sudah ada stok sabun mandi banyak? Kenapa kamu beli? Kamu nggak suka ya dengan merek itu? Atau nggak cocok pakai yang murah seperti itu?" sindir nenek kesal.

"Kalau masih jadi pembantu itu jangan pilih-pilih! Dan, seharusnya kamu itu bersyukur punya majikan pengertian seperti saya!"

"Dulu saya juga pernah bekerja seperti kamu, tapi Bos saya tidak pengertian, apakah kamu juga ingin diperlakukan seperti saat saya bekerja dulu?"

"Maaf, tidak Thai-Thai. Saya tidak tahu kalau saya diperbolehkan memakai sabun mandi itu. Saya akan memakainya, dan terima kasih banyak atas pengertian Thai-Thai," sahut Aretha panik. Aretha memang tidak tahu kalau semua kebutuhannya juga dipenuhi oleh bosnya.

"Kalau tidak tahu, makanya harus tanya!" sembur si nenek kesal.

Padahal biasanya bukankah majikan dulu yang memberitahu pada pekerjanya? Kalau pekerja dulu yang tanya kan malu? Pikir Aretha.

Flashback off.

Aretha tersenyum sendiri ketika mengingat kejadian itu, sedangkan nenek yang melihat itu sontak mendorong bahunya.

"Kenapa kamu tertawa? Kamu pikir aku sedang melucu ya? Aku itu sedang menasihatimu!"

"Maaf, iya Nainai, saya tidak menertawakan nasihat Nainai."

"Lalu apa yang sedang kamu tertawakan?"

"Saya sedang tersenyum, Nainai. Saya merasa bersyukur mempunyai majikan yang sangat baik seperti Nainai."

"Huh! Kamu mulai pandai merayu ya?" cibir sang Nenek seraya memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan senyumnya.

Nenek merasa senang ketika Aretha memujinya, namun ia malu untuk menunjukkan rasa senangnya itu.

Sedangkan Aretha sendiri hampir tertawa ketika melihat tingkah laku bosnya yang seperti ini, dan saat ini pun Aretha mulai menyadari bahwa sesungguhnya Nenek sangat baik, namun entah mengapa Beliau harus berpura-pura galak dan cerewet padanya.

"Oh ya, Retha. Akhir-akhir ini aku merasa tubuhku sudah tidak sekuat biasanya, jadi mulai sekarang kamu juga harus menjaga kebun ini, rawat semua sayuran ini dengan baik, dan anggap saja seperti milikmu sendiri. Jadi awas saja kalau sampai ada yang mati!"

Mendengar perintah sekaligus ancaman sang Nenek, Aretha sontak mengangguk dan mengatakan baik, ia juga tentu pasti akan berusaha menjaga kebun ini dengan baik.

Sedangkan sang Nenek yang melihat keseriusan di wajah Aretha, ia pun tersenyum dalam hati, lalu kemudian ia juga membatin, "Kamu memang harus benar-benar menjaganya, karena kelak semua yang ada di sini akan jadi milikmu. Aku akan mewariskan semua ini padamu, karena hanya kamulah satu-satunya orang yang tulus merawatku."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Diah Sekti
sangat bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status